Oleh : Syafriman dan Yapsir Gandi Wirawan
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Indonesia sejak dulu dikenal oleh dunia karena masyarakatnya memiliki perilaku prososial yang tinggi seperti tercermin dalam perikehidupan yang rukun, solidaritas sosial yang tinggi, saling menolong, saling bekerja sama, saling mensejahterakan, dan penuh keramahan. Akhir-akhir ini banyak ahli harus mengernyitkan dahinya untuk dapat memahami berbagai fenomena dan dinamika sosial yang berkembang dalam masyarakat. Para ahli menengarai terjadinya pergeseran dalam orientasi nilai hidup manusia Indonesia sebagai akibat proses industrialisasi dan modernisasi serta pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada sektor ekonomi di masa yang lalu. Manusia Indonesia ditengarai mulai menunjukkan ciri-ciri dan karakteristik kepribadian yang individualistik, materialistik dan hedonistik. Sinyalemen ini diperkuat oleh adanya kenyataan yang berkembang dalam masyarakat yang menunjukkan masyarakat Indonesia menjadi mudah kehilangan pertimbangan terhadap efek perilakunya terhadap sesama warga bangsa seperti terjadinya tragedi kemanusiaan di Ambon dan Aceh.
Pada masa orde baru sebetulnya telah banyak upaya yang dilakukan untuk memelihara, meningkatkan serta mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa dan kesetiakawanan sosial di antara warga bangsa yang cukup intensif seperti tercermin dalam Penataran P4 dan Gerakan Kesetiakawanan Sosial Nasional, serta berbagai upaya yang dilakukan masyarakat. Upaya-upaya tersebut nampaknya belum optimal dapat memelihara, meningkatkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur dan terpeliharanya kesetiakawanan sosial yang tinggi di antara warga bangsa. Kondisi tersebut terjadi karena perubahan dan pergeseran orientasi nilai hidup manusia Indonesia, serta adanya keragaman dari berbagai kelompok suku bangsa yang ada.
Atas dasar itu, maka penulis membatasi cakupan kelompok etnik yang akan diteliti pada kelompok etnis Melayu dan Tionghoa yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Penulis berpendapat kedua kelompok etnis tersebut berhadapan dengan suatu realitas yang memberikan rona dan corak tersendiri bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia di masa depan, sehingga penelitian terhadap kedua kelompok etnik tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran atau proyeksi tentang masyarakat Indonesia umumnya.
Pada sisi lain berbagai perubahan nilai akan berdampak terhadap orientasi hidup dan eksistensi generasi baik generasi tua dan generasi muda. Kedua kelompok generasi yang berbeda usia tersebut akan menghadapi realitas perubahan sosial yang hebat. Generasi muda merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai perubahan nilai dalam hidup, seperti rentannya generasi muda terhadap nilai-nilai hidup yang berorientasi material, global dan universal sehingga menjadi individualistik, materialistik dan hedonik. Generasi muda cenderung mudah terjerumus ke dalam pola-pola hidup yang merugikan seperti penyalahgunaan narkoba dan zat-zat adiktif. Perhatian terhadap orientasi nilai dan perilaku kedua generasi tersebut penting untuk dilakukan.
Selain itu, manusia tidak lepas dari status jenis kelamin, dan para ahli telah banyak mengupas perbedaan biologis, psikologis dan psiko-sosial kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Hasbianto, 2000). Realitas perkembangan menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan peranan yang sama dan komplementer, sehingga upaya mengungkap bagaimana orientasi nilai dan kecenderungan perilaku prososial mereka dalam konstelasi perubahan sosial yang berlangsung cepat kiranya juga perlu diungkap.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian ini adalah apakah ada perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial antara orang suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa, antara generasi tua dan generasi muda.
2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial antara suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa, serta antara generasi tua dan generasi muda.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu psikologi terutama psikologi sosial, khususnya teori tentang nilai-nilai hidup dan perilaku prososial, serta upaya peningkatan kesetiakawanan sosial nasional, pelestarian nilai-nilai luhur bangsa, maupun upaya memelihara dan meningkatkan integrasi nasional.
II. Kerangka Konseptual
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara antropologis Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Secara filosofis, Spranger (1928) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Spranger corak sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai.
Orang akan memandang segala sesuatu dengan kacamata nilai hidup yang dihargainya paling tinggi atau dominan itu sehingga nilai hidup yang lain yang berasal dari pengertian kebudayaan secara luas, akan diwarnai juga oleh nilai hidup yang dominan itu. Spranger menggolongkan adanya enam lapangan nilai, yaitu : (1). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, meliputi lapangan pengetahuan, lapangan ekonomi, lapangan kesenian, dan lapangan keagamaan. (2). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat, yaitu : lapangan kemasyarakatan, dan lapangan politik. Pengertian nilai dari persepektif psikologis dikemukakan Munn (1962) bahwa nilai merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang.
Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan menjadi referensi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya.
Kebudayaan merupakan adat istiadat yang menyangkut nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup sehari-hari yang dianut oleh sekelompok orang dan berfungsi sebagai pedoman tingkah laku. Menurut Bath (Suparlan, 1986) setiap golongan suku bangsa atau etnik mempunyai seperangkat kebudayaan yang melekat pada identitas suku bangsa atau etnik tersebut, yang sewaktu-waktu bila diperlukan dapat diaktifkan sebagai simbol-simbol untuk identifikasi dan untuk menunjukkan adanya batas-batas sosial dengan golongan suku bangsa atau etnik lainnya dalam interaksi. Menurut Ghalib orang suku Melayu adalah mereka yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan beristiadat Melayu ( dalam Budisantoso, 1986). Tradisi kehidupan orang Melayu di Riau meletakkan sistem nilai agama Islam sebagai sistem nilai yang utama (Hamidy, 1995). Dalam kehidupan orang Melayu senantiasa ditekankan tentang kehidupan yang saling menghormati, saling memberi, rukun dan damai, rasa persaudaraan dan kekeluargaan, keramah-tamahan dan keterbukaan, kesetiakawanan, tenggang rasa, kemauan untuk bekerja keras, hemat dan prasaja (Diah dkk. 1988). Orang suku bangsa Melayu yang baik selalu merendahkan diri, tidak menonjolkan dirinya, tidak mau memaksakan kemauannya jika bertentangan dengan kemauan orang lain, senantiasa sahaja dan sedia kompromi (Rab, 1986). Nilai-nilai tersebut diperkenalkan dan ditanamkan sejak dini kepada anak-anak Melayu. Proses perubahan sosial juga tidak luput terus melanda masyarakat Melayu sehingga mungkin telah berdampak pada telah terjadinya berbagai perubahan nilai.
Dasar berfikir orang suku bangsa Tionghoa sangat dipengaruhi oleh Taoisme dan Konfusianisme (Hidayat, 1977; Husodo, 1985). Taoisme mengajarkan bahwa keluarga merupakan tempat berlindung, hubungan harus terjalin erat sehingga tidak mudah menerima pengaruh dari luar. Ajaran Konfusius menganggap Cina adalah pusat pemerintahan dunia dan pusat orang beradab. Orang suku bangsa Tioanghoa memiliki kesadaran bahwa kedudukannya lebih tinggi dari negara sekelilingnya. Mereka selalu berusaha agar kehidupannya lebih tinggi dari bangsa lain, bekerja keras, tekun, hemat, sabar, dan teliti. Nilai Konfusian merupakan faktor yang bertanggung jawab atas sukses orang suku bangsa Tionghoa seperti disiplin keluarga, hirarki dalam masyarakat. Orang suku bangsa Tionghoa memiliki solidaritas sosial yang tinggi di antara mereka (Gaertner & Bickmen; Wispe & Fresley dalam Helmi, 1991). Rasa solidaritas yang tinggi menyebabkan orang suku bangsa Tionghoa lebih senang membantu sesama kelompok etniknya dari pada orang lain.
Perilaku prososial menurut William (1981) adalah tingkah laku seseorang yang bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik penerima sedemikian rupa, sehingga si penolong akan merasa bahwa si penerima menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis. Pengertian tersebut menekankan pada maksud dari perilaku untuk menciptakan kesejahteraan fisik maupun psikis. Bartal (1977) mengemukakan perilaku prososial adalah tingkah laku yang menimbulkan konsekuensi positif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis orang lain. Perilaku tersebut meliputi pengertian yang luas sehingga dalam penelitian ini penulis membatasi perilaku prososial pada perilaku menolong, bekerja sama, menyumbang dan membagi, serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain. Perilaku prososial dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu : (1) faktor situasional yang meliputi : kehadiran orang lain, faktor lingkungan dan kebisingan, faktor tanggung jawab, faktor kemampuan yang dimiliki, faktor desakan waktu, latar belakang keluarga, dan (2) faktor internal yang meliputi : faktor pertimbangan untung rugi, faktor nilai-nilai pribadi, faktor empati, suasana hati (mood), faktor sifat, faktor tanggung jawab, faktor agama, tahapan moral, orientasi seksual, jenis kelamin, (3) faktor penerima bantuan yang meliputi : karakteristik orang yang memerlukan pertolongan, kesamaan penolong dengan yang memerlukan pertolongan, asal daerah, daya tarik fisik, (4) faktor budaya meliputi : nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat khususnya norma tanggung jawab sosial, norma timbal balik dan norma keadilan.
Setiap generasi hidup dalam kurun waktu yang berbeda sehingga antar generasi memiliki perbedaan dalam cara berfikir, cara bertindak dan dalam pengalaman. Setiap generasi hidup dalam suatu kurun waktu yang berbeda dan menghadapi situasi dan tantangan yang berbeda pula. Situasi yang terjadi dalam rentang waktu tersebut akan mempengaruhi nilai, pikiran dan perilaku generasi tersebut. Rogers (1977) mengemukakan pengalaman berbudaya dan sejarah bahwa sekelompok orang hidup akan memberikan “tanda” pada sekelompok orang tersebut. Generasi muda adalah kelompok umur yang penuh daya cipta dan konflik, sedang generasi tua mempunyai sifat berkuasa dan memerintah. Penelitian tentang pengaruh usia terhadap perilaku prososial menunjukkan korelasi yang positif, yaitu semakin meningkat usia, akan meningkat pula kecenderungan untuk bertindak prososial. Beberapa kajian eksperimental dari Cialdini (dalam Durkin, 1995).memberikan bukti orang dewasa lebih mungkin bertindak prososial jika mereka yakin perilaku tersebut akan mendorong kepada suatu kelegaan dari ketidakenakan mereka pada keadaan korban yang menyedihkan. Rossi dan Rossi melaporkan kedermawanan lebih besar pada orang yang lebih tua dibanding orang yang lebih muda.
Rokeach (1973) mengemukakan lelaki mempunyai orientasi nilai yang lebih tinggi terhadap prestasi dan intelektual, lebih materialistic, berorientasi intelektual dan prestasi, lebih mencari kesenangan dari pada wanita, sedang wanita menempati nilai yang lebih tinggi dalam cinta, afiliasi dan keluarga, berorientasi nilai-nilai religius, kebahagiaan personal, self respect, kehidupan pribadi yang bebas konflik, bebas konflik antar kelompok.
