Seni Resitasi Madihin : Profil Pentas Seni Sastra Lisan Tradisional Banjar Abstak

Salah satu seni tradisional masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan yang cukup digemari adalah Madihin. Terkait itu, Tulisan ini dapat dianggap sebagai sebuah upaya awal mengindentifikasi madihin sebagai seni resitasi. Upaya itu dilakukan dengan mendeskripsikan madihin berdasarkan studi literatur dan pengetahuan yang diperoleh melalui penyaksian tampilan seni ini. Cara yang ditempuh juga dengan membandingkannya dengan seni resitasi dari daerah lain yang sudah ditetapkan sebagai seni resitasi Hasilnya untuk sementara dapatlah ditetapkan bahwa madihin dapat dikatagorikan sebagai salah satu bentuk dari cabang seni pertunjukan yang disebut resitasi itu.

Pengantar
Dr. R.M. Soedarsono (1985), guru besar bidang Seni Petunjukan, mengelompokan seni pertunjukan (performing art) di Indonesia ke dalam empat cabang, yaitu musik, tari, teater, dan resitasi. Dalam kedudukan akademiknya cabang seni resitasi lebih menjadi pusat perhatian disiplin sastra. Dengan demikian, maka seni pertunjukan dan sastra sesungguhnya mempunyai keterkaitan. Tulisan berikut ini mencoba endeskripsikan secara sederhana mengenai salah satu bentuk seni resitasi masyarakat Banjar Kalimantan Selatan, yaitu “madihin”.

Selintas Pemahaman Konseptual
Sebenarnya penetapan madihin sebagai salah satu bentuk seni resitasi di sini agak tergesa-gesa. Keterbatasan penguasaan konseptual mengenai seni resitasi dan kedalaman memahami madihin merupakan kelemahan dari cara penetapan itu. Ditambah lagi belum satu referensipun ditemukan yang menyatakan madihin sebagai bentuk seni resitasi. Pada garis besarnya seni resitasi merupakan bentuk sastra lisan yang dipentaskan. Mencermati bahwa bentuk-bentuk seni resitasi (yang masuk katagori ini) seperti bakaba atau saluang dari masyarakat Minangkabau, dan sinrilik dari masyarakat Makassar, terdapat kemiripan dengan seni madihin pada masyarakat Banjar. Terutama saluang dan sinrilik sebagaimana telah diidentifikasi para ahli dinyatakan sebagai bentuk seni resitasi, yaitu seni yang ditampilkan di hadapan peminat (penonton) dengan menggunakan instrumen tunggal (sejenis), maka begitu pula dengan madihin.

Jika isi cerita berasal dari bentuk pantun, syair, puisi ataupun prosa pada saluang dilagukan dengan diiringi instrumen sejenis yaitu suling, dan pada sinrilik dengan instrumen berupa rebab (keso-keso), maka pada madihin instrumen yang digunakan sebagai pengiring cerita yang dilagukan adalah terbang. Terbang yang digunakan pada madihin berbeda, yakni berukuran relatif besar, dari terbang yang biasa digunakan pada seni rebana atau hadrah yang sudah lazim dikenal masyarakat Indonesia.

Madihin merupakan sastra lisan tradisional, yang hingga dewasa ini masih sangat diminati masyarakat Banjar, dan nampaknya masih akan mampu bertahan di dalam arus perkembangan zaman. Sastra lisan atau tutur yang dilagukan dengan iringan instrumen terbang ini belum dapat diketahui secara pasti kapan mulai terwujud dan digandrungi masyarakatnya. Selama ini belum ada yang menyatakan secara tegas dan dapat dipercaya kapan madihin muncul. Hal ini sama sulitnya untuk mengetahui dan dimulai dari golongan mana pada masyarakat Banjar seni madihin diperkenalkan dan diterima.

Seni pertunjukan secara konseptual merupakan seni yang ditampilkan di hadapan penikmat atau penonton, yang oleh karenanya berarti dibatasi oleh ruang dan waktu. Madihin sebagai salah satu bentuk seni resitasi bagian dari seni pertunjukan, berarti pula dibatasi oleh kedua unsur itu. Jadi, madihin berdasarkan ‘performing time‘, terbatas sebagaimana bentuk-bentuk seni pertunjukan lainnya, sehingga merupakan ‘seni sesaat‘.

Madihin sebagai karya sastra lisan yang dipentaskan, mempunyai fungsi sebagai penyajian estetis (tontonan) yang dinikmati penonton, karena itu dapat juga dikatakan bahwa madihin adalah seni presentasi (art of presentation), yakni seni yang ipresentasikan atau disajikan untuk ditonton. Dalam kaitan ini, madihin sesungguhnya berfungsi menciptakan dan meneruskan makna dari kehidupan masyarakat dalam bentuk-bentuk imajinatif, serta meneruskan adat-kebiasaan mendramatisasikan maknanya, sehingga mengajar manusia bertindak. Madihin di sini berfungsi mengkomunikasikan substansi cerita yang dituturkan kepada penonton, yang darinya itu dipersatukan pengalaman-pengalaman praktis, sosial, dan pendidikan sebagai kesatuan harmonis dari bentuk estetis.

Madihin sebagai karya sastra dalam bentuk penuturan (simbol verbal), mempunyai beberapa peranan, di antaranya sebagai “cara pemahaman” (mode of comprehension), “cara perhubungan” (mode of communication), dan “cara penciptaan” (mode of creation). Menurut Kuntowijoyo, bahwa “obyek karya sastra adalah realitas –apapun juga yang dimaksud dengan realitas oleh pengarang”. Dalam hal ini misalnya: a) mencoba menterjemahkan peristiwa dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa menurut kadar kemampuan pengarang; b) karya sastra dapat menjadi sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa; dan c) penciptaan kembali terhadap suatu peristiwa menurut pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Pada dasarnya pengarang atau seniman madihin atau pamadihin(-an), yaitu pencipta sekaligus pelaku, menciptakan bentuk yang memungkinkan partisipasi dalam kehidupan masyarakat. “Partisipasi memerlukan komunikasi dan komunikasi itu memerlukan bentuk-bentuk ekspresi”, demikian Sartono Kartodirdjo menyatakan.

