Pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Kalimantan (Antara Paralellisme atau Subordinasi)

Rata PenuhPendahuluan

Lokasi pulau Kalimantan yang dulunya berada di wilayah rute perdagangan Perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan telah memungkinkan mobilitas dalam bidang ekonomi, politik, dan juga pertukaran budaya. Beberapa data arkeologi mengindikasikan bahwa daerah ini mendapat pengaruh budaya India sejak abad 4 M, yaitu sejak kerajaan yang bercorak Hindu di Kutai, Kalimantan Timur (Sumadio, 1993: 31). Data arkeologi lainnya yang menunjukkan proses Kalimantan ke dalam wacana klasik contohnya kedatangan beberapa patung dewa Hindu di Gua Gunung Kombeng-Kutai (Kusmartono, 2000: 22), Candi Agung dan Candi Laras di Kalimantan Selatan (7 M) (Nastiti, 1998: 27-28). Khususnya di Kalimantan juga ditemukan beberapa peninggalan arkeologi yang mempunyai corak Hindu-Budha, (7 M) dan Praasti Batu Sampai (Sukarto, 1994: 1-2; Utomo, 2007: 39-42).

Penemuan lainnya yaitu patung nandi (Utomo, 2007: 46-49). Melihat persebaran data yang ada, masih dimungkinkan banyaknya data yang belum digali sehubungan dengan kondisi alam di Kalimantan.

Kalimantan dalam berita-berita China (T’ai p’ing huan yu chi) disebut dengan istilah Chin li p’i shih. Lebih jelasnya lagi, Moens mengidentifikasi bahwa wilayah ini dianggap debagai bagian kerajaan Wijaya Pura (Wolters, 1974; 174-175). Bahkan dalam berita China tidak disebutkan adanya utusan ke daerah Cina walaupun sangat memungkinkan karena pada abad 6 M telah terjalin hubungan yang saling menguntungkan (Utomo, 2007: 5-6).

Aktifitas perdagangan yang besar di sekitar perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan telah memberi beberapa sentuhan budaya asing yang masuk ke Kalimantan. Kondisi ini berhubungan dengan aktifitas perdagangan yang memungkinkan hubungan dengan kebudayaan lain, yaitu diantaranya penyebaran nilai-nilai keagamaan. Aktifitas perdagangan di Kalimantan juga tidak mencegah keberadaan pengaruh kerajaan disekitarnya, contohnya adalah Sriwijaya yang telah mengontrol Selat Malaka sejak abad ke 7 M. Keberadaan Sriwijaya yang mengontrol wilayah perairan Malaka ini kurang lebih akan mempengaruhi mobilitas peradaban di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi hegemoni dari Sriwijaya yang begitu kuat di wilayah Selat Malaka. Beberapa wilayah di sekitaran pantai Selat Malaka seperti Malayu dan Bangka adalah salah satu contoh yang telah dipengaruhi hegemoni Sriwijaya.

Pada abad ke 7 M, aktifitas Budhisme terpusat di Sriwijaya dan ditemukan juga gejala Budhisme di Kalimantan yang kemudian menimbulkan masalah yang mempengaruhi hubungan antara kedua wilayah ini dalam kerangka untuk memperluas kebudayaan besar Sriwijaya. Kurangnya distribusi data peninggalan arkeologi Hindu-Budha di Kalimantan menjadikan diskusi ini berada dalam wacana hipotesis.

Sriwijaya sebagai sebuah Dinamika Sosial Budaya di Wilayah Selat Malaka
Wilayah perairan Selat Malaka yang menjadi penghubung bagi kebudayaan besar India dengan China merupakan jaringan perdagangan yang besar. Kondisi ini telah menjadi keuntungan sejak beberapa pelabuhan dibangun di sepanjang wilayah pantai Sumatra dan Semenanjung Melayu. Kondisi ini akhirnya mempercepat pertumbuhan kebudayaan besar seperti Sriwijaya. Sejak abad ke 7 M, Sriwijaya telah muncul sebagai pemegang kebijakan ekonomi di wilayah perairan Selat Malaka. Berbagai sumber komoditas ekonomi di sepanjang Selat Malaka telah diatur sebagai sebuah usaha bagi keberlangsungan pemerintahannya (Rangkuti, 1994: 163). Lebih lanjut, Lapian (1979: 97) mempertegas bahwa Sriwijaya merupakan kekuatan utama di dalam sejarah Nusantara yang telah sukses menguasai wilayah perairan dan memegang kunci perdangan baik itu dari Negara Cina maupun Negara-negara di atas angin (utara).