Perbedaan perilaku prososial antara lelaki dengan perempuan masih menunjukkan kekaburan. Dari segi stereotif sosial wanita dianggap lebih perhatian, lebih emosional dan lebih sensitive terhadap kebutuhan orang lain dari pada lelaki. Lelaki diharapkan lebih kuat dan lebih tegas (Bem, 1974; Eagly, 1987; Piliavin dan Unger, 1985; Spence dan Helmreich, 1978 dan sarwono, 1997). Pandangan sosiologis lelaki diharapkan berperanan sebagai pelindung keluarga mereka, sementara perempuan diharapkan komitmen perhatiannya terhadap orang lain. Baron dan Byrne (1991) mengemukakan bahwa perbedaan tingkah laku prososial antara lelaki dengan perempuan sangat tergantung pada situasi dan macam perlakuan yang memerlukan pertolongan.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : (1). Ada perbedaan orientasi nilai antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa, (2). Ada perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dan muda, (3). Ada perbedaan orientasi nilai antara laki-laki dan perempuan, (4). Ada perbedaan perilaku prososial dalam masyarakat antar orang antara suku bangsa Melayu dan Tionghoa, (5). Ada perbedaan perilaku prososial antara generasi tua dan muda, (6) Ada perbedaan perilaku prososial antara lelaki dan perempuan.
III. Metode Penelitian
Subjek penelitian ini sebanyak 299 orang terdiri dari : 151 orang suku bangsa Melayu dan 148 orang suku bangsa Tionghoa, 139 orang generasi tua dan 160 orang generasi muda, 153 lelaki dan 146 perempuan. Adapun kesamaan sifat dari populasi adalah warga negara Indonesia, dari suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa, laki-laki dan perempuan, bertempat tinggal di Kabupaten Indragiri Hulu, berusia 17 – 25 tahun untuk generasi muda, dan berusia 45 tahun ke atas untuk generasi tua. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive random sampling.
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah orientasi nilai dan perilaku prososial sebagai variabel tergantung, sedang kelompok etnis, status generasi, dan jenis kelamin, serta interaksi antar variabel sebagai variabel bebas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 2 alat ukur yaitu : angket study of values untuk mengungkap data tentang orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa serta generasi tua dan muda. Perilaku prososial diungkap dengan menggunakan skala perilaku prososial. Data-data yang berkaitan dengan status generasi diperoleh dari arsip data kependudukan yang ada di Kantor Kelurahan serta dari data identitas sebagaimana diungkapkan subjek pada lembar jawaban yang disediakan.
Setelah semua data terkumpul, selanjutnya dianalisis secara statistik dengan teknik analisis 1-jalur, sedang untuk hipotesis tentang interaksi antar variabel dengan variabel perilaku prososial dilakukan dengan teknik analisis anava-3 jalur dan hasil uji-t.
IV. Hasil Analisis
Hasil pengujian Hipotesis 1 tentang ada tidaknya perbedaan orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dengan orang Tionghoa, menunjukkan : 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan orientasi orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa terhadap nilai teoritik ( F : 2.084: p >0.05. 2. Ada perbedaan yang signifikan orientasi orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa terhadap nilai ekonomi ( F : 5.448; p = 0.01), orientasi ekonomi orang suku bangsa Melayu lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. 3. Ada perbedaaan yang siginifikan orientasi orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa terhadap nilai sosial ( F : 16.085; p <> 0.05). 5. Ada perbedaan yang sangat signifikan orientasi orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa terhadap nilai estetika (F : 7.942; p <> 0.05). 2. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai ekonomi ( F : 0.0493 ; p > 0.05). 3. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai sosial ( F : 1.813 ; p > 0.05). 4. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai politik ( F : 0.014 ; p > 0.05). 5. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi tua dan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai estetika ( F : 2.282 ; p > 0.05). 6. Tidak ada perbedaan yang siginifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai religius ( F : 0.627; p > 0.05).
Kaitan dengan hipotesis 2 tentang ada perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dengan generasi muda, ternyata hipotesis ini tidak terbukti atau ditolak.
Hasil pengujian hipotesis 3 tentang adanya perbedaan orientasi nilai antara laki-laki dengan perempuan, menunjukkan : 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai teoritik ( F : 1.283 ; p > 0.05). 2. Ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai ekonomi ( F : 3.760 ; p = 0.05), orientasi ekonomi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. 3. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai sosial ( 0.008 ; p > 0.05). 4. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai politik ( F : 0.698 ; p > 0.05). 5. Tidak ada perbedaan yang siginifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai estetika ( F : 2.081 ; p > 0.05). 6. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai religius ( F : 3.050 ; p> 0.05).
Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis 3 tentang ada perbedaan orientasi nilai antara laki-laki dan perempuan hanya diterima dalam orientasi terhadap nilai ekonomi, sedang orientasi terhadap nilai lainnya ditolak.
Hasil pengujian hipotesis 4 tentang adanya perbedaan perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dengan orang suku bangsa Tionghoa, menunjukkan ada perbedaan perilaku prososial yang signifikan antara orang suku melayu dengan orang suku bangsa Tionghoa ( F : 4.589 ; <> 0.05), sehingga hipotesis 5 ditolak.
Hasil pengujian hipotesis 6 ada perbedaan perilaku prososial antara laki-laki dengan perempuan, menunjukkan tidak adanya perbedaan perilaku prososial yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat ( F : 2.020 ; p > 0.05), sehingga hipotesis 6 ditolak.
V. Pembahasan
1. Hipotesis 1; Perbedaan Orientasi Nilai Antara orang Suku Bangsa Melayu dan orang Suku Bangsa Tionghoa :
Orientasinya terhadap nilai teoritis, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa. Hal tersebut disebabkan oleh faktor pendidkan yang semakin baik pada kedua kelompok etnis tersebut, akses terhadap informasi perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi juga relatif tidak jauh berbeda antara kedua kelompok karena sarana komunikasi seperti Radio, TV, Telepon, parabola dan sebagainya merupakan kelengkapan yang dapat ditemui dalam kehidupan orang suku bangsa Melayu maupun Tionghoa. Faktor lain yang berpengaruh adalah perbedaan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan diantara kedua etnis. Secara sosial orang suku bangsa Tionghoa sebagai “kelompok pendatang” dituntut untuk mendayagunakan kemampuan intelektualnya sehingga dapat berintegrasi dengan kehidupan masyarakat setempat, sedang secara ekonomi mereka menghadapi tantangan dan persaingan dunia bisnis dan perdagangan khususnya berorientasi pada pelanggan atau konsumen sehingga orang suku bangsa Tionghoa lebih berorientasi terhadap nilai sosial. Orang suku bangsa Melayu menghadapi tantangan kehidupan yang menuntut mereka agar mampu mendayagunakan kemampuannya untuk mengeksploitasi dan mendayagunakan sumber daya alam bagi kehidupan, sehingga lebih berorientasi pada nilai ekonomik.
Orientasi terhadap nilai ekonomi, orang suku bangsa Melayu lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal ini dapat disebabkan karena latar belakang kehidupan orang suku bangsa Melayu yaitu perhatiannya banyak tercurah pada hal-hal praktis ekonomik, menitik beratkan pada kegunaan sesuatu khususnya bagaimana mengeksploitasi dan mendayagunakan sumber daya alam untuk kehidupan. Sebaliknya, meskipun orang suku bangsa Tionghoa banyak bergiat di sektor ekonomi tetapi masalah yang mereka hadapi lebih membutuhkan kemampuan berfikir (intelektual) dalam pemecehan masalah itu.
Orientasi terhadap nilai estetika, orang suku bangsa Tionghoa lebih tinggi dari orang suku bangsa Melayu. Hal ini disebabkan karena orang suku bangsa Tionghoa memiliki perangkat seni budaya yang berbeda dengan orang suku bangsa Melayu. Meskipun ada pengaruh dari unsur-unsur seni budaya lokal dan nasional, namun orang suku bangsa Tionghoa tetap memiliki hasrat atau keinginan untuk senantiasa memelihara, mempertahankan serta menjunjung tinggi nilai-nilai seni budaya leluhur mereka dalam kehidupan mereka. Faktor taraf kesejahteraan yang relatif lebih baik sehingga memungkinkan orang suku bangsa Tionghoa lebih berorientasi estetis yakni keindahan dan keharmonisan dalam kehidupan mereka. Faktor lain yang diduga turut berpengaruh adalah adanya diskriminasi yang dialami orang suku bangsa Tionghoa terutama dalam hal hak-hak politik dan kultural sehingga mereka lebih mempunyai harapan dan dambaan terhadap adanya keharmonisan dan keindahan dalam hidup. Pada orang suku bangsa Melayu, indikasi lebih rendahnya orientasi orang suku bangsa Melayu terhadap nilai estetika menunjukkan terjadinya suatu perubahan sosial yang mendasar dalam nilai-nilai hidup orang suku bangsa Melayu. Rab (1986) mengemukakan bahwa suku bangsa Melayu dikenal sebagai mayarakat yang memiliki orientasi yang tinggi terhadap nilai estetika dan religius, sehingga terdapat kecenderungan bahwa nilai-nilai terrsebut mulai digantikan dengan nilai teoritik dan ekonomi.
Orientasi terhadap nilai sosial orang suku bangsa Tionghoa lebih tinggi dari orang suku bangsa Melayu. Hal ini berkaitan erat dengan “status pendatang” pada suku bangsa Tionghoa sehingga menimbulkan klonsekuensi tingginya rasa solidaritas, perasaan senasib sepenanggungan di antara mereka (Soekisman, 1975). Faktor lain, berkaitan dengan latar belakang kehidupan orang suku bangsa Tionghoa yang banyak bergerak di sektor ekonomi khususnya perdagangan dan jasa yaitu salah satu prinsip yang harus mereka lakukan adalah orientasi kepada pemuasan pelanggan mereka. Atas dasar itu, diduga orang suku bangsa Tionghoa memiliki orientasi sosial yang kuat. Seagre (Wibowo, 2000) mengemukakan bahwa orang suku bangsa Tionghoa dikenal memiliki solidaritas sosial yang tinggi terhadap sesama mereka, sehingga kekayaan yang mereka miliki tidak tersebar kemana-mana, tetapi terakumulasi dalam keluarga atau kaum kerabatnya. Hal tersebut berbeda dengan orang suku bangsa Melayu yang secara kepribadian bersikap ekstrovert hanya kepada orang lain dan tidak pada orang dalam kelompoknya (Rab, 1986).
