Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutakhir

Oleh : Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono

Perkembangan sastra Indonesia merupakan kelanjutan dar sastra Melayu. Berdasarkan pandangan ini tentu para sastrawan lama dari daerah-daerah yang berbahasa Melayu merupakan pelopor sastra Indonesia modern. Tidak mengherankan bila karya-karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Raja Ali Haji, Hamzah Fansyuri, dan lain-lain dianggap sebagai bagian dari sastra Indonesia. Dalam kurun waktu terakhir ini, penyair Sutardji Calzoum Bachri –yang ingin mengembalikan kata kepada mantra– muncul dalam arena perpuisian Indo¬nesia. Sebagai seorang sastrawan Riau, ia telah memberikan sumbangan cukup besar terhadap sastra Indonesia mutakhir.

1. Pendahuluan
Judul tulisan ini menyiratkan bahwa sastrawan yang berasal dari Riau telah memberikan sumbangan bagi perkembangan sastra Indonesia mutakhir, suatu masa yang kita batasi sejak akhir tahun 60-an sampai terselenggaranya seminar ini. Judul itu tentu juga menyiratkan bahwa sastrawan dari daerah lain seperti Sunda, Kalimantan, dan Sumatera Barat bisa dan mungkin telah berbuat serupa. Sastra Indonesia yang kita miliki sekarang ini diciptakan oleh sastrawan yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, karena bahasa Indonesia tidak lagi secara resmi menjadi milik daerah dan sukubangsa tertentu. Bahkan, boleh dikatakan bahasa ini telah mendesak bahasa-bahasa ibu yang dimiliki se¬bagian besar orang Indonesia.

Anggapan yang secara luas diterima umum sekarang ini adalah bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Setidaknya, mau tidak mau harus diakui bahwa sebagian besar orang terpelajar kita sekarang ini tidak akan menemui kesulitan besar membaca karangan yang ditulis dalam bahasa Melayu, termasuk yang ditulis lebih dari satu abad yang lampau. Setidaknya, ditinjau dari segi tata bahasa dan kosakata, jelas tampak adanya kesinambungan antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Oleh karena sastra me¬rupakan bidang seni yang tidak terpisahkan dari bahasa sebagai alat penyampaiannya, maka sastra Indonesia dianggap sebagai perkembangan yang wajar dari sastra Melayu. Berdasarkan pan¬dangan ini tentu saja para sastra¬wan lama dari daerah-daerah yang berbahasa Melayu dicantumkan sebagai pe¬lo¬por sastra Indonesia modern. Tidak meng¬herankan apabila karya-karya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Hamzah Fansuri, dan Raja Ali Haji dianggap sebagai bagian dari sastra Indonesia, sedangkan ciptaan para sastrawan lain yang sezaman, tetapi ditulis dalam bahasa daerah, dikategorikan sebagai sastra daerah.

Apabila kita berpegang pada pandangan tersebut harus dikatakan bahwa sumbangan yang pernah diberikan oleh sastrawan lama dari Riau bagi sastra Indonesia sangat besar. Setidaknya diakui bahwa pada abad kesembilan belas, sejumlah besar sastrawan dari Riau telah menulis dan menerbitkan syair-syair yang jumlahnya sangat banyak. Syair merupakan bentuk puisi yang dikenal luas di daerah-daerah berbahasa Melayu (Riau khususnya), meskipun para sastrawan pada abad kesembilan belas juga menghasilkan prosa. Syair umumnya di¬pergunakan untuk berkisah dan menyampaikan nasihat.

Berdasarkan bentuk dan isinya, ada dua hal yang bisa dicatat. Pertama, para penyair Riau masa itu, yang kebanyakan berasal dari Penyengat dan masih seketurunan, ternyata menyukai syair, salah satu bentuk tetap dalam puisi Melayu. Bentuk lain yang juga dipergunakan sebaik-baiknya, seperti gurindam yang dikenal luas di daerah-daerah lain di Indonesia berkat karya Raja Ali Haji, adalah juga suatu bentuk tetap. Kedua, kisah dan nasihat mem¬butuhkan cara pengungkapan yang relatif mudah dipahami dan ditafsirkan. Umum¬nya, untuk mencapai kedua maksud tersebut, maka makna ganda tidak diutamakan, bahkan dihindari.

Pada saat para sastrawan dari Penyengat itu bekerja, masyarakat Riau tentu juga melisankan jenis sastra dan bentuk puisi yang ber¬beda. Di samping dongeng dan kisah yang dilisankan, jenis sastra lain seperti mantra pun tentu diucapkan. Mantra-mantra itu, meski ti¬dak tersimpan serapi naskah-naskah yang diterbitkan di Penyengat dan Singapura, namun dianggap sebagai bagian sastra lama kita dan be¬berapa di antaranya muncul dalam beberapa buku pelajaran ke¬susastraan Indonesia.

