Nama Kerajaan Sriwijaya sudah tidak asing lagi bagi kita warga Indonesia apalagi WONG KITO, karena dalam pelajaran sekolah pastilah nama kerajaan itu disebut-sebut sebagai salah satu kerajaan yang wilayah kekuasaannya menjadi cikal bakal apa yang kita kenal sekarang sebagai Nusantara. Akan tetapi, di mata budayawan Palembang Djohan Hanafiah, sejarah Kerajaan Sriwijaya dalam buku-buku pelajaran harus ditulis kembali karena data dalam buku pelajaran sejarah itu data lama yang ketika itu dasarnya asumsi sementara. Padahal, banyak temuan diperoleh dari hasil ekskavasi besar-besaran yang dilakukan antara tahun 1988-1998. Bahan temuan baru itulah yang mesti dimasukkan sehingga sejarah Kerajaan Sriwijaya menjadi lebih jelas, paparnya.
Buku-buku sejarah, baik untuk tingkat sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), maupun sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), memang tidak pernah menguraikan lebih mendalam mengenai Kerajaan Sriwijaya. Bahkan, dalam buku pelajaran itu pun masih menyisakan pertanyaan, di mana sebenarnya pusat Kerajaan Sriwijaya berada. Sementara itu, hasil ekskavasi era tahun 1990-an itu menghasilkan petunjuk semakin kuat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya memang di Palembang, bukan di Kuala Tungkal, Jambi, sebagaimana dugaan beberapa kalangan.
Menurut buku Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang diterbitkan Pemerintah Daerah Sumatera Selatan (1994), maupun sumber tulisan lainnya, Sriwijaya mulai dikenal sebagai nama suatu Kerajaan ketika G. Coedes menerbitkan artikel berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918.
Data arkeologi yang mula-mula ditemukan adalah prasasti berbahasa Melayu Kuno yang berasal dari Bangka dan sekitar Palembang. Kemudian prasasti serupa ditemukan di Jambi, Lampung, dan Thailand Selatan. Prasasti yang menyebutkan nama Kerajaan atau Raja Sriwijaya juga ditemukan di India dan Filipina. Berbagai data mengenai Kerajaan Sriwijaya semakin lengkap lagi dengan adanya sumber tertulis dari catatan sejarah di Cina dan Arab.
Prasasti tertua yang sampai sekarang dianggap sebagai petunjuk paling awal tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya adalah prasasti yang ditemukan di tepi Sungai Kedukan Bukit pada tahun 1920 sehingga disebut prasasti Kedukan Bukit. Prasasti bertanggal 12 Juni 682 Masehi itu menyebutkan perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan menggunakan perahu bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p- dan kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.
Di mana tempat bernama Minana itu? Sampai sekarang masih menjadi pertanyaan. Namun, bila di sana disebutkan adanya pasukan yang berjalan kaki, tempat bernama Minana itu kemungkinan besar masih di Pulau Sumatera juga, jelas Rudi Asri, Sekretaris Badan Pengurus Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS).
Kemudian dalam Prasasti Talang Tuo bertanggal 23 Maret 684 Masehi yang ditemukan di Desa Gandus, Palembang, pada tahun 1920 disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk. Taman bernama Sriksetra itu mempunyai pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Bagaimana dengan lokasi pusat kerajaan? Menurut makalah yang ditulis Hasan Muarif Ambary, Bambang Budi Utomo, dan Soeroso MP dari Pusat Arkeologi Nasional, pusat Kerajaan Sriwijaya tidak seperti pusat-pusat kerajaan yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Kota Sriwijaya bersifat mendesa (rural).
Sebagai kota bersifat mendesa, bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu merupakan bahan yang mudah rusak termakan zaman, maka sisa rumah tinggal tidak dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman kayu dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air.
Sisa bangunan yang dibuat dari bahan kayu ditemukan di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu hanya untuk bangunan sakral (keagamaan), misalnya, bangunan keagamaan yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan di Bukit Siguntang hanya bagian pondasinya saja.