Orientasi terhadap nilai politik, tidak terdapat perbedaan antara orang suku bangsa Melayu dengan orang suku bangsa Tionghoa. Nilai politik berkaitan dengan hasrat ingin berkuasa, menunjukkan kekuasaan, serta keinginan untuk bebas dari pengaruh pihak lain. Pada budaya Melayu senantiasa diajarkan bahwa menonjolkan diri tidaklah baik dilakukan, seperti tercermin dalam ungkapan “mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah”. Bahkan Rab (1986) mengemukakan orang suku bangsa Melayu adalah orang yang begitu mudah untuk menyerahkan kepada orang lain untuk memimpin mereka. Begitu pula, orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa pada dasarnya senantiasa akomodatif dan terbuka (Suwardi, 1991). Pendapat tersebut telah mengalami perubahan karena orientasi nilai bersifat dinamis, sehingga melalui proses perubahan sosial, konfigurasi nilai-nilai hidup juga akan berubah. Saat ini, orientasi politik menunjukkan tanda-tanda meningkat pada sebagian orang suku bangsa Melayu, sehingga memungkinkan kecenderungan orientasi terhadap nilai politik juga akan turut berubah. Berbeda halnya dengan orang suku bangsa Tionghoa yang menghadapi diskriminasi di bidang politik di masa lalu, memungkinkan mereka cenderung lebih memilih dan banyak berkiprah atau berkonsentrasi di sektor ekonomi dan perdagangan, namun akhir-akhir ini orientasi mereka terhadap politik tampak pula meningkat sejalan dengan proses reformasi yang sedang berlangsung.
Orientasi terhadap nilai religius terindikasikan orang suku bangsa Melayu lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal ini erat kaitannya dengan latar belakang kehidupan sebagian orang suku bangsa Melayu yang bekerja memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya alam seperti sebagai petani karet, bekebun, menjadi nelayan. Latar belakang pekerjaan tersebut banyak tergantung pada kondisi serta fenomena alam yang tidak selamanya dapat diatasi, misalnya bila hari hujan tidak bisa ke kebun untuk menyadap karet karena getah karet berkurang atau bila karet tetap disadap akan mempercepat kerusakan pohon karet, atau ketika air pasang, hujan atau badai tidak bisa melaut mencari ikan. Ketidak berdayaan menghadapi fenomena alam memungkinkan orang terstimulasi untuk besikap lebih religius. Faktor lain yang diduga memberikan pengaruh adalah berbagai suasana keagamaan yang disosialisasikan kepada anak-anak di lingkungan keluarga, dan masyarakat seperti di surau, langgar, mesjid.
Pada etnik Tionghoa faktor diskriminasi politik dan kultural yang cukup lama mereka alami, memberikan andil terhadap orientasi religius karena mereka tidak dapat secara bebas menjalankan aktifitas keagamaan atau kepercayaannya karena tidak dimungkinkan oleh undang-undang yang ada.
Perbedaan-perbedaan orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa tersebut di atas, barulah bersifat indikatif belum konklusif, karena hasil analisis data secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Adapun signifikansinya secara praktis antara lain dapat dilihat dari perbandingan antara rerata hipotesis atau teoritis dengan rerata empirik masing-masing nilai. Rerata hipotesis masing-masing nilai adalah 40, sedang rerata empirisnya adalah nilai orang suku bangsa Melayu, teori 42.487; ekonomi 41.719; sosial 37.993; politik 39.599, estetika 37.338 dan religius 40.596. Nilai orang suku bangsa Tionghoa teori 43.486; ekonomi 40.128; sosial 40.169; politik 38.919; estetika 39.747 dan religius 39.966. Data tersebut memperlihatkan bahwa rerata nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa masih berada di sekitar rerata hipotetis atau teoritisnya sehingga perbedaan orientasi nilai antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa tersebut kurang signifikan secara praktis.
2. Hipotesis 2 : Perbedaan Orientasi Nilai Antara Generasi Tua dengan Generasi Muda
Hasil analisis statistik menunjukkan, tidak adanya perbedaan yang signifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap kesemua nilai hidup: teori, ekonomi, sosial, politik, estetika maupun religius. Hal tersebut disebabkan bahwa generasi tua dan generasi muda hidup dalam lingkungan dengan variasi yang relatif sama, misalnya dalam hal adat istiadat maupun norma sosial yang senantiasa disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Disamping itu faktor kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan transportasi yang telah merambah jauh ke dalam kehidupan masyarakat memungkinkan generasi baik tua maupun muda senantiasa terterpa oleh nilai-nilai baru diberbagai aspek kehidupan. Kontak-kontak sosial dengan dunia luar yang semakin bertambah intens baik langsung maupun melalui terpaan media cetak maupun elektronika memungkinkan generasi baik tua maupun muda secara terus menerus mengalami terpaan nilai-nilai budaya dari dunia luar. Intens dan intensifnya terpaan tersebut dapat menjadi faktor bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru yang lebih mengglobal dan universal antara generasi tua dan muda.
Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah faktor metodologi penelitian karena subjek generasi tua dan muda berasal dari dua kelompok etnis yakni Melayu dan Tionghoa sehingga terjadi kondisi saling menetralkan di antara kedua kelompok yang mengakibatkan tidak munculnya perbedaan. Hal tersebut terjadi karena analisis data dilakukan tanpa mengontrol perbedaan kelompok etnis.
3. Hipotesis 3 : Perbedaan Orientasi Nilai antara Laki-laki dengan Perempuan
Dari hasil analisis data ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah hal orientasinya terhadap nilai teori, sosial, politik, estetika dan religius. Hasil tersebut mendukung hasil penelitian Adisubroto (1996) yang tidak menemukan adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam hal orientasi mereka terhadap nilai teoritis dan sosial, namun orientasi terhadap nilai politik, estetika dan religius, hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan dengan penelitian Adisubroto (1996) yang menemukan adanya perbedaan antara pria dan wanita.
Orientasi terhadap nilai ekonomi terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan yaitu laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adisubroto (1996) yang menemukan perbedaan orientasi terhadap nilai ekonomi yang menyatakan pria lebih tinggi dari wanita. Penyebabnya berkaitan dengan masih dominannya peran dan tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Kondisi tersebut didukung pula oleh realitas pekerjaan orang suku bangsa Melayu di sektor pertanian, perkebunan karet, maupun nelayan yang banyak dilakukan kaum laki-laki. Begitu pula dalam keluarga Tionghoa peran dan tanggung jawab laki-laki khususnya dalam ekonomi keluarga masih cukup dominan. Pada sisi yang lain dapat disebabkan oleh masih adanya stereotif gender bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab terhadap ekonomi keluarga sedang wanita adalah ibu rumah tangga.
Orientasi terhadap nilai teori, sosial, politik, estetika dan religius yang tidak berbeda secara signifikan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa orientasi terhadap nilai-nilai tersebut, relatif sama antara laki-laki dan perempuan, sehingga dapat dikemukakan bahwa proses pembangunan dan perubahan sosial telah membawa perubahan orientasi terhadap nilai-nilai hidup laki-laki dan perempuan. Selain itu terdapat kecenderungan orientasi terhadap nilai-nilai hidup semakin tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Secara metodologis terdapat pula kelemahan karena dalam membandingkan orientasi nilai antara lelaki dan perempuan masih bersifat keseluruhan tanpa mengendalikan faktor kelompok etnik (Melayu dan Tionghoa). Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saling mengisi antara kelompok etnis tersebut, sehingga tidak muncul perbedaan.
4. Hipotesis 4 : Perbedaan Perilaku Prososial antara Etnik Melayu dan Tionghoa
Hasil analisis data yang berkaitan dengan hipotesis 4 tentang adanya perbedaan perilaku prososial antara kelompok etnik Melayu dan Tionghoa terbukti, atau diterima, yaitu perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dalam kehidupan bermasyarakat lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal tersebut diperkirakan merupakan pengaruh dari banyak faktor. Dari segi budaya, pada dasarnya budaya Melayu dan budaya Tionghoa secara universal menjunjung tinggi aspek-aspek perilaku prososial dalam kehidupan. Ajaran Taoisme dan Kong Fu Tse terkandung paham yang menekankan pentingnya hubungan yang baik antara keluarga, raja, rakyat, dan antar teman (Sri Mulyani dalam Helmi, 1988). Pada budaya masyarakat Melayu terdapat nilai-nilai yang menekankan pentingnya hidup saling menghormati, tolong menolong, setiakawan, perbuatan menanam budi dengan melakukan kebaikan terhadap orang lain dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Pada sisi lain budaya Tionghoa yang bersumber dari budaya Cina terkandung ajaran Kong Fu Tse yang menganggap orang Cina adalah superior. Rasa superior tersebut, diperkuat oleh suatu proses sejarah dimasa yang lalu khususnya pada era penjajahan Belanda yang menempatkan orang suku bangsa Tionghoa lebih istimewa dibanding orang suku bangsa Melayu, sedang pada era orde baru didukung oleh supremasi atau dominasi orang suku bangsa Tionghoa di bidang ekonomi dan perdagangan serta taraf kesejahteraan yang relatif lebih baik dari orang suku bangsa Melayu, diduga dapat menjustifikasi rasa superioritas orang Tionghoa. Konsekuensi dari rasa superior tersebut membuat hubungan interpersonal dalam masyarakatpun tidak diwarnai empati (Helmi, 1988).
Faktor empati merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi perilaku prososial. Empati yang rendah membuat kecenderungan orang suku bangsa Tionghoa untuk bertindak dalam prososial dalam masyarakat juga rendah. Kondisi itu berbeda halnya dengan perilaku prososial antar sesama orang suku bangsa Tionghoa sendiri yang cenderung tinggi. Hasil penelitian Helmi (1988) menunjukkan bahwa intensi prososial generasi muda Tionghoa terhadap orang sesuku lebih tinggi dibanding orang yang berbeda suku.
Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap perbedaan perilaku prososial tersebut adalah faktor situasi. Faktor situasional memegang peranan penting bagi munculnya perilaku prososial. Adapun faktor situasional yang menurut penulis diperkirakan berpengaruh adalah faktor kesibukan atau ketergesaan, serta faktor kehadiran orang lain. Kesibukan mayoritas orang suku bangsa Tionghoa di bidang bisnis dan perdagangan yang dari pagi sampai sore bahkan malam hari berada di toko melayani para pembeli, melakukan tugas-tugas administrasi dan manajemen perdagangan memungkinkan perhatian orang suku bangsa Tionghoa lebih tercurah terhadap pekerjaannya tersebut sehingga hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas kemasyarakatan agak terabaikan. Kondisi tersebut diduga pula oleh faktor kehadiran orang lain dalam hal ini orang suku bangsa Melayu yang mayoritas di lingkungannya. Faktor kehadiran atau keberadaan orang suku bangsa Melayu yang mayoritas diduga dapat mendorong terjadinya “efek penonton” (bystander effect) karena menduga bahwa orang lain akan atau telah memberitahukan bantuan atau pertolongannya.
