Perang topat (ketupat) setiap tahun berlangsung di Pura Lingsar, Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Upacara ini berlangsung pada waktu saat “raraq kembang waru” alias gugurnya bunga waru.
Acara itu merupakan lambang kerukunan antar umat beragama, khususnya masyarakat Sasak (pemeluk Islam) dan masyarakat etnis Bali (pemeluk Hindu). Perang topat dimulai pukul 15.45, dan berakhir saat matahari tenggelam.
Upacara itu sudah jadi agenda pariwisata. Wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti. Sehari sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau “penaek gawe”. Ada lagi acara “mendak” alias upacara menjemput tamu agung alias roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung. Kemudian ada pula penyembelihan kerbau. Ada sesajen berupa jajan sembilan rupa, buah-buahan, dan minuman.
Lempar-lemparan ketupat itu ditingkahi bunyi kul-kul selama sekitar satu jam. Ketupat itu diperebutkan. Yang belum dilemparkan tak boleh dibawa pulang. Kendati ketupat itu sudah penyok, atau isinya “mecotot”, tetap dipunguti orang, khususnya petani, untuk dibawa pulang dan ditempatkan di sudut-sudut pematang sawah atau digantung di pohon buah-buahan.
Maksud upacara itu adalah untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak.
Memang perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun muncrat, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Desa itu pun lalu diberi nama Lingsar. Entah bagaimana, Sumilir hilang di situ. Atas musibah itu, seisi istana dan warga sedih. Kesedihan itu berlarut hingga dua tahun. Buntutnya, semua orang melupakan urusan kehidupan. Suatu ketika keponakan Sumilir, Datu Piling, menemukan pamannya itu di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.
Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang kedua kalinya, warga Lingsar kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.
Perang ketupat pun lantas dilestarikan sebagai ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah.
Sumber: JIBIS Humaniora
Acara itu merupakan lambang kerukunan antar umat beragama, khususnya masyarakat Sasak (pemeluk Islam) dan masyarakat etnis Bali (pemeluk Hindu). Perang topat dimulai pukul 15.45, dan berakhir saat matahari tenggelam.
Upacara itu sudah jadi agenda pariwisata. Wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti. Sehari sebelumnya ada upacara permulaan kerja atau “penaek gawe”. Ada lagi acara “mendak” alias upacara menjemput tamu agung alias roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung. Kemudian ada pula penyembelihan kerbau. Ada sesajen berupa jajan sembilan rupa, buah-buahan, dan minuman.
Lempar-lemparan ketupat itu ditingkahi bunyi kul-kul selama sekitar satu jam. Ketupat itu diperebutkan. Yang belum dilemparkan tak boleh dibawa pulang. Kendati ketupat itu sudah penyok, atau isinya “mecotot”, tetap dipunguti orang, khususnya petani, untuk dibawa pulang dan ditempatkan di sudut-sudut pematang sawah atau digantung di pohon buah-buahan.
Maksud upacara itu adalah untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak.
Memang perang topat tak lepas dari legenda. Konon di Lombok Barat dulu ada Kerajaan Medain. Raja Medain punya anak bernama Raden Mas Sumilir yang bergelar Datu Wali Milir. Suatu ketika ia menancapkan tongkatnya di tanah Bayan. Saat tongkat itu ditarik, air pun muncrat, melaju deras. Dalam bahasa Sasak, melaju artinya langser atau lengsar. Desa itu pun lalu diberi nama Lingsar. Entah bagaimana, Sumilir hilang di situ. Atas musibah itu, seisi istana dan warga sedih. Kesedihan itu berlarut hingga dua tahun. Buntutnya, semua orang melupakan urusan kehidupan. Suatu ketika keponakan Sumilir, Datu Piling, menemukan pamannya itu di lokasi mata air tadi. Dalam pertemuan itu disebutkan, kalau mau menemui Sumilir, hendaklah datang ke mata air itu.
Maka Datu Piling pun memerintahkan pengiringnya untuk menyambut pertemuan itu. Ketupat beserta lauknya dipersiapkan. Pertemuan pun terjadi sekitar pukul 16.00. Setelah itu Raden Mas Sumilir kembali menghilang. Tapi sejak Sumilir menghilang kedua kalinya, warga Lingsar kembali menikmati kemakmuran. Sumber air melimpah, dan siap dipakai mengairi sawah.
Perang ketupat pun lantas dilestarikan sebagai ungkapan rasa syukur, menandai saat dimulainya menggarap sawah.
Sumber: JIBIS Humaniora