Senja menjelang malam, begitu memasuki Desa Sontang, Kecamatan Bonai Darussalam, Rokan Hulu (Rohul), Riau, nampak ratusan rumah panggung tua yang umumnya terbuat dari kayu-kayu hutan. Tak ada listrik, hanya lampu teplok
Tak tersentuh listrik, sulit infrastruktur, banjir dan kesulitan bahan pangan dan keperluan sehari-hari, adalah gambaran sehari-hari desa Sontang, kecamatan Bonai Darussalam. Memang, kehidupan masyarakat keturunan dari Brunai Darussalam ini, memang jauh dari gemerlapnya daerah lain setelah mengalami perubahan, yakni otonomi daerah.
Masih seperti dulu, kebanyakan rumah kayu tua itu digenangi air, karena memang berada di pinggir Sungai Rokan Kiri. Sungai besar itu kerap mengganas dengan tiba-tiba meluap dan mengalir menggenangi rumah dan pekarangan warga, apalagi pada musim hujan.
Mengungsi pun bukan lagi pilihan bagi penduduk ini, karena di samping sudah bersebati dengan tempat tinggalnya bertahun-tahun, mereka tak punya pilihan lain. Sebagai antisipasi kondisi banjir, sebagian penduduk membangun “pangkin” di dalam rumah untuk menampung barang-barang milik mereka agar tidak tersentuh air dan hanyut.
Infrastuktur jalan yang diharapkan warga desa ini, tidak bisa dimanfaatkan maksimal untuk lalu lintas barang keperluan sehari-hari. Janji-janji perbaikan yang disampaikan, belum banyak menampakkan hasil, termasuk ruas jalan lintas Rohul-Dumai yang membelah desa-desa yang ada di Kecamatan Bonai Darussalam. Puluhan titik badan jalan itu rendah dan kerap digenangi air hingga ratusan centimeter.
Kala musim banjir datang, kegiatan masyarakat mati total. Maklum saja, penghasilan 85 persen masyarakat selama ini bertumpu kepada ikan, yang mereka tangkap di sungai dan danau. Dalam kondisi itu, ikan hasil tangkapan kadang tak terjual dan kalau pun dijual harganya sangat murah.
Para toke ikan menekan harga seenaknya saja. Biasanya ikan dijual satu kilo Rp20 ribu, tapi kalau musim banjir hanya Rp5-7 ribu per kilogram saja akibat sulitnya transportasi.
Parahnya lagi, terkadang ikan tidak bisa terjual karena tidak ada toke yang datang ke desa itu, dengan alasan besarnya biaya transportasi.
”Pernah saya coba untuk menjual ikan sendiri ke Kecamatan Ujung Batu dan ke Pasir, tapi sampai di sana ikan sudah busuk karena lama di perjalanan. Akhirnya, ikan itu tidak laku,” kata seorang warga bernama Halim (44) kepada Riau Pos.
Karena keluhan sehari-hari, cerita Halim pun terus mengalir, bercerita tentang desanya itu. Selain sulit menjual ikan di waktu musim banjir, hasil tangkapan ikan di sungai pun jauh menyusut jika dibandingkSan dengan tahun-tahun sebelumnya, akibat masuknya nelayan dari daerah lain bersaing dengan alat tangkap yang lebih canggih. Mereka pun tidak punya pekerjaan lain.
Tak hanya itu, keperluan pokok masyarakat jarang terpenuhi. Harga sembako hampir dua kali lipat dari harga biasa jika banjir mendera. Misalnya, beras seharga Rp5.000 per kilogram bisa mencapai Rp8.000 per kilogram.
”Harga sembako tergantung pada lama musim penghujan dan banjir. Kalau banjir menggenangi jalan mencapai puluhan hari, kenaikan harga bisa mencapai tiga kali lipat,” kata Sekretaris Desa Sontang, Zulfahrianto, ketika ditemui Riau Pos, Jumat akhir pekan lalu.
Zulfahrianto memaparkan, setidaknya 8.552 warga yang kini tinggal di Kecamatan Bonai Darussalam yang terdiri dari lima desa (Desa Sontang, Desa Pauh, Desa Teluk Sono, Desa Rawa dan Desa Bonai), masih terisolir meski hanya 130 Km dari pusat kota, Kabupaten Rokan Hulu.
Cerita Zulfahrianto seakan seiring dengan perjalanan Riau Pos menuju desa tertua di Kecamatan Bonai itu. 40 kilometer jalan pintas dari Kecamatan Kunto Darussalam menuju Kecamatan Bonai Darussalam pun ditempuh dengan penuh hambatan. Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam dua jam, menjadi empat jam. Selain badan jalan berlumpur, jembatan yang terbuat dari kayu sudah banyak yang usang sehingga susah untuk dilalui dan harus ekstra hati-hati. Tak jarang sepeda motor yang dibawa harus didorong karena lumpur begitu dalam.
Masyarakat Desa Sontang ini tak tinggal diam. Seperti dituturkan Sekdes yang sehari-hari dipanggil Anto ini, dirinya telah menganjurkan penduduk untuk beralih mencari pekerjaan lain selain menangkap ikan, seperti menanam jeruk dan berkebun sawit.
Tapi, persoalan yang dihadapi masyarakat tetap sama, karena merupakan desa dataran paling rendah bila dibanding dengan desa-desa lain di kecamatan tersebut, sehingga tanah rawa-rawa menghambat pertumbuhan sawit dan jeruk. Ditambah banjir yang menggenangi lahan, membuat tanaman mati begitu saja.