Kemunculan dan perkembangan Sriwijaya pada abad 7 M sebagai sebuah pemegang kekuasaan politik satu-satunya di Selat Malaka telah memicu perhatian para peneliti, seperti dan John N. Miksic (1984). Miksic (1984: 9) beranggapan bahwa faktor lokal merupakan faktor utama di dalam pertumbuhan kebudayaan besar Sriwijaya. Asumsi ini ditujukan sebagai sebuah alternatif terhadap asumsi yang diutarakan oleh Bennet Bronson, bahwa faktor penyebab utama dari perkembangan Sriwijaya di Sumatra Selatan adalah posisinya di dalam jalur komunikasi internasional antara samudra Hindia, laut Cina Selatan, dan Indonesia Timur. Kondisi ini membuat faktor lokal (internal) dan faktor eksternal (eksternal) bersatu menjadi sebuah pengaruh bagi kemunculan dan perkembangan peradaban Sriwijaya.

Perkembangan Sriwijaya menjadi kebudayaan besar tidak terlepas dari jaringan dan kepadatan aktifitas informasi, pertukaran informasi dan komoditas dengan frekuensi yang tinggi yang telah dibangun dengan maju (Miksic, 1984: 20). Arus perdagangan di Selat Malaka ini telah memicu pembentukan interaksi berkelanjutan dengan wilayah luar. Dengan kata lain, interaksi dengan dunia luar telah membuka pengetahuan dalam perkembangan ide-ide baru baik itu dari segi teknologi dan kebudayaan. Sebagai bentuk dari kebudayaan besar, dalam perkembangannya, Sriwijaya telah menghasilkan beberapa peninggalan berarti yang begitu hebat. Beberapa bangunan pemujaan Budha ditemukan di beberapa wilayah di Sumatra. Lokasi pertumbuhan keagamaan menunjukkan keberadaan kekhasan dari masyarakat yang beragam.

Di samping pembangunan monumen keagamaan, Sriwijaya juga mengembangkan budaya menulis yang ditemukan oleh pusat pembelajaran Budha Mahayana di Asia Tenggara. Dalam catatan I-Tsing menyebutkan bahwa sebelum para pelajar berangkat ke Nalanda untuk belajar Budhisme, mereka pada umumnya singgah terlebih dahulu di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta (Sumadio, 1993: 75-76; Utomo, 2003: 79).

Gejala Pengaruh Sriwijaya di Kalimantan sebagai Dasar Data Arkeologi
Budhisme di Kalimantan mulai ada sejak pertengahan abad ke 7 M. Kondisi ini ditandai dengan penemuan prasasti Batu Pait yang berhubungan dengan 7 unit dari relief stupa batu. Prasasti ini memuat angka 578 Saka (656 M) dan terdiri dari ye-te yaitu sebuah mantra sakral Budhisme (Atmodjo, 1994 : 1-2 ; Utomo, 2007 : 39-42). Beberapa tanda keberadaan Budhisme di Kalimantan juga terlihat pada penemuan patung-patung Budha yang terbuat dari logam di wilayah Kalimantan Barat, walaupun demikian, penemuan tersebut tidak memiliki konteks yang jelas. Patung-patung tersebut sekarang disimpan di British Museum, London. Study dasar ikonografi pada patung-patung Budha diyakini oleh para peneliti berasal dari abad ke 8-11 M (Utomo, 2007: 10-35). Penemuan yang memiliki corak Budhisme juga ditemukan di Kalimantan Selatan yang memiliki bentuk patung Budha Dipangkara dengan gaya Srilangka. Patung ini dianggap sebagai sebuah komoditas yang dibawa oleh pedagangan sepanjang periode tersebut (Nastiti, 1998).

