Oleh : Dr. Sal Murgiyanto, MA.
Penulis risau, karena bahan rujukan yang mendukung studi tari masih sangat langka, apalagi yang membahas tentang estetika tari Melayu. Padahal tari Melayu yang hidup dan berkembang sekarang, terutama tari Melayu Riau dan Sumatera Timur, memungkinkan untuk diolah dan dibentuk. Pengolahan dan pembentukan tersebut akan menambah kekayaan ekspresi dari bentuk-bentuk yang ada. Meskipun demikian, jatidiri tari daerah tetap perlu dipelihara sebagai perwujudan kehidupan budaya daerah. Di lain pihak, tari karya baru tidak perlu menutup diri dari pengaruh budaya luar.
1. Pendahuluan
Tari adalah salah satu sakaguru seni pertunujukan tradisi Indonesia. Tari yang merupakan cabang seni pertunjukan tertua lahir bersamaan dengan lahirnya kebudayaan manusia. Ironisnya, sebagai disiplin studi, tari justru merupakan disiplin yang paling muda.
Perguruan tinggi tari pertama di Indonesia adalah ASTI Yogyakarta (kini Jurusan Tari, Fakultas Kesenian, Institut Seni Indonesia) yang baru didirikan pada tahun 1963. Oleh karena itu, literatur yang mendukung studi tari masih sangat terbatas, apalagi yang membahas keindahan atau estetika tari-tari Melayu.
Berbeda dengan hasil karya seni rupa yang dapat dinikmati oleh pembuat dan peminatnya sepanjang mereka mau, maka tari hanya dapat dinikmati sekali saja pada saat dipergelarkan. Sebuah pertunjukan tari memang dapat diulangi, tetapi pergelaran ulang sesungguhnya tidak pernah sama dengan pergelaran sebelumnya. Baik suasana, kondisi penari, tempat pertunjukan, maupun waktunya. Karena alasan di atas, maka pembahasan ini didasarkan pada pengamatan terhadap tari-tari Melayu yang hidup dan berkembang hingga 1985, terutama yang tampil di kota Jakarta sejak tahun 1977.
Jenis-jenis tari yang diamati tidak terbatas pada tari-tari Melayu Riau dan Sumatera Utara yang disebut sebagai daerah asal dan pusat Budaya Melayu, tetapi juga kelompok Melayu dari Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, bahkan yang berasal dari Malaysia.
2. Estetika Dan Keindahan Seni
Perlu ditegaskan bahwa pembahasan akan dititikberatkan pada tari dalam fungsinya sebagai karya seni yang dihayati untuk mendapatkan pengalaman estetika dan bukan dalam fungsinya yang lain, seperti untuk upacara, hiburan, pergaulan, penerangan, pendidikan, dan lain-lain, karena istilah estetika secara universal hampir selalu diasosiasikan dengan karya seni, meskipun penghayatan keindahan bukan monopoli karya seni. Di bidang seni, estetika sering menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam.
Penilaian estetika seseorang dipengaruhi oleh ketajaman penghayatan, suasana emosional, kebebasan, selera, pengalaman, keleluasaan apresiasi, ide keindahan, kebenaran, kenikmatan, realitas, sistem nilai, dan rasa aman, karena nilai-nilai tradisi yang telah mapan dalam moral, agama, prinsip, politik, sosial, dan elemen-elemen magis mungkin tidak disadari adanya. Menurut Ellfeldt (1976: 136), estetika membahas tentang teori filosofis tanpa memberi rumus objektif atau bukti-bukti, yang sasarannya untuk membahas aspek-aspek nilai dari sebuah penghayatan.
Pembahasan yang menitikberatkan fungsi utama tari Melayu bukan berarti melupakan kaitan nilai-nilai keindahan tari dengan nilai-nilai budaya Melayu yang lain, karena pertama, sebuah karya seni tidak bertanggung jawab atas kualitas dan penerimaannya oleh penonton. Tanggung jawab ini dipikul oleh keadaan budaya asal karya tersebut. Karya seni bukan sebuah benda yang ditempelkan begitu saja kepada sekelompok masyarakat. Kedua, karya seni timbul dari kualitas yang menjadi ciri-ciri pokok dari masyarakat induknya. Jika masyarakat yang menghasilkan berantakan, maka karya seni yang dihasilkan akan mencerminkan gambaran di atas. Jika masyarakat yang menghasilkannya kokoh dan moralistik, maka keseniannya pun akan menggambarkan hal yang serupa (Nikolais, 1956: 74).
Hal ini menyebabkan Chairul Harun menyarankan untuk mengamati karya-karya tari Indonesia secara artistikantropologis. Saran tersebut didukung oleh pengamat tari lain. Pendekatan semacam ini memang tengah ramai dibicarakan, terutama di kalangan para ahli antropologi tari, seperti pernyataan berikut:
Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. Untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan dari kebudayaan lain dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984: 5).
3. Jenis-Jenis Tari Melayu
Pusat-pusat pemerintahan atau Kerajaan-kerajaan Melayu hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai, dan sejak dulu orang Melayu ahli berdagang. Kedua hal ini menyebabkan kebudayaan Melayu terbuka terhadap pengaruh luar. Salah satu pengaruh besar yang kemudian meresap dalam bidang religi adalah pengaruh Arab-Islam. Pengaruh ini seakan-akan menghapus budaya Hindu dan Budha, sehingga budaya Hindu-Budha tinggal penghias dalam kebudayaan Melayu. Kesenian Zapin (Gambus), Kasidah, Rodat (Barodah), dan Zikir Barat adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut (Sinar, 1982: 3).
Jauh sebelum Islam masuk, hubungan Melayu dengan Siam sudah terbina cukup baik. Pengaruh Siam yang masuk melalui Kedah dan Perlis terlihat dalam bentuk pertunjukan Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat dan di Kerajaan Deli Serdang. Pengaruh India, dalam hal ini Keling atau Tamil, India Selatan, terus berlanjut, sesudah Islam identik dengan Melayu. Pada akhir abad ke-19 pengaruh India ditandai dengan berkembangnya pertunjukan wayang Parsi, Bangsawan, dan sebagainya.
Selanjutnya T. Luckman Sinar (1982: 5–12) membagi tari-tarian Melayu dalam empat kelompok. Pertama, kelompok tari yang masih bersifat magis-religius. Tari dipimpin oleh pawang yang mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti yang dilakukan dalam upacara mengambil madu lebah, jamu laut, jamu bendang atau dalam tarian keliling sambil menginjak-injak padi (Ahot-ahot). Dalam pertunjukan Makyong, pawang mendapat bagian yang menghadap rebab. Kedua, kelompok tari perang. Tari yang termasuk jenis ini adalah tari silat dan tari pedang yang ditarikan oleh laki-laki dengan memakai senjata (pisau, keris, atau pedang). Tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu penting atau untuk mengarak pengantin. Tari Inai dengan gerakan silat sambil memegang lilin yang ditarikan di depan pelaminan dalam “Malam Berinai Besar” termasuk dalam kelompok ini. Ketiga, tari pertunjukan. Tari ini dibedakan menjadi tari yang bersifat semireligius dan tari yang semata-mata bersifat hiburan. Barodah dan Zikir Barat yang menyanyikan syair pemujaan kepada Allah dan Rasullulah dalam bahasa Arab dan bersumber dari kitab Barzanzi masuk dalam tari semireligius. Adapun tari yang bersifat hiburan semata-mata yaitu Zapin. Keempat, kelompok tari-tari Ronggeng untuk menandak, antara lain tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, tari Pulau Sari, tari Patam-patam, dan Gubang. Tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, dan tari Pulau Sari ini sering dilakukan dalam satu rangkaian dan disebut sebagai tari Melayu “empat serangkai”.
Dalam khazanah tari Melayu dikenal empat istilah yang berarti tari, yaitu tandak, yang menekankan pada langkahlangkah kaki; igal, yang menekankan pada gerakan-gerakan tubuh; liuk, yang menekankan pada gerakan merendahkan tubuh dan mengayunkan badan dan tangan seperti menggelai dan melayah; dan tari, yang ditandai dengan gerakan lengan, tangan, dan jari-jari yang lemah gemulai. Istilah tari juga digunakan untuk menyebut tari Melayu pada umumnya (Sheppard, 1972: 82).
Untuk Riau, kelompok tari pertama ditambah tari Mayang (Berasik) yang berfungsi untuk mengobati sakit menahun secara tradisional; tari Bandabus; tari Alu; tari Lukah; dan tari Topeng Binatang. Kelompok kedua ditambah tari Cecah Inai dan tari Olang-olang, sedangkan untuk golongan tari pertunjukan ditambah tarian istana, seperti tari Air Mawar yang dipakai untuk menyambut tamu-tamu penting dan tari Menjunjung Duli (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.t.: 123–25).