5. Hipotesis 5 : Perbedaan Perilaku Prososial antara Generasi Tua dan Muda
Hasil analisis data yang berkaitan dengan pembuktian hipotesis 5 tentang ada perbedaan perilaku prososial antara generasi tua dengan generasi muda, ternyata ditolak. Artinya tidak terdapat perbedaan perilaku prososial antara generasi tua dengan generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa faktor perbedaan generasi tidak mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perilaku prososial dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi tersebut disebabkan antara lain karena faktor usia yaitu kedua generasi telah memasuki periode yang matang dalam menentukan sikap dan perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat. Usia yang tergolong generasi muda, namun rentang usia 17 – 25 tahun merupakan usia yang sudah matang dalam menentukan sikap dan perilakunya sebagaimana halnya orang dewasa. Faktor lain yang berpengaruh adalah kompetensi personal atau faktor kemampuan melakukan tindakan prososial. Aktivitas memberikan pertolongan terhadap orang yang membutuhkan, melakukan kerja sama, mempertimbangkan kesejahteraan fisik serta psikis orang lain, adalah aktivitas yang dapat dilakukan oleh generasi tua maupun muda. Hal itu dapat berarti bahwa faktor perbedaan generasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku prososial generasi tua maupun muda dalam masyarakat. Faktor lain yang berpengaruh adalah kemajuan kehidupan di berbagai bidang seperti pendidikan, komunikasi dan informasi, transportasi, adanya keterbukaan, demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, memberikan kesempatan dan peluang yang sama luasnya bagi ke dua generasi. Generasi tua dengan pengalaman dan kearifan yang dimiliki, begitu pula generasi muda dengan segala dinamika kehidupannya tidak menghalanginya berbuat atau berperilaku prososial di tengah masyarakat.
Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah faktor ruang lingkup perilaku yang diteliti dibatasi pada perilaku prososial dalam kehidupan bermasyarakat dan faktor subjek yang berasal dari dua kelompok etnis yang berbeda, sehingga memberikan pengaruh terhadap tidak adanya perbedaan perilaku prososial di antara generasi tua dan muda.
6. Hipotesis 6; Perbedaan Perilaku Prososial antara Laki-laki dan Perempuan.
Berkaitan dengan pembuktian hipotesis 6 tentang adanya perbedaan perilaku prososial antara laki-laki dengan perempuan, ternyata dari hasil analisis data tidak terdapat perbedaan perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga hipotesis 6 ditolak atau tidak diterima. Hasil ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakhruruozi (2000) bahwa tidak terdapat perbedaan altruisme antar pria dan wanita kota dan desa. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena perilaku menolong, bekerja sama, mempertimbangkan kesejahteraan orang lain merupakan perilaku yang relatif tidak dipengaruhi stereotip gender. Artinya baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang luas dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.
Dan faktor lain yang diduga berpengaruh adalah ruang lingkup perilaku prososial yang ingin diungkap dalam penelitian ini dibatasi pada perilaku prososial dalam masyarakat tanpa membedakan karakteristik situasi yang dihadapi.
VI. Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian secara statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan orientasi nilai antara orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa; orientasi orang suku bangsa Melayu terhadap nilai ekonomi lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa; orientasi orang suku bangsa Tionghoa terhadap nilai sosial lebih tinggi dari pada orang suku bangsa Melayu; orientasi orang suku bangsa Tionghoa terhadap nilai estetika lebih tinggi dari orang suku bangsa Melayu; orientasi orang suku bangsa Melayu terhadap nilai religius lebih tinggi dibanding orang suku bangsa Tionghoa, sedang dalam orientasi terhadap nilai teoritik dan politik tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa.
Hasil analisis dengan memperbandingkan rerata hipotesis atau teoritis dengan rerata empiris pada sebagian orientasi nilai yang berbeda tersebut, ternyata rerata empiris orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa masih berada di sekitar rerata empiris hipotesisnya. Penulis ingin menekankan bahwa perbedaan orientasi nilai tersebut di atas barulah menunjukkan indikasi adanya perbedaan, akan tetapi perbedaan tersebut belumlah dapat dianggap konklusif sehingga diperlukan penelitian lanjutan yang bersifat konfirmatori untuk mengungkap lebih jauh perbedaan orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa.
Hasil pengujian hipotesis 2 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan orientasi nilai hidup : teoritik, ekonomi, sosial, politik, estetika dan religius antara generasi tua dengan generasi muda. Hasil pengujian hipotesis 3 tentang perbedaan orientasi nilai laki-laki dan perempuan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan orientasi nilai hidup pada nilai teoritik, sosial, politik, estetika dan religius, sedang untuk nilai ekonomi, ada perbedaan yang siginifikan antara laki-laki dengan perempuan, orientasi laki-laki terhadap nilai ekonomi lebih tinggi dari perempuan.
Hasil pengujian hipotesis 4 menemukan, ada perbedaan yang signifikan perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dengan orang suku bangsa Tionghoa, perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dalam kehidupan kehidupan bermasyarakat lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Adapun hasil pengujian terhadap hipotesis 5 tentang perbedaan perilaku prososial generasi tua dan muda ditemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan perilaku prososial antara generasi tua dan generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil penelitian juga tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan perilaku prososial laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat (hipotesis 6).
Dari hasil penelitian sebagaimana diungkapkan di atas, maka beberapa saran yang ingin penulis kemukakan antara lain :
1. Kepada peneliti selanjutnya
Penelitian ini mungkin baru merupakan penelitian awal untuk dapat mengungkap perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial berbagai kelompok suku bangsa khususnya Melayu dan Tionghoa sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat konfirmatori untuk mempertegas perbedaan-perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa.
Secara metodologi kiranya perlu lebih meningkatkan jumlah populasi yang lebih banyak jumlahnya dengan teknik penarikan sampel yang lebih mencerminkan semua strata populasi pada sebaran lokasi yang lebih luas, dengan mengkombinasikan beberapa teknik pengumpulan data seperti angket dan wawancara, serta mempertimbangkan variabel-variabel lain seperti lingkungan geografis daratan dan pantai, pendidikan, pekerjaan, aksebilitas terhadap sumber informasi, mobilitas sosial vaiabel sosial ekonomi seperti prasangka sosial, lokasi bekerja indoors dan out doors
2. Kepada Pemerintah
Hasil penelitian menunjukkan adanya indikasi perbedaan orientasi pada sebagian nilai-nilai hidup antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa, meskipun indikasi perbedaan orientasi nilai tersebut tidak menimbulkan konsekuensi perbedaan yang mencolok dalam realitas sehari-hari, namun orientasi nilai pada berbagai kelompok etnik tersebut dapat dijadikan sebagai faktor yang perlu mendapat perhatian dan pertimbangan dalam rangka pembangunan nasional maupun daerah.
Adapun indikasi terjadinya pergeseran orientasi terhadap sebagian nilai-nilai hidup yaitu orientasi terhadap nilai teoritik dan ekonomi lebih tinggi, sedang orientasi terhadap nilai-nilai sosial, estetika dan religius cenderung menurun. Hal tersebut memberikan isyarat akan pentingnya memberikan perhatian lebih besar pada pembangunan bidang sosial dan humaniora dalam agenda pembangunan disamping sektor ekonomi.
3. Kepada Mayarakat Melayu dan Tionghoa
Hasil penelitian menunjukkan adanya indikasi perbedaan pada orientasi sebagian nilai hidup dan perbedaan perilaku prososial dalam kehidupan bermasyarakat antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa. Adanya indikasi perbedaan tersebut karena pengaruh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks baik personal, situasional maupun kultural. Perbedaan tersebut kiranya dapat dijadikan inspirasi bagi munculnya upaya-upaya kreatif guna menumbuhkan dan mengembangkan suasana yang saling memahami kondisi objektif masing-masing etnis, sekaligus dapat mendorong terciptanya saling pengertian yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa.
Daftar Pustaka
Adisubroto, D. 1987. Orientasi Nilai Orang Jawa serta ciri-ciri kepribadiannya, Disertasi (tidak diterbitkan), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bartal, D., 1976. Proposal Behavior : Theory and Reseach Washington, D.C. Hemisphere Publishing Co.
Dayakisni, T. 1988. Perbedaan intensi Prososial siswa-siswi ditinjau dari pola asuh orang tua, Yogyakarta, Jurnal Psikologi, Universitas Gadjah Mada, 1, 14 – 17.
Depdikbud. 1988. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga Dan Masyarakat Di Daerah Riau, Pekanbaru : Kanwil Depdiknas.
Diah, M., Kasim, M., Afrizal, Muhammad, N. 1988. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat di Daerah Riau, Pekanbaru : Depdikbud.
Dunkin,K., Developmmental Social Psychology : From Infancyto Oldade, Massachusetts, Blakwell Publishers Inc.
Hamidy, UU. 1995. Orang Melayu di Riau, Pekanbaru : UIR Press.
Hamidy. 1986. Membaca Kehidupan Orang Melayu, Pekanbaru : Bumipustaka.
Hasbianto, EN., 2000. Kritik Atas Psikologi dari Bidang Advokasi dan Pemberdayaan Perempuan (dalam Tantangan Psikologi Menghadapi Milenium Baru. Editor Supraktiknya., Faturochman., Haryanto, S.0), Yogyakarta : Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM
Helmi, A.F.1991. Sikap Etnosentrik Pada Genarasi Tua dan Muda Etnik Cina, Jurnal Psikologi, 1, 38-46
Helmi, A.F. 1988. Perbedaan Intensi Prososial Antara Remaja Jawa dan Remaja Cina Pada Siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Bhineka Tunggal Ika di Yogyakarta, Skripsi (Tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi Universitas Gadjah mada Yogyakarta.
Hidayat, Z.M. 1977. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, Bandung : Tarsito.
Husodo, S.Y. 1985. Warga Baru, Jakarta, Gramedia.
Kluckhohn, C. 1962. Values and Value Orientations in The Theory of Action, New York, Harpen & Row Publisher
Munn, N.L. 1962. Introduction To Psychology, Boston : Houghton,, Mifflin Co
Pemerintah Daerah Tingkat I Riau, 1986. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaan Pekanbaru.
Rab,.T. 1986. Kepribadian Orang Melayu dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Pekanbaru, Pemda Tingkat I Riau.
Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values, New York, The Free Press.
Spranger, E. 1928. The Types Of Men : The Psychology And Athics Of Personality. Max Niemeyer Verlag, Halle (Saale)
Staub, E. 1978. Positive Behavior and Morality : Social and personal influences. Vol. 1. New York : Academic Press.
Suparlan, P., 1986. Melayu dan Non Melayu : Kemajemukan dan Identitas Sosial Budaya dalam Masyarakat Melayu dan kebudayaannya, Pekanbaru : Pemda Tingkat I Riau
Suwardi,M.S. 1991, Budaya Melayu dalam perjalanannya Menuju Masa Depan, Pekanbaru : Yayasan Penerbit MSI-Riau
Wan Galib. 1986. Adat istiadat Dalam pergaulan Orang Melayu di Riau, Pekanbaru, Pemda Tingkat I Riau.
William, S. 1981, Personality.New York : Mc Graw-Hill Publishing Co. Ltd.
Biodata penulis :
1. Drs. Syafriman M.Si, alumni Magister Psikologi Sosial, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2000, dan saat ini sebagai kepala Bidang Program dan Evaluasi pada Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Lembang Bandung.
