Tak Melayu hilang di Bumi! Begitulah ungkapan tersohor tokoh legendaris Melayu, Hang Tuah. Pasti kalimat tersebut dikenang oleh mereka yang mengidentitaskan dirinya dengan Melayu.
Sebagai sebuah kebudayaan, Melayu terbukti mempunyai sejarah panjang. Tidak sekadar di Semenanjung Malaka. Karena itu, berbicara soal kebudayaan Melayu sulit dibatasi oleh geopolitik atau administratif negara. Hal itu pula yang tampak dalam rangkaian seminar "Revitalisasi Kebudayaan Melayu" di Senggarang, Tanjung Pinang, Riau, 29 Juli hingga 1 Agustus lalu. Para pembicara berusaha mencari jawab dan sepakat mengenai identitas dan perlunya upaya revitalisasi kebudayaan Melayu.
"Sampai abad ke-16, Melayu meliputi pantai timur dan barat Sumatera, hingga pantai Malaka. Komunitas itu yang disebut dengan Puak Melayu. Batas administratif dan politik antara lain disebabkan terbitnya Traktat London tahun 1824," kata Suwardi, guru besar pendidikan sejarah dari Universitas Riau. Saat itu, Inggris yang berkedudukan di Bengkulu bertukar daerah jajahan dengan Belanda yang menempati Singapura.
Pendapat senada dilontarkan pakar Melayu dari University of Malay, Tan Sri Dato Ismail Hussein. Katanya, "Janganlah memandang kebudayaan Melayu dalam artian sempit. Meskipun orang Melayu tersebar ke seluruh penjuru, pikiran atau state of mind sebagai Melayu tetap mempersatukan."
Di sana, ada kerinduan dan perasaan senasib yang sulit dijelaskan. Ketika seorang Melayu bergaul dengan Melayu lainnya, perasaan senasib begitu saja muncul.
KEBUDAYAAN Melayu umumnya di pesisir dan berciri terbuka dari berbagai unsur luar, atau bahkan terbawa oleh sebagian besar masyarakatnya yang suka merantau. Alhasil, budaya Melayu tersebar luas, bersifat dinamis, dan majemuk.
Al azhar, budayawan dari Riau, mengibaratkan daerah pesisir ibarat rumah tak berpintu. Ambil contoh, dalam pembicaraan selama lima hari di forum revitalisasi saja sejumlah pemakalah menyajikan budaya Melayu dan persentuhannya dengan berbagai budaya lain, seperti Melayu China, Melayu Betawi, Melayu Aceh, dan Melayu Pesisir.
"Penduduk asli yang dikenal sebagai orang Betawi sering disebut Melayu Betawi," kata antropolog dari Universitas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab. Bahkan, beberapa waktu yang lalu mereka menamakan dirinya orang Melayu. Baru setelah istilah Betawi dipopulerkan kembali tahun 1970-an, maka istilah ini menggeser kata Melayu dan kini praktis tidak terdengar lagi.
Pengaruh Melayu juga terjadi di Aceh. Direktur Pusat Studi Melayu-Aceh Prof Darwis A Soelaiman mengungkapkan, dari segi bahasa, Aceh dan Melayu terkait erat. Bahasa dan kesusastraan Melayu bukan saja sudah banyak berkembang di Aceh, tetapi peranannya cukup besar dalam pengembangan budaya Melayu Aceh. Sebagai linguafranca, bahasa Melayu sudah dipergunakan secara luas di Aceh pada abad ke-17. Kesamaan identitas juga terlihat pada napas Islam yang terkandung di dalamnya.
Indonesia timur tak luput pula terkena budaya Melayu, terutama dalam segi bahasa. Penelitian Lucy R Montolalu menunjukkan, pemertahanan kosakata bahasa Melayu di Kupang, Sumba, Ambon, dan Manado lebih 60 persen. Tampak pula bahwa bahasa Melayu yang dipakai adalah bahasa Melayu baku. Padahal, awalnya bahasa Melayu merupakan bahasa penduduk di Semenanjung Malaka, Riau Lingga, serta pantai timur Sumatera.
Kedatangan orang-orang Melayu semula terkadang tak sebatas perdagangan, namun juga terkait sosial budaya. Sebutlah seperti yang terjadi di Kerajaan Gowa (Makassar), sebagaimana dikemukakan Muklis Paeni dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
"Karena besarnya jumlah dan peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa, Raja Gowa (ke-12) I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo (1556-1590) membangun masjid di Mangallekana. Tempat ibadah itu untuk kepentingan orang Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun sang raja belum beragama Islam," ujarnya.
UNSUR Melayu tak dapat dipungkiri memberikan warna kepada kebudayaan lainnya. Tak hanya dengan budaya di Tanah Air, tapi di negara lain.