Menurut almarhum Tengku Nazly A. Mansur, dari beberapa jenis tari di atas, yang sudah digarap dan dikembangkan baru tari Tandak. Tari Tandak digarap dan dikembangkan oleh almarhum Sayuti dan almarhum Tengku Rajih Anwar pada tahun 1950-an. Tari ini kemudian melahirkan tari Serampang XII yang dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun masing-masing kelompok tari memiliki ciri khas, tetapi bagi yang menguasai tari Tandak dapat dengan mudah mempelajari jenis tari Melayu yang lain, sehingga tari Tandak memegang peran penting dalam tari Melayu (Mansur, t.t.). Semula, tari Tandak dimainkan oleh penari upahan dengan mengumpulkan uang sewa. Pada masa lalu tari ini menarik perhatian kalangan istana yang kemudian mengolahnya menjadi tari Joget.
4. Struktur Dan Estetika Tari Melayu
Dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenis-jenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisikal tidak akan dibahas, karena dalam tingkat ini keperluan teknik gerak belum disadari. Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuitif. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam. Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia (Ellfeldt, 1976: 160).
Dalam Diskusi Tari Tradisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 1975, sejumlah ahli tari kita merumuskan pengertian dasar unsur estetika tari yang meliputi medium (bahan baku), penggarapan, isi, dan penyajian (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157).
a. Medium atau Bahan Baku
Medium atau bahan baku tari adalah gerak yang setiap hari kita lakukan. Berdasarkan fungsinya, gerak dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu gerak bermain yang dilakukan untuk kesenangan pelakunya, gerak bekerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil, dan gerak tari yang dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya. Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakan-gerakan yang gemulai, anggun, indah adalah pengendalian tenaga dalam melakukan gerak.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang hampir tidak pernah menganalisis keindahan gerak yang dilihatnya. Mereka lebih bereaksi dengan menyatakan kekaguman atau ketidaksenangannya tanpa penjelasan lebih jauh.
Teknik Gerak
Salah satu hal yang membuat kita dapat merasakan keindahan sebuah gerak tari adalah ketika pelakunya mampu menarikan dengan kekuatan, kelenturan, dan koordinasi yang sempurna, sehingga rasa gerak yang dilakukan merambat dan dirasakan oleh penonton. Kalau penari menggambarkan gerakan terbang, maka penonton pun seakanakan ikut terbang bersama penari.
Faktor pertama yang mempengaruhi estetika gerak tari adalah keterampilan atau kemahiran melaksanakan gerak. Penari Jawa menyebutnya wiraga dan dalam literatur Barat disebut teknik gerak atau teknik tari. Berbeda dengan gerakan dalam olahraga, gerakan tari bukan saja harus dilakukan secara benar, tetapi “bagaimana gerakan itu dilakukan” harus terpenuhi. Dengan kata lain, “kualitas” dan “gaya” dalam melakukan gerakan menjadi hal yang sangat penting.
Sebagaimana halnya tari tradisi lain, ada dua hal utama dalam membicarakan tari tradisi Melayu. Pertama, adanya pola-pola gerak yang menjadi dasar penyusunan tari. Kedua, adanya aturan dan konvensi yang menentukan pengaturan pola-pola yang membangun ragam-ragam gerak. Sebagai contoh, dalam tari Zapin dikenal ragam gerak alip, anak ayam patah, catuk, geliat, pecah lapan, pusing tengah, seribut, siku keluang, sut depan sut gantung, tahto, tongkah, dan lain-lain (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979: 239).
Teknik dalam tari tradisi dimaksudkan sebagai keterampilan mengkoordinasikan gerakan-gerakan tubuh untuk melakukan ragam gerak sesuai dengan aturan dan konvensi yang berlaku dalam tarian yang bersangkutan. Sebagai contoh, keterampilan penari zaman dulu diukur dari kemampuannya melakukan ragam gerak catuk. Diduga gerak ini diilhami dari cara ayam mencatuk makanan. Penilaian tersebut dilakukan dengan menyuruh dua penari pria menari dengan sebatang rokok pada masing-masing mulutnya. Seorang penari dengan rokok yang sudah menyala, penari lain dengan rokok yang belum menyala. Pada waktu membawakan ragam tari catuk, penari dengan rokok yang belum menyala harus menghidupkan rokoknya dengan jalan mencatukkan rokoknya ke rokok pasangannya. Mencatuk hanya boleh dilakukan sebanyak tiga kali dan apabila penari belum berhasil menghidupkan rokok di mulutnya, ia dianggap belum cukup terampil sebagai penari Zapin (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979: 157).
Penilaian keindahan gerak tari tradisi sering dipengaruhi oleh faktor sosial, kesukuan, emosional, agama, dan kepercayaan setempat. Dalam menarikan tari Tandak dan tari Zapin misalnya, pasangan penari pria dan wanita bergerak berdekatan, tetapi tidak boleh saling bersentuhan. Dalam tari Melayu juga dibedakan gerak tari ideal pria dan tari wanita. Mansur (t.t.) berpendapat, penari wanita sebaiknya menonjolkan sikap badan dan gerakan yang lemah lembut, sedangkan penari pria dengan sikap badan dan gerakan yang gagah. Dalam Zapin, penari pria menari dengan tempo lebih cepat daripada gerak penari wanita.
Pengaturan Irama
Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh. Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana menggunakan “alat” tersebut. Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual dan estetika.
Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang, maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari (Thompson, 1974: 262; Snyder, 1974: 9).
Dalam berkata-kata kita memerlukan jeda/perhentian, cepat lambat, dan intonasi suara agar dapat menghadirkan kalimat yang bermakna. Dalam tari pun demikian juga. Gerak sebagai penyusun ragam tari dapat dihasilkan karena pengaturan irama cepat lambat, jeda/perhentian, awal pengembangan, dan klimaks dari tiga unsur gerak (ruang, waktu, dan tenaga). Pengaturan irama semacam ini sangat membantu penari dalam mengingat dan menghafalkan rangkaian gerak, sehingga penari dapat melakukannya dengan penghayatan maksimal. Pengaturan semacam ini juga memudahkan penonton dalam mengikuti dan memahami ungkapan-ungkapan gerak yang dilakukan penari. Seorang penari Jawa, di samping terampil gerak atau wiraga, juga harus menguasai wirama yang terkandung dalam gerak tari maupun irama musik pengiringnya.
Dalam tarian Melayu dikenal istilah rentak, yaitu motif irama (musik) tertentu yang mendasari motif gerak tertentu (Dewan Kesenian Jakarta, 1978: 99). Rentaklah yang membangun suasana dan identitas tari Melayu. Rentak yang dikenal antara lain rentak Zapin, rentak Joget, rentak Ghazal, rentak Melayu, rentak Mak Inang, rentak Nobat, dan sebagainya. Semua rentak di atas masih dapat dibagi dalam tiga garis besar, yaitu rentak cepat, rentak sedang, dan rentak lambat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.t.: 124). Dalam Lokakarya Tari Melayu tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta telah disepakati klasifikasi tari Melayu atas dasar rentak Senandung, rentak Mak Inang dengan variasi Cik Minah Sayang, dan rentak Lagu Dua dengan variasi Pulau Sari (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 99). Tengku Luckman Sinar (1982) dalam tulisannya menjelaskan rentak-rentak tersebut sebagai berikut.
Pertama, tari Lagu Senandung, berirama pelan dengan nyanyian dan pantun nasib yang merayu-rayu yang dibawakan oleh penari. Peralatan musik yang digunakan adalah biola atau akordeon, dua buah gendang ronggeng bulat satu sisi yang terdiri dari induk dan anak, dan sebuah gong atau tawak-tawak. Irama senandung ini khas Melayu dan sudah ada dalam Makyong yang masuk ke tanah Melayu pada abad ke-16. Dalam rentak Senandung lebih diutamakan gerakan tangan dan jari yang lemah gemulai daripada gerakan kaki.
Kedua, tari Lenggang Mak Inang, dilakukan dengan tempo dan lagu yang dinyanyikan dalam empat baris chorus. Gerak lenggang tangan yang lemah gemulai dikembangkan dengan memegang saputangan atau selendang dan temponya dipercepat. Salah satu variasinya adalah lagu Cik Minah Sayang.
Ketiga, tari Lagu Dua, dilakukan dengan irama 2/4 yang bernada gembira dengan pantun-pantun jenaka. Dalam tarian bertempo cepat ini gerakan kaki yang dihenjut-henjutkan dan agresif lebih diutamakan, terutama bagi laki-laki. Kadang-kadang langkah kaki berbunga (double step) seolah-olah tidak menjejak dan badan seperti melayang. Angkatan tangan sebatas pinggang hingga bahu. Salah satu variasi rentak Lagu Dua adalah Pulau Sari. Pulau Sari merupakan rentak Lagu Dua yang kecepatannya dilipatkan sehingga tidak pernah diiringi nyanyian lagi. Gerakan kaki penari yang meloncat-loncat ringan sangat diutamakan.