2. Prof. DR. Yapsir Gandi Wirawan, Dosen tetap Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
I. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Indonesia sejak dulu dikenal oleh dunia karena masyarakatnya memiliki perilaku prososial yang tinggi seperti tercermin dalam perikehidupan yang rukun, solidaritas sosial yang tinggi, saling menolong, saling bekerja sama, saling mensejahterakan, dan penuh keramahan. Akhir-akhir ini banyak ahli harus mengernyitkan dahinya untuk dapat memahami berbagai fenomena dan dinamika sosial yang berkembang dalam masyarakat. Para ahli menengarai terjadinya pergeseran dalam orientasi nilai hidup manusia Indonesia sebagai akibat proses industrialisasi dan modernisasi serta pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada sektor ekonomi di masa yang lalu. Manusia Indonesia ditengarai mulai menunjukkan ciri-ciri dan karakteristik kepribadian yang individualistik, materialistik dan hedonistik. Sinyalemen ini diperkuat oleh adanya kenyataan yang berkembang dalam masyarakat yang menunjukkan masyarakat Indonesia menjadi mudah kehilangan pertimbangan terhadap efek perilakunya terhadap sesama warga bangsa seperti terjadinya tragedi kemanusiaan di Ambon dan Aceh.
Pada masa orde baru sebetulnya telah banyak upaya yang dilakukan untuk memelihara, meningkatkan serta mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa dan kesetiakawanan sosial di antara warga bangsa yang cukup intensif seperti tercermin dalam Penataran P4 dan Gerakan Kesetiakawanan Sosial Nasional, serta berbagai upaya yang dilakukan masyarakat. Upaya-upaya tersebut nampaknya belum optimal dapat memelihara, meningkatkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur dan terpeliharanya kesetiakawanan sosial yang tinggi di antara warga bangsa. Kondisi tersebut terjadi karena perubahan dan pergeseran orientasi nilai hidup manusia Indonesia, serta adanya keragaman dari berbagai kelompok suku bangsa yang ada.
Atas dasar itu, maka penulis membatasi cakupan kelompok etnik yang akan diteliti pada kelompok etnis Melayu dan Tionghoa yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Penulis berpendapat kedua kelompok etnis tersebut berhadapan dengan suatu realitas yang memberikan rona dan corak tersendiri bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia di masa depan, sehingga penelitian terhadap kedua kelompok etnik tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran atau proyeksi tentang masyarakat Indonesia umumnya.
Pada sisi lain berbagai perubahan nilai akan berdampak terhadap orientasi hidup dan eksistensi generasi baik generasi tua dan generasi muda. Kedua kelompok generasi yang berbeda usia tersebut akan menghadapi realitas perubahan sosial yang hebat. Generasi muda merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai perubahan nilai dalam hidup, seperti rentannya generasi muda terhadap nilai-nilai hidup yang berorientasi material, global dan universal sehingga menjadi individualistik, materialistik dan hedonik. Generasi muda cenderung mudah terjerumus ke dalam pola-pola hidup yang merugikan seperti penyalahgunaan narkoba dan zat-zat adiktif. Perhatian terhadap orientasi nilai dan perilaku kedua generasi tersebut penting untuk dilakukan.
Selain itu, manusia tidak lepas dari status jenis kelamin, dan para ahli telah banyak mengupas perbedaan biologis, psikologis dan psiko-sosial kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Hasbianto, 2000). Realitas perkembangan menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan peranan yang sama dan komplementer, sehingga upaya mengungkap bagaimana orientasi nilai dan kecenderungan perilaku prososial mereka dalam konstelasi perubahan sosial yang berlangsung cepat kiranya juga perlu diungkap.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan penelitian ini adalah apakah ada perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial antara orang suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa, antara generasi tua dan generasi muda.
2. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial antara suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa, serta antara generasi tua dan generasi muda.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu psikologi terutama psikologi sosial, khususnya teori tentang nilai-nilai hidup dan perilaku prososial, serta upaya peningkatan kesetiakawanan sosial nasional, pelestarian nilai-nilai luhur bangsa, maupun upaya memelihara dan meningkatkan integrasi nasional.
II. Kerangka Konseptual
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara antropologis Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Secara filosofis, Spranger (1928) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Spranger corak sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai.
Orang akan memandang segala sesuatu dengan kacamata nilai hidup yang dihargainya paling tinggi atau dominan itu sehingga nilai hidup yang lain yang berasal dari pengertian kebudayaan secara luas, akan diwarnai juga oleh nilai hidup yang dominan itu. Spranger menggolongkan adanya enam lapangan nilai, yaitu : (1). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, meliputi lapangan pengetahuan, lapangan ekonomi, lapangan kesenian, dan lapangan keagamaan. (2). Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat, yaitu : lapangan kemasyarakatan, dan lapangan politik. Pengertian nilai dari persepektif psikologis dikemukakan Munn (1962) bahwa nilai merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang.
Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan menjadi referensi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya.
Kebudayaan merupakan adat istiadat yang menyangkut nilai-nilai, norma-norma, dan kebiasaan-kebiasaan dalam hidup sehari-hari yang dianut oleh sekelompok orang dan berfungsi sebagai pedoman tingkah laku. Menurut Bath (Suparlan, 1986) setiap golongan suku bangsa atau etnik mempunyai seperangkat kebudayaan yang melekat pada identitas suku bangsa atau etnik tersebut, yang sewaktu-waktu bila diperlukan dapat diaktifkan sebagai simbol-simbol untuk identifikasi dan untuk menunjukkan adanya batas-batas sosial dengan golongan suku bangsa atau etnik lainnya dalam interaksi. Menurut Ghalib orang suku Melayu adalah mereka yang beragama Islam, berbahasa Melayu dan beristiadat Melayu ( dalam Budisantoso, 1986). Tradisi kehidupan orang Melayu di Riau meletakkan sistem nilai agama Islam sebagai sistem nilai yang utama (Hamidy, 1995). Dalam kehidupan orang Melayu senantiasa ditekankan tentang kehidupan yang saling menghormati, saling memberi, rukun dan damai, rasa persaudaraan dan kekeluargaan, keramah-tamahan dan keterbukaan, kesetiakawanan, tenggang rasa, kemauan untuk bekerja keras, hemat dan prasaja (Diah dkk. 1988). Orang suku bangsa Melayu yang baik selalu merendahkan diri, tidak menonjolkan dirinya, tidak mau memaksakan kemauannya jika bertentangan dengan kemauan orang lain, senantiasa sahaja dan sedia kompromi (Rab, 1986). Nilai-nilai tersebut diperkenalkan dan ditanamkan sejak dini kepada anak-anak Melayu. Proses perubahan sosial juga tidak luput terus melanda masyarakat Melayu sehingga mungkin telah berdampak pada telah terjadinya berbagai perubahan nilai.
Dasar berfikir orang suku bangsa Tionghoa sangat dipengaruhi oleh Taoisme dan Konfusianisme (Hidayat, 1977; Husodo, 1985). Taoisme mengajarkan bahwa keluarga merupakan tempat berlindung, hubungan harus terjalin erat sehingga tidak mudah menerima pengaruh dari luar. Ajaran Konfusius menganggap Cina adalah pusat pemerintahan dunia dan pusat orang beradab. Orang suku bangsa Tioanghoa memiliki kesadaran bahwa kedudukannya lebih tinggi dari negara sekelilingnya. Mereka selalu berusaha agar kehidupannya lebih tinggi dari bangsa lain, bekerja keras, tekun, hemat, sabar, dan teliti. Nilai Konfusian merupakan faktor yang bertanggung jawab atas sukses orang suku bangsa Tionghoa seperti disiplin keluarga, hirarki dalam masyarakat. Orang suku bangsa Tionghoa memiliki solidaritas sosial yang tinggi di antara mereka (Gaertner & Bickmen; Wispe & Fresley dalam Helmi, 1991). Rasa solidaritas yang tinggi menyebabkan orang suku bangsa Tionghoa lebih senang membantu sesama kelompok etniknya dari pada orang lain.
Perilaku prososial menurut William (1981) adalah tingkah laku seseorang yang bermaksud merubah keadaan psikis atau fisik penerima sedemikian rupa, sehingga si penolong akan merasa bahwa si penerima menjadi lebih sejahtera atau puas secara material ataupun psikologis. Pengertian tersebut menekankan pada maksud dari perilaku untuk menciptakan kesejahteraan fisik maupun psikis. Bartal (1977) mengemukakan perilaku prososial adalah tingkah laku yang menimbulkan konsekuensi positif bagi kesejahteraan fisik maupun psikis orang lain. Perilaku tersebut meliputi pengertian yang luas sehingga dalam penelitian ini penulis membatasi perilaku prososial pada perilaku menolong, bekerja sama, menyumbang dan membagi, serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain. Perilaku prososial dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu : (1) faktor situasional yang meliputi : kehadiran orang lain, faktor lingkungan dan kebisingan, faktor tanggung jawab, faktor kemampuan yang dimiliki, faktor desakan waktu, latar belakang keluarga, dan (2) faktor internal yang meliputi : faktor pertimbangan untung rugi, faktor nilai-nilai pribadi, faktor empati, suasana hati (mood), faktor sifat, faktor tanggung jawab, faktor agama, tahapan moral, orientasi seksual, jenis kelamin, (3) faktor penerima bantuan yang meliputi : karakteristik orang yang memerlukan pertolongan, kesamaan penolong dengan yang memerlukan pertolongan, asal daerah, daya tarik fisik, (4) faktor budaya meliputi : nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat khususnya norma tanggung jawab sosial, norma timbal balik dan norma keadilan.
Setiap generasi hidup dalam kurun waktu yang berbeda sehingga antar generasi memiliki perbedaan dalam cara berfikir, cara bertindak dan dalam pengalaman. Setiap generasi hidup dalam suatu kurun waktu yang berbeda dan menghadapi situasi dan tantangan yang berbeda pula. Situasi yang terjadi dalam rentang waktu tersebut akan mempengaruhi nilai, pikiran dan perilaku generasi tersebut. Rogers (1977) mengemukakan pengalaman berbudaya dan sejarah bahwa sekelompok orang hidup akan memberikan “tanda” pada sekelompok orang tersebut. Generasi muda adalah kelompok umur yang penuh daya cipta dan konflik, sedang generasi tua mempunyai sifat berkuasa dan memerintah. Penelitian tentang pengaruh usia terhadap perilaku prososial menunjukkan korelasi yang positif, yaitu semakin meningkat usia, akan meningkat pula kecenderungan untuk bertindak prososial. Beberapa kajian eksperimental dari Cialdini (dalam Durkin, 1995).memberikan bukti orang dewasa lebih mungkin bertindak prososial jika mereka yakin perilaku tersebut akan mendorong kepada suatu kelegaan dari ketidakenakan mereka pada keadaan korban yang menyedihkan. Rossi dan Rossi melaporkan kedermawanan lebih besar pada orang yang lebih tua dibanding orang yang lebih muda.
Rokeach (1973) mengemukakan lelaki mempunyai orientasi nilai yang lebih tinggi terhadap prestasi dan intelektual, lebih materialistic, berorientasi intelektual dan prestasi, lebih mencari kesenangan dari pada wanita, sedang wanita menempati nilai yang lebih tinggi dalam cinta, afiliasi dan keluarga, berorientasi nilai-nilai religius, kebahagiaan personal, self respect, kehidupan pribadi yang bebas konflik, bebas konflik antar kelompok.