Sastra Lisan Tradisional Madihin
Beberapa tokoh pemerhati madihin dari kalangan masyarakat Banjar seperti Saberi Mat‘alie (1977), Syamsiar Seman (1981) dan Saperi Kadir (1992) telah mencoba secara etimologi menjelaskan tentang asal kata dan pengertian madihin. Pendapat pertama misalnya, yang penjelasannya digali dari beberapa seniman madihin, menyatakan bahwa madihin berasal dari kata papadahan atau mamadahi dalam bahasa Banjar yang mengandung pengertian ‘memberi suatu nasihat‘. Kedua kata itu agaknya dianggap mendekatai kata madihin yang diperkirakan akibat perubahahan pengucapan kata, hal yang lazim berlaku dalam bahasa Banjar baik karena disengaja ataupun akibat pengaruh logat (dialek) yang berasal dari daerah-daerah pengguna bahasa itu. Esensi seni madihin itu sendiri juga memang mengandung pengertian memberikan nasihat melalui simbol verbal atau sindirian-sindiran yang humoris.

Pendapat yang lain menyatakan bahwa madihin sebenarnya diserap dari kata ‘madah‘ dlam bahasa Melayu atau Indonesia Lama. Kata ‘madah‘ di situ berarti ‘puji-pujian‘, atau kata-kata dalam karya sastra yang berisi pujian-pujian. Kata ini bila ditambahkan awalan ber-, yaitu ‘ber-madah‘ bisa juga berarti ‘berkata‘ atau ‘bertutur‘. Seniman madihin, Utuh Sahiban, yang dikutip Syamsiar Seman (1981), menyatakan bahwa madihin berasal dari kata madihan yang diserap dari perubahan pengucapan kata madah itu. Apabila kata ‘madah‘ yang dijadikan dasar seni madihin ada benarnya, maka sekaligus kemudian bisa dicoba untuk dapat menerangkan lebih jauh kapan sesungguhnya madihin sebagai bentuk seni resitasi atau sastra lisan mulai muncul dan diterima di kalangan masyarakat Banjar.

Kata ‘madah‘ sebagaimana telah dikemukakan berasal dari kata Melayu yang merujuk pada kaitannya dengan kesusastraan Melayu Lama berasal dari Semenanjung Malaka. Memperhatikan instrumen yang digunakan pada seni madihin, yaitu terbang adalah alat yang biasa digunakan oleh orang-orang Melayu di Malaka untuk mengiringi syair-syair Melayu. Diduga kehadiran instrumen terbang itu berasal dari pengaruh seni Islam., dan bila lebih dicermati lagi dari bentuk serta cara menggunakannya, mirip pula dengan yang biasa digunakan di India.

Besar kemungkinannya bahwa seni madihin yang berkembang pada masyarakat Banjar ini diserap dari seni kesusastraan Melayu di Malaka yang telah mendapat polesan pengaruh seni Islam. Penyerapan ini diperkirakan terjadi pada saat Islam telah menyebar dan berakar di kalangan masyarakat Banjar ketika Kerajaan Banjarmasin telah berdiri, yaitu sejak pertengahan Abad XVI. Meskipun demikian, ini baru merupakan dugaan cikal bakal dari apa yang disebut madihin oleh Orang Banjar, sebab pada dasarnya belum ada bukti-bukti otentik misalnya literatur atau naskah kuno yang menyebutkan atau menjelaskan tentang seni madihin.

Sumber dari sebuah “buku tua” kita dapatkan informasi yang sangat singkat. Buku dimaksud adalah karya Amir Hasan Kiai Bondan yang naskahnya sudah ia persiapkan sejak tahun 1925 namun baru diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1953. Pengarangnya sendiri lahir pada tanggal 10 Februari 1882 di Marabahan Kalimantan Selatan. Itu berarti dari tahun kelahirannya telah 22 tahun Kerajaan Banjarmasin dibubarkan, tepatnya 11 Juni 1860. Waktu yang terbilang relatif tidak terlalu lama untuk usia sebuah zaman.

Karya itu sangat penting sebab memuat informasi berbagai hal, termasuk mengenai masalah macam-macam seni budaya, khususnya kesusatraan masyarakat Banjar atau Kalimantan pada umumnya. Akan tetapi, entah mengapa mengenai seni madihin hanya disebut dalam satu kalimat kemudian diikuti contoh isi syairnya. Meski amat singkat, kita dapat mengetahui bahwa oleh Bondan, madihin dikatagorikannya sebagai bentuk seni kesusatraan. Kecuali itu ia menyebut ‘nyanyi madihin‘ sebagai nyanyian yang lazim dilagukan orang untuk pembukaan dari suatu acara.