Syair dan mantra sebenarnya merupakan dua bentuk puisi yang juga dikenal di luar daerah-daerah berbahasa Melayu, tentu dengan nama-nama yang berlainan. Namun, sumbangan sastrawan lama Melayu bagi perkembangan sastra Indonesia tampak lebih jelas dibandingkan dengan yang diberikan oleh sastrawan dari daerah-daerah lain, karena bahasa Melayu memang paling mirip dengan bahasa persatuan kita ini. Seperti sudah disinggung, Riau menempati kedudukan penting dalam sejarah sastra lama Indonesia.

2. Sumbangan Riau Kepada Puisi Indonesia Modern
Sementara itu di Jawa pada akhir abad kesembilan belas, bersamaan dengan kegiatan para sastrawan dari Penyengat, sastra mo¬dern yang juga ditulis dalam bahasa Melayu mulai berkembang. Kegiatan yang semakin lama semakin marak itu antara lain ditandai oleh berdirinya sebuah badan penerbit yang dikenal dengan nama Balai Pustaka, yang sepenuhnya digerakkan oleh pemerintah kolo¬nial Belanda waktu itu. Oleh beberapa pengamat, sastra terbitan Balai Pustaka sejak dasawarsa kedua abad ke-20 dianggap sebagai awal perkembangan sastra Indonesia modern. Dalam kegiatan yang terutama terjadi di Jawa itu, tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol.

Perlu dicatat bahwa kegiatan sastra pada masa itu yang dimulai sejak sekitar akhir abad sebelumnya sampai Belanda me¬ninggalkan Indo¬nesia, tidak terbatas pada penerbit Balai Pustaka saja. Balai Pustaka sebelum Perang Dunia II telah menghasilkan sastra berbahasa Melayu yang banyak berkiblat ke Sumatera Barat, karena banyak penulisnya yang berasal dari daerah tersebut. Pada waktu itu, bahasa Melayu rupanya tidak lagi merupakan milik khusus sastrawan dari daerah-daerah berbahasa Melayu. Orang Sunda, orang Bali, orang Jawa, orang Belanda, dan orang Cina pun mulai menciptakan sastra da¬lam bahasa Melayu.

Namun, rupanya penulis puisi terpenting sebelum Perang Dunia II, Amir Hamzah, adalah seorang pangeran Melayu, meski¬pun tidak berasal dari Penyengat. Sesudah kemerdekaan, sastra Indonesia tampaknya mulai diisi oleh karya-karya penting yang ditulis oleh para sastrawan yang tidak berasal dari daerah-daerah berbahasa Melayu. Setelah kematian Chairil Anwar tahun 1949, puisi Indonesia mendapat sumbangan berharga dari para penyair yang berasal dari Pulau Jawa, seperti Ramadhan K.H., Toto Sudarto Bachtiar, dan Rendra. Mereka itu berasal dari daerah-daerah yang memiliki sastra lama sendiri, yang ketika mulai menulis dulu mungkin sekali tidak memiliki gambaran tentang kegiatan sastra di Penyengat. Sampai dengan tahun 60-an boleh dikatakan tidak pernah dibicarakan munculnya penyair penting yang berasal dari Riau.

Baru sekitar paruh pertama dasawarsa ketujuh abad ke-20, puisi Indonesia modern mendapat sumbangan yang nyata dari seorang penyair yang berasal dan Riau, Sutardji Calzoum Bachri. Ia menulis puisi yang berbeda bentuknya dari yang dihasilkan kebanyakan penyair Penyengat. Puisinya lebih dekat ke puisi yang dilisankan oleh pawang. Seperti katanya sendiri, “Maka menulis puisi bagi penulis adalah mengembalikan kata kepada mantra.” Nyatanya, sumbangan penyair ini terhadap perkembangan sastra Indonesia antara lain adalah pada penyampaian puisi kepada khalayak secara lisan. Segi inilah yang akan dibicarakan secara khusus dalam tulisan ini, tanpa merendahkan segi lain yang sudah banyak dibicarakan pengamat lain.