Perbedaan perilaku prososial antara lelaki dengan perempuan masih menunjukkan kekaburan. Dari segi stereotif sosial wanita dianggap lebih perhatian, lebih emosional dan lebih sensitive terhadap kebutuhan orang lain dari pada lelaki. Lelaki diharapkan lebih kuat dan lebih tegas (Bem, 1974; Eagly, 1987; Piliavin dan Unger, 1985; Spence dan Helmreich, 1978 dan sarwono, 1997). Pandangan sosiologis lelaki diharapkan berperanan sebagai pelindung keluarga mereka, sementara perempuan diharapkan komitmen perhatiannya terhadap orang lain. Baron dan Byrne (1991) mengemukakan bahwa perbedaan tingkah laku prososial antara lelaki dengan perempuan sangat tergantung pada situasi dan macam perlakuan yang memerlukan pertolongan.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : (1). Ada perbedaan orientasi nilai antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa, (2). Ada perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dan muda, (3). Ada perbedaan orientasi nilai antara laki-laki dan perempuan, (4). Ada perbedaan perilaku prososial dalam masyarakat antar orang antara suku bangsa Melayu dan Tionghoa, (5). Ada perbedaan perilaku prososial antara generasi tua dan muda, (6) Ada perbedaan perilaku prososial antara lelaki dan perempuan.
III. Metode Penelitian
Subjek penelitian ini sebanyak 299 orang terdiri dari : 151 orang suku bangsa Melayu dan 148 orang suku bangsa Tionghoa, 139 orang generasi tua dan 160 orang generasi muda, 153 lelaki dan 146 perempuan. Adapun kesamaan sifat dari populasi adalah warga negara Indonesia, dari suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa, laki-laki dan perempuan, bertempat tinggal di Kabupaten Indragiri Hulu, berusia 17 – 25 tahun untuk generasi muda, dan berusia 45 tahun ke atas untuk generasi tua. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive random sampling.
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah orientasi nilai dan perilaku prososial sebagai variabel tergantung, sedang kelompok etnis, status generasi, dan jenis kelamin, serta interaksi antar variabel sebagai variabel bebas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 2 alat ukur yaitu : angket study of values untuk mengungkap data tentang orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa serta generasi tua dan muda. Perilaku prososial diungkap dengan menggunakan skala perilaku prososial. Data-data yang berkaitan dengan status generasi diperoleh dari arsip data kependudukan yang ada di Kantor Kelurahan serta dari data identitas sebagaimana diungkapkan subjek pada lembar jawaban yang disediakan.
Setelah semua data terkumpul, selanjutnya dianalisis secara statistik dengan teknik analisis 1-jalur, sedang untuk hipotesis tentang interaksi antar variabel dengan variabel perilaku prososial dilakukan dengan teknik analisis anava-3 jalur dan hasil uji-t.
IV. Hasil Analisis
Hasil pengujian Hipotesis 1 tentang ada tidaknya perbedaan orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dengan orang Tionghoa, menunjukkan : 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan orientasi orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa terhadap nilai teoritik ( F : 2.084: p >0.05. 2. Ada perbedaan yang signifikan orientasi orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa terhadap nilai ekonomi ( F : 5.448; p = 0.01), orientasi ekonomi orang suku bangsa Melayu lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. 3. Ada perbedaaan yang siginifikan orientasi orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa terhadap nilai sosial ( F : 16.085; p <> 0.05). 5. Ada perbedaan yang sangat signifikan orientasi orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa terhadap nilai estetika (F : 7.942; p <> 0.05). 2. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai ekonomi ( F : 0.0493 ; p > 0.05). 3. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai sosial ( F : 1.813 ; p > 0.05). 4. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai politik ( F : 0.014 ; p > 0.05). 5. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara generasi tua dan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai estetika ( F : 2.282 ; p > 0.05). 6. Tidak ada perbedaan yang siginifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai religius ( F : 0.627; p > 0.05).
Kaitan dengan hipotesis 2 tentang ada perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dengan generasi muda, ternyata hipotesis ini tidak terbukti atau ditolak.
Hasil pengujian hipotesis 3 tentang adanya perbedaan orientasi nilai antara laki-laki dengan perempuan, menunjukkan : 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai teoritik ( F : 1.283 ; p > 0.05). 2. Ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai ekonomi ( F : 3.760 ; p = 0.05), orientasi ekonomi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. 3. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai sosial ( 0.008 ; p > 0.05). 4. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai politik ( F : 0.698 ; p > 0.05). 5. Tidak ada perbedaan yang siginifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap nilai estetika ( F : 2.081 ; p > 0.05). 6. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam orientasinya terhadap nilai religius ( F : 3.050 ; p> 0.05).
Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis 3 tentang ada perbedaan orientasi nilai antara laki-laki dan perempuan hanya diterima dalam orientasi terhadap nilai ekonomi, sedang orientasi terhadap nilai lainnya ditolak.
Hasil pengujian hipotesis 4 tentang adanya perbedaan perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dengan orang suku bangsa Tionghoa, menunjukkan ada perbedaan perilaku prososial yang signifikan antara orang suku melayu dengan orang suku bangsa Tionghoa ( F : 4.589 ; <> 0.05), sehingga hipotesis 5 ditolak.
Hasil pengujian hipotesis 6 ada perbedaan perilaku prososial antara laki-laki dengan perempuan, menunjukkan tidak adanya perbedaan perilaku prososial yang signifikan antara laki-laki dengan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat ( F : 2.020 ; p > 0.05), sehingga hipotesis 6 ditolak.
V. Pembahasan
1. Hipotesis 1; Perbedaan Orientasi Nilai Antara orang Suku Bangsa Melayu dan orang Suku Bangsa Tionghoa :
Orientasinya terhadap nilai teoritis, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa. Hal tersebut disebabkan oleh faktor pendidkan yang semakin baik pada kedua kelompok etnis tersebut, akses terhadap informasi perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi juga relatif tidak jauh berbeda antara kedua kelompok karena sarana komunikasi seperti Radio, TV, Telepon, parabola dan sebagainya merupakan kelengkapan yang dapat ditemui dalam kehidupan orang suku bangsa Melayu maupun Tionghoa. Faktor lain yang berpengaruh adalah perbedaan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan diantara kedua etnis. Secara sosial orang suku bangsa Tionghoa sebagai “kelompok pendatang” dituntut untuk mendayagunakan kemampuan intelektualnya sehingga dapat berintegrasi dengan kehidupan masyarakat setempat, sedang secara ekonomi mereka menghadapi tantangan dan persaingan dunia bisnis dan perdagangan khususnya berorientasi pada pelanggan atau konsumen sehingga orang suku bangsa Tionghoa lebih berorientasi terhadap nilai sosial. Orang suku bangsa Melayu menghadapi tantangan kehidupan yang menuntut mereka agar mampu mendayagunakan kemampuannya untuk mengeksploitasi dan mendayagunakan sumber daya alam bagi kehidupan, sehingga lebih berorientasi pada nilai ekonomik.
Orientasi terhadap nilai ekonomi, orang suku bangsa Melayu lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal ini dapat disebabkan karena latar belakang kehidupan orang suku bangsa Melayu yaitu perhatiannya banyak tercurah pada hal-hal praktis ekonomik, menitik beratkan pada kegunaan sesuatu khususnya bagaimana mengeksploitasi dan mendayagunakan sumber daya alam untuk kehidupan. Sebaliknya, meskipun orang suku bangsa Tionghoa banyak bergiat di sektor ekonomi tetapi masalah yang mereka hadapi lebih membutuhkan kemampuan berfikir (intelektual) dalam pemecehan masalah itu.
Orientasi terhadap nilai estetika, orang suku bangsa Tionghoa lebih tinggi dari orang suku bangsa Melayu. Hal ini disebabkan karena orang suku bangsa Tionghoa memiliki perangkat seni budaya yang berbeda dengan orang suku bangsa Melayu. Meskipun ada pengaruh dari unsur-unsur seni budaya lokal dan nasional, namun orang suku bangsa Tionghoa tetap memiliki hasrat atau keinginan untuk senantiasa memelihara, mempertahankan serta menjunjung tinggi nilai-nilai seni budaya leluhur mereka dalam kehidupan mereka. Faktor taraf kesejahteraan yang relatif lebih baik sehingga memungkinkan orang suku bangsa Tionghoa lebih berorientasi estetis yakni keindahan dan keharmonisan dalam kehidupan mereka. Faktor lain yang diduga turut berpengaruh adalah adanya diskriminasi yang dialami orang suku bangsa Tionghoa terutama dalam hal hak-hak politik dan kultural sehingga mereka lebih mempunyai harapan dan dambaan terhadap adanya keharmonisan dan keindahan dalam hidup. Pada orang suku bangsa Melayu, indikasi lebih rendahnya orientasi orang suku bangsa Melayu terhadap nilai estetika menunjukkan terjadinya suatu perubahan sosial yang mendasar dalam nilai-nilai hidup orang suku bangsa Melayu. Rab (1986) mengemukakan bahwa suku bangsa Melayu dikenal sebagai mayarakat yang memiliki orientasi yang tinggi terhadap nilai estetika dan religius, sehingga terdapat kecenderungan bahwa nilai-nilai terrsebut mulai digantikan dengan nilai teoritik dan ekonomi.
Orientasi terhadap nilai sosial orang suku bangsa Tionghoa lebih tinggi dari orang suku bangsa Melayu. Hal ini berkaitan erat dengan “status pendatang” pada suku bangsa Tionghoa sehingga menimbulkan klonsekuensi tingginya rasa solidaritas, perasaan senasib sepenanggungan di antara mereka (Soekisman, 1975). Faktor lain, berkaitan dengan latar belakang kehidupan orang suku bangsa Tionghoa yang banyak bergerak di sektor ekonomi khususnya perdagangan dan jasa yaitu salah satu prinsip yang harus mereka lakukan adalah orientasi kepada pemuasan pelanggan mereka. Atas dasar itu, diduga orang suku bangsa Tionghoa memiliki orientasi sosial yang kuat. Seagre (Wibowo, 2000) mengemukakan bahwa orang suku bangsa Tionghoa dikenal memiliki solidaritas sosial yang tinggi terhadap sesama mereka, sehingga kekayaan yang mereka miliki tidak tersebar kemana-mana, tetapi terakumulasi dalam keluarga atau kaum kerabatnya. Hal tersebut berbeda dengan orang suku bangsa Melayu yang secara kepribadian bersikap ekstrovert hanya kepada orang lain dan tidak pada orang dalam kelompoknya (Rab, 1986).