Apakah tiadanya penjelasan rinci itu dapat dikatakan bahwa madihin belum populer benar ketika itu? Artinya, pada masa hidupnya madihin masih terbilang sebuah seni yang baru, belum menjadi kegandrungan masyarakat. Informasi yang berkaitan dengan berbagai hal mengenai kesustraan cukup detail dan menarik disampaikan oleh Bondan. Bondan misalnya menyatakan bahwa seni, maksudnya seni suara, di daerah Kerajaan Banjar mendapatkan perhatian agak teratur ketika pemerintahan dipegang Sultan Rakhmatillah pada tahun 1620-an. Sayangnya sesudah itu kesenian kembali kurang diperhatikan sehingga berkembang tidak sebagaimana diharapkan. Lama sesudahnya baru tampak hidup kembali ketika Pangeran Hidayatullah, seorang mangkubumi, pada pertengahan Abad XIX menaruh perhatiannya dengan mencoba memasukan unsur-unsur seni dari luar, terutama berasal dari Jawa dan Tanah Melayu. Dari keterangan ini kita sulit menentukan apakah seni madihin sudah ada sejak Abad XVII atau baru dimulai pada Abad XIX atau bahkan baru pada akhir Abad XIX.

Yang menarik, Bondan dengan jelas menyatakan salah satu seni suara yang dikembangakan atau dibina oleh mangkubumi itu adalah seni ‘dundam‘. Mencermati penjelasannya mengenai seni ini mirip sekali dengan apa yang kita pahami dengan seni madihin sebagaimana yang dikenal sampai saat ini. Jadi, meskipun ia tidak menjelaskan secara detail mengenai madihin dan tidak pula mengaitkannya dengan seni dundam namun sulit menunjukan seandainya antara keduanya ada perbedaan.

Menurutnya, dundam adalah salah satu seni yang berkembang dan digemari oleh masyarakat Banjar. Tentu ini jelas yakni setidaknya sejak zaman Pangeran Hidayatullah sampai semasa hidupnya Amir Hasan Kiai Bondan. Dundam merupakan cerita bentuk pantun atau syair yang dilagukan dengan iringan instrumen berupa terbang besar yang ditabuh sendiri oleh orang yang berdundam. Dari sisi ini tidak terlihat sama sekali perbedaanya dengan madihin. Isi cerita (pantun atau syair) yang dikemukakan senantiasa disesuaikan dengan acara yang dihajatkan oleh penyelenggara. Dengan kata lain, bahwa tuturan yang disampaikan dengan berlagu itu disesuaikan dengan acara yang sedang diselenggarakan. Hal yang juga sama dengan madihin. Begitu pun dengan penjelasannya bahwa seni dundam lazimnya tampil misalnya untuk acara-acara seperti perkawinan, perjamuan, selamatan (syukuran), khitan, kelahiran dan sebagainya.

Sampai di situ, penulis berkesimpulan bahwa seni dundam tidak lain juga adalah seni madihin. Sampai sejauh ini penulis tidak mendapatkan informasi dari para pakar seni (kesusastraan) daerah Banjar apakah ada perbedaan antara keduanya itu. Yang jelas di sini penulis hanya bersandarkan sepenuhnya pada penjelasan atau informasi dari Amir Hasan Kiai Bondan itu saja. Akan tetapi, yang menarik Bondan mengatakan bahwa dundam adalah seni bentuk lama yang kemudian dikembangkan oleh Pangeran Hidayatullah. Tarohlah bahwa kedua seni itu sama saja maka artinya, apakah disebut dundam ataupun madihin, sudah muncul jauh sebelum zaman Pangeran Hidayatullah, cuma tetap saja tidak dapat kita pastikan tapatnya.

Kalau pun mau ditetapkan juga, barangkali yang paling relevan dan logis adalah dikaitkan dengan saat terbentuknya Kerajaan Banjarmasin, sebab Bondan menyaakan seni itu terpengaruh unsur islam. Jika alasan ini dpat diterima maka paling tidak seni madahin munculnya diperkirakan sejak pertengahan Abad XVI.

Instrumen Madihin
Instrumen yang digunakan pada kesenian madihin berupa perkusi yang disebut terbang. Instrumen ini dibuat khusus untuk membawakan madihin (bamadihin), sehingga mempunyai bentuk, cara penggunaan, dan mengeluarkan bnyi agak berbeda dari terbang yang biasa digunakan di dalam kesenian rebana, hadrah maupun sinoman.

Terbang madihin dibuat dari bahan-bahan seperti kayu nangka, jingah atau rajawali untuk badan terbang (kerongkong); kulit kambing untuk selaput (membrane) sumber bunyi bila ditabuh; pasak dari kayu atau bambu; rotan dan latung (belatung), atau bisa juga dari lempengan tembaga atau jenis metal lainnya untuk penguat dan mengencangkan kulit selaput terbang. Ukuran garis tengah lingkaran pada permukaan terbang yang ditutupi kulit sekitar 35 sampai 45 cm, sedangkan garis tengah lingkaran bagian belakang (bawah) lebih kecil, dan tinggi badan terbang sekitar 27 cm. Ketebalan rata-rata kerangka badan (kerongkong) terbang sekitar tidak lebih dari dua sentimeter. Spesifikasi terbang semacam ini cukup berat bila hendak dimainkan secara berdiri sebagaimana pada rabana atau hadrah. Oleh karena itu, memainkan atau menggunakan instrumen ini dengan cara dipangku oleh si seniman (pamadihin). Barangkali karena beratnya itu dan juga besarnya, Bondan mengatakan, untuk paling tidak pada masanya, “bila wanita yang berdundam tidak menggunakan terbang”.

Instrumen pada seni madihin memang relatif sangat sederhana, begitu pun perlengkapan maupun aksesoris lainnya pada saat madihin dipentaskan. Kekuatan seni ini sesungguhnya terletak pada kemampuan senimannya dalam mengekspresikan fenomena sehari-hari yang disesuaikan dengan acara atau situasi pada saat dipentaskan. Pakaian yang digunakan pamadihin biasanya pakaian daerah Adat Banjar, dan ini pun bukan sebagai suatu keharusan. Kesederhanaan seni ini juga tampak pada saat penampilannya yang tidak perlu banyak gerak. Gerakan hanya seperlunya dan gerakan lebih banyak karena proses menabuh terbang. Pamadihin cukup duduk di kursi, atau bahkan di lantai, dengan posisi memangku terbang kemudian melantunkan cerita yang telah dipersiapkan secara garis besarnya dengan diiringi suara tabuhan terbang yang ia lakukan sendiri.