Sehubungan dengan angka tahun pada prasasti Batu Pait dapat diketahui lebih dulu bahwa Budhisme telah maju dalam perluasan di wilayah Kalimantan dari pada di Sriwijaya (Utomo, 2007: 56). Kerajaan Sriwijaya dengan sendirinya meluaskan kekuasaan setelah abad ke 7 M dan mulai menancapkan tongkat kekuasaan sekitar abad ke 8 M (Soeroso, 1998). Pada abad ke 8 M, Sriwijaya mulai menunjukkan aktifitas hegemoni politik di wilayah Selat Malaka dengan membawa simbol-simbol Budhisme.

Catatan perjalanan I-Tsing (689-692) melaporkan bahwa Sriwijaya memiliki peranan besar dalam perkembangan ajaran Budhisme. Bahkan Budhisme tersebut telah memasuki wilayah politik hingga seorang raja Sriwijaya disebut sebagai pelindung Budhisme (Sumadio, 1993: 75). Raja dengan wilayah kekuasaan politik telah memberi sentuhan terhadap wilayah lainnnya baik dalam hal garis koordinasi maupun wilayah lain tanpa garis koordinasi. Kebudayaan yang besar yang membawa Sriwijaya tersebut meluas ke beberapa wilayah di Selat Malaka. Symbol-simbol kebudayaan yang penuh perjuangan dibuat hingga akhirnya memberi sentuhan terhadap kerajaan lainnya.

Sehubungan dengan kekurangan penemuan yang menunjukkan corak Budhisme di Kalimantan Barat, tidak dapat dianggap sebagai sebuah akhir dari aktifitas Budhisme di wilayah tersebut, wlaupun demikian, dapat dianggap sebagai keberadaan peralihat perhatian kepada kebudayaan yang lebih besar yaitu Sriwijaya. Kebudayaan yang besar dengan kekuasaan politiknya yang luas telah mempengaruhi sebuah cara pendekatan pada masyarakat terhadap kebudayaan yang kecil. Perkembangan Budhisme di Sriwijaya telah membuat sebuah pandangan baru bagi ide religious selanjutnya yang akan diikuti oleh masyarakat dalam wilayah kebudayaan yang kecil walaupun tidak dalam satu kesatuan.

Sentuhan kebudayaan tertentu yang berhubungan dengan keberadaan Sriwijaya dirasakan di wilayah Kalimantan Selatan. Dalam konteks situs berhubungan dengan patung Budha Dipangkara ditemukan sebuah prasasti yang hanya menyebutkan kalimat keagungan siddha dan keagungan siddhayatrasarvvasatva (Sumadio, 1993: 60).

Simbol-simbol Budhisme yang dibawa oleh Sriwijaya digambarkan dalam bentuk kalimat. Jika diartikan lebih jauh, kalimat pendek yang mempunyai tanda aktifitas perjalanan suci juga dapat diartikan sebagai sebuah ekspansi militer untuk mencapai suatu kehormatan bagi Sriwijaya. Prasasti yang berisikan berita pendek ditemukan di Kalimantan Selatan yang menyebutkan kalimat keagungan siddha menunjukkan keberadaan gejala perjalanan suci dari orang-orang kepercayaan raja Sriwijaya. Walaupun demikian, sampai sekarang, bentuk perjalanan yang memiliki bentuk aktifitas militer di Kalimantan belum ditemukan. Kondisi ini member asumsi bahwa hubungan aktifitas antara Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Kalimantan hanya sebatas hubungan paralellisme

Kesimpulan
Dasar keberadaan studi data arkeologi menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya sampai ke wilayah Kalimantan. Pemengaruhan diperoleh melalui pengaruh yang kuat dari aktifitas sosial budaya di wilayah perairan Selat Malaka – Selat Sunda – Selat Karimata. Peran kerajaan Sriwijaya terhadap wilayah ini kemungkinan besar terbatas pada kekuatan yang besar, aktifitas budaya dan aktifitas perekonomian. Dimana dalam hal politik, kekuatan kerajaan Sriwijaya di Kalimantan belum dapat dipastikan secara jelas. Dalam kasus ini, konsep subordinasi politik tentunya tidak dapat diaplikasikan atau dapat dikatakan bahwa sejak dahulu kala cenderung memiliki karakter paralellisme.

