Oleh : Mohd. Daud Kadir
Orang Melayu Riau mengenal pola saling menghormati dan saling memberi dengan istilah menanam budi yang bertujuan untuk menanam budi. Tinggi rendah derajat seseorang selalu diukur dari budi yang diberikan kepada orang lain. Semakin banyak menanam budi, kedudukan dan kehormatan seseorang di masyarakat akan semakin tinggi. Bagi orang Melayu, kehalusan dan ketinggian budi menjadi hal yang utama. Menanam budi tidak hanya berbentuk pemberian materi, tetapi juga dapat berbentuk bantuan tenaga, pemikiran, serta perlakuan dan tutur-bahasa yang sopan dan halus.
1. Pendahuluan
Sebenarnya penulis tidak cukup mampu untuk mengupas masalah di atas, karena bekal pengetahuan yang penulis miliki sangat terbatas. Oleh karena itu, kadar ilmiah dalam makalah ini masih sangat rendah. Dalam hal ini, penulis mengambil sikap sebagai seorang informan yang berasal dari masyarakat Melayu. Sebagian besar uraian dalam makalah digali dari pengalaman pribadi sebagai orang Melayu yang lahir dan besar di daerah Riau Lautan, sehingga penulis membatasi uraian pada masyarakat Melayu Lautan saja. Agar tidak terjadi kekeliruan, setiap istilah orang Melayu yang disebutkan dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menyebut orang Melayu Lautan.
2. Ciri-Ciri Kepribadian Orang Melayu
Sebelum diuraikan tentang pola saling menghormati dan saling memberi dalam kehidupan masyarakat Melayu, terlebih dahulu penulis akan menguraikan ciri-ciri kepribadian orang Melayu. Menurut Koentjaraningrat (1970: 130), ciri-ciri kepribadian orang Melayu ialah watak orang Melayu yang tampak pada umumnya (modal personality). Terbentuknya watak umum tidak lepas dari tuntutan norma adat-istiadat yang terdapat dalam masyarakat Melayu. Watak umum dan kepribadian orang Melayu yang dilukiskan di sini adalah watak kepribadian orang Melayu yang ideal, yang dianggap baik dan menjadi tuntutan adat-istiadat yang berlaku. Penonjolan watak kepribadian yang elok ini bukan berarti etnocentris, seperti “katak di bawah tempurung”, namun juga karena melihat watak-watak yang lemah atau buruk.
Dalam Kamus Antropologi (1979: 3) disebutkan bahwa yang dimaksud adat-istiadat Melayu adalah semua konsep serta aturan-aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam system budaya orang Melayu, yang menata tindakan-tindakan anggota masyarakat dalam kehidupan sosial dan kebudayaan. Ciri kepribadian orang Melayu pada umumnya tidak lepas dari cara orang Melayu melihat dunia sekelilingnya, melihat dirinya sendiri, kesadaran agamanya, kesadaran terhadap kebutuhan hidup sehari-hari, kesadarannya di tengah-tengah orang lain dan orang asing, dan sebagainya. Semua itu mencetuskan sikap dan tingkah-laku orang Melayu dalam menghormati orang lain sesuai dengan tuntutan adat-istiadatnya. Hal ini perlu dikemukakan, karena banyak orang non-Melayu yang keliru menilai kepribadian orang Melayu. Kadang-kadang timbul salah pengertian atau kesengajaan dalam menilai kepribadian masing-masing. Melayu sering diartikan lari, ka-rena orang Melayu suka mengalah. Selain itu ada anggapan bahwa orang Melayu adalah perajuk, karena apabila tersinggung mereka suka menjauhkan diri. Orang Melayu juga sering disebut Melayu kopi daun dan sebagainya. Kata-kata ini selalu dilontarkan orang Belanda (pada zaman penjajahan) untuk menghina orang Melayu.
Tulisan tentang orang Melayu sudah banyak, baik yang berhubungan dengan sejarah Melayu, kepahlawanan orang Melayu, cendekiawan Melayu, kesusastraan Melayu ataupun yang lain. Akan tetapi penulis belum menemukan karya tulis yang khusus membahas ciri-ciri atau watak kepribadian orang Melayu. Penulis menyadari betapa sukarnya mengungkap dan memaparkan ciri-ciri kepribadian orang Melayu agar dapat diterima. Penulis perlu mempelajari kembali pengalaman pribadi masa kanak-kanak. Penulis dibesarkan dan dididik dalam lingkungan tradisi masyarakat Melayu. Penulis mencoba mengenang kembali kata-kata, pepatah-pepatah, sindiran-sindiran, pesan-pesan, petuah-petuah, larangan-larangan, hukum-hukum, teladan orang tua, puji-pujian, dongeng-dongeng yang diceritakan, dan sebagainya.
Dalam mengkaji watak umum kepribadian orang Melayu, penulis bertitik tolak dari sana. Dengan kata lain, penulis mempelajari diri sendiri sebagai orang Melayu. Setelah mempelajari pengalaman itu, penulis berkesimpulan bahwa ajaran orang tua kepada anaknya bertujuan agar anak menjadi orang yang selalu sadar diri, tahu diri, tahu diuntung, dan mempunyai harga diri. Keempat hal ini saling berkaitan dan selalu dipompakan kepada setiap anak.
Harga diri merupakan tonggak yang ingin selalu ditegakkan, agar setiap orang sadar diri dan tahu diri. Orang yang tidak tahu diri tidak akan pernah dapat mempertahankan harga dirinya. Orang yang tahu diri berarti tahu kedudukannya dalam keluarga; tahu hak dan kewajibannya di tengah-tengah keluarga; tahu asal-usul keturunan keluarga; tahu kedudukan diri dan keluarga di tengah-tengah masyarakat (bangsawan atau orang biasa); sadar sebagai orang tak punya; sadar akan kewajiban dan tata-tertib yang dituntut adatistiadat yang berlaku; tahu akan tugas yang dipercayakan; sadar akan kekurangan diri dari segi pengetahuan, pengalaman, keterampilan, maupun rupa (bentuk fisik); ikut merasakan orang yang susah dan sulit; sadar bahwa dunia dengan segala isinya adalah milik Tuhan; serta sadar bahwa hidup ini hanya sementara.
Aspek tahu diri, sadar diri, sadar diuntung, dan mempunyai harga diri merupakan hal yang harus diajarkan kepada anak agar anak bertingkah-laku sesuai dengan tuntunan adat-istiadat yang berlaku. Dari keempat aspek tersebut muncul kemudian watak orang Melayu yang bersifat merendah, bersifat pemalu atau penyegan, bersifat suka damai atau toleransi, bersifat sederhana, bersifat sentimentil dan riang, dan bersifat mempertahankan harga diri.
a. Sifat Merendah
Sifat merendah merupakan sifat yang menjadi tututan utama dalam pergaulan orang Melayu. Orang yang selalu merendah berarti tahu diri dan sadar diri. Sifat ini tercermin pada sikap yang tertib, sopan, dan hormat. Sikap-sikap tersebut tampak pada gerak-gerik dan tutur-bahasanya, terutama bila berhadapan dengan kaum kerabat atau anggota masyarakat yang lebih tua, bahkan terhadap orang asing. Sikap merendah tidak sama dengan sikap menghina-hina diri. Dengan sikap merendah, seseorang justru menjaga martabat (harga diri). Orang Melayu tidak mau dibenci masyarakat karena sikap dan tingkah-laku atau tutur bahasa yang tidak memperhatikan martabat diri. Sikap itu menunjukkan bahwa seseorang tidak tahu diri dan tidak tahu diuntung. Sifat merendah tampak jelas dalam pepatah Melayu (Ahmad, 1964: 43),
Bercakap biar ke bawah-bawah
Mandi biar ke hilir-hilir
Jangan bawa sifat ayam jantan
Tapi bawalah sifat ayam betina
Kalau pergi ke rantau orang
Sikap merendah orang Melayu tidak hanya ditujukan kepada orang yang lebih tua, orang besar, pemuka adat, dan alim ulama, tetapi juga ditujukan kepada penghuni alam sekelilingnya. Oleh karena itu, jika seseorang melewati tempat angker, ia akan merendah dengan berkata, “Tabik Datuk, anak cucu numpang lalu”. Menurut orang Melayu, dengan merendah, ia akan selamat. Seseorang yang takut seorang diri di laut atau di hutan, ia akan berkata, “Tabik Datuk, jangan ganggu, anak cucu mencari makan”.
Nama Melayu sering dikaitkan dengan sifat orangnya yang merendah, melayu-layukan diri seperti bunga atau daun yang layu, karena bunga yang kelopaknya layu pasti melempai atau terkulai ke bawah. Lawan dari sifat merendah adalah sifat yang suka menonjolkan diri, sombong, serta merasa serba pandai. Sifat-sifat ini paling dibenci orang Melayu. Orang Melayu tidak boleh telajak kata, tidak boleh hidung tinggi, tidak boleh hidup mengganjil, tidak boleh menunjuk pandai, tidak boleh berjalan mendada, dan tidak boleh songkok senget. Pendeknya, tidak boleh sombong dan besar cakap (Ahmad, 1964: 39). Sifat merendah juga tampak saat orang Melayu berkata mengajak tamunya makan, “Silakan jemputlah makan Encik. Tak ada apa-apa, makan tak belauk”. Padahal hidangan yang disajikan penuh dengan lauk-pauk. Jika mengajak tamunya singgah ke rumah, orang Melayu akan berkata, “Singgahlah Encik ke gubuk kami yang buruk ini”. Padahal rumahnya cukup besar dan perabotannya komplit. Kalau ingin berbicara, mereka selalu berkata, “Terlebih dahulu saya minta maaf”.
b. Sifat Pemalu atau Penyegan
Sifat pemalu juga bertolak dari sifat tahu diri, sadar diri, tahu diuntung, dan harga diri. Sifat pemalu merupakan sifat yang menjaga harga diri (martabat). Orang yang tidak tahu malu berarti tidak tahu diri dan tidak menghargai diri sendiri. Sifat pemalu tercermin dalam sikap dan tingkah-laku, seperti segan meminta bantuan, segan menonjolkan diri, segan mengadukan kesusahan, segan mengambil muka, segan berebut (tamak), segan mendahului orang tua, dan sebagainya. Oleh karena itu, orang Melayu tampak acuh tak acuh. Bagi yang tidak mengenal watak orang Melayu, tentu berpendapat bahwa orang Melayu kurang berambisi atau kurang bergairah. Oleh karena sifat pemalunya, orang Melayu tidak mau ditegur, dimaki, dan dicerca di hadapan orang banyak, dihina di hadapan orang banyak, dipermalukan di hadapan orang, dan dihina tanpa sebab.
Oleh karena itu, jika bergurau dengan orang Melayu harus berhati-hati jangan sampai ia merasa malu di hadapan orang, karena bila tersinggung, malu, atau merasa dihina (diruntuhkan air mukanya) di hadapan orang banyak, maka sifat segannya akan hilang. Bila sudah demikian, orang Melayu akan bereaksi dengan kasar untuk mempertahankan harga diri.
c. Sifat Suka Damai atau Toleransi
Orang Melayu tahu diri. Ia selalu menghargai orang lain, sebagaimana menghargai dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia selalu terbuka dan berlapang dada. Setiap orang yang datang ke kampung halamannya selalu diberi pertolongan. Mereka beranggapan, orang tidak boleh tidur di jalan atau minum di sumur. “Biar rumah sempit, tapi hati lapang”. Orang yang dapat menghargai orang lain adalah orang yang berhati mulia. Kebaikan hati akan meningkatkan harga atau martabat diri, sekaligus martabat kampung halamannya.
Akibat dari sifat toleransi ini, orang Melayu sangat senang bertolak ansur, tidak cerewet atau banyak cing-cong, dan gampang berurusan. “Cincai-cincailah”, kata orang Cina. Sifat suka bertolak ansur dan tidak cerewet itu menyebabkan orang Melayu disegani para pendatang. Sifat ini juga menyebabkan orang Melayu suka mengalah, karena orang Melayu tidak mau ribut dan berselisih paham, yang akan menyebabkan harga dirinya luntur.
d. Sifat Sederhana
Orang Melayu selalu berpikir sederhana. Mereka tidak mau memikirkan suatu hal yang rumit dan sulit. Hidup selalu dilihat dari segi kesederhanaan, sederhana dalam pergaulan, memiliki harta, memakai pakaian dan perhiasan, berkata-kata, ketika bersuka ria, dalam cita-cita, dan sederhana dalam berusaha mencari rezeki. Sifat kesederhanaan ini juga berpangkal dari sifat tahu diri dan sadar diri. Orang Melayu sadar, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, segala isi dunia adalah milik Tuhan, hidup yang berlebihan tidak akan membuat hidup bahagia, dan hidup bahagia bukan pada harta, tetapi tertanam dalam hati. Pandangan hidup itu menyebabkan orang Melayu tenang, tidak tergesa-gesa, tidak tamak, tidak serakah, serta tidak berlomba-lomba mencari harta dan kedudukan.