Struktur Pentas Madihin
Madihin dipentaskan bisa dilakukan oleh seorang pamadihin di hadapan penonton atau penikmatnya, namun biasanya dilakukan pasangan (dua orang), dan terkadang bisa juga dilakukan oleh dua pasang (empat orang) sekaligus tampil dalam satu kali acara pentas. Pda pementasan yang menampilkan dua pasang pamadihin, biasanya seolah-olah antara pasangan yang satu dan pasangan yang lain mealkukan ‘jual beli‘ cerita yang dilantunkan. Hal yang terakhir ini sudah jarang dilaksanakan, yang sering ditampilkan sekarang ini adalah madihin dengan dua orang pelaku (sepasang). Pasangan pamadihin tidak tergantung pada jenis kelamin seperti terdiri dari satu pria dan satu wanita, Pamadihin yangberpasangan bisas saja terdiri dari dua orang pria atau dua orang wanita, tetapi seingkali memang selalu dalam pasangan pria dan wanita.

Masing-masing pamadihin selalu tampil dengan terbangnya, maksudnya bahwa seorang pamadihin berarti sekaligus yang melagukan cerita dan memainkan (menabuh) alat terbang yang digunakan. Irama lagu madihin, karena cukup populer di kalangan masyarakat Banjar, dalam perkembangannya terutama sejak tahun 1970-an, biasa pula dibawakan oleh seorang penyanyi dengan diiringi musik orkes dangdut atau band. Meskipun demikian tidaklah dengan sendirinya bahwa penyanyi itu disebut pamadihin. Jadi, yang diserap dari madihin adalah irama lagu madihin, tetapi bisa saja pula cerita yang didendangkan sama dengan unsur-unsur esensial yang ada pada madihin yang sebenarnya.

Satu paket pementasan madihin biasanya memerlukan waktu antara satu hingga dua jam, namun hal ini realtif karena bisa juga kurang atau lebih dari lama waktu itu. Madihin yang ditampilkan bersama pementasan seni lain biasanya tidak lebih dari satu jam, sedangkan pada irama lagu madihin yang ditampilkan oleh seorang penyanyi atau band, paling lama 10 menit, karena di sini memang dimaksudkan sebagai selingan atau untuk lebih menarik perhatian penonoton.

Dalam satu paket pentas seni madihin, sebagaimana dapat dipahami dari uraian terdahulu adalah suatu bentuk seni resitasi yang sangat sederhana dalam segala segi, ditampilkan di hadapan penonton sehingga karenanya perlu pula waktu dan ruang. Kesederhanaan juga dengan sendirinya dari segi tata ruang dan perlengkapan yang diperlukan. Tata ruang untuk tempat pentas seni madihin, dapat pula berupa panggung, tidak perlu banyak perlengkapan atau aksesoris. Pamadihin hanya perlu kursi untuk duduk memangku terbangnya, dan dengan begitu ia sudah dapat tampil menunjukan kepiawaiannya dalam bermadihin.

Madihin, dengan ciri kesederhanaannya yang sangat menonjol sebagai bentuk seni pertunjukan (kesenian) rakyat, ternyata masih berlangsung hingga sekarang. Kalaupun terjadi sofistikasi (kecanggihan), sebagaimana pendapat Djoko Suryo et al., dalam mengamati seni pertunjukan rakyat, bukanlah pada segi penggarapannya melainkan hanya pada citra lahiriahnya saja. Tampaknya pada seni madihin berlaku juga pendapat tersebut, kalaupun ada perubahan pada seni ini masih dalam hal yang sangat terbatas. Begitu pula kalaupun ada hal yang hilang itu pun masih dalam batas yang wajar.

Pada tahap pertama ketika pamadihin akan tampil, menurut Ismail Jumberi (1977), biasanya dihidupkan parapin (perapian) dengan ditaburi kemenyan dan dupa. Hal ini barangkali berlaku ketika madihin baru berkembang atau pada saat ini masih untuk di daerah-daerah perdesaan. Kalaupun pendapat Ismail Jumberi itu benar, mungkin bukan terletak pada kaitannya secara langsung dengan seni madihin, melainkan pada acara atau upacara inti yang dihajatkan oleh penyelenggara. Jadi penghidupan perapian di sini sebenarnya sebagai persyaratan bagi upacara misalnya khitan, kelahiran, perkawinan, yang kebetulan diiringi dengan acara bamadihinan.

Tahapan beikutnya yang merupakan penampilan utuh seni madihin pada saat dipentaskan adalah:

a. Pembukaan, dalam hal ini terdapat beberapa versi, yaitu ada yang dimulai dengan penabuhan terbang oleh pamadihin dengan irama tertentu yang khas, sebagai tanda bahwa madihin akan segera dimulai. Penabuhan terbang ini hanya berlangsung sebentar kemudian berhenti dan dilanjutkan dengan komentar oleh pamadihin yang biasanya berisikan perkenalan diri, ucapan selamat datang dan bertemu kepada penonton maupun kepada penyelenggara atau yang mempunyai hajat terhadap acara atau uapcara yang dilangsungkan. Biasanya apabila acara lebih untuk tujuan hiburan komersial, maka ucapan selamat datang dan berjumpa cukup ditujukan kepada penonton dan panita penyelenggara.