3. Pembacaan Puisi
Membaca pusi, atau yang lebih dikenal dengan poetry reading, bukanlah hal baru dalam perkembangan kesenian kita. Sejak kira-kira tahun 1950-an, kegiatan semacam itu yang mula-mula disebut deklamasi– sudah dikenal luas di kalangan pelajar. Lomba delkamasi merupakan kegiatan yang biasa dilakukan oleh sekolah atau organisasi kesenian. Para penyair umumnya suka terlibat dalam kegiatan semacam itu, bahkan beberapa di antaranya sejak semula telah menunjukkan kemampuannya sebagai deklamator. Namun demikian, pada waktu itu membaca puisi sendiri belum merupakan kegiatan yang banyak dilakukan. Baru pada akhir tahun 60-an khalayak sastra Indonesia diberi suguhan yang agak berbeda sehubungan dengan pembacaan puisi. Para penyair tampil di depan khalayak membaca puisinya sendiri dan biasanya diikuti dengan serangkaian tanya jawab. Kebiasaan semacam itu di beberapa negeri Barat sudah lama ada, tetapi tidak mendapat perhatian di kalangan penyair kita sebelum akhir 60-an itu. Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Toto Sudarto Bachtiar misalnya, ti¬dak beminat terhadap kegiatan semacam itu.

Penyair-penyair yang mempelopori pembacaan puisi semacam itu adalah Rendra dan Taufiq Ismail. Daya tarik utama Rendra adalah kemampuannya bermain di panggung, di samping pesan yang di¬sam¬paikan lewat puisinya. Pada umumnya, puisi Rendra berkisah tentang kekuatannya, terutama yang terletak pada penggunaan majas yang sering sangat padat. Pembacaan puisi Taufiq Ismail menarik terutama karena kelakar dan ejekannya, di samping pencitraan yang tersusun dalam beberapa sajaknya. Kedua penyair ini memiliki kesamaan dalam memikat khalayaknya; sebagian sajak mereka berisi sindiran atau protes terhadap ketimpangan sosial.

Yang telah dilakukan kedua penyair itu membuktikan bahwa unsur bunyi dalam puisi bisa sangat penting, meskipun pada sebagian besar sajak yang mereka baca unsur makna lebih menentukan. Mereka membaca puisi terutama untuk menyampaikan “pesan” kepada khalayaknya. Namun, hal itu bukan merupakan petunjuk bahwa khalayak sepenuhnya bisa menangkap “pesan” itu, bahkan bukan petunjuk bahwa khalayak semata-mata datang untuk hal itu. Meskipun Taufiq Ismail dan Rendra tidak menyamakan puisi mereka dengan mantra, mungkin sekali bagi sebagian khalayak puisi itu terasa sebagai mantra.

4. Sutardji Calzoum Bachri Dan Mantra
Berbeda dengan kedua penyair itu, Sutardji Calzoum Bachri mengakui ingin mengembalikan kata kepada mantra. Ini berarti ia menghadapi persoalan yang tidak mudah dipecahkan penyair lain, ka¬rena mantra pada dasarnya adalah puisi lisan, sedangkan yang dihasilkannya adalah sastra tulis. Berbeda dengan jenis puisi lain, mantra terutama tidak dimasukkan sebagai alat komunikasi antarmanusia, tetapi merupakan alat komunikasi manusia dengan alam gaib, bahkan untuk menghasilkan tenaga gaib.

Sebagai sastra lisan, mantra menyandarkan sebagian besar kekuatannya pada unsur bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi dengan alam gaib dan untuk menghasilkan tenaga gaib. Mantra tidak perlu sepenuhnya dipahami manusia. Apa¬bila mantra diucap¬kan, orang yang mendengarnya dan juga mengucapkannya tidak perlu sepenuhnya memahaminya. Yang lebih penting adalah bunyi yang sedemikian rupa sehingga bisa tercipta komunikasi dan tenaga gaib itu.

Puisi yang ditulis Sutardji Calzoum Bachri, sesuai dengan kredonya, tentu harus mampu menciptakan semacam tenaga gaib, te¬tapi puisi itu ditulis untuk berkomunikasi dengan manusia, tidak dengan alam gaib. Di atas kertas, ia tentu juga diharapkan mampu men¬ciptakan kekuatan gaib, setidaknya suasana gaib. Bagi penulis, Sutardji adalah penyair modern kita yang pertama dengan sungguh-sungguh menyadari pentingnya tipografi dalam penulisan puisi. Di atas kertas, cara yang dapat menerjemahkan kekuatan bunyi adalah ti¬pografi. Seperti halnya bunyi yang disusun dengan baik, tipografi merupakan unsur visual yang mampu dengan segera merebut perhatian kita.