Sifat sederhana menyebabkan orang Melayu tidak memiliki skala besar dalam berusaha dan bersaing dengan orang lain yang datang ke daerah Melayu. Sikap ini juga merupakan salah satu kerisauan cendekiawan Melayu, sebab orang Melayu abad ini tidak lagi berhadapan dengan kehidupan serba lamban dan sederhana. Orang Melayu harus melihat kembali kenyataan-kenyataan yang terjadi di luar dirinya. Orang Melayu harus berpartisipasi aktif memacu diri dalam era science dan teknologi yang memerlukan cara berpikir lebih future oriented.
Pandangan orang Melayu yang penulis nilai negatif adalah pandangan bahwa kemiskinan merupakan warisan keturunan yang tidak dapat diubah. Pandangan ini terlihat dalam pepatah yang berbunyi “Rezeki secupak tak kan dapat jadi segantang”. Dalam syair dikatakan (Ahmad, 1964: 46).
Jangan banyak pikir-memikir
Takdir tak dapat dimungkir
Nasib nak miskin tentulah fakir
Bolehlah tadbir menyalahi takdir
Rezeki secupak sudah terbentang
Ke mana dikejar tak dapat digantang
Nasib berhutang mesti berhutang
Janji nak malang, malanglah datang
Berdasarkan pandangan ini, penulis berpendapat bahwa orang Melayu kurang bergairah untuk kaya. Pepatah lain yang selalu didengungkan oleh orang tua berbunyi “Surga bagi orang kafir di dunia ini. Surga bagi kita orang Melayu yang beragama Islam di akhirat”. Dengan ajaran ini, memperbaiki hidup seolah-olah tidak ada gunanya. Apalagi berlomba-lomba berebut harta serta berebut pangkat dan kedudukan, karena semua itu bukan untuk orang Melayu. Oleh karena itu, orang Melayu kelihatan seperti orang yang malas berusaha, malas mencari yang lebih banyak, dan malas memperbaiki taraf hidup. Mereka puas dengan hidup sederhana.
e. Sifat Sentimentil dan Riang
Konsekuensi dari sifat tahu diri dan sadar akan harga diri menjadikan orang Melayu sangat sentimentil. Oleh karena mereka tahu akan kekurangan dan derajatnya dalam stratifikasi sosial, maka mereka selalu menekan perasaan. Keinginan dan hasratnya ditahan agar harga dirinya tidak hilang. Untuk menyalurkan gejolak perasaannya, mereka mengungkapkannya dalam bentuk lagu-lagu sedih, serta dalam nada-nada dan rentak yang sentimentil. Akan tetapi mereka tidak larut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Kesedihan dan kemalangan juga disalurkan dengan rentak dan nada gembira, seperti tercermin dalam rentak dan lagu-lagu berirama jpget, Patam-patam, Mainang, dan Zapin. Orang Melayu sadar bahwa meratapi kesedihan tidak akan mengubah nasib yang sudah ditakdirkan. “Apa guna kita bersedih, lebih baik kita bersuka ria”. Inilah satu imbangan dari sifat sentimentil yang mewarnai corak watak kepribadian orang Melayu.
f. Sifat Mempertahankan Harga Diri
Di atas telah diuraikan sifat orang Melayu yang baik dan menyenangkan. Sifat-sifat yang menyenangkan itu selalu terpancar dalam setiap interaksi sosial. Dalam interaksi sering terjadi kemacetan komunikasi yang disebabkan oleh ketidakcocokan watak yang menyertai orang yang sedang berkomunikasi. Kemacetan komunikasi itu sering terjadi karena tidak adanya sikap saling menghargai. Apabila salah seorang yang sedang berkomunikasi merasa harga dirinya hilang, maka ia akan merasa tersinggung. Dalam keadaan tersinggung, ia akan mengambil sikap protes dengan cara memutuskan hubungan. Sikap ini dikenal dengan istilah merajuk.
Merajuk berarti menutup diri untuk membicarakan masalah-masalah yang menyebabkan perasaannya tersinggung. Sikap merajuk itu diperlihatkan oleh orang Melayu sebagai tanda tidak setuju terhadap sikap, tingkah-laku, dan pandangan orang yang menyinggung perasaannya. Apabila sikap merajuk yang diperlihatkan tidak dihargai, bahkan diremehkan, maka ia akan mengambil sikap menjauhkan diri. Kadang-kadang ia pindah ke kampung atau negeri lain. Menjauhkan diri bertujuan untuk menghindarkan pertemuan dengan orang-orang yang telah menyinggung perasaannya. Sikap merajuk atau menjauhkan diri diambil, apabila ia merasa tak perlu memperpanjang persoalan yang kurang berarti. Tidak ada artinya bersikeras terhadap hal-hal yang kurang berarti demi mempertahankan harga diri. Namun demikian, apabila dalam interaksi terjadi pencemaran yang menjatuhkan harga diri seseorang, maka hilangnya harga diri itu akan dijawab dengan sikap amuk atau mengamuk.
Amuk atau mengamuk ialah suatu sikap untuk membela harga diri yang telah dicemarkan oleh seseorang. Harga diri dinilai tercemar apabila seseorang dipermalukan dan tidak mudah dihapuskan dalam waktu singkat. Perbuatan-perbuatan yang dipandang amat memalukan seseorang antara lain anak perempuannya dicemarkan orang, istrinya dilarikan orang, istrinya serong, dan kaum kerabatnya dihina orang. Dengan kata lain, sikap amuk timbul bila ia merasa dirinya telah dipecundangi atau dicabar orang. Akan tetapi, tidak semua hal tersebut menimbulkan sikap amuk, karena sikap amuk adalah suatu sikap paling akhir yang dapat dilakukan. Apabila telah memutuskan untuk mengamuk demi membela harga dirinya, ia harus mendahului dengan suatu sumpah (sesumbar). Sesumbar atau sumpah bertujuan untuk menimbulkan semangat, membulatkan tekad, menambah kekuatan, dan sekaligus mengumumkan kepada masyarakat bahwa sikap itu telah menjadi keputusan yang tak boleh ditarik lagi. Dengan sesumbar berarti seseorang telah memilih jalan akhir untuk memulihkan harga dirinya, yang berarti juga memutuskan segala hubungan dengan dunia dan masyarakat. Tekad amuk hanya mempunyai dua pilihan yang semuanya negatif, yaitu mati atau masuk penjara.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan sikap amuk, seseorang harus kembali pada sikap tahu diri dan sadar diri dengan cara mempertimbangkan segala akibat yang ditimbulkan oleh amuk. Ia harus mempertimbangkan dirinya, anak istrinya, keluarganya, sanak saudaranya, dan sebagainya. Apabila memutuskan amuk, berarti ia hanya bertekad untuk mati atau menderita di penjara.
Tekad untuk mati ini menyebabkan cara berpikir, sikap, dan tindakannya berubah. Perubahan itu menyebabkan seseorang menjadi liar, kasar, bengis, tidak peduli, tidak terkontrol, dan bertekad membunuh untuk memuaskan naluri yang paling buas. Dalam keadaan seperti itu, jiwa orang tersebut menjadi abnormal, hilang keseimbangan, dan pandangannya tidak jernih. Ia disebut naik pitam. Dalam hatinya bersemi marah dan tekad membinasakan. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak lagi dapat membedakan siapa lawan dan siapa kawan. Sikap ini menjadi lebih gila apabila korban telah jatuh. Untuk menghalanginya, ia harus dihindari atau dibinasakan. Oleh karena itu, sikap amuk amat jarang terjadi. Bila seseorang telah sesumbar dan senjata telah diasah atau dicabut, maka ia harus melaksanakan, dan jika tidak, ia akan disebut sebagai seorang pengecut.
Seseorang yang telah menjadi pengecut, harga dirinya akan lenyap, sehingga sesumbar dan menarik senjata sangat jarang dilakukan. Orang lebih suka bersikap sabar atau mengalah. Orang kemudian berkesimpulan bahwa orang Melayu bersifat sabar atau suka mengalah, karena dengan sikap ini ia dapat mempertahankan harga dirinya. Sikap amuk selalu dihindarkan, karena sikap ini paling tidak disukai oleh orang Melayu. Sikap ini sesungguhnya merupakan kompleksitas kepribadian orang Melayu yang bersifat irasional, tidak human, sebagai sifat kontras dari sifat-sifat lain yang luwes dan menyenangkan.
3. Pola Saling Menghormati Dan Saling Memberi
Menurut Kamus Antropologi, pengertian saling memberi dan saling menerima berkaitan dengan perasaan, martabat, dan penghormatan (penghargaan) terhadap diri sendiri (Winick, 1958: 231). Berdasarkan pengamatan dan hasil laporan para ahli sosial budaya, terutama ahli antropologi, diketahui bahwa hampir di seluruh kelompok masyarakat ditemui gejala saling menghormati dan saling memberi. Dengan kata lain, pola saling menghormati dan saling memberi merupakan gejala hakiki yang ditemukan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Namun, gejala tersebut bukan suatu aktivitas yang sama dan seragam dalam setiap masyarakat. Pola saling memberi itu berbeda dan bervariasi, karena kebutuhan manusia untuk saling memberi, saling membantu, dan saling mengasihi terbentuk dalam konteks nilai-nilai budaya yang berlaku. Dengan demikian, setiap pola saling menghormati dan saling memberi yang terdapat dalam setiap masyarakat manusia bersifat unik, yang berarti satu-satunya dan tidak sama dengan yang lain.
Begitu juga dengan pola saling menghormati dan saling memberi yang terdapat di dalam masyarakat Melayu. Gejala tersebut tidak lepas dari nilai-nilai adat-istiadat Melayu yang membentuk karakter, serta perasaan-perasaan yang menyertai setiap tindakan yang tampak dalam setiap interaksi.
Seperti telah disebutkan di atas pola saling menghormati dan saling memberi adalah salah satu gejala sosial. Artinya, kegiatan tersebut terjadi dalam situasi interaksi seseorang dengan orang lain atau sekelompok orang. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pola saling menghormati dan saling memberi yang hidup dalam masyarakat Melayu tersebut dikenal dengan istilah menanam budi, menabur budi, atau membuat budi. Ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama.
a. Menanam, Menerima, dan Membalas Budi
Menurut orang Melayu, budi berarti baik. Menanam budi berarti melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain (Ahmad, 1965:171). Dalam berbuat baik, tersirat perasaan memupuk persahabatan, rasa kasih, ingin membantu, dan persaudaraan. Menanam budi dapat juga disebut berbuat budi. Menanam budi erat kaitannya dengan sifat orang Melayu yang tahu diri dan mempertahankan harga diri.
Orang yang tahu diri dan ingin mempertahankan harga dirinya akan selalu menanam budi. Semakin banyak orang menanam budi, semakin mulia hati dan martabatnya dipandang orang. Dengan kata lain, semakin banyak memberi, maka semakin tinggi budi seseorang. Selain beberapa sifat yang telah disebutkan dalam uraian di atas, sifat suka menanam budi merupakan salah satu sifat menonjol dalam kehidupan pribadi setiap orang Melayu. Dalam menanam budi terkandung nilai kebaikan sebagai nilai tertinggi dalam pandangan hidup orang Melayu. Baik buruk perangai atau watak seseorang selalu dinilai dari budi yang diberikannya kepada orang lain.
Jika diamati dengan seksama, gejala saling menghormati dan saling memberi dalam masyarakat Melayu tampak dalam tiga kegiatan yang saling berkaitan, yaitu menanam budi (memberi), menerima budi (menerima), dan membalas budi (membalas atau mengembalikan).
b. Menanam Budi
Menanam budi disebut juga membuat budi atau menabur budi. Orang yang menanam budi disebut penanam budi. Menanam budi yang dilakukan oleh si penanam budi bertujuan untuk berbuat baik. Si penanam budi memberikan sesuatu yang dimiliki yang dipandangnya layak disertai dengan niat ikhlas untuk memberikan sesuatu kepada seseorang yang dinilai patut atau layak. Adapun jenis-jenis budi yang biasa diberikan mencakup benda, tenaga, sopan-santun, tutur-bahasa dan tegur-sapa, kunjung-mengunjungi, pinjam-meminjam, tanda mata, menjemput makan, suruh seraya, mintak pialang, mintak bagi, dan mintak.
