Laguna Buatan Untuk Wisata Pantai Ditinjau Dari Aspek Geologi (Studi Kasus: Pantai Krakal, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta)

Oleh: Miftahussalam, Sukandarrumidi, dan Heru Hendrayana

Absract
Krakal Beach is located in Tanjungsari, Gunung Kidul, Yogyakarta and is an interesting place for tourism activities. In 1997/1998, an artificial lagoon was built in thus area to enchant the tourist resort areas. This research was intended to explain the role of geology and hydrogeology as a cause of failure of the artificial lagoon.

The methods included field observations and laboratory analysis. Field observations were conducted to collect geological data (lithology and structural geology/joint system) and hydrological data such as percolation test.

The Percolation test showed that field coefficient of permeability of fragmental limestone was 61.60 m/day, while the field coefficient of permeability of limestone was 6.62 10-2 m/day. From the result of laboratory analysis, it could be concluded that laboratory coefficient of permeability of limestone was 5.836 10.3 - 2.240 10.2 m/day with porosity value of 8.00 - 16.13%. Due to the existence of joint system in the basement of the artificial lagoon which is built from limestone, so that most of surface water infiltrates into the ground to become groundwater in that area. As a result, the purpose of artificial lagoon for reservoir of saline water was not succeesful.

Pengantar
Pantai Krakal yang berada di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan wilayah pantai yang bertopografi datar, terletak di antara bukit bukit karst yang ada di sekitarnya. Pantai Krakal termasuk ke dalam bagian Pegunungan Seribu yang berarah relatif Barat-Timur, dikelilingi oleh bukit bukit batu gamping yang memperlihatkan bentang alam yang berupa bukit-bukit kerucut dan hemisfer/setengah bola dengan diameter antara 100-300 m.

Material penyusun Pantai Krakal terdiri atas batu gamping dan aluvial. Batu gamping itu termasuk dalam Formasi Wonosari yang terjadinya bertepatan dengan transgresi yang disusul dengan pengangkatan pada akhir Tersier. Formasi Wonosari tersusun oleh litologi batu gamping berlapis, batu gamping fragmental dan batu gamping terumbu yang berumur antara Miosen Tengah-Miosen Akhir, sedangkan aluvial yang merupakan penyusun dataran terdiri atas aluvial dari basil erosi perbukitan karst dan aluvial dari hasil abrasi pantai karst.

Pantai Krakal di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Gunung Kidul menarik untuk diteliti karena kondisi geologi, fisiografi dan oseanografi yang khas, sangat mendukung daerah ini untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata. Potensi pariwisata pantai yang selama ini menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) merupakan pendukung Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Samawi, 2000:66).

Di pantai ini telah dibangun laguna buatan untuk wisata pantai oleh Kanwil Pariwisata Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1997/1998. Tetapi, proyek pembangunan laguna buatan ini mengalami kegagalan sebelum dapat difungsikan.

Pembahasan
a. Morfologi daerah penelitian
Pemahaman kondisi geomorfologi daerah penelitian dilakukan secara langsung, yaitu dengan pengamatan bentuk morfologi dan proses geomorfologi aktual di lapangan yang didasarkan pada penggunaan peta dasar yang berskala 1:2.000

Dari hasil pengamatan di lapangan, makamorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat satuan morfologi, dari Utara ke Selatan, yaitu satuan morfologi perbukitan karst (karst cone), satuan morfologi dataran aluvial kars (karstic alluvial plain), satuan morfologi pematang pantai (beach ridge), dan satuan morfologi pelataran pantai (beach face).

b. Litologi daerah penelitian
Pembahasan stratigrafi daerah penelitian merupakan rangkuman beberapa pendapat dari peneliti terdahulu dan dari hasil pengamatan di lapangan selama penelitian berlangsung, secara umum stratigrafi daerah penelitian, berdasarkan sifat dan proses pembentukannya, dapat dikelompokkan menjadi empat (1) satuan batu gamping, (2) satuan batu gamping rombakan, (3) endapan campuran lempung pasiran aluvial, dan (4) endapan campuran pasir pantai.