Uraian di atas adalah mengenai struktur tari Melayu jenis tandak/ronggeng yang sering dipentaskan sekarang sebagai tari pertunjukan, sedangkan bentuk tari ronggeng yang asli dilakukan oleh penari wanita dengan tamu lelaki yang datang membayar. Di Riau, tari ini dilakukan dengan urutan berikut (1) Pembukaan dengan lagu “Tuanku E Lenggang”; (2) Berjoget dengan iringan lagu “Serampang Laut”; (3) Ledah dengan memberi rokok keliling oleh penjoget dengan lagu “Cik Siti”; (4) Berjoget lagi; (5) Ekstra (selingan) dengan menonjolkan pertunjukan akrobatik; dan (6) Penutup dengan lagu “E Lenggang Penutup” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.t.: 124).
b. Penghayatan dan Isi
Tarian seorang penari di atas panggung merupakan wujud atau citra yang dinamis. Segala hal yang dilakukan seorang penari menghasilkan sesuatu yang aktual dan dapat diamati oleh penonton yang mempunyai hubungan tempat, waktu, gaya berat, tenaga, tata rupa, pengendalian otot, pengaturan cahaya, dan sebagainya. Namun, sebuah tarian dikatakan berhasil sebagai karya seni bila wujud fisik dalam pentas seakan-akan tidak ada. Semakin sempurna sebuah tarian, semakin sedikit aktualitas yang dapat ditangkap (Langer, 1957: 5–6).
Seorang penari yang baik sering dikatakan dapat menghidupkan sebuah tarian. Hal ini dapat dimengerti, karena wujud luar tarian yang diamati pada hakekatnya adalah perwujudan dari isi atau makna tarian. Kesan hidup tersebut dapat hadir dalam tarian, jika tarian tersebut berhasil menemukan bentuk seninya, yaitu jika pengalaman batin pencipta atau penarinya berhasil menyatu dengan pengalaman lahirnya.
Dalam seni, bentuk memang tidak hadir untuk kepentingan bentuk itu sendiri. Bentuk mengikuti fungsi dan sebaliknya, fungsi terikat pada bentuk. Kita ambil contoh bentuk tarian yang paling sederhana, yaitu sebuah lingkaran. Bentuk lingkaran mensugesti dan menyimbolkan aspek sosialisasi tari. Lingkaran merupakan bentuk yang mengikat sekelompok orang dan meleburkan pribadi-pribadi menjadi kelompok yang satu. Jadi, gerakan lingkaran yang dilakukan akan sangat lemah sebagai bentuk ekspresi jika tanpa penghayatan solidaritas atau rasa kebersamaan antarpenari.
Penari dikatakan berhasil menjiwai sebuah tarian jika mampu menghayati isi atau makna tarian yang dibawakan dan berhasil mengkomunikasikannya kepada penonton. Dalam tari Jawa, penghayatan ini disebut wirasa. Seorang penari tidak sama dengan seorang olahragawan yang hanya bergerak untuk kepentingan otot-otot atau untuk menang dalam sebuah permainan. Seorang penari harus mampu menghayati dan merasakan setiap gerak yang dilakukan.
Gerak tari Jawa yang ideal adalah semeleh, artinya semua gerak tari harus dilakukan dengan perasaan tenang dan tenteram tanpa ketegangan. Seorang penari Jawa yang tidak sabar dan selalu tergesa-gesa, jelas tidak akan dapat mencerminkan ideal kehidupan orang Jawa. Oleh karena itu, dulu tari Jawa dipakai sebagai sarana edukasi untuk mendidik generasi muda dalam hal sopan-santun dan tata-cara, tetapi, “Apakah nilai-nilai semacam itu masih dipertahankan oleh masyarakat sekarang?” Tentu hal ini masih harus diselidiki. Jika dalam tari Jawa garapan baru timbul suasana dan kualitas gerak yang lain, berarti tradisi Jawa hidup. Hal ini tentu harus dibuktikan lewat perjalanan waktu.
Dalam mengamati tari Melayu yang bagus, penulis merasa terbawa oleh gerakan penari yang melayang ringan bagaikan berselancar meniti aliran air, meloncat ringan bagaikan riak gelombang yang pecah membentur karangkarang kecil. Komposisinya berkembang dari tempo yang perlahan, merambat lebih cepat, dan mencapai klimaks kecepatan di akhir bagian.
Kualitas gerak untuk memperindah tari Melayu jenis Tandak dan Zapin sesungguhnya masih dapat dikembangkan dan diperluas, mengingat banyaknya jenis tari Melayu yang belum dijelajahi kualitas geraknya, seperti Silat, Makyong, Rodat, dan tarian istana yang memungkinkan untuk dibangkitkan kembali.
5. Masalah Penggarapan Dan Kemungkinan Di Masa Mendatang
Telah disebutkan di depan bahwa dari sekian banyak tari Melayu, yang telah digarap dan dikembangkan baru jenis tari Tandak/Ronggeng. Kita masih ingat akan tari Serampang XII yang dikenal luas hampir di seluruh pelosok Indonesia. Kepopuleran tari Serampang XII sebagai tari “nasional” di samping menimbulkan kebanggaan, ternyata juga menimbulkan kesulitan langkah pembinaan. Jenis-jenis tari Melayu lain yang juga potensial menjadi tersisih dan usaha penyebaran telah mengalahkan usaha pendalaman.
Dalam tari tradisi beberapa waktu silam, termasuk tradisi Melayu, terdapat kecenderungan yang menganggap pola sebagai ketentuan bentuk yang mutlak. Padahal penggarapan tari seharusnya berpola dari bahan yang lebih dasar daripada pola, yaitu mediumnya (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157). Medium tari adalah gerak dengan aspekaspeknya yang meliputi ruang, waktu, dan tenaga.
Tari tradisi seharusnya tidak diperlakukan sebagai warisan keramat yang tidak bisa diusik, melainkan sebagai kekayaan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Penggarapan tari Melayu baru bukannya tidak ada, karena tari Melayu baru tersebut juga tampil dalam Pekan Tari (Seni Pertunjukan) Rakyat Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahun sejak tahun 1977 dan dalam forum Pekan Penata Tari Muda Dewan Kesenian Jakarta.
Upaya untuk memperluas materi garap telah dilakukan oleh Jose Rizal Firdaus dalam menggarap Simpai Geri yang ditampilkan dalam Pekan Penata Tari Muda tahun 1984 dengan memanfaatkan gerakan tari Hadrah, Inai, Silat, Ahoi, Gubang, dan Sarah, tetapi penampilan dan penggarapan dari sudut estetika masih belum memuaskan. Hal ini tampak dari kesan dan tanggapan beberapa penonton. Nani Lubis dari Jakarta menanyakan ada tidaknya niat untuk memperbaiki teknik gerak para penari, sedangkan Bagindo Fahmi dari Padang berpendapat bahwa sebagai sebuah garapan, karya Jose Rizal Firdaus belum diolah dengan bumbu atau resep pilihan. Artinya, masih ada kekurangan dalam segi teknik dan estetika penggarapan (Dewan Kesenian Jakarta, 1985: 24–29).
Dua tahun sebelumnya, T. Sitta Syaritsa tampil di forum yang sama dengan menyajikan dramatari Putri Bungsu. Soenarto Timoer yang berasal dari Jawa Timur berkomentar bahwa ekspresi karakter dalam garapan Sitta belum terlihat. Tokoh pria yang diperankan wanita bergerak lemah gemulai, sehingga kurang mendukung karakterisasi. Lagipula penyusunan adegan terpotong-potong dan tidak menghadirkan garapan yang utuh (Murgiyanto (Ed.), 1982: 40).
Terlepas dari ketidaktahuan Soenarto bahwa T. Sitta Syaritsa menggarap dramatarinya berdasarkan Makyong yang hampir seluruh tokohnya dimainkan wanita, kekosongan tersebut terjadi karena dalam Makyong yang asli pada bagian yang terpotong tersebut diisi dialog. Dari pendapat di atas diketahui bahwa aspek penghayatan dan penggarapan Putri Bungsu belum berhasil. Barangkali karena terbiasa dengan tari-tari berdurasi pendek, seperti tari Senampang XII, maka usaha penggarapan tari berdurasi lebih panjang (30–45 menit) masih belum maksimal karena penggarap belum terbiasa.
Ketika menjadi pengamat dalam salah satu Pekan Tari Rakyat Tingkat Nasional, penulis gembira mengamati penampilan peserta Riau yang menggarap materi-materi tradisi daerahnya secara kreatif, tetapi penulis sempat terhenyak ketika melihat ragam gerak dari luar Riau diserap begitu saja. Memasukkan unsur-unsur dari luar daerah tentu bukan hal tabu, tetapi karena tidak terolah dengan baik, maka hasil yang ditampilkan tampak asing dan terpisah dari ragam Melayu. Dalam mengolah sebuah garapan sebenarnya harus memperhatikan tiga elemen dasar gerak yakni ruang, waktu, dan tenaga.
Menurut Murgiyanto (1977: 5–6), sebuah tarian tampak indah dan menarik, karena, pertama hubungan waktu ritmis, terdiri dari sekuen-sekuen gerak panjang dan pendek yang dikuatkan oleh aksen-aksen secukupnya; kedua pengaturan ruang sebuah sekuen gerak disusun atas unsur besar kecil, tinggi rendah, kanan kiri, dan muka belakang secara ritmis. Kombinasi berbagai arah ini dapat dilakukan oleh satu orang atau sekelompok penari dan tetap di tempat atau melintasi ruang, dan ketiga perubahan-perubahan penggunaan tenaga dalam tubuh penari, sehingga dinamika sebuah rangkaian gerak yang memberikan kontras antara menegang mengendur, aktif pasif, berat ringan, dan sebagainya akan tampak.