Versi lainnya, pamadihin langsung melantunkan syair atau pantun cerita dengan diiringi irama tabuhan terbangnya sebagai salam pembuka dan hormat kepada penonton, misalnya dengan ucapan ‘assalamualaikum‘ yang dilagukan dan seterusnya …., memperkenalkan diri, kemudian menyampaikan pula secara garis besar ide atau gagasan pokok mengenai cerita yang akan disampaikan. Berikut adalah contoh petikan sebagian dari pantun pada madihin dalam pembukaan:

“….. balimbing matang diulah pancuk, anak saluang cucukiakan, para penonton nang datang silahkan masuk, kursi nang puang dudukiakan …..”

Contoh pantun pada pembukaan yang memberikan gambaran mengenai tema atau gagasan pokok yang akan disampaikan pada cerita madihin secara keseluruhan, misalnya dalam rangka HUT Proklamasi Kemerdekaan RI:

“……..bamula kita mambikin angka, kartaslah putus di laci meja, asallah mula kita mardika, tujuh belas agustus sambilan belas ampat lima……”

b. Penyampaian isi pokok cerita, pamadihinan melantunkan syair atau cerita yang dijalin begitu rupa dalam bait-bait puitis yang bersajak. Isi cerita atau tema tergantung pada pamadihin, tetapi senantiasa disesuaikan dengan tema acara atau peringatan yang sedang diselenggarakan, serta selalu disesuaikan pula dengan kondisi pada saat madihin dipentaskan. Itu sebabnya spontanitas yang tinggi dan kemampuan pamadihin berimprovisasi selama pentas madihin berlangsung adalah sangat penting. Sudah dapat diperkirakan bahwa pamadihin yang memiliki spontanitas dan improvisasi yang tinggi, serta berkenan di hati penikmatnya akan banyak mempunyai penggemar. Pamadihin yang demikian ini akan populer di kalangan masyarakat penggemarnya, khususnya pada kalangan masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Hal mengenai kemampuan itu pula yang menyebabkan seni madihin itu sangat komunikatif sekaligus kreatif.

Spontanitas pamadihin dalam merangkaikan kalimat-kalimat puitis di saat pentas berlangsung muncul karena ada respon dari pihak penonton dengan memberi komentar langsung terhadap apa yang disampaikan pamadihin. Komentar langsung yang diteriakan penonton bisa berupa rasa setuju (menerima) atau menolak terhadap isi perkataan yang dilantunkan. Hal ini bisa terjadi karena apa yang disampaikan dalam pentas seni madihin adalah nasehat, peringatan, himbauan, atau bahkan berupa pernyataan yang dikemas dalam kalimat-kalimat puitis dan humoris seperti lelucon, ejekan, sindiran serta gosip (gunjingan). Jadi, di dalam pertunjukan madihin, dialog bisa terjadi antara penonton dan pamadihinnya.

c. Penutup, apabila cerita atau madihin akan diakhiri dilantunkan pula syair atau pantun atau rangkaian kalimat-kalimat yang tertentu, serta lazimnya terjadi pula perubahan irama tabuhan pada terbang seperti dengan memperlambat tempo irama terbang. Melalui isyarat-isyarat semacam itu penonton mengetahui bahwa madihin yang mereka nikmati akan segera berakhir. Biasanya isi penutup juga mengandung harapan akan keselamatan untuk yang telah hadir dalam pentas itu dan agar dapat berjumpa lagi di lain waktu.

Berikut ini dua buah contoh kalimat-kalimat pada penutupan madihin:
“…..selamat tinggal kampung Batawi, kapal balayar ka Surabaya, salamat tinggal urang manonton di sini, jangan sampai lupa urang tawia…..”

“…… kahada lagi kita malalakun akan, jadi bamandak ka‘ai kita batahan, ayu kita cuba batahan, ibarat motor masuk nang ka taksian, kapal udara turun di medan, bila kapal di laut ka‘ai di palabuhan, iabrat sapida dikacak rim kanan, lihat di subalah nang laki binian, sidin ka‘ai pina u‘ungutan, nang apa lagi dipikirakan, nang kaya punai sadang ka kayangan, jadi bamandak kita ka‘ai batahan, balajur tarbang disarahakan, sadang bamandak dahulu baahan ……..”

Fungsi Madihin dan Perkembangannya
Menurut pendapat Saperi Kadir , fungsi pada mulanya dari kesenian madihin adalah menghibur raja dan keluarganya serta para pejabat kerajaan. Hal ini bisa sesuai sekali denagn apabila istilah madihin berasal dari kata ‘madah‘ yang mengandung pengertian sebagai penuturan secara indah berisikan puji-pujian. Bila mencermati lebih jauh keterangan Amir Hasan Kiai Bondan (1953), maka madihin yang boleh berarti dundam sebagaimana telah disebutkan, adalah bermula dari kalangan kraton (istana) Kerajaan Banjarmasin yang berdiri sejak Pertengahan Abad XVI hingga Pertengahan Abad XIX. Kemungkinan seni madihin ini pada mulanya adalah kesenian milik kalangan elit kraton.

Pada fase perkembangan selanjutnya baru seni ini menyebar ke kalangan rakyat, terutama setelah dibubarkannya kerajaan itu oleh Belanda pada tahun 1860. Pada fase ini kemungkinan terjadi pergeseran dalam menyikapi kesenian madihin oleh masyarakat, sehingga kesenian ini kemudian memiliki fungsi religiusnya lebih kuat dari fungsi hiburannya. Pada fase perkembangannya lebih kemudian lagi, nampaknya kesenian ini kembali mengalami pergeseran sehingga lebih menekankan aspek fungsinya sebagai media komunikasi.