Satuan batu gamping menempati morfologi perbukitan karst bagian Utara daerah penelitian dan sebagian daerah pelataran pantai. Berdasarkan kenampakan fisik batuan di lapangan, satuan batu gamping secara megaskopis merupakan batugamping Foraminifera dan kalkarenit.

Sebagian besar permukaan batu gamping telah mengalami proses karstifikasi dan kenampakan karstifikasi itu berupa lubang-¬lubang pelarutan yang intensif. Proses karstifikasi itu pada tingkat lanjut, telah membentuk lapies, morfologi kerucut karst, dan Gua Krakal di sebelah Timur daerah penelitian. Secara petrografis batugamping itu dikenal sebagai Fine Ca Icarenite/Biomicrite (Folk,1964) dan berumur Miosen Tengah-Phosen.

Penamaan satuan batu gamping rombakan didasarkan atas sifat fisik batuan dan bentukan morfologinya, dibedakan dengan satuan batu gamping Tersier. Satuan mulai tersingkap setempat di pelataran pantai bagian tengah dan Timur daerah penelitian. Batasan dalam kondisi terkekarkan dan sebagian menunjukkan perlapisan miring ke arah Selatan dan menumpang di atas satuan batugamping Tersier. Secara petrografis batugamping rombakan itu dikenal sebagai coarse calcarenite dan fine calcirudite (Folk, 1964).

Endapan campuran lempung pasiran aluvial mempunyai sifat fisik litologi yang penyusunannya berupa hasil pelapukan batu gamping perbukitan karst di atasnya, dan diangkut oleh aliran permukaan lalu mengendap di daerah lembah datar antara bukit karst. Satuan didominasi oleh tanah terrarosa dan penyebaran ke arah Selatan saling menjadi dengan endapan pasir pantai.

Endapan campuran pasir pantai memiliki sifat fisik litologi yang penyusunnya berupa butiran sedimen pasir dan sebagian lagi merupakan sedimen bioklastik. Paztikel-partikel endapan berupa pecahan organisme hasil pukulan gelombang atau abrasi dari batu gamping kerangka yang merupakan batuan dasar pantai dan kemudian diendapkan di tepi pantai membentuk morfologi pematang pantai.

Struktur geologi yang berkembang di Pantai Krakal dan sekitarnya, hanya dibahas dari pengamatan di lapangan saja. Kekar yang berkembang di daerah penelitian merupakan kekar geser berpasangan, yang umumnya mempunyai kedudukan keringan bidang kekar dengan arah yang bervariasi, yaitu berkisar antara 76° - 89°.

Kear di lapangan dijumpai dalam kondisi terbuka dengan tingkat kerapatan yang berbeda, bahkan dibeberapa tempat kekar-kekar itu mempunyai kerapatan kekar hampir setiap 30 cm. Berdasarkan pengukuran kekar-kekar pada satuan batu gamping, didapatkan arah umum kekar yang dominan di daerah penelitian sebesar N 30° E dan N 310° E. Untuk lebih rinci, maka kondisi geologi daerah Pantai Krakal dan sekitarnya, dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan kondisi geologi daerah Pantai Krakal menurut peneliti (2002)

Morfologi

Lereng

Litologi

Umur

Proses geomorfik

Keterangan

Perbukitan kars

Cembung

Batu gamping

Tarsier (Miosen)

