Akademisi di Tanah Air dalam meneliti karya sastra Melayu cenderung menggunakan teori Barat. Untuk mengubah kecederungan ini perlu stimulus agar mempertimbangkan kerangka pikir penulis Melayu, bukan mengandalkan kerangka Barat.
"Jarang yang mencari dasar yang berakar dari tradisi atau cara pandang Nusantara dalam menelaah karya Melayu," ujar Abdul Hadi WM, sastrawan sekaligus pengajar di Universitas Paramadina, Senin (11/12).
Hal itu dikemukakannya pada peluncuran dan bedah buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya Denys Lombard dan buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi karya Amin Sweeney. Kedua buku tersebut diterbitkan atas kerja sama Kepustakaan Populer Gramedia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO).
Menurut Abdul Hadi, pemahaman sarjana Barat terhadap Melayu kerap tidak pas. Dia mencontohkan, dalam pandangan Barat terkadang tradisi lisan dilihat dari tradisi tulis. Padahal, tradisi lisan merupakan permainan kata dan bunyi.
"Memindahkan tradisi lisan ke tulis harus tunduk pada tradisi lisan. Pandangan Barat akan janggal ketika diterapkan pada karya Melayu lantaran didasarkan pengalaman di Eropa," katanya.
Kurang berkembangnya penggalian paradigma lain dalam melihat karya sastra Melayu tak lepas dari tradisi positivisme di kalangan akademisi. Tradisi positivisme merupakan teori kebudayaan yang dipakai terus. Para penerus zaman pencerahan menganggap penemuan akal budi lebih tinggi daripada intuisi atau imajinasi
"Kalau kita membaca karya Sweeney, terlihat pertumbuhan cara pandang positivisme," ujar Abdul Hadi.
Uka Tjadrasasmita, arkeolog dengan bidang spesialisasi Islam, yang membahas buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), justru melihat Lombard memberikan pandangan berbeda dengan akademisi Barat lainnya. Dengan model historiografinya, (alm) Lombard menolak historiografi yang Eropa sentris dan pandangan ahli-ahli yang mengecilkan arti sejarah Aceh zaman Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17. (INE)
Sumber: Kompas
"Jarang yang mencari dasar yang berakar dari tradisi atau cara pandang Nusantara dalam menelaah karya Melayu," ujar Abdul Hadi WM, sastrawan sekaligus pengajar di Universitas Paramadina, Senin (11/12).
Hal itu dikemukakannya pada peluncuran dan bedah buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) karya Denys Lombard dan buku Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi karya Amin Sweeney. Kedua buku tersebut diterbitkan atas kerja sama Kepustakaan Populer Gramedia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO).
Menurut Abdul Hadi, pemahaman sarjana Barat terhadap Melayu kerap tidak pas. Dia mencontohkan, dalam pandangan Barat terkadang tradisi lisan dilihat dari tradisi tulis. Padahal, tradisi lisan merupakan permainan kata dan bunyi.
"Memindahkan tradisi lisan ke tulis harus tunduk pada tradisi lisan. Pandangan Barat akan janggal ketika diterapkan pada karya Melayu lantaran didasarkan pengalaman di Eropa," katanya.
Kurang berkembangnya penggalian paradigma lain dalam melihat karya sastra Melayu tak lepas dari tradisi positivisme di kalangan akademisi. Tradisi positivisme merupakan teori kebudayaan yang dipakai terus. Para penerus zaman pencerahan menganggap penemuan akal budi lebih tinggi daripada intuisi atau imajinasi
"Kalau kita membaca karya Sweeney, terlihat pertumbuhan cara pandang positivisme," ujar Abdul Hadi.
Uka Tjadrasasmita, arkeolog dengan bidang spesialisasi Islam, yang membahas buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), justru melihat Lombard memberikan pandangan berbeda dengan akademisi Barat lainnya. Dengan model historiografinya, (alm) Lombard menolak historiografi yang Eropa sentris dan pandangan ahli-ahli yang mengecilkan arti sejarah Aceh zaman Sultan Iskandar Muda pada abad ke-17. (INE)
Sumber: Kompas