"Melayu dengan pesebarannya yang sangat luas dapat menjadi bagian suku dunia atau global tribe," kata Tan Sri Dato Ismail Hussein. (ine)
Sumber : www.kompas.com/kompas-cetak/0408/04/humaniora/1189557
Sebagai sebuah kebudayaan, Melayu terbukti mempunyai sejarah panjang. Tidak sekadar di Semenanjung Malaka. Karena itu, berbicara soal kebudayaan Melayu sulit dibatasi oleh geopolitik atau administratif negara. Hal itu pula yang tampak dalam rangkaian seminar "Revitalisasi Kebudayaan Melayu" di Senggarang, Tanjung Pinang, Riau, 29 Juli hingga 1 Agustus lalu. Para pembicara berusaha mencari jawab dan sepakat mengenai identitas dan perlunya upaya revitalisasi kebudayaan Melayu.
"Sampai abad ke-16, Melayu meliputi pantai timur dan barat Sumatera, hingga pantai Malaka. Komunitas itu yang disebut dengan Puak Melayu. Batas administratif dan politik antara lain disebabkan terbitnya Traktat London tahun 1824," kata Suwardi, guru besar pendidikan sejarah dari Universitas Riau. Saat itu, Inggris yang berkedudukan di Bengkulu bertukar daerah jajahan dengan Belanda yang menempati Singapura.
Pendapat senada dilontarkan pakar Melayu dari University of Malay, Tan Sri Dato Ismail Hussein. Katanya, "Janganlah memandang kebudayaan Melayu dalam artian sempit. Meskipun orang Melayu tersebar ke seluruh penjuru, pikiran atau state of mind sebagai Melayu tetap mempersatukan."
Di sana, ada kerinduan dan perasaan senasib yang sulit dijelaskan. Ketika seorang Melayu bergaul dengan Melayu lainnya, perasaan senasib begitu saja muncul.
KEBUDAYAAN Melayu umumnya di pesisir dan berciri terbuka dari berbagai unsur luar, atau bahkan terbawa oleh sebagian besar masyarakatnya yang suka merantau. Alhasil, budaya Melayu tersebar luas, bersifat dinamis, dan majemuk.
Al azhar, budayawan dari Riau, mengibaratkan daerah pesisir ibarat rumah tak berpintu. Ambil contoh, dalam pembicaraan selama lima hari di forum revitalisasi saja sejumlah pemakalah menyajikan budaya Melayu dan persentuhannya dengan berbagai budaya lain, seperti Melayu China, Melayu Betawi, Melayu Aceh, dan Melayu Pesisir.
"Penduduk asli yang dikenal sebagai orang Betawi sering disebut Melayu Betawi," kata antropolog dari Universitas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab. Bahkan, beberapa waktu yang lalu mereka menamakan dirinya orang Melayu. Baru setelah istilah Betawi dipopulerkan kembali tahun 1970-an, maka istilah ini menggeser kata Melayu dan kini praktis tidak terdengar lagi.
Pengaruh Melayu juga terjadi di Aceh. Direktur Pusat Studi Melayu-Aceh Prof Darwis A Soelaiman mengungkapkan, dari segi bahasa, Aceh dan Melayu terkait erat. Bahasa dan kesusastraan Melayu bukan saja sudah banyak berkembang di Aceh, tetapi peranannya cukup besar dalam pengembangan budaya Melayu Aceh. Sebagai linguafranca, bahasa Melayu sudah dipergunakan secara luas di Aceh pada abad ke-17. Kesamaan identitas juga terlihat pada napas Islam yang terkandung di dalamnya.
Indonesia timur tak luput pula terkena budaya Melayu, terutama dalam segi bahasa. Penelitian Lucy R Montolalu menunjukkan, pemertahanan kosakata bahasa Melayu di Kupang, Sumba, Ambon, dan Manado lebih 60 persen. Tampak pula bahwa bahasa Melayu yang dipakai adalah bahasa Melayu baku. Padahal, awalnya bahasa Melayu merupakan bahasa penduduk di Semenanjung Malaka, Riau Lingga, serta pantai timur Sumatera.
Kedatangan orang-orang Melayu semula terkadang tak sebatas perdagangan, namun juga terkait sosial budaya. Sebutlah seperti yang terjadi di Kerajaan Gowa (Makassar), sebagaimana dikemukakan Muklis Paeni dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
"Karena besarnya jumlah dan peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa, Raja Gowa (ke-12) I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo (1556-1590) membangun masjid di Mangallekana. Tempat ibadah itu untuk kepentingan orang Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun sang raja belum beragama Islam," ujarnya.
UNSUR Melayu tak dapat dipungkiri memberikan warna kepada kebudayaan lainnya. Tak hanya dengan budaya di Tanah Air, tapi di negara lain.
"Melayu dengan pesebarannya yang sangat luas dapat menjadi bagian suku dunia atau global tribe," kata Tan Sri Dato Ismail Hussein. (ine)
Sumber : www.kompas.com/kompas-cetak/0408/04/humaniora/1189557