Walaupun unsur waktu, ruang, dan tenaga tersebut dapat ditampilkan secara lebih menarik, tetapi pada hakekatnya ketiganya tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun sederhananya sebuah gerak, ia akan tetap menggunakan ketiga unsur tersebut. Sebuah tarian yang digarap dengan jelas dan bersih akan memiliki daya pesona yang tinggi, baik bagi penonton awam maupun bagi para ahli tari.
Uraian di atas memberikan kesadaran kepada kita, betapa pentingnya mempelajari aspek penggarapan baru, di samping kewajiban untuk memperdalam pemahaman nilai-nilai tradisi sendiri. Dari sumber pustaka yang sangat terbatas diketahui bahwa tari-tarian istana Melayu di masa lalu menuntut ketekunan dan keterampilan teknis yang cukup tinggi. Para penari Ashek yang dipilih dari dara-dara di wilayah sebuah kerajaan, tinggal di istana tidak hanya untuk belajar menari, tetapi juga belajar tata-cara dan adat kraton. Mereka harus belajar kurang lebih empat tahun agar diizinkan menari di depan raja. Penari-penari istana yang lain, khususnya penari Joget yang pernah terkenal di istana Johor, Riau, dan Lingga konon menguasai lebih dari 30 macam tarian (Sheppard, t.t.: 83, 91).
Pelestarian dan pengembangan tari tradisi pada intinya harus berpijak pada ukuran kehidupan kesenian, dengan tetap menyadari adanya ukuran-ukuran lain. Dalam tari tradisi diperlukan kelanjutan yang bersifat kreatif serta mengandung unsur pembaharuan, keutuhan, dan kemantapan sesuai dengan jiwa masa kini (Dewan Kesenian Jakarta, 1975: 158).
Suhaimi bin Magi, seorang mahasiswa Malaysia ketika sedang belajar tari di Institut Kesenian Jakarta pernah menulis:
Tari-tarian Melayu yang kita kenal sekarang ini tidak lebih dari fotokopi dari tari-tarian sebelumnya. Gaya dan bentuk serupa tetap muncul tanpa kehadiran karya-karya baru yang bisa dibanggakan. Usaha-usaha yang dilakukan tidak bertujuan untuk melihat hasil yang sudah baik agar dapat menjadi lebih baik lagi (Magi, 1985: 7– 8).
Tulisan di atas mungkin terasa pahit, tetapi semoga dapat menjadi cambuk dalam melangkah agar lebih mantap. Pengolahan tari Melayu di Sumatera, Jakarta, maupun Malaysia menurutnya lamban jika dibandingkan dengan tari daerah lain seperti Minangkabau dan Aceh yang berkembang cukup pesat melalui tangan-tangan generasi muda. Padahal tari Melayu memiliki peluang untuk diolah dan dibentuk untuk menghadirkan karya-karya baru yang menambah kekayaan ekspresi dan bentuk-bentuk yang telah ada sebelumnya. Usaha semacam ini merupakan langkah yang harus diambil jika tari Melayu ingin meraih kegemilangannya kembali, seperti yang telah diraih pada tahun 1950-an. Sekarang kita dituntut untuk mampu berbicara dalam dua bahasa, yaitu bahasa ibu yang akrab dengan pengalaman batin kita dan bahasa nasional atau bahkan bahasa internasional yang memungkinkan kita untuk mengkomunikasikan pengalaman dan perasaan kita kepada seluruh bangsa di dunia.
Dalam usaha pembinaan, identitas tari daerah memang perlu dipelihara sebagai suatu perwujudan kenyataan kehidupan budaya daerah yang wajar, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh dari daerah lain atau bertambahnya karya-karya tari baru yang tidak memiliki ciri-ciri tradisi daerah yang bersangkutan. Katherine Kuh seperti yang dikutip Ellfeldt (1976: 131) mengatakan bahwa dalam kesenian memang tidak ada jawaban akhir, yang ada hanya pertanyaan terus-menerus yang membimbing kita ke arah pemahaman baru.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978/1979. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Riau. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Tari Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
–––––––––. T.t. Monografi Daerah Riau. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dewan Kesenian Jakarta. 1976. Festival Desember 1975. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
–––––––––. 1978. “Rumusan Lokakarya Tari Melayu” dalam Pesta Seni 1976. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Ellfeldt, L. 1976. Dance: From Magic to Art. Dubuque, Iowa: W.C. Brown.
Firdaus, J. R. 1985. “Penata Tari Muda 1984” dalam Simpai Geni. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Kuper, H. 1984. “Celebration of Growth and Kingship” dalam Art d`Afrique.
Langer, S. K. 1957. Problems of Art. New York: Charles Scribner`s Sons.
Mansur, T. N. A. t.t. Meninjau Beberapa Jenis Tari Melayu. Naskah lepas. Murgiyanto, S. 1977. “Cara Menilai Seorang Penari “.Kompas 19 Juli 1977, Jakarta.
–––––––––. 1983. Hasil Diskusi Penata Tari Muda. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Nikolais, A. 1956. “No Man From Mars” dalam The Modern Dance: Seven Statements of Belief. Connecticut: We Leyan Press.
Sheppard, M. 1972. Taman Indera. Kuala Lumpur. Oxford University Press.
Sinar, T. L. 1982. Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Melayu di Sumatera Timur. Makalah Pekan Penata Tari dan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta.
Snyder, A. F. 1984. Examining the Dance Event From A World Perspective. Ceramah di Grand Salon, Renwick Gallery.
Syaritsa, T. S. 1982. “Putri Bungsu: Sebuah Tari Melayu Kreasi Baru” dalam Penata Tari Muda 1982. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Thompson, R. F. 1974. African Art in Motion. Berkeley: University of California Press.
_________
Dr. Sal Murgiyanto, MA., lahir di Solo, Jawa Tengah, 27 Desember 1945. Ayahnya, R.M. Sukamto Kartotenoyo, adalah juru masak Istana Mangkunegaran, Surakarta dan pernah dikirim pihak Istana ke Negeri Belanda untuk belajar memasak. Ini salah satu pendorong Sal untuk berusaha mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri.
Selesai SMA tahun 1963, Sal beberapa kali pindah kuliah. Pertama di Fakultas Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada, hanya setahun (1963). Tahun 1964 sampai 1968 di Sekolah Tinggi Perkebunan dan di sini ia mendapat gelar sarjana muda (B.Sc.). Gelar Seniman Seni Tari ia peroleh di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Yogyakarta (1975). Seluruh biaya kuliahnya ditanggung dari kebolehannya menari. Ketika Sendratari Ramayana di panggung terbuka Candi Prambanan berjaya (1962-1972), Sal tercatat sebagai penari Hanoman –tokoh wayang yang sangat ia gemari sejak kecil. Pernah pula bersama grup tari Sardono W. Kusumo ia berkeliling Eropa mempertunjukkan Dongeng dari Dirah.
Keahliannya dalam menari menggerakkan Universitas Colorado jurusan tari dan teater memberinya beasiswa penuh, sampai ia meraih M.A. di tahun 1976. Perguruan tinggi di Los Angeles itu akhirnya mempercayai Sal menjadi pengajar tamu tahun 1984. Menjadi Asisten Pengajar AST (1970–1975), Purek Bidang Akademis Institut Kesenian Jakarta, dan Sekretaris I Dewan Kesenian Jakarta (1977–sekarang), dan menjadi dosen tamu Universitas California, AS (1984). Jabatan lain adalah sebagai Wakil Presiden Asian Dance Association (1983- 1984). Beberapa karya tulisnya antara lain, Koreografi, PMK dan P&K, (1980), Penata Tari Muda (ed), PT Harapan dan DKJ (1982), Seni Menata Tari, terjemahan Doris Humprey, DKJ (1983). Sedangkan karya koreografinya, antara lain, Damarwulan, Chandrakirana.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau
Penulis risau, karena bahan rujukan yang mendukung studi tari masih sangat langka, apalagi yang membahas tentang estetika tari Melayu. Padahal tari Melayu yang hidup dan berkembang sekarang, terutama tari Melayu Riau dan Sumatera Timur, memungkinkan untuk diolah dan dibentuk. Pengolahan dan pembentukan tersebut akan menambah kekayaan ekspresi dari bentuk-bentuk yang ada. Meskipun demikian, jatidiri tari daerah tetap perlu dipelihara sebagai perwujudan kehidupan budaya daerah. Di lain pihak, tari karya baru tidak perlu menutup diri dari pengaruh budaya luar.
1. Pendahuluan
Tari adalah salah satu sakaguru seni pertunujukan tradisi Indonesia. Tari yang merupakan cabang seni pertunjukan tertua lahir bersamaan dengan lahirnya kebudayaan manusia. Ironisnya, sebagai disiplin studi, tari justru merupakan disiplin yang paling muda.