Orientasi terhadap nilai politik, tidak terdapat perbedaan antara orang suku bangsa Melayu dengan orang suku bangsa Tionghoa. Nilai politik berkaitan dengan hasrat ingin berkuasa, menunjukkan kekuasaan, serta keinginan untuk bebas dari pengaruh pihak lain. Pada budaya Melayu senantiasa diajarkan bahwa menonjolkan diri tidaklah baik dilakukan, seperti tercermin dalam ungkapan “mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah”. Bahkan Rab (1986) mengemukakan orang suku bangsa Melayu adalah orang yang begitu mudah untuk menyerahkan kepada orang lain untuk memimpin mereka. Begitu pula, orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa pada dasarnya senantiasa akomodatif dan terbuka (Suwardi, 1991). Pendapat tersebut telah mengalami perubahan karena orientasi nilai bersifat dinamis, sehingga melalui proses perubahan sosial, konfigurasi nilai-nilai hidup juga akan berubah. Saat ini, orientasi politik menunjukkan tanda-tanda meningkat pada sebagian orang suku bangsa Melayu, sehingga memungkinkan kecenderungan orientasi terhadap nilai politik juga akan turut berubah. Berbeda halnya dengan orang suku bangsa Tionghoa yang menghadapi diskriminasi di bidang politik di masa lalu, memungkinkan mereka cenderung lebih memilih dan banyak berkiprah atau berkonsentrasi di sektor ekonomi dan perdagangan, namun akhir-akhir ini orientasi mereka terhadap politik tampak pula meningkat sejalan dengan proses reformasi yang sedang berlangsung.
Orientasi terhadap nilai religius terindikasikan orang suku bangsa Melayu lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal ini erat kaitannya dengan latar belakang kehidupan sebagian orang suku bangsa Melayu yang bekerja memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya alam seperti sebagai petani karet, bekebun, menjadi nelayan. Latar belakang pekerjaan tersebut banyak tergantung pada kondisi serta fenomena alam yang tidak selamanya dapat diatasi, misalnya bila hari hujan tidak bisa ke kebun untuk menyadap karet karena getah karet berkurang atau bila karet tetap disadap akan mempercepat kerusakan pohon karet, atau ketika air pasang, hujan atau badai tidak bisa melaut mencari ikan. Ketidak berdayaan menghadapi fenomena alam memungkinkan orang terstimulasi untuk besikap lebih religius. Faktor lain yang diduga memberikan pengaruh adalah berbagai suasana keagamaan yang disosialisasikan kepada anak-anak di lingkungan keluarga, dan masyarakat seperti di surau, langgar, mesjid.
Pada etnik Tionghoa faktor diskriminasi politik dan kultural yang cukup lama mereka alami, memberikan andil terhadap orientasi religius karena mereka tidak dapat secara bebas menjalankan aktifitas keagamaan atau kepercayaannya karena tidak dimungkinkan oleh undang-undang yang ada.
Perbedaan-perbedaan orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa tersebut di atas, barulah bersifat indikatif belum konklusif, karena hasil analisis data secara statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Adapun signifikansinya secara praktis antara lain dapat dilihat dari perbandingan antara rerata hipotesis atau teoritis dengan rerata empirik masing-masing nilai. Rerata hipotesis masing-masing nilai adalah 40, sedang rerata empirisnya adalah nilai orang suku bangsa Melayu, teori 42.487; ekonomi 41.719; sosial 37.993; politik 39.599, estetika 37.338 dan religius 40.596. Nilai orang suku bangsa Tionghoa teori 43.486; ekonomi 40.128; sosial 40.169; politik 38.919; estetika 39.747 dan religius 39.966. Data tersebut memperlihatkan bahwa rerata nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa masih berada di sekitar rerata hipotetis atau teoritisnya sehingga perbedaan orientasi nilai antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa tersebut kurang signifikan secara praktis.
2. Hipotesis 2 : Perbedaan Orientasi Nilai Antara Generasi Tua dengan Generasi Muda
Hasil analisis statistik menunjukkan, tidak adanya perbedaan yang signifikan antara generasi tua dengan generasi muda dalam orientasinya terhadap kesemua nilai hidup: teori, ekonomi, sosial, politik, estetika maupun religius. Hal tersebut disebabkan bahwa generasi tua dan generasi muda hidup dalam lingkungan dengan variasi yang relatif sama, misalnya dalam hal adat istiadat maupun norma sosial yang senantiasa disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Disamping itu faktor kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan transportasi yang telah merambah jauh ke dalam kehidupan masyarakat memungkinkan generasi baik tua maupun muda senantiasa terterpa oleh nilai-nilai baru diberbagai aspek kehidupan. Kontak-kontak sosial dengan dunia luar yang semakin bertambah intens baik langsung maupun melalui terpaan media cetak maupun elektronika memungkinkan generasi baik tua maupun muda secara terus menerus mengalami terpaan nilai-nilai budaya dari dunia luar. Intens dan intensifnya terpaan tersebut dapat menjadi faktor bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru yang lebih mengglobal dan universal antara generasi tua dan muda.
Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah faktor metodologi penelitian karena subjek generasi tua dan muda berasal dari dua kelompok etnis yakni Melayu dan Tionghoa sehingga terjadi kondisi saling menetralkan di antara kedua kelompok yang mengakibatkan tidak munculnya perbedaan. Hal tersebut terjadi karena analisis data dilakukan tanpa mengontrol perbedaan kelompok etnis.
3. Hipotesis 3 : Perbedaan Orientasi Nilai antara Laki-laki dengan Perempuan
Dari hasil analisis data ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah hal orientasinya terhadap nilai teori, sosial, politik, estetika dan religius. Hasil tersebut mendukung hasil penelitian Adisubroto (1996) yang tidak menemukan adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam hal orientasi mereka terhadap nilai teoritis dan sosial, namun orientasi terhadap nilai politik, estetika dan religius, hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan dengan penelitian Adisubroto (1996) yang menemukan adanya perbedaan antara pria dan wanita.
Orientasi terhadap nilai ekonomi terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan yaitu laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Adisubroto (1996) yang menemukan perbedaan orientasi terhadap nilai ekonomi yang menyatakan pria lebih tinggi dari wanita. Penyebabnya berkaitan dengan masih dominannya peran dan tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Kondisi tersebut didukung pula oleh realitas pekerjaan orang suku bangsa Melayu di sektor pertanian, perkebunan karet, maupun nelayan yang banyak dilakukan kaum laki-laki. Begitu pula dalam keluarga Tionghoa peran dan tanggung jawab laki-laki khususnya dalam ekonomi keluarga masih cukup dominan. Pada sisi yang lain dapat disebabkan oleh masih adanya stereotif gender bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab terhadap ekonomi keluarga sedang wanita adalah ibu rumah tangga.
Orientasi terhadap nilai teori, sosial, politik, estetika dan religius yang tidak berbeda secara signifikan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa orientasi terhadap nilai-nilai tersebut, relatif sama antara laki-laki dan perempuan, sehingga dapat dikemukakan bahwa proses pembangunan dan perubahan sosial telah membawa perubahan orientasi terhadap nilai-nilai hidup laki-laki dan perempuan. Selain itu terdapat kecenderungan orientasi terhadap nilai-nilai hidup semakin tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Secara metodologis terdapat pula kelemahan karena dalam membandingkan orientasi nilai antara lelaki dan perempuan masih bersifat keseluruhan tanpa mengendalikan faktor kelompok etnik (Melayu dan Tionghoa). Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saling mengisi antara kelompok etnis tersebut, sehingga tidak muncul perbedaan.
4. Hipotesis 4 : Perbedaan Perilaku Prososial antara Etnik Melayu dan Tionghoa
Hasil analisis data yang berkaitan dengan hipotesis 4 tentang adanya perbedaan perilaku prososial antara kelompok etnik Melayu dan Tionghoa terbukti, atau diterima, yaitu perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dalam kehidupan bermasyarakat lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal tersebut diperkirakan merupakan pengaruh dari banyak faktor. Dari segi budaya, pada dasarnya budaya Melayu dan budaya Tionghoa secara universal menjunjung tinggi aspek-aspek perilaku prososial dalam kehidupan. Ajaran Taoisme dan Kong Fu Tse terkandung paham yang menekankan pentingnya hubungan yang baik antara keluarga, raja, rakyat, dan antar teman (Sri Mulyani dalam Helmi, 1988). Pada budaya masyarakat Melayu terdapat nilai-nilai yang menekankan pentingnya hidup saling menghormati, tolong menolong, setiakawan, perbuatan menanam budi dengan melakukan kebaikan terhadap orang lain dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Pada sisi lain budaya Tionghoa yang bersumber dari budaya Cina terkandung ajaran Kong Fu Tse yang menganggap orang Cina adalah superior. Rasa superior tersebut, diperkuat oleh suatu proses sejarah dimasa yang lalu khususnya pada era penjajahan Belanda yang menempatkan orang suku bangsa Tionghoa lebih istimewa dibanding orang suku bangsa Melayu, sedang pada era orde baru didukung oleh supremasi atau dominasi orang suku bangsa Tionghoa di bidang ekonomi dan perdagangan serta taraf kesejahteraan yang relatif lebih baik dari orang suku bangsa Melayu, diduga dapat menjustifikasi rasa superioritas orang Tionghoa. Konsekuensi dari rasa superior tersebut membuat hubungan interpersonal dalam masyarakatpun tidak diwarnai empati (Helmi, 1988).
Faktor empati merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi perilaku prososial. Empati yang rendah membuat kecenderungan orang suku bangsa Tionghoa untuk bertindak dalam prososial dalam masyarakat juga rendah. Kondisi itu berbeda halnya dengan perilaku prososial antar sesama orang suku bangsa Tionghoa sendiri yang cenderung tinggi. Hasil penelitian Helmi (1988) menunjukkan bahwa intensi prososial generasi muda Tionghoa terhadap orang sesuku lebih tinggi dibanding orang yang berbeda suku.
Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap perbedaan perilaku prososial tersebut adalah faktor situasi. Faktor situasional memegang peranan penting bagi munculnya perilaku prososial. Adapun faktor situasional yang menurut penulis diperkirakan berpengaruh adalah faktor kesibukan atau ketergesaan, serta faktor kehadiran orang lain. Kesibukan mayoritas orang suku bangsa Tionghoa di bidang bisnis dan perdagangan yang dari pagi sampai sore bahkan malam hari berada di toko melayani para pembeli, melakukan tugas-tugas administrasi dan manajemen perdagangan memungkinkan perhatian orang suku bangsa Tionghoa lebih tercurah terhadap pekerjaannya tersebut sehingga hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas kemasyarakatan agak terabaikan. Kondisi tersebut diduga pula oleh faktor kehadiran orang lain dalam hal ini orang suku bangsa Melayu yang mayoritas di lingkungannya. Faktor kehadiran atau keberadaan orang suku bangsa Melayu yang mayoritas diduga dapat mendorong terjadinya “efek penonton” (bystander effect) karena menduga bahwa orang lain akan atau telah memberitahukan bantuan atau pertolongannya.