Dalam kedua belas situasi interaksi tersebut seseorang memiliki peluang untuk menanamkan budinya kepada orang lain. Kedua belas situasi tersebut dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu (a) pemberian yang diberikan oleh si penanam budi dan (b) pemberian yang diminta oleh orang yang ingin menerima budi. Pada kategori pertama, kegiatan menanam budi (memberi) secara aktif datang dari si penerima budi. Kategori ini meliputi memberi benda, tenaga (diberi atau diminta), sopan-santun, tutur-bahasa dan tegur-sapa, kunjung-mengunjungi, pinjam-meminjam, tanda mata, dan menjemput makan. Pada kategori kedua, kegiatan menanam budi (memberi) diminta dengan sengaja oleh si penerima budi. Jenis yang termasuk dalam kategori ini antara lain suruh seraya, mintak pialang, mintak bagi, dan mintak. Agar kedua belas situasi di atas jelas, maka berikut ini diuraikan satu persatu secara singkat.
Memberi benda. Benda yang biasa diberikan sebagai alat penanam budi adalah makanan, buah-buahan, hasil bumi, hasil laut, hasil perburuan, dan oleh-oleh. Pemberian harus memperhatikan kualitas, kelangkaan, perasaan kebersamaan, dan tanda ingat. Faktor kualitas perlu diperhatikan, agar bentuk, rasa, dan rupa benda yang diberikan dalam keadaan baik. Pepatah Melayu mengatakan,
Jika ingin berbudi kepada orang
Berikanlah barang yang terbaik
Janganlah memberi barang yang sudah tak terpakai
Benda juga dapat diberikan apabila memang amat langka, seperti air zam-zam. Dalam keadaan langka, patokan benda bukan lagi bentuk, rasa, dan jumlah. Pemberian benda yang langka berkaitan dengan perasaan kebersamaan, karena benda yang langka harus dibagi rata, sehingga semua orang (tetangga) dapat merasakannya. Dalam keadaan demikian, yang dipentingkan adalah perasaan bersama. Jangan sampai memutihkan mata, menghampakan dada, terutama terhadap anak-anak. Pemberian yang sedikit itu sebagai simbol tanda ingat. Artinya, si pemberi tidak melupakan orang lain yang menjadi sahabatnya. Pemberian yang mengandung nilai tanda ingat bukan barangnya yang dinilai, akan tetapi perasaan ingat si pemberi yang dipentingkan. Si pemberi sadar benar akan dirinya, agar tidak terperangkap dalam sifat lokek atau tamak. Sifat tamak mencerminkan sifat tidak tahu menanam budi.
Memberikan tenaga. Tenaga juga digunakan untuk menanam budi. Menggunakan tenaga sebagai alat menanam budi dapat dilakukan, terutama oleh orang-orang yang tidak memiliki benda. Dengan tenaga, seseorang memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang yang mengharapkan bantuannya. Bantuan yang diberikan berupa: (a) bantuan ketika seseorang sakit; (b) bantuan berganjal (sejenis gotong royong), mengambil ramuan kayu rumah atau kayu bakar ke hutan; (c) bantuan kepada orang yang mengadakan pesta (perkawinan, khitanan, memotong rambut, dan berbagai kenduri); (d) bantuan pada keluarga yang sedang tertimpa kemalangan, misalnya tertimpa musibah kematian.
Tenaga sebagai alat menabur budi dibedakan menjadi tenaga yang diberikan dan tenaga yang diminta. Kedua jenis tenaga tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap tahu diri dan sadar diri. Tenaga secepatnya diberikan kepada orang yang memerlukan, seperti mengunjungi orang sakit dan melayat. Tenaga tidak diberikan begitu saja kepada orang yang sedang mengadakan pesta, dan orang tidak akan memberikan tenaganya jika tidak diundang dengan aturan adat.
Sopan-Santun. Sopan-santun adalah sikap dan tingkah-laku yang halus dan tertib yang tampak ketika seseorang berinteraksi. Sikap dan tingkah-laku yang halus tercermin dari gerak-gerik kepala, mata, bibir, bahu, tangan, jari, badan, kaki, air muka, dan cara berpakaian. Sopan-santun dilakukan kepada kedua orang tua (ibu dan bapak), kerabat, orang-orang tua dalam masyarakat, dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Gerak-gerik yang halus juga tercermin ketika seseorang bersalaman, berbicara, menunjuk, menghadap orang tua, makan bersama, berpakaian, berjalan, dan sebagainya. Tingkah-laku yang dinilai tertib, penuh sopan-santun, dan penuh penghormatan antara lain:
a) Tidak berbicara keras dengan ibu-bapak, berbicara dengan menyebut diri “saya” atau nama diri dengan panggilan kesayangan orang tua seperti “are”, “dayang”, dan sebagainya. Jika laki-laki, ketika berbicara memakai songkok (peci) dan duduk bersila, dan jika perempuan bersimpuh.
b) Jika lewat di hadapan orang tua atau orang tua sedang bercakap, atau tamu-tamu terhormat sedang duduk-duduk bercakap, maka orang yang lewat harus menundukkan badan sambil tangan kanannya diarahkan ke depan agak ke bawah, sedang tangan kiri diletakkan di bawah pergelangan tangan kanan seolah-olah mengangkat tangan kanan, sambil berkata, “Tabik saya numpang lalu”, dengan berjalan lambat-lambat sambil tumit diangkat sedikit, sehingga badan bertopang pada bagian depan kaki. Maksudnya agar gerakan itu lembut dan tidak mengeluarkan suara dan tidak mengganggu orang tua yang sedang berbicara.
c) Jika ingin mempersilakan orang atau orang yang amat dihormati masuk ke rumah atau ke suatu majelis, tuan rumah atau orang yang bertugas menyambut tamu dengan cepat mendahului datang menyongsong sambil merendahkan badan, berjabat tangan dengan posisi tangan kanan ditelentangkan, tangan kiri di bawah pergelangan tangan kanan.
d) Jika bersalaman, badan dibungkukkan, tangan kanan memegang telapak tangan kanan orang yang diajak bersalaman, tangan kiri menempel di pergelangan tangan kanan. Kemudian tangan kanan ditarik dengan lembut, ujung jari kanan disentuhkan ke dahi, lalu ujung tangan berpindah menyentuh dada kiri. Artinya, orang yang bersalaman itu benarbenar menghargai dan menghormati tamunya dengan hati tulus ikhlas. Orang yang dihormati merasa sangat dimuliakan, karena diterima dengan hormat, didudukkan di tempat yang layak dengan cara yang paling sesuai dengan perasaan hormat si penerima tamu.
e) Jika menunjukkan sesuatu kepada orang tua atau tamu terhormat, seseorang hendaknya menggunakan ibu jari kanan dan tangan kiri menempel di bawah pergelangan tangan kanan. Jari telunjuk hanya digunakan ketika orang yang marah menuding seseorang yang sedang dimarahi.
f) Jika berpapasan dengan orang tua, orang yang muda menyapa terlebih dahulu, “Hendak ke mana Pak Ngah?” Ketika menyapa, ia berhenti di pinggir jalan, lalu meneruskan perjalanan setelah orang yang dihormati melewatinya.
g) Jika bertemu orang tua yang membawa beban berat, orang muda diwajibkan mengantarkan beban orang tua itu sampai ke rumah. Ia harus menunda perjalanannya dahulu, kecuali orang tua itu menolak dengan alasan tidak mau mengganggu perjalanan anak muda tersebut. Apalagi kalau ia bertemu dengan orang tuanya sendiri yang sedang membawa beban berat. Ia harus mengantar beban itu ke rumah. Jika orang muda (lakilaki) bertemu seorang gadis di jalan dan ia kenal, ia harus menyapanya dengan tegur sapa yang halus dan tidak boleh berhenti untuk berbicara, kecuali jika gadis itu masih kerabatnya. Namun tetap tidak boleh bergurau panjang lebar dengan suara besar. Jika hal ini terjadi, tingkah-laku demikian dianggap tidak sopan atau sumbang. Tingkah-laku sumbang ialah tingkah-laku pergaulan laki-laki dan perempuan yang melanggar norma adat-istiadat. Sumbang dapat juga berupa sumbang kata, sumbang tingkah, sumbang niat, dan sumbang pergaulan.
h) Ketika makan, masing-masing orang yang ikut makan bersama duduk bersila. Yang muda mengambilkan nasi yang lebih tua. Ketika makan, seseorang hendaknya berpakaian sopan dan berpeci (bersongkok). Jika tidak mempunyai peci, ia harus mencari gantinya, misalnya dengan cara meletakkan sebatang rokok atau segulung kertas kecil di antara celah daun telinganya. Ketika makan tidak boleh berbicara kuat-kuat, tidak boleh berbicara kotor dan menjijikkan (menggelikan), tidak boleh berludah atau berdahak (membuang lendir mulut), dan sebagainya. Jika orang muda selesai makan, ia harus menunggu orang yang lebih tua selesai, setelah itu barulah mencuci tangannya.
Menurut tata tertib lama, apabila makan dengan lauk kerang rebus, maka kerang itu harus dibuka dengan sebelah tangan, yaitu dengan tangan kanan. Jika ingin membalik ikan harus minta izin terlebih dahulu kepada yang lebih tua. Meletakkan atau mengangkat hidangan harus dilakukan dengan cara yang paling sopan. Saat ini tingkah-laku sopan-santun makan tersebut telah banyak mengalami perubahan. Sudah banyak orang Melayu yang makan sambil duduk di kursi, karena hidangan disajikan di atas meja. Pada beberapa keluarga modern juga sudah ada yang menggunakan sendok-garpu seperti orang Barat.
Orang yang sopan, tertib, dan halus dalam bersikap dan bertingkah-laku terhadap orang lain, berarti ia telah memberikan budi dalam bentuk penghormatan.
Tutur-Bahasa dan Tegur-Sapa. Antara tutur-bahasa dan tegur sapa tidak dapat dipisahkan. Tutur-bahasa ialah bahasa yang halus serta nada suara lembut yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain, terlebih kepada orang tua dan orang yang dihormati. Bahasa dan istilah yang digunakan tepat, baik dari segi pangkat (jenjang berdasarkan strata sosial) maupun umur dan jenis kelamin.
Tegur-sapa ialah keramahtamahan dalam menyapa atau menegur seseorang dengan bahasa dan sapaan yang tepat dan hormat. Orang yang ramah disebut baik tegur sapanya, sedangkan orang yang tidak ramah disebut berat mulut. Tutur-bahasa dan tegur-sapa juga dinilai sebagai alat penanam budi. Orang yang halus tutur-bahasanya dan baik tegur-sapanya disebut orang berbudi, karena mencerminkan hati yang baik.
Kunjung-mengunjungi. Berkunjung ke rumah tetangga atau sahabat merupakan tanda keramahan hati. Berkunjung ke rumah seseorang menunjukkan keikhlasan hati yang diiringi sikap bersahabat atau bersaudara.
Kunjung-mengunjungi merupakan salah satu bentuk menanam budi. Berkunjung yang baik dilakukan secara seimbang, artinya, kedua sahabat yang setara, baik usia maupun pangkat, selalu saling berkunjung ke rumah masing-masing. Kunjung-mengunjungi ketika hari raya, terutama kepada yang lebih tua, merupakan keharusan. Kunjung-mengunjungi dapat dilakukan setiap hari pada waktu yang dianggap tepat, yaitu setiap saat selain tengah malam dan subuh. Waktu berkunjung tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu. Menurut pepatah Melayu, “Pintu setiap saat terbuka untuk menerima orang, baik siang maupun malam”.
Semakin banyak tamu yang datang ke rumah seseorang, menandakan tuan rumah disukai dan dihormati, karena selalu berlapang dada. Berlapang dada berarti suka menerima kunjungan dengan hati yang jernih dan ikhlas. Rumah yang jarang dikunjungi orang, karena tuan rumahnya kurang berlapang dada sering disebut “tangga rumahnya berlumut”, karena jarang diinjak orang.
Pinjam-meminjam. Pinjam-meminjam merupakan suatu kegiatan interaksi sosial yang selalu tampak dalam kehidupan orang Melayu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Dalam kegiatan pinjam-meminjam, juga tersedia kesempatan bagi orang yang ingin menanam budi. Pinjam-meminjam itu akan berbalasan. Pinjam-meminjam terjadi apabila seseorang dalam keadaan sesak atau berada dalam situasi yang sangat memerlukan sesuatu yang sangat dibutuhkan saat itu. Meminjam hanya dilakukan dalam keadaan “sesak”. Orang yang mau meminjamkan sesuatu kepada orang yang dalam keadaan sesak, disebut orang yang “melepas sesak”. Orang seperti itu disebut orang berbudi.