Perguruan tinggi tari pertama di Indonesia adalah ASTI Yogyakarta (kini Jurusan Tari, Fakultas Kesenian, Institut Seni Indonesia) yang baru didirikan pada tahun 1963. Oleh karena itu, literatur yang mendukung studi tari masih sangat terbatas, apalagi yang membahas keindahan atau estetika tari-tari Melayu.
Berbeda dengan hasil karya seni rupa yang dapat dinikmati oleh pembuat dan peminatnya sepanjang mereka mau, maka tari hanya dapat dinikmati sekali saja pada saat dipergelarkan. Sebuah pertunjukan tari memang dapat diulangi, tetapi pergelaran ulang sesungguhnya tidak pernah sama dengan pergelaran sebelumnya. Baik suasana, kondisi penari, tempat pertunjukan, maupun waktunya. Karena alasan di atas, maka pembahasan ini didasarkan pada pengamatan terhadap tari-tari Melayu yang hidup dan berkembang hingga 1985, terutama yang tampil di kota Jakarta sejak tahun 1977.
Jenis-jenis tari yang diamati tidak terbatas pada tari-tari Melayu Riau dan Sumatera Utara yang disebut sebagai daerah asal dan pusat Budaya Melayu, tetapi juga kelompok Melayu dari Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, bahkan yang berasal dari Malaysia.
2. Estetika Dan Keindahan Seni
Perlu ditegaskan bahwa pembahasan akan dititikberatkan pada tari dalam fungsinya sebagai karya seni yang dihayati untuk mendapatkan pengalaman estetika dan bukan dalam fungsinya yang lain, seperti untuk upacara, hiburan, pergaulan, penerangan, pendidikan, dan lain-lain, karena istilah estetika secara universal hampir selalu diasosiasikan dengan karya seni, meskipun penghayatan keindahan bukan monopoli karya seni. Di bidang seni, estetika sering menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam.
Penilaian estetika seseorang dipengaruhi oleh ketajaman penghayatan, suasana emosional, kebebasan, selera, pengalaman, keleluasaan apresiasi, ide keindahan, kebenaran, kenikmatan, realitas, sistem nilai, dan rasa aman, karena nilai-nilai tradisi yang telah mapan dalam moral, agama, prinsip, politik, sosial, dan elemen-elemen magis mungkin tidak disadari adanya. Menurut Ellfeldt (1976: 136), estetika membahas tentang teori filosofis tanpa memberi rumus objektif atau bukti-bukti, yang sasarannya untuk membahas aspek-aspek nilai dari sebuah penghayatan.
Pembahasan yang menitikberatkan fungsi utama tari Melayu bukan berarti melupakan kaitan nilai-nilai keindahan tari dengan nilai-nilai budaya Melayu yang lain, karena pertama, sebuah karya seni tidak bertanggung jawab atas kualitas dan penerimaannya oleh penonton. Tanggung jawab ini dipikul oleh keadaan budaya asal karya tersebut. Karya seni bukan sebuah benda yang ditempelkan begitu saja kepada sekelompok masyarakat. Kedua, karya seni timbul dari kualitas yang menjadi ciri-ciri pokok dari masyarakat induknya. Jika masyarakat yang menghasilkan berantakan, maka karya seni yang dihasilkan akan mencerminkan gambaran di atas. Jika masyarakat yang menghasilkannya kokoh dan moralistik, maka keseniannya pun akan menggambarkan hal yang serupa (Nikolais, 1956: 74).
Hal ini menyebabkan Chairul Harun menyarankan untuk mengamati karya-karya tari Indonesia secara artistikantropologis. Saran tersebut didukung oleh pengamat tari lain. Pendekatan semacam ini memang tengah ramai dibicarakan, terutama di kalangan para ahli antropologi tari, seperti pernyataan berikut:
Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. Untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan dari kebudayaan lain dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984: 5).
3. Jenis-Jenis Tari Melayu
Pusat-pusat pemerintahan atau Kerajaan-kerajaan Melayu hampir seluruhnya terletak di tepi sungai atau di tepi pantai, dan sejak dulu orang Melayu ahli berdagang. Kedua hal ini menyebabkan kebudayaan Melayu terbuka terhadap pengaruh luar. Salah satu pengaruh besar yang kemudian meresap dalam bidang religi adalah pengaruh Arab-Islam. Pengaruh ini seakan-akan menghapus budaya Hindu dan Budha, sehingga budaya Hindu-Budha tinggal penghias dalam kebudayaan Melayu. Kesenian Zapin (Gambus), Kasidah, Rodat (Barodah), dan Zikir Barat adalah pengaruh dari kebudayaan Islam tersebut (Sinar, 1982: 3).
Jauh sebelum Islam masuk, hubungan Melayu dengan Siam sudah terbina cukup baik. Pengaruh Siam yang masuk melalui Kedah dan Perlis terlihat dalam bentuk pertunjukan Makyong, Menora, dan Mendu di wilayah Luhak Teluk Aru di Langkat dan di Kerajaan Deli Serdang. Pengaruh India, dalam hal ini Keling atau Tamil, India Selatan, terus berlanjut, sesudah Islam identik dengan Melayu. Pada akhir abad ke-19 pengaruh India ditandai dengan berkembangnya pertunjukan wayang Parsi, Bangsawan, dan sebagainya.
Selanjutnya T. Luckman Sinar (1982: 5–12) membagi tari-tarian Melayu dalam empat kelompok. Pertama, kelompok tari yang masih bersifat magis-religius. Tari dipimpin oleh pawang yang mengucapkan mantra-mantra tertentu, seperti yang dilakukan dalam upacara mengambil madu lebah, jamu laut, jamu bendang atau dalam tarian keliling sambil menginjak-injak padi (Ahot-ahot). Dalam pertunjukan Makyong, pawang mendapat bagian yang menghadap rebab. Kedua, kelompok tari perang. Tari yang termasuk jenis ini adalah tari silat dan tari pedang yang ditarikan oleh laki-laki dengan memakai senjata (pisau, keris, atau pedang). Tarian ini dilakukan untuk menyambut tamu penting atau untuk mengarak pengantin. Tari Inai dengan gerakan silat sambil memegang lilin yang ditarikan di depan pelaminan dalam “Malam Berinai Besar” termasuk dalam kelompok ini. Ketiga, tari pertunjukan. Tari ini dibedakan menjadi tari yang bersifat semireligius dan tari yang semata-mata bersifat hiburan. Barodah dan Zikir Barat yang menyanyikan syair pemujaan kepada Allah dan Rasullulah dalam bahasa Arab dan bersumber dari kitab Barzanzi masuk dalam tari semireligius. Adapun tari yang bersifat hiburan semata-mata yaitu Zapin. Keempat, kelompok tari-tari Ronggeng untuk menandak, antara lain tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, tari Pulau Sari, tari Patam-patam, dan Gubang. Tari Lagu Senandung, tari Lagu Dua, tari Lenggang Mak Inang/Cik Minah Sayang, dan tari Pulau Sari ini sering dilakukan dalam satu rangkaian dan disebut sebagai tari Melayu “empat serangkai”.
Dalam khazanah tari Melayu dikenal empat istilah yang berarti tari, yaitu tandak, yang menekankan pada langkahlangkah kaki; igal, yang menekankan pada gerakan-gerakan tubuh; liuk, yang menekankan pada gerakan merendahkan tubuh dan mengayunkan badan dan tangan seperti menggelai dan melayah; dan tari, yang ditandai dengan gerakan lengan, tangan, dan jari-jari yang lemah gemulai. Istilah tari juga digunakan untuk menyebut tari Melayu pada umumnya (Sheppard, 1972: 82).
Untuk Riau, kelompok tari pertama ditambah tari Mayang (Berasik) yang berfungsi untuk mengobati sakit menahun secara tradisional; tari Bandabus; tari Alu; tari Lukah; dan tari Topeng Binatang. Kelompok kedua ditambah tari Cecah Inai dan tari Olang-olang, sedangkan untuk golongan tari pertunjukan ditambah tarian istana, seperti tari Air Mawar yang dipakai untuk menyambut tamu-tamu penting dan tari Menjunjung Duli (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.t.: 123–25).
Menurut almarhum Tengku Nazly A. Mansur, dari beberapa jenis tari di atas, yang sudah digarap dan dikembangkan baru tari Tandak. Tari Tandak digarap dan dikembangkan oleh almarhum Sayuti dan almarhum Tengku Rajih Anwar pada tahun 1950-an. Tari ini kemudian melahirkan tari Serampang XII yang dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia. Walaupun masing-masing kelompok tari memiliki ciri khas, tetapi bagi yang menguasai tari Tandak dapat dengan mudah mempelajari jenis tari Melayu yang lain, sehingga tari Tandak memegang peran penting dalam tari Melayu (Mansur, t.t.). Semula, tari Tandak dimainkan oleh penari upahan dengan mengumpulkan uang sewa. Pada masa lalu tari ini menarik perhatian kalangan istana yang kemudian mengolahnya menjadi tari Joget.