Lantas bagaimana bisa disimpulkan Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya? Menurut Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional, ada tiga prasasti yang bisa dijadikan pijakan kuat untuk menyimpulkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya memang di Palembang, yaitu Prasati Kedukan Bukit, Prasasti Telaga Baru, dan Prasasti Talang Tuo. Mengenai Prasasti Telaga Batu yang tidak berangka tahun, prasasti ini adalah prasasti persumpahan yang bentuknya sangat unik dan indah, berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno yang dari bentuk hurufnya diperkirakan sezaman dengan dua prasasti Sriwijaya di atas, yaitu dari abad ke-7 Masehi.
Prasasti Telaga Batu berbentuk batu lempeng mendekati segi lima yang di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, serta adanya sebentuk mangkuk kecil dengan cerat di bawahnya. Prasasti ini diduga kuat digunakan untuk pelaksanaan sumpah para calon pejabat, di mana pejabat yang disumpah kemudian meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Inti sumpahnya adalah ikrar untuk taat dan patuh kepada raja demi menegakkan kebesaran Sriwijaya. Sebagai sarana untuk persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Oleh karena prasasti itu ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918, maka pastilah Palembang dulunya merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Petunjuk lain bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari ditemukannya barang-barang keramik dan tembikar yang biasa dipakai untuk keperluan sehari-hari. Temuan sejumlah barang yang sebagian besar diduga berasal dari Dinasti Tang (abad XVIII-X Masehi) itu di berbagai lokasi, antara lain di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang, Kambang Unglen, dan lain-lain, menunjukkan bahwa di Palembang memang terdapat permukiman kuno.
Petunjuk mengenai pusat Kerajaan Sriwijaya itu semakin diyakinkan dengan interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kecil kemungkinan hasil dari alam, tetapi buatan manusia. Apalagi di lokasi sekitarnya juga ditemukan keramik dan benda-benda arkeologi lainnya sehingga semakin kuatlah keyakinan tentang pusat Kerajaan Sriwijaya itu.
Pertanyaan berikutnya yang juga mengusik untuk dijawab adalah benarkah Sriwijaya adalah sebuah kerajaan yang besar pada masanya?
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 oleh JK Van der Meulen, diperoleh petunjuk mengenai kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Prasasti itu sendiri disebut kalangan arkeolog sebagai prasasti persumpahan karena di dalamnya berisi ancaman-ancaman kutukan mati terhadap mereka yang tidak setia, mencoba memberontak, atau tidak berlaku hormat kepada Kedatuan Sriwijaya. Hanya saja, dibagian akhir prasasti, menurut penerjemahan Coedes, ditulis:
dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka! Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bukan Waisakha (sama dengan 28 Februari 686 Masehi). pada saat itulah kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bhumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.
Meskipun wilayah mana yang sebenarnya dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu masih menjadi pertanyaan para arkeolog, beberapa arkeolog meyakini yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanagara yang lokasinya ada di Pantai Utara Jawa Barat.
Meskipun wilayah mana yang sebenarnya dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu masih menjadi pertanyaan, tentulah kerajaan ini mempunyai angkatan laut yang kuat sehingga mampu melakukan penyerangan. Bukti lainnya adalah ditemukannya prasasti-prasasti persumpahan Sriwijaya di wilayah Lampung (prasasti Palas Pasemah) dan Jambi (prasasti Karang Berahi), yang menandakan wilayah tersebut juga berada di bawah Kedatuan Sriwijaya.
Menurut buku Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, I-tsing, seorang pendeta Buddha dari Cina, dalam perjalanannya dari Kanton menuju India pada kira-kira tahun 672 M, sempat tinggal di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sansekerta selama enam bulan. Menurut I-tsing, di Fo-shih (Sriwijaya) terdapat sekitar seribu pendeta yang menguasai pengetahuan agama seperti pendeta-pendeta dari Madhyadesa, India. I-tsing menambah keterangannya dengan anjuran yaitu jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih, baru kemudian belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M.
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha Mahayana. Ada dua prasasti yang menyebutkan adanya pembangunan bangunan suci agama Buddha di India oleh Raja-raja Sriwijaya.
Pertama, prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M, yang menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Kedua, prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan tahun 1046 M ditulis dalam bahasa Tamil. Prasasti ini menyebutkan bahwa Raja Kataha dan Sriwisaya, Marawijayayottunggawarman memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada di dalam biara Cudamaniwarna, yang terletak di Kota Nagipattana.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, maupun Arab. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina yang berasal dari periode mulai dari Dinasti Song (960-1279 M) sampai Ming (abad 14-17 M).
Sementara itu, berita Arab (Ibn al-Fakih tahun 902 M; Abu Zayd tahun 916 M, dan Mas‘udi tahun 955 M), menyebutkan komoditas yang berasal dari Sriwijaya berupa cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini oleh pedagang asing dibeli atau ditukar dengan porselen, kain katun, dan kain sutra.
Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa pada masanya Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar, pendeta, di Cina dan India, serta Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Singkatnya, tidak sepatutnya kita masih juga meragukan keberadaan dan kebesaran Kerajaan Sriwijaya pada masanya. Sudah cukup banyak bukti temuan bisa menceritakan bagaimana Kerajaan Sriwijaya di masa lalu. Soal tidak adanya bukti peninggalan yang monumental, itu tidak berarti kebesaran Kerajaan Sriwijaya Cuma khayalan semata. Yang dibutuhkan untuk mengungkap lebih monumentalnya Kerajaan Sriwijaya adalah ekskavasi besar-besaran berikutnya.
Menurut Djohan Hanafiah, masih banyak sekali sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dibiarkan di dalam tanah sekarang ini. TPKS itu dibuat bukan sebagai tiruan taman Kerajaan Sriwijaya dulu, tetapi lebih untuk mengamankan peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berada di dalamnya, ungkapnya.
Beberapa peninggalan yang malah dikubur kembali karena kekurangan dana ekskavasi antara lain sisa perahu Kerajaan Sriwijaya. Jadi, soalnya bukan pada tiadanya peninggalan monumental. (rmz)
Sumber : http://www.sumsel.com
Sumber : http://www.dipardass.go.id
Buku-buku sejarah, baik untuk tingkat sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), maupun sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), memang tidak pernah menguraikan lebih mendalam mengenai Kerajaan Sriwijaya. Bahkan, dalam buku pelajaran itu pun masih menyisakan pertanyaan, di mana sebenarnya pusat Kerajaan Sriwijaya berada. Sementara itu, hasil ekskavasi era tahun 1990-an itu menghasilkan petunjuk semakin kuat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya memang di Palembang, bukan di Kuala Tungkal, Jambi, sebagaimana dugaan beberapa kalangan.
Menurut buku Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang diterbitkan Pemerintah Daerah Sumatera Selatan (1994), maupun sumber tulisan lainnya, Sriwijaya mulai dikenal sebagai nama suatu Kerajaan ketika G. Coedes menerbitkan artikel berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918.
Data arkeologi yang mula-mula ditemukan adalah prasasti berbahasa Melayu Kuno yang berasal dari Bangka dan sekitar Palembang. Kemudian prasasti serupa ditemukan di Jambi, Lampung, dan Thailand Selatan. Prasasti yang menyebutkan nama Kerajaan atau Raja Sriwijaya juga ditemukan di India dan Filipina. Berbagai data mengenai Kerajaan Sriwijaya semakin lengkap lagi dengan adanya sumber tertulis dari catatan sejarah di Cina dan Arab.
Prasasti tertua yang sampai sekarang dianggap sebagai petunjuk paling awal tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya adalah prasasti yang ditemukan di tepi Sungai Kedukan Bukit pada tahun 1920 sehingga disebut prasasti Kedukan Bukit. Prasasti bertanggal 12 Juni 682 Masehi itu menyebutkan perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan menggunakan perahu bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p- dan kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.
Di mana tempat bernama Minana itu? Sampai sekarang masih menjadi pertanyaan. Namun, bila di sana disebutkan adanya pasukan yang berjalan kaki, tempat bernama Minana itu kemungkinan besar masih di Pulau Sumatera juga, jelas Rudi Asri, Sekretaris Badan Pengurus Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS).
Kemudian dalam Prasasti Talang Tuo bertanggal 23 Maret 684 Masehi yang ditemukan di Desa Gandus, Palembang, pada tahun 1920 disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk. Taman bernama Sriksetra itu mempunyai pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Bagaimana dengan lokasi pusat kerajaan? Menurut makalah yang ditulis Hasan Muarif Ambary, Bambang Budi Utomo, dan Soeroso MP dari Pusat Arkeologi Nasional, pusat Kerajaan Sriwijaya tidak seperti pusat-pusat kerajaan yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Kota Sriwijaya bersifat mendesa (rural).
Sebagai kota bersifat mendesa, bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu merupakan bahan yang mudah rusak termakan zaman, maka sisa rumah tinggal tidak dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman kayu dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air.
Sisa bangunan yang dibuat dari bahan kayu ditemukan di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu hanya untuk bangunan sakral (keagamaan), misalnya, bangunan keagamaan yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan di Bukit Siguntang hanya bagian pondasinya saja.
Lantas bagaimana bisa disimpulkan Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya? Menurut Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional, ada tiga prasasti yang bisa dijadikan pijakan kuat untuk menyimpulkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya memang di Palembang, yaitu Prasati Kedukan Bukit, Prasasti Telaga Baru, dan Prasasti Talang Tuo. Mengenai Prasasti Telaga Batu yang tidak berangka tahun, prasasti ini adalah prasasti persumpahan yang bentuknya sangat unik dan indah, berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno yang dari bentuk hurufnya diperkirakan sezaman dengan dua prasasti Sriwijaya di atas, yaitu dari abad ke-7 Masehi.
Prasasti Telaga Batu berbentuk batu lempeng mendekati segi lima yang di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, serta adanya sebentuk mangkuk kecil dengan cerat di bawahnya. Prasasti ini diduga kuat digunakan untuk pelaksanaan sumpah para calon pejabat, di mana pejabat yang disumpah kemudian meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Inti sumpahnya adalah ikrar untuk taat dan patuh kepada raja demi menegakkan kebesaran Sriwijaya. Sebagai sarana untuk persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Oleh karena prasasti itu ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918, maka pastilah Palembang dulunya merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Petunjuk lain bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari ditemukannya barang-barang keramik dan tembikar yang biasa dipakai untuk keperluan sehari-hari. Temuan sejumlah barang yang sebagian besar diduga berasal dari Dinasti Tang (abad XVIII-X Masehi) itu di berbagai lokasi, antara lain di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang, Kambang Unglen, dan lain-lain, menunjukkan bahwa di Palembang memang terdapat permukiman kuno.
Petunjuk mengenai pusat Kerajaan Sriwijaya itu semakin diyakinkan dengan interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kecil kemungkinan hasil dari alam, tetapi buatan manusia. Apalagi di lokasi sekitarnya juga ditemukan keramik dan benda-benda arkeologi lainnya sehingga semakin kuatlah keyakinan tentang pusat Kerajaan Sriwijaya itu.
Pertanyaan berikutnya yang juga mengusik untuk dijawab adalah benarkah Sriwijaya adalah sebuah kerajaan yang besar pada masanya?
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 oleh JK Van der Meulen, diperoleh petunjuk mengenai kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Prasasti itu sendiri disebut kalangan arkeolog sebagai prasasti persumpahan karena di dalamnya berisi ancaman-ancaman kutukan mati terhadap mereka yang tidak setia, mencoba memberontak, atau tidak berlaku hormat kepada Kedatuan Sriwijaya. Hanya saja, dibagian akhir prasasti, menurut penerjemahan Coedes, ditulis:
dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka! Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bukan Waisakha (sama dengan 28 Februari 686 Masehi). pada saat itulah kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bhumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.
Meskipun wilayah mana yang sebenarnya dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu masih menjadi pertanyaan para arkeolog, beberapa arkeolog meyakini yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanagara yang lokasinya ada di Pantai Utara Jawa Barat.
Meskipun wilayah mana yang sebenarnya dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu masih menjadi pertanyaan, tentulah kerajaan ini mempunyai angkatan laut yang kuat sehingga mampu melakukan penyerangan. Bukti lainnya adalah ditemukannya prasasti-prasasti persumpahan Sriwijaya di wilayah Lampung (prasasti Palas Pasemah) dan Jambi (prasasti Karang Berahi), yang menandakan wilayah tersebut juga berada di bawah Kedatuan Sriwijaya.
Menurut buku Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, I-tsing, seorang pendeta Buddha dari Cina, dalam perjalanannya dari Kanton menuju India pada kira-kira tahun 672 M, sempat tinggal di Sriwijaya untuk belajar tata bahasa Sansekerta selama enam bulan. Menurut I-tsing, di Fo-shih (Sriwijaya) terdapat sekitar seribu pendeta yang menguasai pengetahuan agama seperti pendeta-pendeta dari Madhyadesa, India. I-tsing menambah keterangannya dengan anjuran yaitu jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih, baru kemudian belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan yang selesai ditulis pada tahun 692 M.
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha Mahayana. Ada dua prasasti yang menyebutkan adanya pembangunan bangunan suci agama Buddha di India oleh Raja-raja Sriwijaya.
Pertama, prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M, yang menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Kedua, prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan tahun 1046 M ditulis dalam bahasa Tamil. Prasasti ini menyebutkan bahwa Raja Kataha dan Sriwisaya, Marawijayayottunggawarman memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada di dalam biara Cudamaniwarna, yang terletak di Kota Nagipattana.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, maupun Arab. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina yang berasal dari periode mulai dari Dinasti Song (960-1279 M) sampai Ming (abad 14-17 M).
Sementara itu, berita Arab (Ibn al-Fakih tahun 902 M; Abu Zayd tahun 916 M, dan Mas‘udi tahun 955 M), menyebutkan komoditas yang berasal dari Sriwijaya berupa cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini oleh pedagang asing dibeli atau ditukar dengan porselen, kain katun, dan kain sutra.
Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa pada masanya Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar, pendeta, di Cina dan India, serta Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Singkatnya, tidak sepatutnya kita masih juga meragukan keberadaan dan kebesaran Kerajaan Sriwijaya pada masanya. Sudah cukup banyak bukti temuan bisa menceritakan bagaimana Kerajaan Sriwijaya di masa lalu. Soal tidak adanya bukti peninggalan yang monumental, itu tidak berarti kebesaran Kerajaan Sriwijaya Cuma khayalan semata. Yang dibutuhkan untuk mengungkap lebih monumentalnya Kerajaan Sriwijaya adalah ekskavasi besar-besaran berikutnya.
Menurut Djohan Hanafiah, masih banyak sekali sisa peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dibiarkan di dalam tanah sekarang ini. TPKS itu dibuat bukan sebagai tiruan taman Kerajaan Sriwijaya dulu, tetapi lebih untuk mengamankan peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berada di dalamnya, ungkapnya.
Beberapa peninggalan yang malah dikubur kembali karena kekurangan dana ekskavasi antara lain sisa perahu Kerajaan Sriwijaya. Jadi, soalnya bukan pada tiadanya peninggalan monumental. (rmz)
Sumber : http://www.sumsel.com
Sumber : http://www.dipardass.go.id