Pelarutan

Terdapat kekar-kekar

Dataran aluvial kars

Datar

Aluvial Terrarosa

Kwarter

Sedimentasi

Unconsolidated

Pematang
pantai

Cembung

Pasir, pasir bio‑klastik

Kwarter

Sedimentasi

Unconsolidated

Pelataran
pantai

Datar

Batu gamping

Tarsier

Abrasi dan
sedimentasi

Terkekarkan

batugamping
rombakan, Kwarter

Abrasi dan
sedimentasi

Agak kompak
dan mudah
diremas


c. Hidrologi daerah penelitian
1) Iklim
Menurut klasifikasi tipe iklim dari Schmidt & Fergusson, daerah mempunyai tipe iklim C, antara rerata bulan kering dan rerata bulan basah berkisar dari 30%-60% dan termasuk iklim basah (Anonim, 1989). Berdasarkan data dari stasiun curah hujan terdekat di Panggang dan Rongkop, daerah mempunyai curah hujan tahunan rata-rata dalam kategori tiunggi, di atas 2.000 mm, suhu rata-rata 27 °C dan evapotranspirasi potensial tahunan berkisar 1.600-1.650 mm (MacDonald and Partners, 1984). Dengan curah hujan dan pemanasan tinggi tersebut, mengakibatkan proses-proses eksogenik berjalan secara intensif. Air hujan yang meresap ke dalam tanah maupun ke dalam retakan-retakan batuan akan menimbulkan besarnya tekanan pori dan menyebabkan terjadinya pelapukan batuan. Di samping itu, temperatur dan penguapan ideal sangat mendukung berlangsungnya proses pelarutan pada batu gamping.

2) Hubungan air permukaan dan air tanah
Daerah penelitian termasuk dalam sistem hidrologi karst Gunung Sewu, sebagian besar permukaan batu gamping telah mengalami proses karstifikasi lanjut, yaitu berkembangnya lobang¬-lobang pelarutan dan lapies. Potensi air permukaan di sini sangat kecil, karena air hujan terinfiltrasi melalui lubang-lubang pelarutan dan masuk ke dalam tanah membentuk saluran-saluran bawah tanah.

d. Geohidrologi daerah penelitian
1. Sistem akuifer
a. Material akuifer
Berdasarkan kondisi geologi dan sistem hidrologi di daerah penelitian terdapat 2 macam akuifer, yaitu: (a) akuifer batu gamping rombakan dan (b) akuifer batu gamping karst.

b. Tipe akuifer
Hasil pengukuran sumur-sumur gali diperoleh kedalaman muka airtanah relatif dangkal, yaitu rata-rata sekitar 4-5 meter, sehingga dapat ditafsirkan bahwa akuifer di daerah dataran pantai tergolong akuifer dangkal (shallow aquifer).

2. Karakteristik akuifer
Pengujian perkolasi dilakukan terhadap dua lubang bor dangkal yang mewakili satuan litologi yang berbeda di dekat lokasi tapak laguna buatan. Uji perkolasi dinnaksudkan untuk memperoleh harga permeabilitas akuifer. Hasil perhitungan pengujian itu, ditampilkan pada Tabel 2.

Dari basil pengujian porositas diperoleh basil data laboratorium pada Tabel 3. dan hash pengujian permeabilitas ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 2. Hasil uji perkolasi

Lokasi Lubang bor

Satuan litologi

K(permeabilitas) m/detik

K (permeabilitas) m/hari

Nomor 1

Batu gamping rombakan

7,13. 10-

61,60

Nomor 2

Batu gamping

7,66. 10-7

0,0662 atau 6,62.10-2

Sumber: data primer

Tabel 3. Data laboratorium uji porositas dengan porosimeter

No

Kode batuan

Satuan batuan

Porositas (%)

I/H (100)

1

MI-Vertikal

Batu gamping

13,57

2

Ml-Harisontai

Batu gamping

16,13

3

M2-Vertikal

Batu gamping

8,00

4

M2-Horisontal

Batu gamping

9,15

Sumber : analisis primer porositas

Tabel 4. Data laboratorium uji permeabilitas dengan permeameter

No

Kode Batuan

Satuan Batuan

k (Darcy)