Sesuai dengan karakteristik seni yang sangat komunikatif, maka kesenian madihin kemudian berfungsi sebagai media komunikasi, terutama oleh pemerintah, untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Jadi, kesenian madihin yang berkembang saat ini bukan lagi menekankan fungsinya pada aspek pengkultusan, maupun religius dan pengsakralan, melainkan pada aspek komunikasi dan hiburan. Dalam arti yang lebih jauh lagi oleh sifat komunikatifnya itu boleh jadi madihin bisa mengandung misi dengan muatan politik. Artinya, madihin di sini telah pula sebagai kesenian yang dapat dijadikan alat politik. Dalam hal kaitan ini masih perlu penelitian lebih mendalam lagi untuk mencari bukti-bukti apakah pada masa penjajahan dahulu madihin talah pula dijadikan alat politik baik oleh penjajah maupun oleh rakyat yang dalam perjuangannya merindukan kemerdekaan. Lazimnya sastra, terutama sastra yang dipertunjukan, memang terbuka peluang untuk bermuatan politik.

Madihin merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan. Jika merujuk kepada keterangan Edi Sedyawati mengenai fungsi-fungsi seni pertunjukan maka madihin artinya berfungsi:

pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkatan-tingkatan hidup seseorang. Di dalam realitasnya madihin seringkali ditampilkan dalam rangka hubungannya dengan upacara seperti kelahiran, khitan, perkawinan, dan sebagainya.

pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat dalam perputaran waktu. Madihin di sini ditampilkan dalam rangka hubungannya dengan hari peringatan seperti peringatan kemerdekaan RI, Hari Pendidikan Nasional, Dies Natalis, dan sebagainya.

perwujudan pengungkapan rasa keindahan. Dalam kaitan ini madihin dipertunjukan dari segi hiburannya. Lebih jauh dari itu, di samping ada unsur komunikasinya, juga ada unsur komersialnya.

Sekalipun demikian, terutama dalam hubungannya dengan yang terakhir itu, seni madihin sebagaimana esensi yang dikandungnya bertujuan sebagai nasihat serta peringatan untuk mawas diri dan waspada dalam melakoni hidup yang sesungguhnya. Jadi, pada posisi apapun madihin dipentaskan, dengan mengutip pendapat Sartono Kartodirdjo, berarti tetap mempunyai tujuan untuk mempengaruhi masyarakat penikmatnya atau masyarakat pendukungnya, dengan mengajarkan bagaimana manusia seharusnya bertindak tidak lepas dari norma-norma keagamaan, sosial dan adat-istiadat lingkungan kulturalnya.

Seni pertunjukan rakyat tradisional seperti madihin merupakan bentuk seni resitasi yang sangat sederhana, namun kesederhanaannya itu tidak mengancam nilai komersialnya untuk suatu bisnis hiburan. “Kesenian rakyat” semacam ini, demikian istilah yang disepakati oleh M. Sobary untuk membedakannya dengan “hiburan rakyat” yang hanya bersifat komunikasi satu arah, sehingga masyarakat penikmatnya (penonton) tidak terlibat secara aktif yang menyebabkan kurang merasa turut memiliki kesenian itu. Oleh adanya unsur partisipatif itulah, maka kesenian rakyat seperti madihin itu tetap mampu bertahan bahkan mungkin dapat terus berkembang dan hidup, terutama di lingkungan masyarakat pendukung seni budaya itu.

Pada akhirnya kesenian rakyat sebagaimana madihin, tidak lagi mengandung nilai fungsi sosial dan religiusnya semata sebagaimana pada waktu yang lalu, melainkan mengandung pula nilai ekonomi sebagaimana pada fase perkembangannya dewasa ini. Ini artinya lebih jauh kesenian rakyat tradisional mampu melestarikan dirinyadan dalam hubungan timbal baliknya adalah memberi peluang sebagai lahan penghidupan, terutama bagi para senimannya.

Suasana kondusif di daerah Kalimantan Selatan yang ditumbuhkan oleh pihak pemerintah, masyarakat, para seniman dan intelektual, termasuk pers daerah, sangat membantu keberadaan dan perkembangan kesenian madihin di daerah itu. Berbagai seminar, lokakarya, festival dan acara-acara yang senantiasa menampilkan kesenian madihin, baik untuk dibicarakan maupun ditampilkan, merupakan bentuk perhatian dan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kesenian ini. Bentuk perhatian ini merupakan wujud kesadaran yang menempatkan hak hidup dari seni budaya daerah yang merupakan salah satu unsur dari kebudayaan nasional yang dijamin oleh Undang-Undang. Barangkali kasus madihin rakyat Banjar ini dapat dipetik sebagai salah satu jawaban terhadap pertanyaan umum tetapi mendasar dari Umar Kayam (1993), yaitu apakah kesenian perlu dibina? Pertanyaan yang muncul atas kesadaran akan kompleksitas persoalan pada era orde baru ketika itu yang disebut juga sebagai orde pembangunan yang merupakan tantangan terus menerus harus dihadapi, termasuk dalam hal berkesenian.

Apakah kesenian rakyat tradisional harus rela tergilas oleh roda zaman? Jawabannya, tentulah tidak seharusnya demikian. Kesenian tradisional terutama seni resitasi seperti madihin, justeru dengan sifat dan bentuk kesederhanaannya bukanlah merupakan kelemahan, melainkan sebaliknya sebagai suatu kekuatan yang ada di dalam dirinya sendiri. Gayanya yang belum berlebihan, sehingga masih cukup luwes, menyebabkan seni seperti ini sangat komunikatif dengan penikmat maupun masyarakatnya. Sifat ini apabila tetap dapat dipertahankan bukan mustahil seperti seni madihin dan yang sejenisnya, akan tetap mampu bertahan dan berkembangan dalam setiap arus zaman.