5. Hipotesis 5 : Perbedaan Perilaku Prososial antara Generasi Tua dan Muda
Hasil analisis data yang berkaitan dengan pembuktian hipotesis 5 tentang ada perbedaan perilaku prososial antara generasi tua dengan generasi muda, ternyata ditolak. Artinya tidak terdapat perbedaan perilaku prososial antara generasi tua dengan generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa faktor perbedaan generasi tidak mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perilaku prososial dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi tersebut disebabkan antara lain karena faktor usia yaitu kedua generasi telah memasuki periode yang matang dalam menentukan sikap dan perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat. Usia yang tergolong generasi muda, namun rentang usia 17 – 25 tahun merupakan usia yang sudah matang dalam menentukan sikap dan perilakunya sebagaimana halnya orang dewasa. Faktor lain yang berpengaruh adalah kompetensi personal atau faktor kemampuan melakukan tindakan prososial. Aktivitas memberikan pertolongan terhadap orang yang membutuhkan, melakukan kerja sama, mempertimbangkan kesejahteraan fisik serta psikis orang lain, adalah aktivitas yang dapat dilakukan oleh generasi tua maupun muda. Hal itu dapat berarti bahwa faktor perbedaan generasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku prososial generasi tua maupun muda dalam masyarakat. Faktor lain yang berpengaruh adalah kemajuan kehidupan di berbagai bidang seperti pendidikan, komunikasi dan informasi, transportasi, adanya keterbukaan, demokratisasi dalam kehidupan bermasyarakat, memberikan kesempatan dan peluang yang sama luasnya bagi ke dua generasi. Generasi tua dengan pengalaman dan kearifan yang dimiliki, begitu pula generasi muda dengan segala dinamika kehidupannya tidak menghalanginya berbuat atau berperilaku prososial di tengah masyarakat.
Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah faktor ruang lingkup perilaku yang diteliti dibatasi pada perilaku prososial dalam kehidupan bermasyarakat dan faktor subjek yang berasal dari dua kelompok etnis yang berbeda, sehingga memberikan pengaruh terhadap tidak adanya perbedaan perilaku prososial di antara generasi tua dan muda.
6. Hipotesis 6; Perbedaan Perilaku Prososial antara Laki-laki dan Perempuan.
Berkaitan dengan pembuktian hipotesis 6 tentang adanya perbedaan perilaku prososial antara laki-laki dengan perempuan, ternyata dari hasil analisis data tidak terdapat perbedaan perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga hipotesis 6 ditolak atau tidak diterima. Hasil ini memperkuat hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakhruruozi (2000) bahwa tidak terdapat perbedaan altruisme antar pria dan wanita kota dan desa. Kondisi tersebut dapat disebabkan karena perilaku menolong, bekerja sama, mempertimbangkan kesejahteraan orang lain merupakan perilaku yang relatif tidak dipengaruhi stereotip gender. Artinya baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang luas dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.
Dan faktor lain yang diduga berpengaruh adalah ruang lingkup perilaku prososial yang ingin diungkap dalam penelitian ini dibatasi pada perilaku prososial dalam masyarakat tanpa membedakan karakteristik situasi yang dihadapi.
VI. Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian secara statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan orientasi nilai antara orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa; orientasi orang suku bangsa Melayu terhadap nilai ekonomi lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa; orientasi orang suku bangsa Tionghoa terhadap nilai sosial lebih tinggi dari pada orang suku bangsa Melayu; orientasi orang suku bangsa Tionghoa terhadap nilai estetika lebih tinggi dari orang suku bangsa Melayu; orientasi orang suku bangsa Melayu terhadap nilai religius lebih tinggi dibanding orang suku bangsa Tionghoa, sedang dalam orientasi terhadap nilai teoritik dan politik tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang suku bangsa Melayu dan orang suku bangsa Tionghoa.
Hasil analisis dengan memperbandingkan rerata hipotesis atau teoritis dengan rerata empiris pada sebagian orientasi nilai yang berbeda tersebut, ternyata rerata empiris orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa masih berada di sekitar rerata empiris hipotesisnya. Penulis ingin menekankan bahwa perbedaan orientasi nilai tersebut di atas barulah menunjukkan indikasi adanya perbedaan, akan tetapi perbedaan tersebut belumlah dapat dianggap konklusif sehingga diperlukan penelitian lanjutan yang bersifat konfirmatori untuk mengungkap lebih jauh perbedaan orientasi nilai orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa.
Hasil pengujian hipotesis 2 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan orientasi nilai hidup : teoritik, ekonomi, sosial, politik, estetika dan religius antara generasi tua dengan generasi muda. Hasil pengujian hipotesis 3 tentang perbedaan orientasi nilai laki-laki dan perempuan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan orientasi nilai hidup pada nilai teoritik, sosial, politik, estetika dan religius, sedang untuk nilai ekonomi, ada perbedaan yang siginifikan antara laki-laki dengan perempuan, orientasi laki-laki terhadap nilai ekonomi lebih tinggi dari perempuan.
Hasil pengujian hipotesis 4 menemukan, ada perbedaan yang signifikan perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dengan orang suku bangsa Tionghoa, perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dalam kehidupan kehidupan bermasyarakat lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Adapun hasil pengujian terhadap hipotesis 5 tentang perbedaan perilaku prososial generasi tua dan muda ditemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan perilaku prososial antara generasi tua dan generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil penelitian juga tidak menemukan adanya perbedaan yang signifikan perilaku prososial laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat (hipotesis 6).
Dari hasil penelitian sebagaimana diungkapkan di atas, maka beberapa saran yang ingin penulis kemukakan antara lain :
1. Kepada peneliti selanjutnya
Penelitian ini mungkin baru merupakan penelitian awal untuk dapat mengungkap perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial berbagai kelompok suku bangsa khususnya Melayu dan Tionghoa sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat konfirmatori untuk mempertegas perbedaan-perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa.
Secara metodologi kiranya perlu lebih meningkatkan jumlah populasi yang lebih banyak jumlahnya dengan teknik penarikan sampel yang lebih mencerminkan semua strata populasi pada sebaran lokasi yang lebih luas, dengan mengkombinasikan beberapa teknik pengumpulan data seperti angket dan wawancara, serta mempertimbangkan variabel-variabel lain seperti lingkungan geografis daratan dan pantai, pendidikan, pekerjaan, aksebilitas terhadap sumber informasi, mobilitas sosial vaiabel sosial ekonomi seperti prasangka sosial, lokasi bekerja indoors dan out doors
2. Kepada Pemerintah
Hasil penelitian menunjukkan adanya indikasi perbedaan orientasi pada sebagian nilai-nilai hidup antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa, meskipun indikasi perbedaan orientasi nilai tersebut tidak menimbulkan konsekuensi perbedaan yang mencolok dalam realitas sehari-hari, namun orientasi nilai pada berbagai kelompok etnik tersebut dapat dijadikan sebagai faktor yang perlu mendapat perhatian dan pertimbangan dalam rangka pembangunan nasional maupun daerah.
Adapun indikasi terjadinya pergeseran orientasi terhadap sebagian nilai-nilai hidup yaitu orientasi terhadap nilai teoritik dan ekonomi lebih tinggi, sedang orientasi terhadap nilai-nilai sosial, estetika dan religius cenderung menurun. Hal tersebut memberikan isyarat akan pentingnya memberikan perhatian lebih besar pada pembangunan bidang sosial dan humaniora dalam agenda pembangunan disamping sektor ekonomi.
3. Kepada Mayarakat Melayu dan Tionghoa
Hasil penelitian menunjukkan adanya indikasi perbedaan pada orientasi sebagian nilai hidup dan perbedaan perilaku prososial dalam kehidupan bermasyarakat antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa. Adanya indikasi perbedaan tersebut karena pengaruh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks baik personal, situasional maupun kultural. Perbedaan tersebut kiranya dapat dijadikan inspirasi bagi munculnya upaya-upaya kreatif guna menumbuhkan dan mengembangkan suasana yang saling memahami kondisi objektif masing-masing etnis, sekaligus dapat mendorong terciptanya saling pengertian yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat antara orang suku bangsa Melayu dan Tionghoa.
Daftar Pustaka
Adisubroto, D. 1987. Orientasi Nilai Orang Jawa serta ciri-ciri kepribadiannya, Disertasi (tidak diterbitkan), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bartal, D., 1976. Proposal Behavior : Theory and Reseach Washington, D.C. Hemisphere Publishing Co.
Dayakisni, T. 1988. Perbedaan intensi Prososial siswa-siswi ditinjau dari pola asuh orang tua, Yogyakarta, Jurnal Psikologi, Universitas Gadjah Mada, 1, 14 – 17.
Depdikbud. 1988. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga Dan Masyarakat Di Daerah Riau, Pekanbaru : Kanwil Depdiknas.
Diah, M., Kasim, M., Afrizal, Muhammad, N. 1988. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat di Daerah Riau, Pekanbaru : Depdikbud.
Dunkin,K., Developmmental Social Psychology : From Infancyto Oldade, Massachusetts, Blakwell Publishers Inc.
Hamidy, UU. 1995. Orang Melayu di Riau, Pekanbaru : UIR Press.
Hamidy. 1986. Membaca Kehidupan Orang Melayu, Pekanbaru : Bumipustaka.
Hasbianto, EN., 2000. Kritik Atas Psikologi dari Bidang Advokasi dan Pemberdayaan Perempuan (dalam Tantangan Psikologi Menghadapi Milenium Baru. Editor Supraktiknya., Faturochman., Haryanto, S.0), Yogyakarta : Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM
Helmi, A.F.1991. Sikap Etnosentrik Pada Genarasi Tua dan Muda Etnik Cina, Jurnal Psikologi, 1, 38-46
Helmi, A.F. 1988. Perbedaan Intensi Prososial Antara Remaja Jawa dan Remaja Cina Pada Siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Bhineka Tunggal Ika di Yogyakarta, Skripsi (Tidak diterbitkan), Fakultas Psikologi Universitas Gadjah mada Yogyakarta.
Hidayat, Z.M. 1977. Masyarakat dan Kebudayaan Cina di Indonesia, Bandung : Tarsito.
Husodo, S.Y. 1985. Warga Baru, Jakarta, Gramedia.
Kluckhohn, C. 1962. Values and Value Orientations in The Theory of Action, New York, Harpen & Row Publisher
Munn, N.L. 1962. Introduction To Psychology, Boston : Houghton,, Mifflin Co
Pemerintah Daerah Tingkat I Riau, 1986. Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaan Pekanbaru.
Rab,.T. 1986. Kepribadian Orang Melayu dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, Pekanbaru, Pemda Tingkat I Riau.
Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values, New York, The Free Press.
Spranger, E. 1928. The Types Of Men : The Psychology And Athics Of Personality. Max Niemeyer Verlag, Halle (Saale)
Staub, E. 1978. Positive Behavior and Morality : Social and personal influences. Vol. 1. New York : Academic Press.
Suparlan, P., 1986. Melayu dan Non Melayu : Kemajemukan dan Identitas Sosial Budaya dalam Masyarakat Melayu dan kebudayaannya, Pekanbaru : Pemda Tingkat I Riau
Suwardi,M.S. 1991, Budaya Melayu dalam perjalanannya Menuju Masa Depan, Pekanbaru : Yayasan Penerbit MSI-Riau
Wan Galib. 1986. Adat istiadat Dalam pergaulan Orang Melayu di Riau, Pekanbaru, Pemda Tingkat I Riau.
William, S. 1981, Personality.New York : Mc Graw-Hill Publishing Co. Ltd.
Biodata penulis :
1. Drs. Syafriman M.Si, alumni Magister Psikologi Sosial, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tahun 2000, dan saat ini sebagai kepala Bidang Program dan Evaluasi pada Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Lembang Bandung.
2. Prof. DR. Yapsir Gandi Wirawan, Dosen tetap Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.