Dalam sajak Rendra yang berjudul Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta misalnya, perhatian pembaca tidak tertuju kepada tipografi, tetapi pada pengertian-pengertian yang disampaikannya; pem¬bacaan sajak tersebut tentu diharapkan bisa semakin memper¬elas pengertian-pengertian itu. Demikian juga, misalnya beberapa sajak pendek Taufiq Ismail yang merupakan penciptaan kembali beberapa pepatah kita. Hal serupa itu tentu tidak berlaku bagi sajak Sutardji seperti yang dikutip ini.

Tragedi Winka & Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
ku

Membaca sajak tersebut, pengertian-pengertian seperti yang bisa kita dapatkan dari sajak-sajak Taufik Ismail dan Rendra tidak akan tercapai, sebab memang Sutardji tidak bermaksud me¬nyampaikan pengertian-pengertian semacam itu. Seperti halnya dalam mantra, unsur bunyi lebih menonjol dibandingkan unsur makna, dan rupanya penyair ini menyadari benar hal itu.

Tidak seperti kebanyakan penyair, Sutardji tidak hanya berhenti pada tulisan. Ia sengaja berusaha melisankan puisinya sebaik-baiknya. Baginya, pembacaan puisi bukanlah sekadar kegiatan sampingan bagi apa yang telah ditulisnya, tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan kepe¬nyairannya. Dengan demikian, tulisan Sutardji merupakan semacam naskah sandiwara yang baru sempurna apabila dipentaskan. Di panggung, sajak-sajaknya seperti “Q” dan “Pot” menjelma menjadi seni lisan yang mampu memukau khalayaknya, meskipun di atas kertas sulit dibayangkan cara membacanya. Penulis kita, Popo Iskandar, benar ketika me¬nyatakan bahwa sajak-sajak Sutardji baru mendapat harga penuh bila dibacakan, tentunya oleh penyairnya sendiri.

Berdasarkan apa yang telah dilaksanakannya selama ini, bahwa Sutardji bukan saja pembaca puisi yang baik, tetapi penyair yang dengan bersungguh-sungguh berusaha menciptakan tenaga gaib dengan cara membaca puisinya sendiri, maka ia adalah penyair modern Indonesia pertama yang menyadari hal itu, dan apa yang dilakukannya itu menunjukkan hasil yang nyata, yang merupakan sumbangan bagi perkembangan puisi Indonesia. Penghargaan ke¬pada unsur bunyi dalam puisi, penghargaan terhadap pembacaan puisi, dan perhatian terhadap pendengar, bukan hanya pembaca puisi, telah meningkat. Pembacaan puisi Sutardji selalu mendapat perhatian besar, dan be¬berapa penyair telah berusaha mengikuti jejaknya, tentu dengan hasil yang berbeda-beda.
_______________________

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, lahir di Solo, 20 Maret 1940. Lulus jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1964). Basic Humanities Program, Honolulu, Universitas Hawaii, AS (1970–1971). Menjadi dosen IKIP Malang cabang Madiun (1964–1968), Pengajar Fakultas Sastra, Uni¬versitas Diponegoro (1968–1974), Pengajar Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1975–sekarang). Kegiatan lainnya adalah sebagai Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia (1973–1978), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (1975– sekarang), Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (1984–sekarang). Mantan anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga menulis esei dan kritik. Pernah menjadi redaktur Basis dan bekerja sebagai redaksi Horison.

Karya pertamanya dimuat di Post Minggu, Semarang, Desember 1957. Setelah itu puisi-puisinya banyak menghiasi media Ibu Kota, termasuk majalah Mimbar Indonesia pimpinan H. B. Jassin, “paus” sastra Indonesia. Sedangkan karya-karya lainnya adalah, Kumpulan sajak: Duka-mu Abadi, Jeihan/Pustaka Jaya, (1969), Mata Pisau, Puisi Indonesia/Balai Budaya, (1974), Akuarium, Puisi Indonesia Balai Pustaka, (1974), Perahu Kertas, Balai Pustaka, (1983) –kumpulan syair Perahu Kertas ini mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta, 1983. Sihir Hujan, Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia, (1984) karya ini menerima anugerah ‘‘Puisi Putra II‘‘ dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional (Gapena), Malaysia. Sosiologi Sastra, Sebuah Pengantar Ringkas, Pusat Bahasa, (1978), Novel Indonesia sebelum Perang, Pusat Bahasa, (1979), Tifa Budaya, ed., Leppenas, (1980), Seni dalam Masyarakat Indonesia, ed., Gramedia, (1983), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan, Gramedia, (1983). Karya terjemahannya antara lain, Lelaki Tua dan Laut (Ernest Hemingway), Daisy Manis (Henry James), dan Lirik Klasik Parsi, semuanya pada 1970-an. Salah satu sajaknya, Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari dimuat dalam antologi puisi dunia.
_______________________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.