K Lab

A.E.G.C.D

m/hari

1

MI-Vertikal

Batu gamping

0,0076

6,072.10-3

2

M1-Horisontal

Batu gamping

0,0143

1,140.10.2

3

M2-Veal

Batu gamping

0,0074

5,836.10.3

4

M2-Horisontal

Batu gamping

0,0285

2,240.10-2

Sumber: analisis primer permeabili


Tabel 2. Hasil uji perkolasi
Berdasarkan uraian pada sub bab terdahulu, maka kegagalan fungsi laguna buatan untuk wsata pantai ditinjau dari aspek geologi, dikontrol oleh : (a) struktur kekar, (b) batuan, dan (c) pelarutan.

a. Kontrol struktur kekar
Struktur geologi yang berupa kekar terbentuk oleh aktivitas tektonik, yang menghasilkan zona lemah pada batuan. Kekar yang berkembang di daerah penelitian umumnya merupakan kekar berpasangan, dengan kedudukan kemiringan bidang kekar tegak dengan arah dominan N45° E dan N310° E, dan rata-rata umumnya kekar terbuka sekitar ± 25-30 cm. Pada beberapa tempat, kekar-kekar tersebut mempunyai kerapatan kekar hampir trap 30 cm.

Secara tidak langsung dengan adanya kekar, selain mempertinggi porositas dan permeabilitas batuan, juga menjadi zona lemah karena akan terbentuk celah/rongga pada batuan. Hal tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut.

1. Hadirnya kekar-kekar mengakibatkan bertambahnya pori pada batuan, sehingga air mudah masuk dalam batuan dan mengakibatkan terjadinya pelarutan yang intensif.

2. Adanya air di dalam rongga, dapat menimbulkan tekanan pori yang menekan ke segala arah, sehingga rongga tersebut semakin terbuka lebih lebar. Akibatnya nilai porositas dan permeabilitas batuan akan semakin tinggi; karena merupakan porositas dan permeabilitas sekunder.

b. Bataan
Salah satu faktor yang sangat penting dalam mendukung terjadinya proses pelarutan adalah kondisi batuan. Bataan yang mendasari laguna buatan, yaitu batu gamping tersier (fine caicarenite) dan batu gamping rombakan (fine calcirudite). Analisis petrografi contoh batuan, umumnya memperlihatkan tekstur klasik, dengan penyusun utama material karbonat yang berupa cangkang foraminifera, ganggang, lumpur karbonat, dan semen kalsit. Porositas yang dijumpai adalah tipe interpaztikel, vug dan moldic. Dengan terdapatnya tiga jenis porositas tersebut sekaligus, maka air dapat bergerak secara dinamik melalui jaringan porositas

Menurut Corbel batuan yang mempunyai kandungan mineral karbonat minimal 60% dari seluruh total komposisi mineral yang ada, mempunyai sifat rnudah larut dalam air. Fakta di lapangan memperlihatkan kondisi batu gamping mempunyai kenampakan lubang-lubang pelarutan intensif yang menunjukkan, bahwa batu gamping di daerah penelitian ikut memberikan kontribusi di dalam proses pelarutan.

Dari hasil perhitungan uji perlokasi di lapangan terhadap batugamping rombakan, diperoleh nilai koefisien permeabilitas lapangan (K) sebesar 7,13.10- m/detik atau 61,60 m/hari, sedangkan nilai koefisien permeabilitas lapangan batugamping (K) sebesar 7,66.10-7 m/detik atau 6,62.10-2 m/hari. Setelah basil dibandingkan dengan nilai K dari berbagai macam batuan menurut Biro Reklamasi USA tahun 1977 dalam (Todd, 1980), maka permeabilitas batugampmg rombakan termasuk tinggi, sedangkan permeabilitas batugamping termasuk kategori rendah.

