Pencak Silat; Ilmu Bela Diri Masyarakat Rumpun Melayu

Oleh : O‘ong Maryono

Tulisan ini bertujuan mengkaji secara seksama keanekaragaman perwujudan pencak silat, sebuah ilmu bela diri yang berakar dari bangsa Melayu. ‘Melayu‘ yang dimaksud di sini bukanlah bangsa yang mendiami semenanjung Malaysia saja.

Bahkan, perkataan Melayu dipertunjukkan kepada suatu kaum yang khusus, yang bertutur dalam bahasa Melayu dan mempunyai sifat asas keturunan Melayu yang sama. Dari segi linguistik, kawasan orang Melayu adalah kawasan Lautan Teduh yaitu dari Easter Island di sebelah timur ke pulau Madagaskar di sebelah barat.

Lebih terinci, dengan etnis Melayu biasanya disebut penduduk yang terhampar di kepulauan yang meliputi Malaysia, Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam, Filipina dan beberapa pulau kecil yang berdekatan dengan negara-negara tersebut, walaupun sebetulnya penduduk Melayu adalah hanya suatu etnis di antara ratusan etnis yang mendiami kawasan itu. (Tuan Ismail Tuan Soh 1991:3).

Di negara-negara inilah ilmu bela diri pencak silat dapat ditemukan, walaupun istilah penyebutan bisa bermacam-macam. Di semanjung Malaysia teknik membela diri dalam pergaduhan atau pertarungan disebut ‘silat‘. Silat ini terdiri atas lebih daripada 260 gaya atau aliran dengan nama yang berbeda, tergantung pada teknik atau daerah asalnya, misalnya ‘gayong‘, ‘gayong Fatani‘, ‘cekak‘, ‘keletan‘, ‘lintau‘ dan ‘saterlak‘ (Draeger & Smith 1980:179; Mitchell 1989:183, 1989a:137; Notosoejitno 1984:9).

Istilah ‘silat‘ juga dipergunakan di negara tetangga, Singapore. Di sana terdapat sekitar 15 perguruan, yaitu lembaga pendidikan tempat berguru pencak silat. Beberapa di antaranya, seperti ‘gayung‘ dan ‘cekak‘, mempunyai kemiripan nama dengan gaya-gaya Malaysia dan negara-negara tetangga yang lain.

Begitupun, di beberapa provinsi Thailand Selatan di mana penduduknya adalah dari suku bangsa Melayu, yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat, istilah yang dipakai adalah ‘silat‘. Sama halnya, di Brunei Darussalam dan di Filipina Selatan, di mana ilmu bela diri Melayu ini disebut juga istilah ‘silat kuntao‘. Di daerah-daerah kepulauan Sulu di Filipina selatan, digunakan istilah ‘silat-kalis‘.
Di samping itu, menurut ahli bela diri Mark Wiley (1994:21-22), ilmu silat yang masuk kepulauan Filipina lewat Riau bersama dengan ilmu bela diri Cina Kuntao, juga mempengaruhi perkembangan ilmu bela diri kuno ‘kali‘, yang oleh para pakar dianggap sebagai ‘the mother art of the Philippines‘ atau sumber utama semua jenis bela diri zaman sekarang di Filipina.

Di Indonesia, negara yang menjadi pusat perhatihan, ilmu bela diri tradisional ini dikenal dengan nama resminya ‘pencak silat‘. Tetapi, di tiap daerah, masyarakat setempat memiliki istilah-istilah yang berbeda. Pada umumnya, dari Barat ke Timur, pencak silat dikenal di Sumatera Barat dengan istilah ‘silek‘ dan ‘gayuang‘, dan di pesisir Timur pulau itu, sama dengan negara tetangga Malaysia, dengan istilah ‘silat‘; di Jawa Barat dengan sebutan ‘maempo‘, dan ‘penca‘; di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan nama ‘pencak‘; di Madura dan di pulau Bawean dengan ‘mancak‘; di Bali dengan ‘mancak‘ maupun ‘encak‘, di kabupaten Dompu, di Nusa Tenggara Barat dengan ‘mpaa Sila‘; dan di Bulungan Kalimantan Timur dengan istilah ‘bemancek‘.

Nama lokal pencak silat juga dapat bervariasi tergantung suku. Misalnya di Sulawesi Selatan suku Bugis memakai istilah ‘mamencak‘, padahal suku Makassar mempergunakan istilah ‘akmencak‘.

Dengan menyadari kekayaan penyebutan ilmu bela diri pencak silat ini, secara spontan muncul keinginan untuk mengetahui lebih lanjut apa maksud dari semua istilah daerah tersebut. Namun, pemahaman arti pencak silat bukan hal yang mudah oleh karena istilah-istilah yang diuraikan di atas, walaupun menunjuk pada sebuah ilmu bela diri saja, tidak mengandung arti yang persis sama. Di tanah air kita ini, terdapat beraneka-ragam interpretasi mengenai arti dari dua istilah dasar, yaitu ‘pencak‘ dan ‘silat‘ dalam berbagai bahasa daerah, maupun tentang hubungan konseptual di antara mereka.

Sumber : www.silatindonesia.com