Kemajuan industri, teknologi, sistem jaringan komunikasi dan informasi dapat mempengaruhi seni pertunjukan rakyat. Pengaruh itu bukan untuk melemahkan apalagi melenyapkannya. Kemajuan pada aspek-aspek tersebut di atas bagi kesenian madihin nampaknya justeru memanfaatkan segi positifnya sehingga makin memperkuat posisi kesenian ini di kalangan masyarakat. Begitu pula pangaruh perubahan sosial yang terjadi baik d kota maupun di desa, yang menuju pada suatu tata kehidupan yang dilandaskan pada perhitungan-perhitungan rasional, pengaruhnya hanya pada soal menyikapi kesenian tradisional itu tidak lagi di dasarkan pertimbangan-pertimbangan kekuatan magis atau kesakralan. Ini berarti tidak sama sekali dimaksudkan akan menghapuskan eksistensi kesenian tradisional seperti madihin. Perubahan terjadi hanya pada fungsi-fungsi tertentu, tetapi tidak pada fungsi lainnya yang rasional seperti untuk menumbuhkan kesadaran, hiburan, juga komersialnya adalah tetap sesuai dan dipertahankan. Fungsi-fungsi semacam ini pada kesenian rakyat tradisional yang oleh Sartono Kartodirdjo dikatakan sebagai memiliki fungsi instrumental. Jadi, pada dasarnya seni pertunjukan rakyat, dalam hal ini kesenian madihin, perkembangannya semakin ditunjang oleh kemajuan dan organisasi ekonomi.

Kepentingan bisnis hiburan maupun pariwisata jangan sampai mengorbankan ciri yang dimiliki oleh kesenian rakyat tradisional seperti madihin. Ciri khas itu terutama terletak dari sifat kedaerahannya seperti unsur bahasa (dialek dan gaya ucapan kedaerahan). Pada seni resitasi seperti madihin justeru bahasa, termasuk dialek atau logat kedaerahannya sangat berperan dan menjadi kekuatan sekaligus ciri khas seni jenis ini sehingga menarik. Khusus untuk kepentingan pariwisata, kerap kali tidak disadari bahwa kesenian daerah ditampilkan untuk disaksikan atau ditonton oleh pihak luar, baik oleh wisatawan domestik dari daerah lain maupun lebih lagi wisatawan manca negara.

Mereka datang untuk menyaksikan suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan yang dimilikinya. Penyesuaian misalnya terhadap bahasa suatu kesenian daerah yang ditampilkan untuk wisatawan, sama sekali sangat tidak bijaksana. Malakukan perubahan bahasa yang digunakan dengan bahasa wisatawan akan mengecewakan mereka, karena mereka tidak lagi dapat menikmati keaslian yang seutuhnya dari kesenian daerah yang ditampilkan itu. Mereka bisa merasa dirugikan karena telah datang dari jauh dengan mengorbankan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit, hanya disuguhi suatu kesenian yang telah diubah bahasanya dengan bahasa yang mereka pahami milik mereka sendiri yaitu berasal dari unsur kebudayaan yang sudah tidak asing lagi bagi mereka. Oleh sebab itu, akan sangat tidak bijaksana bila bahasa yang menjadi unsur kekuatan pada seni madihin misalnya dirubah bukan dengan menggunakan bahasa Banjar.

Penampilan pamadihin John Tralala dan Hendra puteranya dalam tayang nasional TVRI pusat pada suatu acara peringatan dengan tetap mempertahankan gaya dan bahasa daerah madihin itu, tetap merupakan tontonan yang menarik serta sebagai contoh yang positif bagi perkembangan kesenian daerah. Penampilannya nampak tetap memikat penonton yang menyaksikan secara langsung acara itu, dan mungkin juga oleh para pemirsa TVRI dari seluruh nusantara.

Kesuksesan dan popularitas John Tralala sebagai seniman madihin, boleh dikatakan merupakan fenomena baru bagi perkembagan seni madihin dewasa ini di Kalimantan Selatan. Kehadirannya, langsung maupun tidak langsung, telah meniupkan angin segar yang akan meyakinkan bahwa kesenian madihin tetap eksis dan berkembang di daerah ini, tanpa harus merasa terdesak oleh terpaan kesenian populer lainnya. Kemampuan menangkap nuansa perubahan dan memanfaatkan segala segi kemajuan zaman untuk tetap dapat berkiprah pada kesenian tradisional madihin, patut kita hargai bersama.

Seni resitasi tradisional berupa madihin dewsa ini menunjukan perkembagannya yang cukup menggembirakan di Kalimantan Selatan. Menurut Saperi Kadir (1992), tercatat sekitar 20 orang seniman madihin yang dinilai piawai di daerah ini. Setidaknya hal itu sampai tahun 199-an. Jumlah ini entu belum termasuk bibit-bibit seniman madihin dari hasil-hasil festival madihin yang relatif rutin diselenggarakan baik untuk umum, mahasiswa, maupun remaja atau pelajar, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Dari segi kuantitas 20 orang pamadihinan itu barangkali dianggap belum memadai, tetapi perlu ditegaskan di sini bahwa dalam era kemajuan seperti sekarang ini maka segi kualitaslah yang perlu diperhatikan.