Tanda Mata. Tanda mata merupakan pemberian kepada seseorang yang dikasihi. Tanda mata dapat berupa perhiasan, pakaian, atau senjata. Tanda mata merupakan lambang kasih sayang atau kenang-kenangan agar si pemakai selalu ingat kepada si pemberi. Oleh karena itu, tanda mata merupakan benda-benda yang tahan lama yang dapat dipakai, disimpan, atau dijadikan alat perhiasan. Kadang-kadang pemberian tanda mata merupakan suatu keharusan kepada sanak yang baru berumah tangga. Tanda mata semacam itu diserahkan bila kedua mempelai datang menyembah (sungkem) ke rumah sanak keluarga terdekat. Dengan demikian, tanda mata merupakan alat untuk menanam atau menabur budi.
Menjemput Makan. Menjemput atau mengundang makan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Melayu. Orang yang diundang biasanya kerabat dekat yang baru datang dari jauh, sahabat atau teman akrab yang baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah, dan sahabat-sahabat dekat yang disenangi. Ada tiga kriteria orang yang dikenal, yaitu pertama, kenalan yang boleh dibawa ke rumah dan boleh dikenalkan dengan seluruh keluarga. Kedua, kenalan yang hanya boleh dibawa minum di kedai kopi. Orang demikian jangan dibawa ke rumah, apalagi dikenalkan kepada keluarga. Ketiga, kenalan yang dikenal di jalan. Orang demikian tidak boleh diajak minum ke kedai kopi, apalagi dibawa ke rumah. Kenalan yang diundang makan ke rumah adalah kenalan yang benar-benar akrab dan dapat dipercaya. Menjemput makan juga salah satu bentuk menanam budi kepada orang-orang yang diundang makan.
Suruh-Seraya. Suruh-seraya adalah memohon bantuan kepada seseorang secara halus. Di sini terlihat bahwa penanam budi tidak berasal dari orang yang ingin menanam budi saja, tetapi diminta oleh orang yang ingin menerima budi. Suruh-seraya biasanya dalam bentuk tenaga. Dalam interaksi suruh-seraya terjadi saling memberi dan saling menerima budi.
Mintak Pialang. Mintak pialang merupakan istilah yang dipakai untuk meminta tolong membelikan benda atau barang dengan menggunakan uang orang yang dimintai tolong. Uang itu akan diganti setelah barang atau benda yang dipesan sampai. Mintak pialang juga sebagai jalan menanam budi yang dapat diberikan kepada orang yang meminta bantuan.
Mintak Bagi. Mintak bagi berarti minta izin membeli barang-barang atau benda yang dimiliki seseorang. Biasanya barang atau benda tersebut tidak ada di tempat lain. Mintak bagi sangat tergantung dari sikap orang yang memiliki barang. Ia dapat menjualnya atau memberikan saja. Ia dapat menyatakan “tidak” terhadap orang yang tidak disenangi, atau ia menyatakan agar diambil saja, tidak usah dibayar. Dalam interaksi mintak bagi itu, orang berkesempatan untuk menanam budi dan menerima budi.
Mintak. Mintak berarti minta. Minta dilakukan apabila orang meminta sesuatu, baik benda, buah-buahan, hasil bumi, dan sebagainya. Mintak hanya dilakukan kepada orang yang amat dikenal. Mintak tidak dapat dilakukan terhadap sembarang orang. Apabila dilakukan kepada orang yang tak dikenal atau kurang akrab, maka perbuatan mintak itu sangat menjatuhkan harga diri.
Akan tetapi dalam proses mintak, orang yang memiliki barang atau benda mendapat kesempatan untuk menanam budi. Barang atau benda yang diminta biasanya berupa barang-barang kecil seperti pucuk-pucuk daun, daun obat, sirih, daun pisang, daun inai, dan sebagainya. Benda-benda tersebut jika dinilai dengan uang nilainya sangat rendah. Dalam mintak, yang diutamakan bukan nilai barangnya, akan tetapi nilai budinya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa orang Melayu sangat menghargai dan mengutamakan budi. Budi lebih penting daripada materi. Materi atau benda adalah alat untuk menanam atau membuat budi. Kuatnya nilai menanam budi atau menabur budi sebagai salah satu watak orang Melayu dapat dipelajari dari pantun-pantun atau nyanyian seperti berikut:
Pulau Pandan jauh ke tengah
Gunung Daik bercabang dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik terkenang juga
Pisang emas bawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas dapat dibayar
Hutang budi dibawa mati
Dari Penyengat ke Tanjungpinang
Sarat dengan ubi keladi
Adik teringat abang terkenang
Karena ingat bahasa dan budi
Musalmah memakai sanggul
Turun ke sawah menanam padi
Emas sekoyan dapat kupikul
Aku tak sanggup menanggung budi
Puas sudah menanam ubi
Nenas juga disukai orang
Puas sudah menanam budi
Emas juga dikenang orang
Dari pantun-pantun tersebut terlihat bahwa budi menjadi ukuran kebaikan seseorang. Kadang-kadang budi tidak dihargai oleh si penerima budi. Dalam keadaan seperti itu, si pemberi budi meratap dan merajuk karena si penerima budi lebih menghargai uang dan ringgit daripada budi. Pemberian budi memang tidak selalu berjalan mulus. Kadangkadang budi yang diberikan itu mendatangkan rasa sedih, kesal, dan tersinggung, karena tidak diterima sebagaimana yang diharapkan. Pemberian budi mempunyai dua motif, pertama, pemberian bermotif berbuat baik, semata-mata agar diingat dan dikenang orang. Kedua, pemberian bermotif mengharapkan suatu balasan. Penanaman budi seperti ini dapat mempersulit orang yang menerima budi.
Penanaman budi sebagai ciri pola saling memberi yang telah mendarah daging dalam kehidupan orang Melayu tidak mempunyai motif untuk bersaing mengangkat martabat atau gengsi di masyarakat. Namun, ada anggota masyarakat yang melakukan kegiatan saling memberi dengan maksud saling berlomba-lomba untuk meningkatkan martabat diri (Mauss, 1967:18).
c. Menerima Budi
Budi diberikan kepada orang lain seperti misalnya saudara sekerabat, tetangga, dan sahabat karib. Orang yang menerima budi disebut penerima budi. Semakin banyak ia menerima budi, semakin banyak ia merasa berhutang budi. Menurut adat-istiadat Melayu, budi yang diberikan harus diterima dan dihargai sebagai tanda penghargaan dengan menyampaikan ucapan terima kasih. Kadang-kadang ucapan terima kasih disampaikan dalam bentuk ungkapan “Terima kasih daun keladi, kalau lebih minta lagi”. Orang yang menolak pemberian budi berarti tidak ingin menjalin persahabatan, tidak mau dibantu, ditolong, atau dikenang. Berarti ia mampu berdiri sendiri di tengah masyarakat. Orang yang tidak menerima budi dinilai tinggi hati, angkuh, dan harga dirinya amat tinggi. Penolakan budi merupakan suatu pernyataan sikap tidak bersahabat. Oleh karena itu, budi sekecil apapun harus diterima agar si pemberi merasa senang, puas, dan tidak malu atau kehilangan muka.
Orang yang banyak menerima budi tanpa dapat mengimbangi dengan budi yang telah dilimpahkan kepada dirinya atau keluarganya disebut sudah termakan budi atau menanggung budi. Orang yang sudah termakan budi orang lain biasanya merasa amat berhutang budi. Hutang budi menurut pantun Melayu tidak dapat dihargai dengan apapun. Budi tidak dapat dibayar dengan uang, karena budi mengandung kebaikan yang susah dilunasi. Oleh karena itu, budi tidak akan dapat dibalas sampai mati. Budi akan dibawa ke kubur bersama penerimanya. Sebaliknya, kebaikan budi itu akan terkenang (diingat) selalu, sekalipun jasadnya hancur dikandung tanah.
Oleh karena budi tidak dapat dilunasi, maka budi mengikat batin si penerima dan si pemberi. Kadang-kadang si penerima budi mendapat kesulitan, karena di waktu-waktu sesudahnya si pemberi budi mengharapkan sesuatu dari si penerima budi, namun permintaan itu sulit untuk dipenuhi. Oleh karena telah termakan budi, maka si penerima terpaksa dengan segala keberatan hati meluluskan permintaan itu. Di sini letak kesulitan yang dihadapi oleh orang yang telah banyak menerima budi atau termakan budi. Oleh karena itu, kadang-kadang terjadi penanaman budi hanya sebagai alat untuk mendapatkan imbalan (balasan) dari si penerima budi. Penanaman budi yang demikian telah menyimpang dari tujuan penanaman budi yang sesungguhnya.
Dalam hal serupa, si penerima budi harus berhati-hati. Jika ada tanda-tanda yang menuju ke arah itu, ia harus waspada dan berusaha mengelak untuk tidak menerima budi dengan cara yang amat halus, agar si pembuat budi tidak kehilangan muka. Dalam pantun dikatakan:
Turun ke sawah menanam padi
Hendak dijual ke Pekan Lama
Jangan suka menanggung budi
Kerap kali jadi binasa
Walaupun orang tahu ada penanaman budi yang menimbulkan kesulitan, namun si penerima budi dengan cepat dapat membedakan budi yang sesungguhnya dan budi yang palsu.
d. Membalas Budi
Sesuai dengan tujuan menanam budi, yaitu untuk berbuat baik, maka si penerima budi tidak diwajibkan membayar atau membalas budi yang diterimanya. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban untuk membalas budi seseorang. Akan tetapi, setiap orang yang menerima budi merasa berkewajiban membalas kebaikan yang diberikan dengan kebaikan pula. Membalas budi tersebut sebagai tanda si penerima budi tahu membalas budi. Membalas budi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pemberian, undangan, bantuan tenaga, pengabdian, sopan-santun, tegur-sapa, dan pengorbanan. Dengan kata lain, pembalasan budi disesuaikan dengan kemampuan seseorang.
Sehubungan dengan membalas budi ini dikenal istilah “orang tak tahu membalas budi”. Orang yang disebut “tak tahu membalas budi” ialah orang yang membalas kebaikan yang diberikan orang kepadanya dengan sikap dan tingkah-laku yang berlawanan, seperti mencemarkan nama si pemberi budi, melupakan budi dengan cara tidak mau menghormati, menegur, menyapa, dan datang berkunjung, serta bicara dengan kata-kata kasar. Kadang-kadang perbuatan tidak tahu membalas budi itu tampak dalam tingkahlaku yang lebih kasar dan keras. Dengan kata lain, orang yang tidak tahu membalas budi itu tidak mengingat sedikit pun budi baik yang telah diterimanya. Pepatah Melayu selalu mengingatkan, “Janganlah tempat makan dijadikan tempat berak”. Orang yang menjadikan tempat makan menjadi tempat berak adalah orang yang “tak tahu membalas budi”.
Perbuatan tidak membalas budi itu bila diketahui oleh orang yang pernah memberi budi disebut “kedapatan budi”. Kedapatan budi berarti melakukan perbuatan yang tidak layak atau tidak pantas yang ditujukan kepada seseorang yang pernah memberi budi. Perbuatan tidak pantas itu dapat berupa mencemarkan nama, memfitnah, menganiaya, menipu, dan sebagainya. Orang yang kedapatan budi itu biasanya dinilai berperangai tidak baik, sehingga tidak perlu dijadikan sahabat. Orang yang kedapatan budi disebut dalam ungkapan sebagai: Menggunting dalam lipatan, pagar makan tanaman, membesarkan anak buaya, susu dibalas dengan tuba, musuh dalam selimut, dan di luar lurus di dalam bengkok. Orang yang tak tahu membalas budi memiliki sifat-sifat licik, curang, palsu, dan sebagainya.
4. Penutup
Pola saling menghormati dan saling memberi yang dikenal dengan saling menanam budi masih hidup dalam masyarakat Melayu hingga saat ini. Bahkan kebiasaan itu tidak hanya berlaku untuk orang Melayu saja, tetapi juga untuk sukubangsa lain dan orang asing, terutama orang Cina yang sudah lama menetap di daerah ini.
Orang Melayu mengirim kue-kue buatannya sendiri kepada orang Cina sahabatnya yang sedang merayakan tahun baru. Sebaliknya, orang Cina membalas budi baik itu dengan mengirimkan tepung terigu, telur ayam, mercon, bunga api, dan sebagainya kepada orang Melayu yang sedang merayakan hari raya.
Kebiasaan memberi dan saling menghormati telah mentradisi yang terjalin dalam hubungan orang Melayu dan orang Cina hingga saat ini. Kebiasaan itu sudah menjadi adat kebiasaan yang meresap dan merupakan salah satu ciri sifat kepribadian orang Melayu. Sifat ini dapat dinilai secara positif maupun negatif, tergantung dari sudut pandang mana orang menilainya. Yang lebih penting adalah melalui tulisan ini orang menjadi tahu kebiasaan hidup orang Melayu. Semoga.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.
Orang Melayu Riau mengenal pola saling menghormati dan saling memberi dengan istilah menanam budi yang bertujuan untuk menanam budi. Tinggi rendah derajat seseorang selalu diukur dari budi yang diberikan kepada orang lain. Semakin banyak menanam budi, kedudukan dan kehormatan seseorang di masyarakat akan semakin tinggi. Bagi orang Melayu, kehalusan dan ketinggian budi menjadi hal yang utama. Menanam budi tidak hanya berbentuk pemberian materi, tetapi juga dapat berbentuk bantuan tenaga, pemikiran, serta perlakuan dan tutur-bahasa yang sopan dan halus.
1. Pendahuluan
Sebenarnya penulis tidak cukup mampu untuk mengupas masalah di atas, karena bekal pengetahuan yang penulis miliki sangat terbatas. Oleh karena itu, kadar ilmiah dalam makalah ini masih sangat rendah. Dalam hal ini, penulis mengambil sikap sebagai seorang informan yang berasal dari masyarakat Melayu. Sebagian besar uraian dalam makalah digali dari pengalaman pribadi sebagai orang Melayu yang lahir dan besar di daerah Riau Lautan, sehingga penulis membatasi uraian pada masyarakat Melayu Lautan saja. Agar tidak terjadi kekeliruan, setiap istilah orang Melayu yang disebutkan dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menyebut orang Melayu Lautan.
2. Ciri-Ciri Kepribadian Orang Melayu
Sebelum diuraikan tentang pola saling menghormati dan saling memberi dalam kehidupan masyarakat Melayu, terlebih dahulu penulis akan menguraikan ciri-ciri kepribadian orang Melayu. Menurut Koentjaraningrat (1970: 130), ciri-ciri kepribadian orang Melayu ialah watak orang Melayu yang tampak pada umumnya (modal personality). Terbentuknya watak umum tidak lepas dari tuntutan norma adat-istiadat yang terdapat dalam masyarakat Melayu. Watak umum dan kepribadian orang Melayu yang dilukiskan di sini adalah watak kepribadian orang Melayu yang ideal, yang dianggap baik dan menjadi tuntutan adat-istiadat yang berlaku. Penonjolan watak kepribadian yang elok ini bukan berarti etnocentris, seperti “katak di bawah tempurung”, namun juga karena melihat watak-watak yang lemah atau buruk.
Dalam Kamus Antropologi (1979: 3) disebutkan bahwa yang dimaksud adat-istiadat Melayu adalah semua konsep serta aturan-aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam system budaya orang Melayu, yang menata tindakan-tindakan anggota masyarakat dalam kehidupan sosial dan kebudayaan. Ciri kepribadian orang Melayu pada umumnya tidak lepas dari cara orang Melayu melihat dunia sekelilingnya, melihat dirinya sendiri, kesadaran agamanya, kesadaran terhadap kebutuhan hidup sehari-hari, kesadarannya di tengah-tengah orang lain dan orang asing, dan sebagainya. Semua itu mencetuskan sikap dan tingkah-laku orang Melayu dalam menghormati orang lain sesuai dengan tuntutan adat-istiadatnya. Hal ini perlu dikemukakan, karena banyak orang non-Melayu yang keliru menilai kepribadian orang Melayu. Kadang-kadang timbul salah pengertian atau kesengajaan dalam menilai kepribadian masing-masing. Melayu sering diartikan lari, ka-rena orang Melayu suka mengalah. Selain itu ada anggapan bahwa orang Melayu adalah perajuk, karena apabila tersinggung mereka suka menjauhkan diri. Orang Melayu juga sering disebut Melayu kopi daun dan sebagainya. Kata-kata ini selalu dilontarkan orang Belanda (pada zaman penjajahan) untuk menghina orang Melayu.
Tulisan tentang orang Melayu sudah banyak, baik yang berhubungan dengan sejarah Melayu, kepahlawanan orang Melayu, cendekiawan Melayu, kesusastraan Melayu ataupun yang lain. Akan tetapi penulis belum menemukan karya tulis yang khusus membahas ciri-ciri atau watak kepribadian orang Melayu. Penulis menyadari betapa sukarnya mengungkap dan memaparkan ciri-ciri kepribadian orang Melayu agar dapat diterima. Penulis perlu mempelajari kembali pengalaman pribadi masa kanak-kanak. Penulis dibesarkan dan dididik dalam lingkungan tradisi masyarakat Melayu. Penulis mencoba mengenang kembali kata-kata, pepatah-pepatah, sindiran-sindiran, pesan-pesan, petuah-petuah, larangan-larangan, hukum-hukum, teladan orang tua, puji-pujian, dongeng-dongeng yang diceritakan, dan sebagainya.
Dalam mengkaji watak umum kepribadian orang Melayu, penulis bertitik tolak dari sana. Dengan kata lain, penulis mempelajari diri sendiri sebagai orang Melayu. Setelah mempelajari pengalaman itu, penulis berkesimpulan bahwa ajaran orang tua kepada anaknya bertujuan agar anak menjadi orang yang selalu sadar diri, tahu diri, tahu diuntung, dan mempunyai harga diri. Keempat hal ini saling berkaitan dan selalu dipompakan kepada setiap anak.
Harga diri merupakan tonggak yang ingin selalu ditegakkan, agar setiap orang sadar diri dan tahu diri. Orang yang tidak tahu diri tidak akan pernah dapat mempertahankan harga dirinya. Orang yang tahu diri berarti tahu kedudukannya dalam keluarga; tahu hak dan kewajibannya di tengah-tengah keluarga; tahu asal-usul keturunan keluarga; tahu kedudukan diri dan keluarga di tengah-tengah masyarakat (bangsawan atau orang biasa); sadar sebagai orang tak punya; sadar akan kewajiban dan tata-tertib yang dituntut adatistiadat yang berlaku; tahu akan tugas yang dipercayakan; sadar akan kekurangan diri dari segi pengetahuan, pengalaman, keterampilan, maupun rupa (bentuk fisik); ikut merasakan orang yang susah dan sulit; sadar bahwa dunia dengan segala isinya adalah milik Tuhan; serta sadar bahwa hidup ini hanya sementara.
Aspek tahu diri, sadar diri, sadar diuntung, dan mempunyai harga diri merupakan hal yang harus diajarkan kepada anak agar anak bertingkah-laku sesuai dengan tuntunan adat-istiadat yang berlaku. Dari keempat aspek tersebut muncul kemudian watak orang Melayu yang bersifat merendah, bersifat pemalu atau penyegan, bersifat suka damai atau toleransi, bersifat sederhana, bersifat sentimentil dan riang, dan bersifat mempertahankan harga diri.
a. Sifat Merendah
Sifat merendah merupakan sifat yang menjadi tututan utama dalam pergaulan orang Melayu. Orang yang selalu merendah berarti tahu diri dan sadar diri. Sifat ini tercermin pada sikap yang tertib, sopan, dan hormat. Sikap-sikap tersebut tampak pada gerak-gerik dan tutur-bahasanya, terutama bila berhadapan dengan kaum kerabat atau anggota masyarakat yang lebih tua, bahkan terhadap orang asing. Sikap merendah tidak sama dengan sikap menghina-hina diri. Dengan sikap merendah, seseorang justru menjaga martabat (harga diri). Orang Melayu tidak mau dibenci masyarakat karena sikap dan tingkah-laku atau tutur bahasa yang tidak memperhatikan martabat diri. Sikap itu menunjukkan bahwa seseorang tidak tahu diri dan tidak tahu diuntung. Sifat merendah tampak jelas dalam pepatah Melayu (Ahmad, 1964: 43),
Bercakap biar ke bawah-bawah
Mandi biar ke hilir-hilir
Jangan bawa sifat ayam jantan
Tapi bawalah sifat ayam betina
Kalau pergi ke rantau orang
Sikap merendah orang Melayu tidak hanya ditujukan kepada orang yang lebih tua, orang besar, pemuka adat, dan alim ulama, tetapi juga ditujukan kepada penghuni alam sekelilingnya. Oleh karena itu, jika seseorang melewati tempat angker, ia akan merendah dengan berkata, “Tabik Datuk, anak cucu numpang lalu”. Menurut orang Melayu, dengan merendah, ia akan selamat. Seseorang yang takut seorang diri di laut atau di hutan, ia akan berkata, “Tabik Datuk, jangan ganggu, anak cucu mencari makan”.
Nama Melayu sering dikaitkan dengan sifat orangnya yang merendah, melayu-layukan diri seperti bunga atau daun yang layu, karena bunga yang kelopaknya layu pasti melempai atau terkulai ke bawah. Lawan dari sifat merendah adalah sifat yang suka menonjolkan diri, sombong, serta merasa serba pandai. Sifat-sifat ini paling dibenci orang Melayu. Orang Melayu tidak boleh telajak kata, tidak boleh hidung tinggi, tidak boleh hidup mengganjil, tidak boleh menunjuk pandai, tidak boleh berjalan mendada, dan tidak boleh songkok senget. Pendeknya, tidak boleh sombong dan besar cakap (Ahmad, 1964: 39). Sifat merendah juga tampak saat orang Melayu berkata mengajak tamunya makan, “Silakan jemputlah makan Encik. Tak ada apa-apa, makan tak belauk”. Padahal hidangan yang disajikan penuh dengan lauk-pauk. Jika mengajak tamunya singgah ke rumah, orang Melayu akan berkata, “Singgahlah Encik ke gubuk kami yang buruk ini”. Padahal rumahnya cukup besar dan perabotannya komplit. Kalau ingin berbicara, mereka selalu berkata, “Terlebih dahulu saya minta maaf”.
b. Sifat Pemalu atau Penyegan
Sifat pemalu juga bertolak dari sifat tahu diri, sadar diri, tahu diuntung, dan harga diri. Sifat pemalu merupakan sifat yang menjaga harga diri (martabat). Orang yang tidak tahu malu berarti tidak tahu diri dan tidak menghargai diri sendiri. Sifat pemalu tercermin dalam sikap dan tingkah-laku, seperti segan meminta bantuan, segan menonjolkan diri, segan mengadukan kesusahan, segan mengambil muka, segan berebut (tamak), segan mendahului orang tua, dan sebagainya. Oleh karena itu, orang Melayu tampak acuh tak acuh. Bagi yang tidak mengenal watak orang Melayu, tentu berpendapat bahwa orang Melayu kurang berambisi atau kurang bergairah. Oleh karena sifat pemalunya, orang Melayu tidak mau ditegur, dimaki, dan dicerca di hadapan orang banyak, dihina di hadapan orang banyak, dipermalukan di hadapan orang, dan dihina tanpa sebab.
Oleh karena itu, jika bergurau dengan orang Melayu harus berhati-hati jangan sampai ia merasa malu di hadapan orang, karena bila tersinggung, malu, atau merasa dihina (diruntuhkan air mukanya) di hadapan orang banyak, maka sifat segannya akan hilang. Bila sudah demikian, orang Melayu akan bereaksi dengan kasar untuk mempertahankan harga diri.
c. Sifat Suka Damai atau Toleransi
Orang Melayu tahu diri. Ia selalu menghargai orang lain, sebagaimana menghargai dirinya sendiri. Oleh karena itu, ia selalu terbuka dan berlapang dada. Setiap orang yang datang ke kampung halamannya selalu diberi pertolongan. Mereka beranggapan, orang tidak boleh tidur di jalan atau minum di sumur. “Biar rumah sempit, tapi hati lapang”. Orang yang dapat menghargai orang lain adalah orang yang berhati mulia. Kebaikan hati akan meningkatkan harga atau martabat diri, sekaligus martabat kampung halamannya.
Akibat dari sifat toleransi ini, orang Melayu sangat senang bertolak ansur, tidak cerewet atau banyak cing-cong, dan gampang berurusan. “Cincai-cincailah”, kata orang Cina. Sifat suka bertolak ansur dan tidak cerewet itu menyebabkan orang Melayu disegani para pendatang. Sifat ini juga menyebabkan orang Melayu suka mengalah, karena orang Melayu tidak mau ribut dan berselisih paham, yang akan menyebabkan harga dirinya luntur.
d. Sifat Sederhana
Orang Melayu selalu berpikir sederhana. Mereka tidak mau memikirkan suatu hal yang rumit dan sulit. Hidup selalu dilihat dari segi kesederhanaan, sederhana dalam pergaulan, memiliki harta, memakai pakaian dan perhiasan, berkata-kata, ketika bersuka ria, dalam cita-cita, dan sederhana dalam berusaha mencari rezeki. Sifat kesederhanaan ini juga berpangkal dari sifat tahu diri dan sadar diri. Orang Melayu sadar, bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, segala isi dunia adalah milik Tuhan, hidup yang berlebihan tidak akan membuat hidup bahagia, dan hidup bahagia bukan pada harta, tetapi tertanam dalam hati. Pandangan hidup itu menyebabkan orang Melayu tenang, tidak tergesa-gesa, tidak tamak, tidak serakah, serta tidak berlomba-lomba mencari harta dan kedudukan.
Sifat sederhana menyebabkan orang Melayu tidak memiliki skala besar dalam berusaha dan bersaing dengan orang lain yang datang ke daerah Melayu. Sikap ini juga merupakan salah satu kerisauan cendekiawan Melayu, sebab orang Melayu abad ini tidak lagi berhadapan dengan kehidupan serba lamban dan sederhana. Orang Melayu harus melihat kembali kenyataan-kenyataan yang terjadi di luar dirinya. Orang Melayu harus berpartisipasi aktif memacu diri dalam era science dan teknologi yang memerlukan cara berpikir lebih future oriented.
Pandangan orang Melayu yang penulis nilai negatif adalah pandangan bahwa kemiskinan merupakan warisan keturunan yang tidak dapat diubah. Pandangan ini terlihat dalam pepatah yang berbunyi “Rezeki secupak tak kan dapat jadi segantang”. Dalam syair dikatakan (Ahmad, 1964: 46).
Jangan banyak pikir-memikir
Takdir tak dapat dimungkir
Nasib nak miskin tentulah fakir
Bolehlah tadbir menyalahi takdir
Rezeki secupak sudah terbentang
Ke mana dikejar tak dapat digantang
Nasib berhutang mesti berhutang
Janji nak malang, malanglah datang
Berdasarkan pandangan ini, penulis berpendapat bahwa orang Melayu kurang bergairah untuk kaya. Pepatah lain yang selalu didengungkan oleh orang tua berbunyi “Surga bagi orang kafir di dunia ini. Surga bagi kita orang Melayu yang beragama Islam di akhirat”. Dengan ajaran ini, memperbaiki hidup seolah-olah tidak ada gunanya. Apalagi berlomba-lomba berebut harta serta berebut pangkat dan kedudukan, karena semua itu bukan untuk orang Melayu. Oleh karena itu, orang Melayu kelihatan seperti orang yang malas berusaha, malas mencari yang lebih banyak, dan malas memperbaiki taraf hidup. Mereka puas dengan hidup sederhana.
e. Sifat Sentimentil dan Riang
Konsekuensi dari sifat tahu diri dan sadar akan harga diri menjadikan orang Melayu sangat sentimentil. Oleh karena mereka tahu akan kekurangan dan derajatnya dalam stratifikasi sosial, maka mereka selalu menekan perasaan. Keinginan dan hasratnya ditahan agar harga dirinya tidak hilang. Untuk menyalurkan gejolak perasaannya, mereka mengungkapkannya dalam bentuk lagu-lagu sedih, serta dalam nada-nada dan rentak yang sentimentil. Akan tetapi mereka tidak larut dalam kesedihan yang tak berkesudahan. Kesedihan dan kemalangan juga disalurkan dengan rentak dan nada gembira, seperti tercermin dalam rentak dan lagu-lagu berirama jpget, Patam-patam, Mainang, dan Zapin. Orang Melayu sadar bahwa meratapi kesedihan tidak akan mengubah nasib yang sudah ditakdirkan. “Apa guna kita bersedih, lebih baik kita bersuka ria”. Inilah satu imbangan dari sifat sentimentil yang mewarnai corak watak kepribadian orang Melayu.
f. Sifat Mempertahankan Harga Diri
Di atas telah diuraikan sifat orang Melayu yang baik dan menyenangkan. Sifat-sifat yang menyenangkan itu selalu terpancar dalam setiap interaksi sosial. Dalam interaksi sering terjadi kemacetan komunikasi yang disebabkan oleh ketidakcocokan watak yang menyertai orang yang sedang berkomunikasi. Kemacetan komunikasi itu sering terjadi karena tidak adanya sikap saling menghargai. Apabila salah seorang yang sedang berkomunikasi merasa harga dirinya hilang, maka ia akan merasa tersinggung. Dalam keadaan tersinggung, ia akan mengambil sikap protes dengan cara memutuskan hubungan. Sikap ini dikenal dengan istilah merajuk.
Merajuk berarti menutup diri untuk membicarakan masalah-masalah yang menyebabkan perasaannya tersinggung. Sikap merajuk itu diperlihatkan oleh orang Melayu sebagai tanda tidak setuju terhadap sikap, tingkah-laku, dan pandangan orang yang menyinggung perasaannya. Apabila sikap merajuk yang diperlihatkan tidak dihargai, bahkan diremehkan, maka ia akan mengambil sikap menjauhkan diri. Kadang-kadang ia pindah ke kampung atau negeri lain. Menjauhkan diri bertujuan untuk menghindarkan pertemuan dengan orang-orang yang telah menyinggung perasaannya. Sikap merajuk atau menjauhkan diri diambil, apabila ia merasa tak perlu memperpanjang persoalan yang kurang berarti. Tidak ada artinya bersikeras terhadap hal-hal yang kurang berarti demi mempertahankan harga diri. Namun demikian, apabila dalam interaksi terjadi pencemaran yang menjatuhkan harga diri seseorang, maka hilangnya harga diri itu akan dijawab dengan sikap amuk atau mengamuk.
Amuk atau mengamuk ialah suatu sikap untuk membela harga diri yang telah dicemarkan oleh seseorang. Harga diri dinilai tercemar apabila seseorang dipermalukan dan tidak mudah dihapuskan dalam waktu singkat. Perbuatan-perbuatan yang dipandang amat memalukan seseorang antara lain anak perempuannya dicemarkan orang, istrinya dilarikan orang, istrinya serong, dan kaum kerabatnya dihina orang. Dengan kata lain, sikap amuk timbul bila ia merasa dirinya telah dipecundangi atau dicabar orang. Akan tetapi, tidak semua hal tersebut menimbulkan sikap amuk, karena sikap amuk adalah suatu sikap paling akhir yang dapat dilakukan. Apabila telah memutuskan untuk mengamuk demi membela harga dirinya, ia harus mendahului dengan suatu sumpah (sesumbar). Sesumbar atau sumpah bertujuan untuk menimbulkan semangat, membulatkan tekad, menambah kekuatan, dan sekaligus mengumumkan kepada masyarakat bahwa sikap itu telah menjadi keputusan yang tak boleh ditarik lagi. Dengan sesumbar berarti seseorang telah memilih jalan akhir untuk memulihkan harga dirinya, yang berarti juga memutuskan segala hubungan dengan dunia dan masyarakat. Tekad amuk hanya mempunyai dua pilihan yang semuanya negatif, yaitu mati atau masuk penjara.
Oleh karena itu, sebelum memutuskan sikap amuk, seseorang harus kembali pada sikap tahu diri dan sadar diri dengan cara mempertimbangkan segala akibat yang ditimbulkan oleh amuk. Ia harus mempertimbangkan dirinya, anak istrinya, keluarganya, sanak saudaranya, dan sebagainya. Apabila memutuskan amuk, berarti ia hanya bertekad untuk mati atau menderita di penjara.
Tekad untuk mati ini menyebabkan cara berpikir, sikap, dan tindakannya berubah. Perubahan itu menyebabkan seseorang menjadi liar, kasar, bengis, tidak peduli, tidak terkontrol, dan bertekad membunuh untuk memuaskan naluri yang paling buas. Dalam keadaan seperti itu, jiwa orang tersebut menjadi abnormal, hilang keseimbangan, dan pandangannya tidak jernih. Ia disebut naik pitam. Dalam hatinya bersemi marah dan tekad membinasakan. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak lagi dapat membedakan siapa lawan dan siapa kawan. Sikap ini menjadi lebih gila apabila korban telah jatuh. Untuk menghalanginya, ia harus dihindari atau dibinasakan. Oleh karena itu, sikap amuk amat jarang terjadi. Bila seseorang telah sesumbar dan senjata telah diasah atau dicabut, maka ia harus melaksanakan, dan jika tidak, ia akan disebut sebagai seorang pengecut.
Seseorang yang telah menjadi pengecut, harga dirinya akan lenyap, sehingga sesumbar dan menarik senjata sangat jarang dilakukan. Orang lebih suka bersikap sabar atau mengalah. Orang kemudian berkesimpulan bahwa orang Melayu bersifat sabar atau suka mengalah, karena dengan sikap ini ia dapat mempertahankan harga dirinya. Sikap amuk selalu dihindarkan, karena sikap ini paling tidak disukai oleh orang Melayu. Sikap ini sesungguhnya merupakan kompleksitas kepribadian orang Melayu yang bersifat irasional, tidak human, sebagai sifat kontras dari sifat-sifat lain yang luwes dan menyenangkan.
3. Pola Saling Menghormati Dan Saling Memberi
Menurut Kamus Antropologi, pengertian saling memberi dan saling menerima berkaitan dengan perasaan, martabat, dan penghormatan (penghargaan) terhadap diri sendiri (Winick, 1958: 231). Berdasarkan pengamatan dan hasil laporan para ahli sosial budaya, terutama ahli antropologi, diketahui bahwa hampir di seluruh kelompok masyarakat ditemui gejala saling menghormati dan saling memberi. Dengan kata lain, pola saling menghormati dan saling memberi merupakan gejala hakiki yang ditemukan dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Namun, gejala tersebut bukan suatu aktivitas yang sama dan seragam dalam setiap masyarakat. Pola saling memberi itu berbeda dan bervariasi, karena kebutuhan manusia untuk saling memberi, saling membantu, dan saling mengasihi terbentuk dalam konteks nilai-nilai budaya yang berlaku. Dengan demikian, setiap pola saling menghormati dan saling memberi yang terdapat dalam setiap masyarakat manusia bersifat unik, yang berarti satu-satunya dan tidak sama dengan yang lain.
Begitu juga dengan pola saling menghormati dan saling memberi yang terdapat di dalam masyarakat Melayu. Gejala tersebut tidak lepas dari nilai-nilai adat-istiadat Melayu yang membentuk karakter, serta perasaan-perasaan yang menyertai setiap tindakan yang tampak dalam setiap interaksi.
Seperti telah disebutkan di atas pola saling menghormati dan saling memberi adalah salah satu gejala sosial. Artinya, kegiatan tersebut terjadi dalam situasi interaksi seseorang dengan orang lain atau sekelompok orang. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, pola saling menghormati dan saling memberi yang hidup dalam masyarakat Melayu tersebut dikenal dengan istilah menanam budi, menabur budi, atau membuat budi. Ketiga istilah tersebut mempunyai arti yang sama.
a. Menanam, Menerima, dan Membalas Budi
Menurut orang Melayu, budi berarti baik. Menanam budi berarti melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain (Ahmad, 1965:171). Dalam berbuat baik, tersirat perasaan memupuk persahabatan, rasa kasih, ingin membantu, dan persaudaraan. Menanam budi dapat juga disebut berbuat budi. Menanam budi erat kaitannya dengan sifat orang Melayu yang tahu diri dan mempertahankan harga diri.
Orang yang tahu diri dan ingin mempertahankan harga dirinya akan selalu menanam budi. Semakin banyak orang menanam budi, semakin mulia hati dan martabatnya dipandang orang. Dengan kata lain, semakin banyak memberi, maka semakin tinggi budi seseorang. Selain beberapa sifat yang telah disebutkan dalam uraian di atas, sifat suka menanam budi merupakan salah satu sifat menonjol dalam kehidupan pribadi setiap orang Melayu. Dalam menanam budi terkandung nilai kebaikan sebagai nilai tertinggi dalam pandangan hidup orang Melayu. Baik buruk perangai atau watak seseorang selalu dinilai dari budi yang diberikannya kepada orang lain.
Jika diamati dengan seksama, gejala saling menghormati dan saling memberi dalam masyarakat Melayu tampak dalam tiga kegiatan yang saling berkaitan, yaitu menanam budi (memberi), menerima budi (menerima), dan membalas budi (membalas atau mengembalikan).
b. Menanam Budi
Menanam budi disebut juga membuat budi atau menabur budi. Orang yang menanam budi disebut penanam budi. Menanam budi yang dilakukan oleh si penanam budi bertujuan untuk berbuat baik. Si penanam budi memberikan sesuatu yang dimiliki yang dipandangnya layak disertai dengan niat ikhlas untuk memberikan sesuatu kepada seseorang yang dinilai patut atau layak. Adapun jenis-jenis budi yang biasa diberikan mencakup benda, tenaga, sopan-santun, tutur-bahasa dan tegur-sapa, kunjung-mengunjungi, pinjam-meminjam, tanda mata, menjemput makan, suruh seraya, mintak pialang, mintak bagi, dan mintak.
Dalam kedua belas situasi interaksi tersebut seseorang memiliki peluang untuk menanamkan budinya kepada orang lain. Kedua belas situasi tersebut dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu (a) pemberian yang diberikan oleh si penanam budi dan (b) pemberian yang diminta oleh orang yang ingin menerima budi. Pada kategori pertama, kegiatan menanam budi (memberi) secara aktif datang dari si penerima budi. Kategori ini meliputi memberi benda, tenaga (diberi atau diminta), sopan-santun, tutur-bahasa dan tegur-sapa, kunjung-mengunjungi, pinjam-meminjam, tanda mata, dan menjemput makan. Pada kategori kedua, kegiatan menanam budi (memberi) diminta dengan sengaja oleh si penerima budi. Jenis yang termasuk dalam kategori ini antara lain suruh seraya, mintak pialang, mintak bagi, dan mintak. Agar kedua belas situasi di atas jelas, maka berikut ini diuraikan satu persatu secara singkat.
Memberi benda. Benda yang biasa diberikan sebagai alat penanam budi adalah makanan, buah-buahan, hasil bumi, hasil laut, hasil perburuan, dan oleh-oleh. Pemberian harus memperhatikan kualitas, kelangkaan, perasaan kebersamaan, dan tanda ingat. Faktor kualitas perlu diperhatikan, agar bentuk, rasa, dan rupa benda yang diberikan dalam keadaan baik. Pepatah Melayu mengatakan,
Jika ingin berbudi kepada orang
Berikanlah barang yang terbaik
Janganlah memberi barang yang sudah tak terpakai
Benda juga dapat diberikan apabila memang amat langka, seperti air zam-zam. Dalam keadaan langka, patokan benda bukan lagi bentuk, rasa, dan jumlah. Pemberian benda yang langka berkaitan dengan perasaan kebersamaan, karena benda yang langka harus dibagi rata, sehingga semua orang (tetangga) dapat merasakannya. Dalam keadaan demikian, yang dipentingkan adalah perasaan bersama. Jangan sampai memutihkan mata, menghampakan dada, terutama terhadap anak-anak. Pemberian yang sedikit itu sebagai simbol tanda ingat. Artinya, si pemberi tidak melupakan orang lain yang menjadi sahabatnya. Pemberian yang mengandung nilai tanda ingat bukan barangnya yang dinilai, akan tetapi perasaan ingat si pemberi yang dipentingkan. Si pemberi sadar benar akan dirinya, agar tidak terperangkap dalam sifat lokek atau tamak. Sifat tamak mencerminkan sifat tidak tahu menanam budi.
Memberikan tenaga. Tenaga juga digunakan untuk menanam budi. Menggunakan tenaga sebagai alat menanam budi dapat dilakukan, terutama oleh orang-orang yang tidak memiliki benda. Dengan tenaga, seseorang memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang yang mengharapkan bantuannya. Bantuan yang diberikan berupa: (a) bantuan ketika seseorang sakit; (b) bantuan berganjal (sejenis gotong royong), mengambil ramuan kayu rumah atau kayu bakar ke hutan; (c) bantuan kepada orang yang mengadakan pesta (perkawinan, khitanan, memotong rambut, dan berbagai kenduri); (d) bantuan pada keluarga yang sedang tertimpa kemalangan, misalnya tertimpa musibah kematian.
Tenaga sebagai alat menabur budi dibedakan menjadi tenaga yang diberikan dan tenaga yang diminta. Kedua jenis tenaga tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap tahu diri dan sadar diri. Tenaga secepatnya diberikan kepada orang yang memerlukan, seperti mengunjungi orang sakit dan melayat. Tenaga tidak diberikan begitu saja kepada orang yang sedang mengadakan pesta, dan orang tidak akan memberikan tenaganya jika tidak diundang dengan aturan adat.
Sopan-Santun. Sopan-santun adalah sikap dan tingkah-laku yang halus dan tertib yang tampak ketika seseorang berinteraksi. Sikap dan tingkah-laku yang halus tercermin dari gerak-gerik kepala, mata, bibir, bahu, tangan, jari, badan, kaki, air muka, dan cara berpakaian. Sopan-santun dilakukan kepada kedua orang tua (ibu dan bapak), kerabat, orang-orang tua dalam masyarakat, dan pemimpin-pemimpin masyarakat. Gerak-gerik yang halus juga tercermin ketika seseorang bersalaman, berbicara, menunjuk, menghadap orang tua, makan bersama, berpakaian, berjalan, dan sebagainya. Tingkah-laku yang dinilai tertib, penuh sopan-santun, dan penuh penghormatan antara lain:
a) Tidak berbicara keras dengan ibu-bapak, berbicara dengan menyebut diri “saya” atau nama diri dengan panggilan kesayangan orang tua seperti “are”, “dayang”, dan sebagainya. Jika laki-laki, ketika berbicara memakai songkok (peci) dan duduk bersila, dan jika perempuan bersimpuh.
b) Jika lewat di hadapan orang tua atau orang tua sedang bercakap, atau tamu-tamu terhormat sedang duduk-duduk bercakap, maka orang yang lewat harus menundukkan badan sambil tangan kanannya diarahkan ke depan agak ke bawah, sedang tangan kiri diletakkan di bawah pergelangan tangan kanan seolah-olah mengangkat tangan kanan, sambil berkata, “Tabik saya numpang lalu”, dengan berjalan lambat-lambat sambil tumit diangkat sedikit, sehingga badan bertopang pada bagian depan kaki. Maksudnya agar gerakan itu lembut dan tidak mengeluarkan suara dan tidak mengganggu orang tua yang sedang berbicara.
c) Jika ingin mempersilakan orang atau orang yang amat dihormati masuk ke rumah atau ke suatu majelis, tuan rumah atau orang yang bertugas menyambut tamu dengan cepat mendahului datang menyongsong sambil merendahkan badan, berjabat tangan dengan posisi tangan kanan ditelentangkan, tangan kiri di bawah pergelangan tangan kanan.
d) Jika bersalaman, badan dibungkukkan, tangan kanan memegang telapak tangan kanan orang yang diajak bersalaman, tangan kiri menempel di pergelangan tangan kanan. Kemudian tangan kanan ditarik dengan lembut, ujung jari kanan disentuhkan ke dahi, lalu ujung tangan berpindah menyentuh dada kiri. Artinya, orang yang bersalaman itu benarbenar menghargai dan menghormati tamunya dengan hati tulus ikhlas. Orang yang dihormati merasa sangat dimuliakan, karena diterima dengan hormat, didudukkan di tempat yang layak dengan cara yang paling sesuai dengan perasaan hormat si penerima tamu.
e) Jika menunjukkan sesuatu kepada orang tua atau tamu terhormat, seseorang hendaknya menggunakan ibu jari kanan dan tangan kiri menempel di bawah pergelangan tangan kanan. Jari telunjuk hanya digunakan ketika orang yang marah menuding seseorang yang sedang dimarahi.
f) Jika berpapasan dengan orang tua, orang yang muda menyapa terlebih dahulu, “Hendak ke mana Pak Ngah?” Ketika menyapa, ia berhenti di pinggir jalan, lalu meneruskan perjalanan setelah orang yang dihormati melewatinya.
g) Jika bertemu orang tua yang membawa beban berat, orang muda diwajibkan mengantarkan beban orang tua itu sampai ke rumah. Ia harus menunda perjalanannya dahulu, kecuali orang tua itu menolak dengan alasan tidak mau mengganggu perjalanan anak muda tersebut. Apalagi kalau ia bertemu dengan orang tuanya sendiri yang sedang membawa beban berat. Ia harus mengantar beban itu ke rumah. Jika orang muda (lakilaki) bertemu seorang gadis di jalan dan ia kenal, ia harus menyapanya dengan tegur sapa yang halus dan tidak boleh berhenti untuk berbicara, kecuali jika gadis itu masih kerabatnya. Namun tetap tidak boleh bergurau panjang lebar dengan suara besar. Jika hal ini terjadi, tingkah-laku demikian dianggap tidak sopan atau sumbang. Tingkah-laku sumbang ialah tingkah-laku pergaulan laki-laki dan perempuan yang melanggar norma adat-istiadat. Sumbang dapat juga berupa sumbang kata, sumbang tingkah, sumbang niat, dan sumbang pergaulan.
h) Ketika makan, masing-masing orang yang ikut makan bersama duduk bersila. Yang muda mengambilkan nasi yang lebih tua. Ketika makan, seseorang hendaknya berpakaian sopan dan berpeci (bersongkok). Jika tidak mempunyai peci, ia harus mencari gantinya, misalnya dengan cara meletakkan sebatang rokok atau segulung kertas kecil di antara celah daun telinganya. Ketika makan tidak boleh berbicara kuat-kuat, tidak boleh berbicara kotor dan menjijikkan (menggelikan), tidak boleh berludah atau berdahak (membuang lendir mulut), dan sebagainya. Jika orang muda selesai makan, ia harus menunggu orang yang lebih tua selesai, setelah itu barulah mencuci tangannya.
Menurut tata tertib lama, apabila makan dengan lauk kerang rebus, maka kerang itu harus dibuka dengan sebelah tangan, yaitu dengan tangan kanan. Jika ingin membalik ikan harus minta izin terlebih dahulu kepada yang lebih tua. Meletakkan atau mengangkat hidangan harus dilakukan dengan cara yang paling sopan. Saat ini tingkah-laku sopan-santun makan tersebut telah banyak mengalami perubahan. Sudah banyak orang Melayu yang makan sambil duduk di kursi, karena hidangan disajikan di atas meja. Pada beberapa keluarga modern juga sudah ada yang menggunakan sendok-garpu seperti orang Barat.
Orang yang sopan, tertib, dan halus dalam bersikap dan bertingkah-laku terhadap orang lain, berarti ia telah memberikan budi dalam bentuk penghormatan.
Tutur-Bahasa dan Tegur-Sapa. Antara tutur-bahasa dan tegur sapa tidak dapat dipisahkan. Tutur-bahasa ialah bahasa yang halus serta nada suara lembut yang digunakan ketika berbicara dengan orang lain, terlebih kepada orang tua dan orang yang dihormati. Bahasa dan istilah yang digunakan tepat, baik dari segi pangkat (jenjang berdasarkan strata sosial) maupun umur dan jenis kelamin.
Tegur-sapa ialah keramahtamahan dalam menyapa atau menegur seseorang dengan bahasa dan sapaan yang tepat dan hormat. Orang yang ramah disebut baik tegur sapanya, sedangkan orang yang tidak ramah disebut berat mulut. Tutur-bahasa dan tegur-sapa juga dinilai sebagai alat penanam budi. Orang yang halus tutur-bahasanya dan baik tegur-sapanya disebut orang berbudi, karena mencerminkan hati yang baik.
Kunjung-mengunjungi. Berkunjung ke rumah tetangga atau sahabat merupakan tanda keramahan hati. Berkunjung ke rumah seseorang menunjukkan keikhlasan hati yang diiringi sikap bersahabat atau bersaudara.
Kunjung-mengunjungi merupakan salah satu bentuk menanam budi. Berkunjung yang baik dilakukan secara seimbang, artinya, kedua sahabat yang setara, baik usia maupun pangkat, selalu saling berkunjung ke rumah masing-masing. Kunjung-mengunjungi ketika hari raya, terutama kepada yang lebih tua, merupakan keharusan. Kunjung-mengunjungi dapat dilakukan setiap hari pada waktu yang dianggap tepat, yaitu setiap saat selain tengah malam dan subuh. Waktu berkunjung tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu. Menurut pepatah Melayu, “Pintu setiap saat terbuka untuk menerima orang, baik siang maupun malam”.
Semakin banyak tamu yang datang ke rumah seseorang, menandakan tuan rumah disukai dan dihormati, karena selalu berlapang dada. Berlapang dada berarti suka menerima kunjungan dengan hati yang jernih dan ikhlas. Rumah yang jarang dikunjungi orang, karena tuan rumahnya kurang berlapang dada sering disebut “tangga rumahnya berlumut”, karena jarang diinjak orang.
Pinjam-meminjam. Pinjam-meminjam merupakan suatu kegiatan interaksi sosial yang selalu tampak dalam kehidupan orang Melayu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Dalam kegiatan pinjam-meminjam, juga tersedia kesempatan bagi orang yang ingin menanam budi. Pinjam-meminjam itu akan berbalasan. Pinjam-meminjam terjadi apabila seseorang dalam keadaan sesak atau berada dalam situasi yang sangat memerlukan sesuatu yang sangat dibutuhkan saat itu. Meminjam hanya dilakukan dalam keadaan “sesak”. Orang yang mau meminjamkan sesuatu kepada orang yang dalam keadaan sesak, disebut orang yang “melepas sesak”. Orang seperti itu disebut orang berbudi.
Tanda Mata. Tanda mata merupakan pemberian kepada seseorang yang dikasihi. Tanda mata dapat berupa perhiasan, pakaian, atau senjata. Tanda mata merupakan lambang kasih sayang atau kenang-kenangan agar si pemakai selalu ingat kepada si pemberi. Oleh karena itu, tanda mata merupakan benda-benda yang tahan lama yang dapat dipakai, disimpan, atau dijadikan alat perhiasan. Kadang-kadang pemberian tanda mata merupakan suatu keharusan kepada sanak yang baru berumah tangga. Tanda mata semacam itu diserahkan bila kedua mempelai datang menyembah (sungkem) ke rumah sanak keluarga terdekat. Dengan demikian, tanda mata merupakan alat untuk menanam atau menabur budi.
Menjemput Makan. Menjemput atau mengundang makan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat Melayu. Orang yang diundang biasanya kerabat dekat yang baru datang dari jauh, sahabat atau teman akrab yang baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah, dan sahabat-sahabat dekat yang disenangi. Ada tiga kriteria orang yang dikenal, yaitu pertama, kenalan yang boleh dibawa ke rumah dan boleh dikenalkan dengan seluruh keluarga. Kedua, kenalan yang hanya boleh dibawa minum di kedai kopi. Orang demikian jangan dibawa ke rumah, apalagi dikenalkan kepada keluarga. Ketiga, kenalan yang dikenal di jalan. Orang demikian tidak boleh diajak minum ke kedai kopi, apalagi dibawa ke rumah. Kenalan yang diundang makan ke rumah adalah kenalan yang benar-benar akrab dan dapat dipercaya. Menjemput makan juga salah satu bentuk menanam budi kepada orang-orang yang diundang makan.
Suruh-Seraya. Suruh-seraya adalah memohon bantuan kepada seseorang secara halus. Di sini terlihat bahwa penanam budi tidak berasal dari orang yang ingin menanam budi saja, tetapi diminta oleh orang yang ingin menerima budi. Suruh-seraya biasanya dalam bentuk tenaga. Dalam interaksi suruh-seraya terjadi saling memberi dan saling menerima budi.
Mintak Pialang. Mintak pialang merupakan istilah yang dipakai untuk meminta tolong membelikan benda atau barang dengan menggunakan uang orang yang dimintai tolong. Uang itu akan diganti setelah barang atau benda yang dipesan sampai. Mintak pialang juga sebagai jalan menanam budi yang dapat diberikan kepada orang yang meminta bantuan.
Mintak Bagi. Mintak bagi berarti minta izin membeli barang-barang atau benda yang dimiliki seseorang. Biasanya barang atau benda tersebut tidak ada di tempat lain. Mintak bagi sangat tergantung dari sikap orang yang memiliki barang. Ia dapat menjualnya atau memberikan saja. Ia dapat menyatakan “tidak” terhadap orang yang tidak disenangi, atau ia menyatakan agar diambil saja, tidak usah dibayar. Dalam interaksi mintak bagi itu, orang berkesempatan untuk menanam budi dan menerima budi.
Mintak. Mintak berarti minta. Minta dilakukan apabila orang meminta sesuatu, baik benda, buah-buahan, hasil bumi, dan sebagainya. Mintak hanya dilakukan kepada orang yang amat dikenal. Mintak tidak dapat dilakukan terhadap sembarang orang. Apabila dilakukan kepada orang yang tak dikenal atau kurang akrab, maka perbuatan mintak itu sangat menjatuhkan harga diri.
Akan tetapi dalam proses mintak, orang yang memiliki barang atau benda mendapat kesempatan untuk menanam budi. Barang atau benda yang diminta biasanya berupa barang-barang kecil seperti pucuk-pucuk daun, daun obat, sirih, daun pisang, daun inai, dan sebagainya. Benda-benda tersebut jika dinilai dengan uang nilainya sangat rendah. Dalam mintak, yang diutamakan bukan nilai barangnya, akan tetapi nilai budinya.
Dari uraian di atas terlihat bahwa orang Melayu sangat menghargai dan mengutamakan budi. Budi lebih penting daripada materi. Materi atau benda adalah alat untuk menanam atau membuat budi. Kuatnya nilai menanam budi atau menabur budi sebagai salah satu watak orang Melayu dapat dipelajari dari pantun-pantun atau nyanyian seperti berikut:
Pulau Pandan jauh ke tengah
Gunung Daik bercabang dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik terkenang juga
Pisang emas bawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas dapat dibayar
Hutang budi dibawa mati
Dari Penyengat ke Tanjungpinang
Sarat dengan ubi keladi
Adik teringat abang terkenang
Karena ingat bahasa dan budi
Musalmah memakai sanggul
Turun ke sawah menanam padi
Emas sekoyan dapat kupikul
Aku tak sanggup menanggung budi
Puas sudah menanam ubi
Nenas juga disukai orang
Puas sudah menanam budi
Emas juga dikenang orang
Dari pantun-pantun tersebut terlihat bahwa budi menjadi ukuran kebaikan seseorang. Kadang-kadang budi tidak dihargai oleh si penerima budi. Dalam keadaan seperti itu, si pemberi budi meratap dan merajuk karena si penerima budi lebih menghargai uang dan ringgit daripada budi. Pemberian budi memang tidak selalu berjalan mulus. Kadangkadang budi yang diberikan itu mendatangkan rasa sedih, kesal, dan tersinggung, karena tidak diterima sebagaimana yang diharapkan. Pemberian budi mempunyai dua motif, pertama, pemberian bermotif berbuat baik, semata-mata agar diingat dan dikenang orang. Kedua, pemberian bermotif mengharapkan suatu balasan. Penanaman budi seperti ini dapat mempersulit orang yang menerima budi.
Penanaman budi sebagai ciri pola saling memberi yang telah mendarah daging dalam kehidupan orang Melayu tidak mempunyai motif untuk bersaing mengangkat martabat atau gengsi di masyarakat. Namun, ada anggota masyarakat yang melakukan kegiatan saling memberi dengan maksud saling berlomba-lomba untuk meningkatkan martabat diri (Mauss, 1967:18).
c. Menerima Budi
Budi diberikan kepada orang lain seperti misalnya saudara sekerabat, tetangga, dan sahabat karib. Orang yang menerima budi disebut penerima budi. Semakin banyak ia menerima budi, semakin banyak ia merasa berhutang budi. Menurut adat-istiadat Melayu, budi yang diberikan harus diterima dan dihargai sebagai tanda penghargaan dengan menyampaikan ucapan terima kasih. Kadang-kadang ucapan terima kasih disampaikan dalam bentuk ungkapan “Terima kasih daun keladi, kalau lebih minta lagi”. Orang yang menolak pemberian budi berarti tidak ingin menjalin persahabatan, tidak mau dibantu, ditolong, atau dikenang. Berarti ia mampu berdiri sendiri di tengah masyarakat. Orang yang tidak menerima budi dinilai tinggi hati, angkuh, dan harga dirinya amat tinggi. Penolakan budi merupakan suatu pernyataan sikap tidak bersahabat. Oleh karena itu, budi sekecil apapun harus diterima agar si pemberi merasa senang, puas, dan tidak malu atau kehilangan muka.
Orang yang banyak menerima budi tanpa dapat mengimbangi dengan budi yang telah dilimpahkan kepada dirinya atau keluarganya disebut sudah termakan budi atau menanggung budi. Orang yang sudah termakan budi orang lain biasanya merasa amat berhutang budi. Hutang budi menurut pantun Melayu tidak dapat dihargai dengan apapun. Budi tidak dapat dibayar dengan uang, karena budi mengandung kebaikan yang susah dilunasi. Oleh karena itu, budi tidak akan dapat dibalas sampai mati. Budi akan dibawa ke kubur bersama penerimanya. Sebaliknya, kebaikan budi itu akan terkenang (diingat) selalu, sekalipun jasadnya hancur dikandung tanah.
Oleh karena budi tidak dapat dilunasi, maka budi mengikat batin si penerima dan si pemberi. Kadang-kadang si penerima budi mendapat kesulitan, karena di waktu-waktu sesudahnya si pemberi budi mengharapkan sesuatu dari si penerima budi, namun permintaan itu sulit untuk dipenuhi. Oleh karena telah termakan budi, maka si penerima terpaksa dengan segala keberatan hati meluluskan permintaan itu. Di sini letak kesulitan yang dihadapi oleh orang yang telah banyak menerima budi atau termakan budi. Oleh karena itu, kadang-kadang terjadi penanaman budi hanya sebagai alat untuk mendapatkan imbalan (balasan) dari si penerima budi. Penanaman budi yang demikian telah menyimpang dari tujuan penanaman budi yang sesungguhnya.
Dalam hal serupa, si penerima budi harus berhati-hati. Jika ada tanda-tanda yang menuju ke arah itu, ia harus waspada dan berusaha mengelak untuk tidak menerima budi dengan cara yang amat halus, agar si pembuat budi tidak kehilangan muka. Dalam pantun dikatakan:
Turun ke sawah menanam padi
Hendak dijual ke Pekan Lama
Jangan suka menanggung budi
Kerap kali jadi binasa
Walaupun orang tahu ada penanaman budi yang menimbulkan kesulitan, namun si penerima budi dengan cepat dapat membedakan budi yang sesungguhnya dan budi yang palsu.
d. Membalas Budi
Sesuai dengan tujuan menanam budi, yaitu untuk berbuat baik, maka si penerima budi tidak diwajibkan membayar atau membalas budi yang diterimanya. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban untuk membalas budi seseorang. Akan tetapi, setiap orang yang menerima budi merasa berkewajiban membalas kebaikan yang diberikan dengan kebaikan pula. Membalas budi tersebut sebagai tanda si penerima budi tahu membalas budi. Membalas budi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pemberian, undangan, bantuan tenaga, pengabdian, sopan-santun, tegur-sapa, dan pengorbanan. Dengan kata lain, pembalasan budi disesuaikan dengan kemampuan seseorang.
Sehubungan dengan membalas budi ini dikenal istilah “orang tak tahu membalas budi”. Orang yang disebut “tak tahu membalas budi” ialah orang yang membalas kebaikan yang diberikan orang kepadanya dengan sikap dan tingkah-laku yang berlawanan, seperti mencemarkan nama si pemberi budi, melupakan budi dengan cara tidak mau menghormati, menegur, menyapa, dan datang berkunjung, serta bicara dengan kata-kata kasar. Kadang-kadang perbuatan tidak tahu membalas budi itu tampak dalam tingkahlaku yang lebih kasar dan keras. Dengan kata lain, orang yang tidak tahu membalas budi itu tidak mengingat sedikit pun budi baik yang telah diterimanya. Pepatah Melayu selalu mengingatkan, “Janganlah tempat makan dijadikan tempat berak”. Orang yang menjadikan tempat makan menjadi tempat berak adalah orang yang “tak tahu membalas budi”.
Perbuatan tidak membalas budi itu bila diketahui oleh orang yang pernah memberi budi disebut “kedapatan budi”. Kedapatan budi berarti melakukan perbuatan yang tidak layak atau tidak pantas yang ditujukan kepada seseorang yang pernah memberi budi. Perbuatan tidak pantas itu dapat berupa mencemarkan nama, memfitnah, menganiaya, menipu, dan sebagainya. Orang yang kedapatan budi itu biasanya dinilai berperangai tidak baik, sehingga tidak perlu dijadikan sahabat. Orang yang kedapatan budi disebut dalam ungkapan sebagai: Menggunting dalam lipatan, pagar makan tanaman, membesarkan anak buaya, susu dibalas dengan tuba, musuh dalam selimut, dan di luar lurus di dalam bengkok. Orang yang tak tahu membalas budi memiliki sifat-sifat licik, curang, palsu, dan sebagainya.
4. Penutup
Pola saling menghormati dan saling memberi yang dikenal dengan saling menanam budi masih hidup dalam masyarakat Melayu hingga saat ini. Bahkan kebiasaan itu tidak hanya berlaku untuk orang Melayu saja, tetapi juga untuk sukubangsa lain dan orang asing, terutama orang Cina yang sudah lama menetap di daerah ini.
Orang Melayu mengirim kue-kue buatannya sendiri kepada orang Cina sahabatnya yang sedang merayakan tahun baru. Sebaliknya, orang Cina membalas budi baik itu dengan mengirimkan tepung terigu, telur ayam, mercon, bunga api, dan sebagainya kepada orang Melayu yang sedang merayakan hari raya.
Kebiasaan memberi dan saling menghormati telah mentradisi yang terjalin dalam hubungan orang Melayu dan orang Cina hingga saat ini. Kebiasaan itu sudah menjadi adat kebiasaan yang meresap dan merupakan salah satu ciri sifat kepribadian orang Melayu. Sifat ini dapat dinilai secara positif maupun negatif, tergantung dari sudut pandang mana orang menilainya. Yang lebih penting adalah melalui tulisan ini orang menjadi tahu kebiasaan hidup orang Melayu. Semoga.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.