KWTE dan Panggilan `Agama Industrial`

Oleh: Umar Natuna

Pembangunan dunia kepariwisataan Propinsi Kepulauan Riau, khususnya Kabupaten Bintan Pasca FTZ akan mengalami dinamika dan kemajuan serta perubahan yang luar biasa. Betapa tidak! Dinamika, paradigma dan karaktristik pariwisata sejarah, budaya dan relegius-yang dibarengi dengan paraiwisata bahari-nya akan mengalami pergeseran, kearah pariwisata sekuler, instant dan penuh hawa syhawat seperti permainan ketangkasan, perjudian dan seks. Setidaknya itulah, kesan jika kita menyimak pro dan kontra tentang konsep Kawasan Wisata Terpadu Ekslusif (KWTE) yang diusung Kabupaten Bintan dan sejumlah kawasan FTZ lainnya seperti Batam dan Karimun.

Kehawatiran sebagian masyarakat atas konsep KWTE tersebut cukup beralasan. Peradaban dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Kepri akan mengalami berbagai benturan budaya dan sosial. Selain itu, juga akan melahirkan disparitas sosial. Masyarakat akan terbelah. Satu kelompok akan mendukung dengan mati-matian. Yang lain akan menentang habis-habisan. Disparitas sosial ini akan mudah disusupi dengan kepentingan lain, baik kepentingan untuk melemahkan kekuatan suatu darerah atau pun untuk kepentingan paradaban global. Kemungkinan kearah itu sangat mungkin, jika kita menelusuri logika di balik konsep KWTE tersebut.

Pertama, bahwa di negara-negara sekuler lainnya sebenarnya konsep pariwisata khusus – plus tersebut-sudah ditinggalkan, mereka lebih mengandalkan pariwisata budaya, alam, pendidikan dan sejarah. Dan memang dalam kenyataannya. Pariwisata tersebut sangat bisa bertahan dan terus melahirkan kearifan-kearifan local dan dunia. Jika orang berkunjung ke Amerika atau Eropa atau Timur Tengah-yang dicari bukanlah tempat permainan ketangkasan, perjudian dan seksnya, melainkan bagaimana dinamika budaya, sejarah, bangunan-bangunannya serta kearifan-kearifan lokalnya.

Kepri, sebenarnya memiliki kekuatan budaya, kearifan lokal dan peradaban yang bermartabat yang dapat dijadikan andalan dalam membangun pariwisata. Kekayaan budaya Melayu, kekuatan peninggalan sejarah Pulau Penyengat, Daik Lingga dan wisata baharinya, sangat luar biasa. Namun selama ini, hanya menjadi barang antik dan besi tua-yang tidak dikembangkan dengan konsep pendidikan dan pengembangan budaya lainnya. Ketidakmampun kita mengembangkannya, maka kemudian kita beralih mengembangkan konsep pariwisata sekuler instants. Coba kita simak Malaka misalnya, yang merupakan kota tua, bersejarah dan kini dijadikan kekuatan wisata oleh Malaysia, tanpa mengorbankan semangat, budaya dan kearifan lokalnya.

Kedua, KWTE sebenarnya suatu strategi penjajalan cultural asing terhadap khasanah budaya dan kekuatan sejarah suatu daerah, komunitas, dan bangsa. Dunia Barat dan eropa sebenarnya, ingin mengalihkan dua hal secara sekaligus. Bahwa pariwisata sekuler instants sudah menjadi barang rongsokan di negaranya, kemudian dipaksakan kepada Negara-negara berkembang-contoh yang berhasil-misalnya Thailand yang terkenal dengan pariwisata seks. Selain itu, sekaligus juga memaksakan standar nilai-nilai dan budayanya sebagai gaya hidup dunia global. Dengan demikian, tidak ada lagi kekuatan dan kearifan lokal yang khas di suatu komunitas, daerah dan bangsa. Jika suatu komunitas, daerah dan bangsa tidak lagi memiliki kekuatan budaya, sejarah dan kearifan lokalnya, maka Negara tersebut sangat mudah dilenyapkan budayanya.