4. Struktur Dan Estetika Tari Melayu
Dalam pembicaraan tentang estetika atau keindahan tari, jenis-jenis tari yang dilakukan sebagai pelepas kekuatan emosional dan fisikal tidak akan dibahas, karena dalam tingkat ini keperluan teknik gerak belum disadari. Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuitif. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam. Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia (Ellfeldt, 1976: 160).
Dalam Diskusi Tari Tradisi yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 1975, sejumlah ahli tari kita merumuskan pengertian dasar unsur estetika tari yang meliputi medium (bahan baku), penggarapan, isi, dan penyajian (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157).
a. Medium atau Bahan Baku
Medium atau bahan baku tari adalah gerak yang setiap hari kita lakukan. Berdasarkan fungsinya, gerak dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu gerak bermain yang dilakukan untuk kesenangan pelakunya, gerak bekerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil, dan gerak tari yang dilakukan untuk mengungkapkan pengalaman seseorang atau masyarakat agar dihayati secara estetika oleh penikmat atau penontonnya. Sebuah gerakan dinilai baik jika tujuan gerak tersebut dapat dipenuhi dengan efisiensi maksimal dengan usaha yang sekecil-kecilnya, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah dan terkendali tanpa gerak tambahan yang tidak perlu. Ellfeldt (1976: 136) menyebutkan bahwa yang melahirkan gerakan-gerakan yang gemulai, anggun, indah adalah pengendalian tenaga dalam melakukan gerak.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang hampir tidak pernah menganalisis keindahan gerak yang dilihatnya. Mereka lebih bereaksi dengan menyatakan kekaguman atau ketidaksenangannya tanpa penjelasan lebih jauh.
Teknik Gerak
Salah satu hal yang membuat kita dapat merasakan keindahan sebuah gerak tari adalah ketika pelakunya mampu menarikan dengan kekuatan, kelenturan, dan koordinasi yang sempurna, sehingga rasa gerak yang dilakukan merambat dan dirasakan oleh penonton. Kalau penari menggambarkan gerakan terbang, maka penonton pun seakanakan ikut terbang bersama penari.
Faktor pertama yang mempengaruhi estetika gerak tari adalah keterampilan atau kemahiran melaksanakan gerak. Penari Jawa menyebutnya wiraga dan dalam literatur Barat disebut teknik gerak atau teknik tari. Berbeda dengan gerakan dalam olahraga, gerakan tari bukan saja harus dilakukan secara benar, tetapi “bagaimana gerakan itu dilakukan” harus terpenuhi. Dengan kata lain, “kualitas” dan “gaya” dalam melakukan gerakan menjadi hal yang sangat penting.
Sebagaimana halnya tari tradisi lain, ada dua hal utama dalam membicarakan tari tradisi Melayu. Pertama, adanya pola-pola gerak yang menjadi dasar penyusunan tari. Kedua, adanya aturan dan konvensi yang menentukan pengaturan pola-pola yang membangun ragam-ragam gerak. Sebagai contoh, dalam tari Zapin dikenal ragam gerak alip, anak ayam patah, catuk, geliat, pecah lapan, pusing tengah, seribut, siku keluang, sut depan sut gantung, tahto, tongkah, dan lain-lain (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979: 239).
Teknik dalam tari tradisi dimaksudkan sebagai keterampilan mengkoordinasikan gerakan-gerakan tubuh untuk melakukan ragam gerak sesuai dengan aturan dan konvensi yang berlaku dalam tarian yang bersangkutan. Sebagai contoh, keterampilan penari zaman dulu diukur dari kemampuannya melakukan ragam gerak catuk. Diduga gerak ini diilhami dari cara ayam mencatuk makanan. Penilaian tersebut dilakukan dengan menyuruh dua penari pria menari dengan sebatang rokok pada masing-masing mulutnya. Seorang penari dengan rokok yang sudah menyala, penari lain dengan rokok yang belum menyala. Pada waktu membawakan ragam tari catuk, penari dengan rokok yang belum menyala harus menghidupkan rokoknya dengan jalan mencatukkan rokoknya ke rokok pasangannya. Mencatuk hanya boleh dilakukan sebanyak tiga kali dan apabila penari belum berhasil menghidupkan rokok di mulutnya, ia dianggap belum cukup terampil sebagai penari Zapin (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978/1979: 157).
Penilaian keindahan gerak tari tradisi sering dipengaruhi oleh faktor sosial, kesukuan, emosional, agama, dan kepercayaan setempat. Dalam menarikan tari Tandak dan tari Zapin misalnya, pasangan penari pria dan wanita bergerak berdekatan, tetapi tidak boleh saling bersentuhan. Dalam tari Melayu juga dibedakan gerak tari ideal pria dan tari wanita. Mansur (t.t.) berpendapat, penari wanita sebaiknya menonjolkan sikap badan dan gerakan yang lemah lembut, sedangkan penari pria dengan sikap badan dan gerakan yang gagah. Dalam Zapin, penari pria menari dengan tempo lebih cepat daripada gerak penari wanita.
Pengaturan Irama
Medium tari adalah gerak, sedangkan alat yang digerakkan adalah tubuh. Oleh karena itu, untuk dapat memahami tari, orang harus memahami bagaimana menggunakan “alat” tersebut. Esensi tari adalah integrasi tubuh dan jiwa, serta integrasi antara pengalaman batiniah dan pengalaman lahiriah secara konseptual dan estetika.
Proses sebuah tarian diawali dengan pengalaman jasmaniah yang secara naluriah mengatur dirinya secara ritmik. Dengan demikian pengaturan ritmik merupakan unsur pokok tari. Seorang penari harus mendengarkan bunyi gendang, dan bila benar-benar memperhatikan dan mendengarkan bunyi gendang, maka dalam dirinya akan hadir gema gendang dan baru dapat benar-benar menari (Thompson, 1974: 262; Snyder, 1974: 9).
Dalam berkata-kata kita memerlukan jeda/perhentian, cepat lambat, dan intonasi suara agar dapat menghadirkan kalimat yang bermakna. Dalam tari pun demikian juga. Gerak sebagai penyusun ragam tari dapat dihasilkan karena pengaturan irama cepat lambat, jeda/perhentian, awal pengembangan, dan klimaks dari tiga unsur gerak (ruang, waktu, dan tenaga). Pengaturan irama semacam ini sangat membantu penari dalam mengingat dan menghafalkan rangkaian gerak, sehingga penari dapat melakukannya dengan penghayatan maksimal. Pengaturan semacam ini juga memudahkan penonton dalam mengikuti dan memahami ungkapan-ungkapan gerak yang dilakukan penari. Seorang penari Jawa, di samping terampil gerak atau wiraga, juga harus menguasai wirama yang terkandung dalam gerak tari maupun irama musik pengiringnya.
Dalam tarian Melayu dikenal istilah rentak, yaitu motif irama (musik) tertentu yang mendasari motif gerak tertentu (Dewan Kesenian Jakarta, 1978: 99). Rentaklah yang membangun suasana dan identitas tari Melayu. Rentak yang dikenal antara lain rentak Zapin, rentak Joget, rentak Ghazal, rentak Melayu, rentak Mak Inang, rentak Nobat, dan sebagainya. Semua rentak di atas masih dapat dibagi dalam tiga garis besar, yaitu rentak cepat, rentak sedang, dan rentak lambat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.t.: 124). Dalam Lokakarya Tari Melayu tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta telah disepakati klasifikasi tari Melayu atas dasar rentak Senandung, rentak Mak Inang dengan variasi Cik Minah Sayang, dan rentak Lagu Dua dengan variasi Pulau Sari (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 99). Tengku Luckman Sinar (1982) dalam tulisannya menjelaskan rentak-rentak tersebut sebagai berikut.
Pertama, tari Lagu Senandung, berirama pelan dengan nyanyian dan pantun nasib yang merayu-rayu yang dibawakan oleh penari. Peralatan musik yang digunakan adalah biola atau akordeon, dua buah gendang ronggeng bulat satu sisi yang terdiri dari induk dan anak, dan sebuah gong atau tawak-tawak. Irama senandung ini khas Melayu dan sudah ada dalam Makyong yang masuk ke tanah Melayu pada abad ke-16. Dalam rentak Senandung lebih diutamakan gerakan tangan dan jari yang lemah gemulai daripada gerakan kaki.
Kedua, tari Lenggang Mak Inang, dilakukan dengan tempo dan lagu yang dinyanyikan dalam empat baris chorus. Gerak lenggang tangan yang lemah gemulai dikembangkan dengan memegang saputangan atau selendang dan temponya dipercepat. Salah satu variasinya adalah lagu Cik Minah Sayang.
Ketiga, tari Lagu Dua, dilakukan dengan irama 2/4 yang bernada gembira dengan pantun-pantun jenaka. Dalam tarian bertempo cepat ini gerakan kaki yang dihenjut-henjutkan dan agresif lebih diutamakan, terutama bagi laki-laki. Kadang-kadang langkah kaki berbunga (double step) seolah-olah tidak menjejak dan badan seperti melayang. Angkatan tangan sebatas pinggang hingga bahu. Salah satu variasi rentak Lagu Dua adalah Pulau Sari. Pulau Sari merupakan rentak Lagu Dua yang kecepatannya dilipatkan sehingga tidak pernah diiringi nyanyian lagi. Gerakan kaki penari yang meloncat-loncat ringan sangat diutamakan.