Penutup
Seni resitasi madihin pada dasarnya memiliki tiga unsur seni yang pokok, yaitu: sastra, musik, dan humor (lelucon). 1) Unsur seni sastra sangat nampak dari segi isi atau cerita yang terangkai dalam kalimat-kalimat pantun, syair maupun prosa. 2) Unsur musik terlihat dari penyajiannya dengan melagukan isi cerita yang disampaikan melalui irama (ritme) teratur, dengan iringan perkusi berupa terbang yang ditabuh dengan ritme yang teratur pula. 3) Unsur lelucon memang menjadi salah satu dasar bagi seni madihin dengan fungsi untuk penyadaran dan peringatan melalui nasihat-nasihat yang terkandung dalam cerita yang disampaikan. Agar tercapai tujuan ini kalimat-kalimat dalam cerita dikemas sedemikian rupa sehingga penuh simbol dan sindiran yang membangkitkan gelak tawa namun penuh misi. Pada dasarnya ketiga unsur itu merupakan satu kesatuan tak terpisahkan yang membentuk apa yang disebut dengan seni madihin itu.

Cerita pada madihin yang luwes itu dengan sendirinya juga dapat bermuatan politik, spiritual keagamaan, sosial, maupun kebudayaan pada umumnya. Itu sebabnya madihin mampu tampil pada situasi maupun dalam acara yang manapun. Dalam kalimat lain, madihin dalam melaksanakan tugasnya sebagai media komunikasi untuk berbagai kepentingan sangat komunkatif. Pesan-pesan pembangunan misalnya mengenai kesehatan, pertanian, pendidikan dan sebagainya dari pihak pemerintah secara politis sangat strategis dan efektif untuk dapat sampai ke kalangan masyarakat luas. Begitupun pesan-pesan keagamaan, sosial maupun kebudayaan melalui madihin bisa dilakukan untuk memberikan kesadaran pada masyarakat agar tetap berpegang teguh kepada norma-norma spiritual keagamaan, sosial kemasyarakatan, dan adat istiadat yang baik dari peninggalan kebudayaan leluhur. Menyadarkan, memberikan peringatan, dan sikap selalu waspada kepada masyarakat dalam menempuh kehidupan agar selalu berpegang pada aturan dan norma yang berlaku sehingga dapat menghindari kehidupan yang dekaden, merupakan nasihat-nasihat yang senantiasa terkandung di dalam seni madihin.

Seni madihin memiliki sifat khas, sehingga menuntut kekhasan pula pada senimannya. Kekhasan itu misalnya, kemampuan seniman madihin untuk dengan waktu yang singkat dan spontanitas menangkap suasana yang berkembang di saat seni ini ditampilkan, dengan mengeluarkan fikiran atau gagasan melalui kalimat-kalimat yang dirangkai sedemikian rupa, sehingga merupakan rangakaian kalimat dalam bahasa Banjar yang apik dan puitis untuk dilagukan. Pamadihinan harus mempunyai kemampuan pula dalam menyesuaikan antara kalimat-kalimat yang ia olah dan suarakan dengan bunyi tabuhan terbangnya sehingga tetap dapat terdengar secara serasi dengan irama dan lagu yang indah.

Kemampuan mengeluarkan pokok gagasan yang diterima secara spontan dari suana sesaat itu dalam kalimat-kalimat simbolis dan humoris yang dapat menundang gelak tawa penonton numun tanpa kehilangan misi utama, merupakan suatu kemampuan yang khas dimilki pamadihinan. Oleh karena itu, seniman madihin adalah orang yang memilki kecerdasan tinggi dan berpengetahuan luas. Pengetahuan dan pengalaman hidup menjadi modal penting pamadihin untuk berimprovisasi dan kreatif. Pamadihin yang semacm ini mampu bertahan dan eksis di kalangan penggemarnya.

Era pembangaunan desawa ini dengan segala kemajuan yang dicapainya secara timbal bailk adalah saling menunjang dengan kesenian madihin. Madihin dapat berfugnsi sebagai media komunkiadsi yang efektif untuk menyampaikan dan menyadarkan masyarakat terhadap perubahan-perubahan, hasil-hasil maupun pesan pembanguanan umumnya. Sebaliknya, hasil-hasil perubahan dan pembangunan merupakan media bagi madihin untuk tetap eksis dan mencapai misi yang dikandungnya. Dalam kalimat lain, madihin dapat memanfaatkan hasil kemajuan seperti pada perangkat dan media elektroknik, serta kemajuan-kemajuan teknologi lainnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai media komunikasi.

Madihin sebagai hiburan mempunyai nilai komersial karena dapat dikemas menjadi satu paket khsus (pentas tunggal) dengan memungut bayaran dari penikmatnya. Atau, biasa juga dilakukan selama ini, adalah madihin dikemas dalam satu paket acara bersama hiburan lain. Madihin di sini dikemas menjadi satu paket bersama kesenian lain yang dipentaskan untuk hiburan komersial, seperti dengan orkes dangdut, band, tari, dan kesenian yang dipentaskan lainnya.

Fenomena pamadihin John Tralala, sebagaimana telah disinggung, menarik dicermati. John Tralala sebagai pamadihin telah memiliki “trade mark” yang mampu menggerakan suatu pertunjukan hiburan diminati pengunjung dengan pungutan bayaran. Sering kali terjadi suatu pertunjukan hiburan populer seperti orkes dangdut maupun band dengan artis-artis populer yang didatangkan dari ibukota misalnya dipentaskan dalam satu paket dengan madihin yang akan disajikan oleh John Tralala. Tujuannya jelas, agar pentas tersebut dapat menyedot penonton. Sehingga secara komersial akan lebih menguntungkan penyelenggara.

Pada akhirnya, madihin sebagai suatu bentuk seni resitasi mayarakat Banjar memiliki karakteristiknya sendiri. Sekalipun dikatagorikan sebagai kesenian rakyat tradisional, dengan ciri kesederhanaannya, seni ini tetap mampu bertahan dan dipentaskan tanpa harus merasa terdesak terpaan arus zaman, yang notabene dilanda oleh seni hiburan modern yang populer.

Sumber: phetex.urangbanjar.com