Ketiga, KWTE merupakan bentuk lain aktualisasi agama industrial. Agama industrial, merupakan agama publik yang dibangun oleh komunitas pemuja kekuasaan, uang dan material. Menurut mereka, dunia hanya bisa dikuasai bila seorang memiliki; kekuasaan, uang dan kekuatan meliter. KWTE dengan memasukkan unsure judi dan seks merupakan sarana untuk memperoleh uang yang luar biasa. Dengan penguasaan uang, maka kekuasaan dan kekuatan lainnya dapat dbangun.

Bahwa KWTE untuk mendulang uang, ketimbang untuk membangun kawasan ini lebih modern dan peradab tak dapat dipungkiri. Bupati Bintan, Ansar Ahmad sebagaimana dilansir harian ini (Batam Pos, 7 November 2007) sudah dengan cekatan menghitung uang akan didapati Bintan jika kawasan wisata khusus plus tersebut dapat direalisasikan. Itu memang kredonya, bahwa memang dibangun dengan justifikasi agama industrial, dalam artian alat justifikasinya, bukan wahyu, hadis, melainkan adalah; kekuasaan, uang dan material.

Karenanya, pro kontra yang ada tidak akan bertahan lama. Sebab daya tarik agama industrial tersebut cukup luar biasa. Hal ini dapat kita simak, sejumlah Ormas dan Pemuda sudah mulai mendukung rencana KWTE tersebut. (Batam Pos, Kamis, 8 November 2007), Demikian juga perjuangan PKS untuk menolak pasal perjudian dalam Ranperda KWTE tersebut tidak akan bertahan lama, karena bagaimanapun tahun 2009, merupakan tahun yang memerlukan dukungan; uang, kekuasaan dan material lainnya untuk menggerakkan mesin partai guna menghadapi Pemilu Legislatif maupun Pilpres. Adu kepentingan saling jalin berkelindan.

Persoalannya, apakah kemunculan agama-agama publik semisal agama industrial instant yang tanpa ruh itu akan menjadi kekuatan penggerak roda peradaban, atau justru merupakan bumerang bagi kita umat manusia? Sebab, sebagaimana kita saksikan bangunan sosial suatu masyarakat yang hanya disangga oleh kekuatan material, uang dan pragmatisme ternyata justru melahirkan ”krisis fundamental” atau krisis eksistensia kemanusiaan. Manusia mengalami kegerasangan rohaniah, yang akhirnya akan melahirkan berbagai persoalan kehidupan baru-ternyata tidak bias diselesai oleh sandaran agama industrial.

Walhasil, muncullah berbagai aliran spritualitas baru-yang kemudian menjelma menjadi aliran-aliran sempalan seperti ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Kesemuanya itu, merupakan akumulasi dari kompleksitas persoalan budaya-peradaban dan kehidupan manusia modern, yang hanya bertumpu kepada kekuasaan, uang dan material. Jika ini kemudian menjadi pilihan kita semua, dalam membangun Propinsi Kepri dengan payung FTZ-nya, maka kita akan mengalami kehancuran kearifan kebudayaan dan peradaban seperti apa yang di alami Eropa atau dunia Barat saat ini. Kasus yang terjadi di Batam- sebenarnya sudah cukup menjadi pelajaran buat kita semua. Dimana dengan masuknya investasi asing-yang terjadi bukan kesejahteraan, melainkan disparitas sosial, penyakit sosial dan masyarakat yang muncul.

Alih teknologi yang kita harapkan terjadi tidak menjadi kenyataan. Karena kita hanya sebagai ”tukang” sementara top-top menajernya semua dipegang orang lain, alias orang asing. Akibatnya, daerah kita hanya menjadi tempat membuangan barang rongsokan. Akankah, gebyar FTZ yang kita banggakan itu akan melahirkan pencerahan terhadap kemajuan dan kejayaan baru-yang menyamai kejayaan masa lalu, atau hanya akan melahirkan krisis baru yang lebih dahsyat?
__________
Umar Natuna, adalah Ketua STAI-Natuna, tinggal di Ranai.

Sumber: Batam Pos