Uraian di atas adalah mengenai struktur tari Melayu jenis tandak/ronggeng yang sering dipentaskan sekarang sebagai tari pertunjukan, sedangkan bentuk tari ronggeng yang asli dilakukan oleh penari wanita dengan tamu lelaki yang datang membayar. Di Riau, tari ini dilakukan dengan urutan berikut (1) Pembukaan dengan lagu “Tuanku E Lenggang”; (2) Berjoget dengan iringan lagu “Serampang Laut”; (3) Ledah dengan memberi rokok keliling oleh penjoget dengan lagu “Cik Siti”; (4) Berjoget lagi; (5) Ekstra (selingan) dengan menonjolkan pertunjukan akrobatik; dan (6) Penutup dengan lagu “E Lenggang Penutup” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, t.t.: 124).
b. Penghayatan dan Isi
Tarian seorang penari di atas panggung merupakan wujud atau citra yang dinamis. Segala hal yang dilakukan seorang penari menghasilkan sesuatu yang aktual dan dapat diamati oleh penonton yang mempunyai hubungan tempat, waktu, gaya berat, tenaga, tata rupa, pengendalian otot, pengaturan cahaya, dan sebagainya. Namun, sebuah tarian dikatakan berhasil sebagai karya seni bila wujud fisik dalam pentas seakan-akan tidak ada. Semakin sempurna sebuah tarian, semakin sedikit aktualitas yang dapat ditangkap (Langer, 1957: 5–6).
Seorang penari yang baik sering dikatakan dapat menghidupkan sebuah tarian. Hal ini dapat dimengerti, karena wujud luar tarian yang diamati pada hakekatnya adalah perwujudan dari isi atau makna tarian. Kesan hidup tersebut dapat hadir dalam tarian, jika tarian tersebut berhasil menemukan bentuk seninya, yaitu jika pengalaman batin pencipta atau penarinya berhasil menyatu dengan pengalaman lahirnya.
Dalam seni, bentuk memang tidak hadir untuk kepentingan bentuk itu sendiri. Bentuk mengikuti fungsi dan sebaliknya, fungsi terikat pada bentuk. Kita ambil contoh bentuk tarian yang paling sederhana, yaitu sebuah lingkaran. Bentuk lingkaran mensugesti dan menyimbolkan aspek sosialisasi tari. Lingkaran merupakan bentuk yang mengikat sekelompok orang dan meleburkan pribadi-pribadi menjadi kelompok yang satu. Jadi, gerakan lingkaran yang dilakukan akan sangat lemah sebagai bentuk ekspresi jika tanpa penghayatan solidaritas atau rasa kebersamaan antarpenari.
Penari dikatakan berhasil menjiwai sebuah tarian jika mampu menghayati isi atau makna tarian yang dibawakan dan berhasil mengkomunikasikannya kepada penonton. Dalam tari Jawa, penghayatan ini disebut wirasa. Seorang penari tidak sama dengan seorang olahragawan yang hanya bergerak untuk kepentingan otot-otot atau untuk menang dalam sebuah permainan. Seorang penari harus mampu menghayati dan merasakan setiap gerak yang dilakukan.
Gerak tari Jawa yang ideal adalah semeleh, artinya semua gerak tari harus dilakukan dengan perasaan tenang dan tenteram tanpa ketegangan. Seorang penari Jawa yang tidak sabar dan selalu tergesa-gesa, jelas tidak akan dapat mencerminkan ideal kehidupan orang Jawa. Oleh karena itu, dulu tari Jawa dipakai sebagai sarana edukasi untuk mendidik generasi muda dalam hal sopan-santun dan tata-cara, tetapi, “Apakah nilai-nilai semacam itu masih dipertahankan oleh masyarakat sekarang?” Tentu hal ini masih harus diselidiki. Jika dalam tari Jawa garapan baru timbul suasana dan kualitas gerak yang lain, berarti tradisi Jawa hidup. Hal ini tentu harus dibuktikan lewat perjalanan waktu.
Dalam mengamati tari Melayu yang bagus, penulis merasa terbawa oleh gerakan penari yang melayang ringan bagaikan berselancar meniti aliran air, meloncat ringan bagaikan riak gelombang yang pecah membentur karangkarang kecil. Komposisinya berkembang dari tempo yang perlahan, merambat lebih cepat, dan mencapai klimaks kecepatan di akhir bagian.
Kualitas gerak untuk memperindah tari Melayu jenis Tandak dan Zapin sesungguhnya masih dapat dikembangkan dan diperluas, mengingat banyaknya jenis tari Melayu yang belum dijelajahi kualitas geraknya, seperti Silat, Makyong, Rodat, dan tarian istana yang memungkinkan untuk dibangkitkan kembali.
5. Masalah Penggarapan Dan Kemungkinan Di Masa Mendatang
Telah disebutkan di depan bahwa dari sekian banyak tari Melayu, yang telah digarap dan dikembangkan baru jenis tari Tandak/Ronggeng. Kita masih ingat akan tari Serampang XII yang dikenal luas hampir di seluruh pelosok Indonesia. Kepopuleran tari Serampang XII sebagai tari “nasional” di samping menimbulkan kebanggaan, ternyata juga menimbulkan kesulitan langkah pembinaan. Jenis-jenis tari Melayu lain yang juga potensial menjadi tersisih dan usaha penyebaran telah mengalahkan usaha pendalaman.
Dalam tari tradisi beberapa waktu silam, termasuk tradisi Melayu, terdapat kecenderungan yang menganggap pola sebagai ketentuan bentuk yang mutlak. Padahal penggarapan tari seharusnya berpola dari bahan yang lebih dasar daripada pola, yaitu mediumnya (Dewan Kesenian Jakarta, 1976: 157). Medium tari adalah gerak dengan aspekaspeknya yang meliputi ruang, waktu, dan tenaga.
Tari tradisi seharusnya tidak diperlakukan sebagai warisan keramat yang tidak bisa diusik, melainkan sebagai kekayaan yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Penggarapan tari Melayu baru bukannya tidak ada, karena tari Melayu baru tersebut juga tampil dalam Pekan Tari (Seni Pertunjukan) Rakyat Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahun sejak tahun 1977 dan dalam forum Pekan Penata Tari Muda Dewan Kesenian Jakarta.
Upaya untuk memperluas materi garap telah dilakukan oleh Jose Rizal Firdaus dalam menggarap Simpai Geri yang ditampilkan dalam Pekan Penata Tari Muda tahun 1984 dengan memanfaatkan gerakan tari Hadrah, Inai, Silat, Ahoi, Gubang, dan Sarah, tetapi penampilan dan penggarapan dari sudut estetika masih belum memuaskan. Hal ini tampak dari kesan dan tanggapan beberapa penonton. Nani Lubis dari Jakarta menanyakan ada tidaknya niat untuk memperbaiki teknik gerak para penari, sedangkan Bagindo Fahmi dari Padang berpendapat bahwa sebagai sebuah garapan, karya Jose Rizal Firdaus belum diolah dengan bumbu atau resep pilihan. Artinya, masih ada kekurangan dalam segi teknik dan estetika penggarapan (Dewan Kesenian Jakarta, 1985: 24–29).
Dua tahun sebelumnya, T. Sitta Syaritsa tampil di forum yang sama dengan menyajikan dramatari Putri Bungsu. Soenarto Timoer yang berasal dari Jawa Timur berkomentar bahwa ekspresi karakter dalam garapan Sitta belum terlihat. Tokoh pria yang diperankan wanita bergerak lemah gemulai, sehingga kurang mendukung karakterisasi. Lagipula penyusunan adegan terpotong-potong dan tidak menghadirkan garapan yang utuh (Murgiyanto (Ed.), 1982: 40).
Terlepas dari ketidaktahuan Soenarto bahwa T. Sitta Syaritsa menggarap dramatarinya berdasarkan Makyong yang hampir seluruh tokohnya dimainkan wanita, kekosongan tersebut terjadi karena dalam Makyong yang asli pada bagian yang terpotong tersebut diisi dialog. Dari pendapat di atas diketahui bahwa aspek penghayatan dan penggarapan Putri Bungsu belum berhasil. Barangkali karena terbiasa dengan tari-tari berdurasi pendek, seperti tari Senampang XII, maka usaha penggarapan tari berdurasi lebih panjang (30–45 menit) masih belum maksimal karena penggarap belum terbiasa.
Ketika menjadi pengamat dalam salah satu Pekan Tari Rakyat Tingkat Nasional, penulis gembira mengamati penampilan peserta Riau yang menggarap materi-materi tradisi daerahnya secara kreatif, tetapi penulis sempat terhenyak ketika melihat ragam gerak dari luar Riau diserap begitu saja. Memasukkan unsur-unsur dari luar daerah tentu bukan hal tabu, tetapi karena tidak terolah dengan baik, maka hasil yang ditampilkan tampak asing dan terpisah dari ragam Melayu. Dalam mengolah sebuah garapan sebenarnya harus memperhatikan tiga elemen dasar gerak yakni ruang, waktu, dan tenaga.