Melihat kesimpulan di atas, kemudian dalam mencari jejak perkembangan Sriwijaya harus ada reorientasi penelitian. Reorientasi penelitian ditujukan bukan hanya fokus pada wilayah Sumatra saja, namun juga fokus pada penelitian wilayah Nusantara khususnya (Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka-Belitung, Kalimantan, dan wilayah Selat Malaka). Usaha ini bukan hanya berhubungan dengan periode kemunculan kerajaan Sriwijaya pada abad ke 7 – 13 M, namun juga fokus penelitian pada periode awal masehi. Sebuah periode permulaan hubungan dengan kebudayaan India dan Cina.

Daftar Pustaka
Atmodjo, Sukarto Karto. 1994. Some Temuan Prasati Barus in Indonesia, Berkala Arkeologi Tahun XIV Edisi Khusus 1994. Yogyakarta: Hall Arkeologi Yogyakarta.

Kusmartono, Vida Pervaya Rusianti. 2000a. Position Candi Laras and Candi Agung at Historical Chronology of Classical Period in South Kalimantan, Naditira Widya Nomor 04/2000. Banjarbaru: Hall Arkeologi Banjarmasin.

____________. 2000b. Preferensi Calon Lokasi Situs Masa Klasik in Wilayah Kalimantan East and South Kalimantan, in Naditira Widya Nomor 05/2000. Banjarbaru: Hall Arkeologi Banjarmasin

Kusmartono, Vida Pervaya Rusianti and Harry Widianto. 1998. Ekskavasi Situs Candi Agung Kabupaten North Upper coarse, South Kalimantan, in Berita Penelitian Arkeologi 02/1998. Banjarmasin: Hall Arkeologi Banjarmasin.

Lapian, A.B. 1979. Sea transport in Periode Sriwijaya, in Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, Jakarta 7-8 December 1978. Jakarta: Penelitian center Purbakala and Peninggalan Nasional.

Miksic, John N. 1984. Analysing Wilayah and Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi in south sumatra, in Berkala Arkeologi V (1). Yogyakarta : Hall Arkeologi Yogyakarta.

Nastiti, Titi surti, Nurhadi Rangkuti, Vida Pervaya Rusianti Kusmartono and Harry Widianto. 1998. Ekskavasi Situs Candi Laras Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan, Berita Penelitian Arkeologi Nomor 03 1997/1998. Banjarmasin: Hall Arkeologi Banjarmasin.

Rangkuti, Nurhadi. 1994. Emas and Tanah: Kasus Penguasaan Sumber-Sumber Ekonomi in Sumatera and Java at Abad VII-X Christian (Inscription Study on Sriwijaya and Mataram Kuna Period), in Berkala Arkeologi Tahun XIV Edisi Khusus 1994. Yogyakarta: Hall Arkeologi Yogyakarta.

Soeroso. 1998. Bangka Sebelum Sriwijaya, Berkala Arkeologi Sangkhakala Nomor II/1997-1998 March 1998. Medan: Hall Arkeologi Medan.

Sumadio, Bambang (Editor). 1993. History Nasional Indonesia II. Jakarta: Hall Pustaka.

Utomo, Bambang Budi. 2007. Kepurbakalaan and Sejarah Kalimantan West, in Kalimantan West and Sumbawa: In Perspektif Arkeologi and Sejarah. Jakarta: Centre of research and development Arkeologi Nasional Badan Pengembangan Sumberdaya Kebudayaan and Pariwisata.

Wolters. O.W. 1974. Early Indonesia Commerce: A belajar of the origins Srivijaya. Ithaca and London: Cornell University Press.

Artikel ini dialihbahasakan oleh Tim Wacana Nusantara dari makalah asli yang ditampilkan pada seminar internasional tentang Sriwijaya di Palembang tahun 2008 yg berjudul:

"Influence of Sriwijaya Empire in Kalimantan (Between Parallelism and Subordination)"

written by: Eko Herwanto, Imam Hindarto, and Bambang Sugiyanto
(Archaeological Office of Banjarmasin)

Sumber : http://www.wacananusantara.org