Sumber : http://www.riaupos.com/
Tak tersentuh listrik, sulit infrastruktur, banjir dan kesulitan bahan pangan dan keperluan sehari-hari, adalah gambaran sehari-hari desa Sontang, kecamatan Bonai Darussalam. Memang, kehidupan masyarakat keturunan dari Brunai Darussalam ini, memang jauh dari gemerlapnya daerah lain setelah mengalami perubahan, yakni otonomi daerah.
Masih seperti dulu, kebanyakan rumah kayu tua itu digenangi air, karena memang berada di pinggir Sungai Rokan Kiri. Sungai besar itu kerap mengganas dengan tiba-tiba meluap dan mengalir menggenangi rumah dan pekarangan warga, apalagi pada musim hujan.
Mengungsi pun bukan lagi pilihan bagi penduduk ini, karena di samping sudah bersebati dengan tempat tinggalnya bertahun-tahun, mereka tak punya pilihan lain. Sebagai antisipasi kondisi banjir, sebagian penduduk membangun “pangkin” di dalam rumah untuk menampung barang-barang milik mereka agar tidak tersentuh air dan hanyut.
Infrastuktur jalan yang diharapkan warga desa ini, tidak bisa dimanfaatkan maksimal untuk lalu lintas barang keperluan sehari-hari. Janji-janji perbaikan yang disampaikan, belum banyak menampakkan hasil, termasuk ruas jalan lintas Rohul-Dumai yang membelah desa-desa yang ada di Kecamatan Bonai Darussalam. Puluhan titik badan jalan itu rendah dan kerap digenangi air hingga ratusan centimeter.
Kala musim banjir datang, kegiatan masyarakat mati total. Maklum saja, penghasilan 85 persen masyarakat selama ini bertumpu kepada ikan, yang mereka tangkap di sungai dan danau. Dalam kondisi itu, ikan hasil tangkapan kadang tak terjual dan kalau pun dijual harganya sangat murah.
Para toke ikan menekan harga seenaknya saja. Biasanya ikan dijual satu kilo Rp20 ribu, tapi kalau musim banjir hanya Rp5-7 ribu per kilogram saja akibat sulitnya transportasi.
Parahnya lagi, terkadang ikan tidak bisa terjual karena tidak ada toke yang datang ke desa itu, dengan alasan besarnya biaya transportasi.
”Pernah saya coba untuk menjual ikan sendiri ke Kecamatan Ujung Batu dan ke Pasir, tapi sampai di sana ikan sudah busuk karena lama di perjalanan. Akhirnya, ikan itu tidak laku,” kata seorang warga bernama Halim (44) kepada Riau Pos.
Karena keluhan sehari-hari, cerita Halim pun terus mengalir, bercerita tentang desanya itu. Selain sulit menjual ikan di waktu musim banjir, hasil tangkapan ikan di sungai pun jauh menyusut jika dibandingkSan dengan tahun-tahun sebelumnya, akibat masuknya nelayan dari daerah lain bersaing dengan alat tangkap yang lebih canggih. Mereka pun tidak punya pekerjaan lain.
Tak hanya itu, keperluan pokok masyarakat jarang terpenuhi. Harga sembako hampir dua kali lipat dari harga biasa jika banjir mendera. Misalnya, beras seharga Rp5.000 per kilogram bisa mencapai Rp8.000 per kilogram.
”Harga sembako tergantung pada lama musim penghujan dan banjir. Kalau banjir menggenangi jalan mencapai puluhan hari, kenaikan harga bisa mencapai tiga kali lipat,” kata Sekretaris Desa Sontang, Zulfahrianto, ketika ditemui Riau Pos, Jumat akhir pekan lalu.
Zulfahrianto memaparkan, setidaknya 8.552 warga yang kini tinggal di Kecamatan Bonai Darussalam yang terdiri dari lima desa (Desa Sontang, Desa Pauh, Desa Teluk Sono, Desa Rawa dan Desa Bonai), masih terisolir meski hanya 130 Km dari pusat kota, Kabupaten Rokan Hulu.
Cerita Zulfahrianto seakan seiring dengan perjalanan Riau Pos menuju desa tertua di Kecamatan Bonai itu. 40 kilometer jalan pintas dari Kecamatan Kunto Darussalam menuju Kecamatan Bonai Darussalam pun ditempuh dengan penuh hambatan. Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam dua jam, menjadi empat jam. Selain badan jalan berlumpur, jembatan yang terbuat dari kayu sudah banyak yang usang sehingga susah untuk dilalui dan harus ekstra hati-hati. Tak jarang sepeda motor yang dibawa harus didorong karena lumpur begitu dalam.
Masyarakat Desa Sontang ini tak tinggal diam. Seperti dituturkan Sekdes yang sehari-hari dipanggil Anto ini, dirinya telah menganjurkan penduduk untuk beralih mencari pekerjaan lain selain menangkap ikan, seperti menanam jeruk dan berkebun sawit.
Tapi, persoalan yang dihadapi masyarakat tetap sama, karena merupakan desa dataran paling rendah bila dibanding dengan desa-desa lain di kecamatan tersebut, sehingga tanah rawa-rawa menghambat pertumbuhan sawit dan jeruk. Ditambah banjir yang menggenangi lahan, membuat tanaman mati begitu saja.
Sumber : http://www.riaupos.com/