Menurut Murgiyanto (1977: 5–6), sebuah tarian tampak indah dan menarik, karena, pertama hubungan waktu ritmis, terdiri dari sekuen-sekuen gerak panjang dan pendek yang dikuatkan oleh aksen-aksen secukupnya; kedua pengaturan ruang sebuah sekuen gerak disusun atas unsur besar kecil, tinggi rendah, kanan kiri, dan muka belakang secara ritmis. Kombinasi berbagai arah ini dapat dilakukan oleh satu orang atau sekelompok penari dan tetap di tempat atau melintasi ruang, dan ketiga perubahan-perubahan penggunaan tenaga dalam tubuh penari, sehingga dinamika sebuah rangkaian gerak yang memberikan kontras antara menegang mengendur, aktif pasif, berat ringan, dan sebagainya akan tampak.
Walaupun unsur waktu, ruang, dan tenaga tersebut dapat ditampilkan secara lebih menarik, tetapi pada hakekatnya ketiganya tidak bisa dipisahkan. Bagaimanapun sederhananya sebuah gerak, ia akan tetap menggunakan ketiga unsur tersebut. Sebuah tarian yang digarap dengan jelas dan bersih akan memiliki daya pesona yang tinggi, baik bagi penonton awam maupun bagi para ahli tari.
Uraian di atas memberikan kesadaran kepada kita, betapa pentingnya mempelajari aspek penggarapan baru, di samping kewajiban untuk memperdalam pemahaman nilai-nilai tradisi sendiri. Dari sumber pustaka yang sangat terbatas diketahui bahwa tari-tarian istana Melayu di masa lalu menuntut ketekunan dan keterampilan teknis yang cukup tinggi. Para penari Ashek yang dipilih dari dara-dara di wilayah sebuah kerajaan, tinggal di istana tidak hanya untuk belajar menari, tetapi juga belajar tata-cara dan adat kraton. Mereka harus belajar kurang lebih empat tahun agar diizinkan menari di depan raja. Penari-penari istana yang lain, khususnya penari Joget yang pernah terkenal di istana Johor, Riau, dan Lingga konon menguasai lebih dari 30 macam tarian (Sheppard, t.t.: 83, 91).
Pelestarian dan pengembangan tari tradisi pada intinya harus berpijak pada ukuran kehidupan kesenian, dengan tetap menyadari adanya ukuran-ukuran lain. Dalam tari tradisi diperlukan kelanjutan yang bersifat kreatif serta mengandung unsur pembaharuan, keutuhan, dan kemantapan sesuai dengan jiwa masa kini (Dewan Kesenian Jakarta, 1975: 158).
Suhaimi bin Magi, seorang mahasiswa Malaysia ketika sedang belajar tari di Institut Kesenian Jakarta pernah menulis:
Tari-tarian Melayu yang kita kenal sekarang ini tidak lebih dari fotokopi dari tari-tarian sebelumnya. Gaya dan bentuk serupa tetap muncul tanpa kehadiran karya-karya baru yang bisa dibanggakan. Usaha-usaha yang dilakukan tidak bertujuan untuk melihat hasil yang sudah baik agar dapat menjadi lebih baik lagi (Magi, 1985: 7– 8).
Tulisan di atas mungkin terasa pahit, tetapi semoga dapat menjadi cambuk dalam melangkah agar lebih mantap. Pengolahan tari Melayu di Sumatera, Jakarta, maupun Malaysia menurutnya lamban jika dibandingkan dengan tari daerah lain seperti Minangkabau dan Aceh yang berkembang cukup pesat melalui tangan-tangan generasi muda. Padahal tari Melayu memiliki peluang untuk diolah dan dibentuk untuk menghadirkan karya-karya baru yang menambah kekayaan ekspresi dan bentuk-bentuk yang telah ada sebelumnya. Usaha semacam ini merupakan langkah yang harus diambil jika tari Melayu ingin meraih kegemilangannya kembali, seperti yang telah diraih pada tahun 1950-an. Sekarang kita dituntut untuk mampu berbicara dalam dua bahasa, yaitu bahasa ibu yang akrab dengan pengalaman batin kita dan bahasa nasional atau bahkan bahasa internasional yang memungkinkan kita untuk mengkomunikasikan pengalaman dan perasaan kita kepada seluruh bangsa di dunia.
Dalam usaha pembinaan, identitas tari daerah memang perlu dipelihara sebagai suatu perwujudan kenyataan kehidupan budaya daerah yang wajar, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh dari daerah lain atau bertambahnya karya-karya tari baru yang tidak memiliki ciri-ciri tradisi daerah yang bersangkutan. Katherine Kuh seperti yang dikutip Ellfeldt (1976: 131) mengatakan bahwa dalam kesenian memang tidak ada jawaban akhir, yang ada hanya pertanyaan terus-menerus yang membimbing kita ke arah pemahaman baru.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978/1979. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Riau. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Tari Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
–––––––––. T.t. Monografi Daerah Riau. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dewan Kesenian Jakarta. 1976. Festival Desember 1975. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
–––––––––. 1978. “Rumusan Lokakarya Tari Melayu” dalam Pesta Seni 1976. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Ellfeldt, L. 1976. Dance: From Magic to Art. Dubuque, Iowa: W.C. Brown.
Firdaus, J. R. 1985. “Penata Tari Muda 1984” dalam Simpai Geni. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Kuper, H. 1984. “Celebration of Growth and Kingship” dalam Art d`Afrique.
Langer, S. K. 1957. Problems of Art. New York: Charles Scribner`s Sons.
Mansur, T. N. A. t.t. Meninjau Beberapa Jenis Tari Melayu. Naskah lepas. Murgiyanto, S. 1977. “Cara Menilai Seorang Penari “.Kompas 19 Juli 1977, Jakarta.
–––––––––. 1983. Hasil Diskusi Penata Tari Muda. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Nikolais, A. 1956. “No Man From Mars” dalam The Modern Dance: Seven Statements of Belief. Connecticut: We Leyan Press.
Sheppard, M. 1972. Taman Indera. Kuala Lumpur. Oxford University Press.
Sinar, T. L. 1982. Latar Belakang Sejarah dan Perkembangan Seni Tari Melayu di Sumatera Timur. Makalah Pekan Penata Tari dan Komponis Muda Dewan Kesenian Jakarta.
Snyder, A. F. 1984. Examining the Dance Event From A World Perspective. Ceramah di Grand Salon, Renwick Gallery.
Syaritsa, T. S. 1982. “Putri Bungsu: Sebuah Tari Melayu Kreasi Baru” dalam Penata Tari Muda 1982. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Thompson, R. F. 1974. African Art in Motion. Berkeley: University of California Press.
_________
Dr. Sal Murgiyanto, MA., lahir di Solo, Jawa Tengah, 27 Desember 1945. Ayahnya, R.M. Sukamto Kartotenoyo, adalah juru masak Istana Mangkunegaran, Surakarta dan pernah dikirim pihak Istana ke Negeri Belanda untuk belajar memasak. Ini salah satu pendorong Sal untuk berusaha mendapatkan kesempatan belajar di luar negeri.
Selesai SMA tahun 1963, Sal beberapa kali pindah kuliah. Pertama di Fakultas Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada, hanya setahun (1963). Tahun 1964 sampai 1968 di Sekolah Tinggi Perkebunan dan di sini ia mendapat gelar sarjana muda (B.Sc.). Gelar Seniman Seni Tari ia peroleh di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Yogyakarta (1975). Seluruh biaya kuliahnya ditanggung dari kebolehannya menari. Ketika Sendratari Ramayana di panggung terbuka Candi Prambanan berjaya (1962-1972), Sal tercatat sebagai penari Hanoman –tokoh wayang yang sangat ia gemari sejak kecil. Pernah pula bersama grup tari Sardono W. Kusumo ia berkeliling Eropa mempertunjukkan Dongeng dari Dirah.
Keahliannya dalam menari menggerakkan Universitas Colorado jurusan tari dan teater memberinya beasiswa penuh, sampai ia meraih M.A. di tahun 1976. Perguruan tinggi di Los Angeles itu akhirnya mempercayai Sal menjadi pengajar tamu tahun 1984. Menjadi Asisten Pengajar AST (1970–1975), Purek Bidang Akademis Institut Kesenian Jakarta, dan Sekretaris I Dewan Kesenian Jakarta (1977–sekarang), dan menjadi dosen tamu Universitas California, AS (1984). Jabatan lain adalah sebagai Wakil Presiden Asian Dance Association (1983- 1984). Beberapa karya tulisnya antara lain, Koreografi, PMK dan P&K, (1980), Penata Tari Muda (ed), PT Harapan dan DKJ (1982), Seni Menata Tari, terjemahan Doris Humprey, DKJ (1983). Sedangkan karya koreografinya, antara lain, Damarwulan, Chandrakirana.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau