Oleh : Mohd Isneini
Penulis memberanikan diri membuat tulisan ini, dimaksudkan memperkaya khazanah budaya Lampung. Mohon maaf pada tetua adat jika ada yang kurang berkenan.
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan juga berupa pendapat pribadi maupun orang lain yang perlu diteliti kebenarannya. Namun, sebelumnya kami nukilkan dahulu tulisan yang diambil dari web page tentang Batak (Sekilas tentang Batak + Konvergensi dalam "Dalihan na T").
Batak adalah nama sebuah etnik. Kata itu berasal dari nama seseorang yang dipercayai sebagai cikal bakal etnik Batak, yaitu si Raja Batak. Suku Batak pada mulanya hanya mendiami daerah Toba. Kemudian karena pertambahan penduduk, sebagian berpencar mencari daerah baru sebagai permukiman yang pada gilirannya menumbuhkan empat subetnik, yaitu Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak.
I
nduknya adalah Toba. Si Raja Batak memunyai dua saudara. Seorang bernama Boni dan yang lain disebut Lapung. Boni pergi merantau ke Sulawesi Selatan. Di sana dia beranak pinak dan menjadi puak yang besar bernama Bone sesuai dengan nama kakek moyang mereka, dengan sedikit perubahan pada huruf terakhir, yaitu bunyi i berubah menjadi bunyi e.
Yang bungsu--Lapung--pergi ke Sumatera Selatan yang kemudian menurunkan suku Komering. Besar kemungkinan nama daerah Lampung berasal dari namanya (versi Batak).
Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung karena ia merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng, yang terletak di luar batas administratif Provinsi Lampung.
Tak terelakkan lagi, banyak orang Komering yang keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang.
Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): "Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang Komering di tahun 1800 M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh Kebuayan Abung."
Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung Pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering. Dari sini mereka kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya, dan sebagainya. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara. Mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Perpindahan berikutnya, dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya Minanga. Mereka menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.
Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek moyang mereka berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang sebagai "nyapah" (terendam).
Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga, karena kampong ini yang paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering, Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di Komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.
Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering. Bahasa Komering oleh sementara pengamat dikatakan banyak kesamaannya dengan bahasa Batak. Juga logatnya.
Ada cerita rakyat yang mengatakan Batak dan Komering berasal dari dua bersaudara. Antara kedua suku ini sering terdapat senda gurau untuk menyatakan masing-masing nenek moyang merekalah yang tertua (dalam Adat Perkawinan Komering Ulu, Hatta/Arlan Ismail).
Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang.
Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay Madang-Cempaka-Belitang tidak.
Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa mengenalnya.
Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga Semendawai suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu, Cempaka, dan sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dengan wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga Belitang I/II/III dengan wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga Buay Pemaca, Marga Lengkayap.
Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah.
Sementara itu, di daerah ilir, bahasa Komering dipakai di daerah Tanjung Lubuk, Pulau Gemantung, dan sebagainya. Sedangkan daerah Kayu Agung merupakan sebuah marga di Kecamatan Kayu Agung. Di daerah Kayu Agung terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung (BKA) dan bahasa Ogan dialek /e/. Ada variasi dialek dalam BKA. Variasi dialek yang terdapat di dusun marga Kayu Agung dianggap sebagai variasi asli, yang merupakan suatu dialek mirip dengan bahasa Komering.
Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering., seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut.
Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dat. Tinggi Gunung Pesagi menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri/mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mereka menncari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Sakala Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang. Yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).
Yang patut kita tiru akan rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka mengingat akan asal-usul mereka berasal dari kelompok yang sama. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam melengkapi tentang marga etnis Komering seperti yang telah dilakukan Unila dalam memetakan marga serta wilayah suku Lampung. Wassalam. Saran, kritik, informasi tambahan dapat dialamatkan ke isneini_m@yahoo.com.
Penulis: Dosen Jurusan Sipil Unila
Sumber: http://www.lampungpost.com
Penulis memberanikan diri membuat tulisan ini, dimaksudkan memperkaya khazanah budaya Lampung. Mohon maaf pada tetua adat jika ada yang kurang berkenan.
Tulisan ini diolah dari berbagai sumber dan juga berupa pendapat pribadi maupun orang lain yang perlu diteliti kebenarannya. Namun, sebelumnya kami nukilkan dahulu tulisan yang diambil dari web page tentang Batak (Sekilas tentang Batak + Konvergensi dalam "Dalihan na T").
Batak adalah nama sebuah etnik. Kata itu berasal dari nama seseorang yang dipercayai sebagai cikal bakal etnik Batak, yaitu si Raja Batak. Suku Batak pada mulanya hanya mendiami daerah Toba. Kemudian karena pertambahan penduduk, sebagian berpencar mencari daerah baru sebagai permukiman yang pada gilirannya menumbuhkan empat subetnik, yaitu Simalungun, Karo, Mandailing, dan Pakpak.
I
nduknya adalah Toba. Si Raja Batak memunyai dua saudara. Seorang bernama Boni dan yang lain disebut Lapung. Boni pergi merantau ke Sulawesi Selatan. Di sana dia beranak pinak dan menjadi puak yang besar bernama Bone sesuai dengan nama kakek moyang mereka, dengan sedikit perubahan pada huruf terakhir, yaitu bunyi i berubah menjadi bunyi e.
Yang bungsu--Lapung--pergi ke Sumatera Selatan yang kemudian menurunkan suku Komering. Besar kemungkinan nama daerah Lampung berasal dari namanya (versi Batak).
Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung karena ia merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng, yang terletak di luar batas administratif Provinsi Lampung.
Tak terelakkan lagi, banyak orang Komering yang keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang.
Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): "Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang Komering di tahun 1800 M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh Kebuayan Abung."
Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung Pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering. Dari sini mereka kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya, dan sebagainya. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara. Mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.
Perpindahan berikutnya, dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya Minanga. Mereka menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.
Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek moyang mereka berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang sebagai "nyapah" (terendam).
Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga, karena kampong ini yang paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering, Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).
Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di Komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.
Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering. Bahasa Komering oleh sementara pengamat dikatakan banyak kesamaannya dengan bahasa Batak. Juga logatnya.
Ada cerita rakyat yang mengatakan Batak dan Komering berasal dari dua bersaudara. Antara kedua suku ini sering terdapat senda gurau untuk menyatakan masing-masing nenek moyang merekalah yang tertua (dalam Adat Perkawinan Komering Ulu, Hatta/Arlan Ismail).
Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang.
Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay Madang-Cempaka-Belitang tidak.
Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa mengenalnya.
Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga Semendawai suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu, Cempaka, dan sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dengan wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga Belitang I/II/III dengan wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga Buay Pemaca, Marga Lengkayap.
Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah.
Sementara itu, di daerah ilir, bahasa Komering dipakai di daerah Tanjung Lubuk, Pulau Gemantung, dan sebagainya. Sedangkan daerah Kayu Agung merupakan sebuah marga di Kecamatan Kayu Agung. Di daerah Kayu Agung terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung (BKA) dan bahasa Ogan dialek /e/. Ada variasi dialek dalam BKA. Variasi dialek yang terdapat di dusun marga Kayu Agung dianggap sebagai variasi asli, yang merupakan suatu dialek mirip dengan bahasa Komering.
Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering., seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut.
Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dat. Tinggi Gunung Pesagi menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri/mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.
Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mereka menncari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.
Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Sakala Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang. Yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.
Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.
Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).
Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).
Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.
Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).
Yang patut kita tiru akan rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka mengingat akan asal-usul mereka berasal dari kelompok yang sama. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam melengkapi tentang marga etnis Komering seperti yang telah dilakukan Unila dalam memetakan marga serta wilayah suku Lampung. Wassalam. Saran, kritik, informasi tambahan dapat dialamatkan ke isneini_m@yahoo.com.
Penulis: Dosen Jurusan Sipil Unila
Sumber: http://www.lampungpost.com