Berdasarkan data basil pengukuran permeabilitas batugamping di laboratorium, didapatkan nilai permeabilitas laboratorium (K) berkisar 5,836.10-3 - 2,240.10-2 m/ ban. Data apabila dimasukkan ke dalam skala nilai K menurut Bira Reklamasi USA Tabun 1977 (dalam Todd, 1980), maka permeabilitasnya termasuk rendah. Dari hasil uji porositas batugamping di laboratorium, didapatkan nilai porositas primer berkisar antara 8,00 - 16,13 %, dan menurut Todd, (1959) masuk ke dalam kategori porositas sedang. Namun, karena kondisi batugamping itu banyak kekar-kekar, maka nilai porositas sekundernya menjadi tinggi.

c. Pelarutan
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pelarutan batuan, yaitu adanya batuan yang mudah larut, keadaan air yang berhubungan dengan batuan, jumlah karbondioksida babas dan hidrologi daerah itu.

Pada batuan yang mudah larut seperti batugamping, maka proses pelarutan mempunyai kontribusi yang signifikan dalam pembentukan porositas sekunder.

Daerah penelitian mempunyai iklim tropis basah, dengan sifat airnya asam, sedangkan curah hujan dan pemanasannya termasuk tinggi, dengan lama penyinaran matahari lebih dari 70%, serta penguapan yang relatif tinggi (MacDonald and Partners, 1984). Kondisi semacam sangat mendukung terjadinya proses pelarutan secara intensif pada batu gamping yang mempunyai banyak kekar yang saling berhubungan di daerah penelitian.

Berdasarkan ketiga pengontrol tersebut di atas, batu gamping yang awalnya mempunyai porositas dan permeabilitas primer rendah, tetapi dengan adanya sistem kekar dan diaklas pelarutan, maka porositas dan permeabilitas sekundernya menjadi tinggi.

Oleh adanya porositas dan permeabilitas sekunder itu, maka batu gamping yang menjadi dasar laguna buatan di daerah penelitian menjadi permeabel. Akibatnya, sebagian besar air laut yang masuk ke dalam laguna buatan itu, meresap masuk ke bawah permukaan menjadi air tanah, sehingga fungsinya sebagai penampung air laut tidak tercapai.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dalam penelitian laguna buatan di Pantai Krakal, Kecamatan Tanjungsari untuk wisata pantai ditinjau dari aspek geologi, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Sebagai batuan penyusun dasar laguna buatan, batugamping rombakan bersifat porous dan mempunyai permeabilitas tinggi, yaitu K = 61,60 m/hari, sedangkan batugamping, walaupun porositasnya sedang dengan permeabilitas rendah, yaitu nilai permeabilitas lapangan 6,62.10-2rn/hari dan nilai permeabilitas laboratorium berkisar 5,836.10-3 - 2,240.10-2 m/hari, tetapi karena banyak kekar dan diaklas akibat pelarutan, maka porositas sekundernya menjadi tinggi, sehingga bersifat permeabel (permeabilitas sekunder).

2. Dengan kondisi fisik batugamping yang bersifat porous, maka air laut yang diharapkan akan mengisi laguna buatan akan lolos dan meresap ke bawah permukaan, sehingga fungsi laguna sebagai penampung air tidak dapat tercapai.

Daftar Pustaka
Anonim, 1989, Pemetaan Potensi Airtanah Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul DIY, Bakosurtanal-Ditlinbinjarah-Fakultas Geografi UGM Yogyakarta

Folk, R.L., 1964, Petrology of Sedimentary Rocks, Hemphill’s Drawer M. University Station, Austin, Texas

MacDonald and Partners, 1984, Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study, Vol. 2: Hydrology, Yogyakarta, Directorate General of Water Resources Development, Groundwater Development Project (P2AT)

Samawi, M.I., 2000, Pengembangan Kawasan Pantai Selatan Kabupaten Bantul: Suatu Model Pengelolaan, Prosiding Pengelolaan Ekosistem Pantai dan Puiau-pulau Kecil Dalam Konteks Negara KepuIauan, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.

Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrology, 2nd ed, John Wiley & Sons Inc., New York and London.
__________
Miftahussalam (FTM-1ST AKPRIND) , Sukandarrumidi, dan Heru Hendrayana Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Sumber : Teknosains 2004, XVII(1) dan http://i-lib.ugm.ac.id