Karya Syaikh Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri: Kajian Filologis dan Analisis Resepsi
Oleh : Sangidu
1. Pengantar
Filologi merupakan suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah naskah dan teks. Oleh karena itu, untuk meneliti naskah dan teks menurut kerja filologi, hal yang pertama-tama harus dikerjakan oleh peneliti adalah mendaftar semua naskah yang terdapat di berbagai perpustakaan, museum, dan koleksi perseorangan yang biasa menyimpan naskah. Daftar naskah dapat dilihat berdasarkan katalogus yang tersedia (Djamaris, 1977:20, 24), buku-buku yang membicarakan pernaskahan, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan pernaskahan, dan informasi-informasi lain yang berkaitan dengan pernaskahan.
Naskah at-tuchfatul-mursalah ilâ rûchinnabî shallal-Lâhu ‘alaihi wa sallam (selanjutnya disebut Tuchfah) yang dijadikan objek material di dalam penelitian ini ada dua buah, yaitu naskah Tuchfah bernomor MINA 6 (Manuskrip Islam Nurdin AR, Nomor 6) dan MINA 7. Kedua naskah tersebut terdapat di perpustakaan pribadi Drs. Nurdin AR, M.Hum. di Banda Aceh dan merupakan warisan dari leluhurnya yang telah diwariskan melalui Tgk. Muhammad Arsyad bin Tgk. Ibrahim (kakak kandung ayahnya) bin Tgk. Muhammad Mas‘ud bin Tgk. Di Tunong kepada Tgk. Muhammad Mas‘ud kepada Tgk. Ibrahim kepada Tgk. Muhammad Arsyad kepada Nurdin AR. Naskah tersebut telah menjadi koleksi pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum sejak tahun 1976 dan telah diinven tarisasi sejak tahun 1985 setelah menyelesaikan pendidikan S-1-nya di Fakultas Sastra UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Untuk mempermudah mendeskripsikan kedua naskah tersebut, naskah bernomor MINA 6 disebut naskah Tuchfah A dan naskah bernomor MINA 7 disebut naskah Tuchfah B. Kedua naskah tersebut merupa kan naskah berbahasa Arab karangan Syaikh Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri (selanjutnya disebut Fadhlullah).
Naskah Tuchfah merupakan naskah berbahasa Arab dan berisi ajaran Martabat Tujuh yang telah diajarkan Fadhlullah kepada muridnya, yaitu Syaikh Syamsuddin As-Samanrâ‘î (selanjutnya disebut Syamsuddin). Ajaran Martabat Tujuh tersebut berkaitan dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Puncak dari hubungan tersebut adalah rasa bersatunya manusia dengan Tuhan yang terkenal dengan sebutan Wachdatul-Wujûd.
2. Masalah
Dari uraian di atas, terdapat beberapa masalah yang perlu dipecahkan di dalampenelitian ini, yaitu masalah yang berkaitan dengan pernaskahan Tuchfah, penyuntingan, penerjemahan, dan konsep Martabat Tujuh yang terkandung di dalam teks Tuchfah. Tulisan ini hanya menjawab dan mengungkapkan dua masalah yang berkaitan dengan pernaskahan Tuchfah dan konsep Martabat Tujuh yang terkandung di dalam teksnya.
3. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan teks Tuchfah pernah dilakukan oleh A.Johns (1966). Hasil penelitian yang telah dilakukannya telah diterbitkan berupa kumpulan risalah Tuchfah. Selain itu, ia juga menduga bahwa kumpulan risalah tersebut disusun oleh murid Syamsuddin. Penulis telah menemukan dua naskah Tuchfah yang berada di perpustakaan pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum. dengan nomor kode MINA 6 dan MINA 7. Penelitian yang berkaitan dengan pernaskahan, penyuntingan, penerjemahan, dan ajaran tasawuf yang terdapat di dalam teks Tuchfah, baik naskah Tuchfah bernomor Mina 6 maupun bernomor Mina 7 belum pernah dilakukan sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Johns besar bantuannya untuk mendukung penelitian terhadap Tuchfah, baik dari aspek pernaskahan maupun dari aspek isinya.
4. Landasan Teori dan Metode
Penelitian terhadap Tuchfah secara praktis ditujukan untuk mengungkapkan pernaskahan dan konsep Martabat Tujuh yang terkandung di dalamnya. Karena itu, penelitian ini memanfaatkan dua teori, yaitu teori filologi dan teori resepsi. Berikut ini dikemukakan dasar-dasar kedua teori tersebut.
4.1 Teori dan Metode Filologi
Banyaknya jumlah naskah salinan melahirkan variasi teks yang banyak pula. Gejala proses penyalinan naskah yang demikian ini perlu dipecahkan dengan metode filologi yang sesuai dengan kondisi naskah. Di lain pihak, proses penyalinan suatu naskah dapat disalin dari sejumlah teks induk, yakni naskah kontaminasi yang lahir dari proses penyalinan yang bersifat horizontal. Proses penyalinan naskah secara hori zontal ini dapat memberikan kebebasan terhadap kreativitas penyalinnya yang sudah barang tentu tidak dapat terhindar dari konvensi yang hidup dalam kegiatan salin-menyalin naskah-naskah lama. Dalam menghadapi kondisi naskah yang demikian ini, metode filologi perlu mendahulukan deskripsi naskah secara tuntas dan menye diakan aparat kritik secara layak (Chamamah Soeratno, 1991:12-14).
Penelitian terhadap Tuchfah sebagai salah satu karya sastra lama dapat dibaca melalui dua buah naskah salinannya, yaitu naskah Tuchfah A dan B. Dalam menghadapi kedua naskah Tuchfah tersebut, yang pertama-tama dilakukan peneliti adalah membandingkan kedua naskah dan menetapkan satu naskah unggul sebagai teks suntingan. Perbandingan terhadap kedua naskah tersebut memerlukan metode filologi yang sesuai dengan kondisi naskah dan terkenal dengan metode landasan atau induk (legger).
Metode landasan atau induk (legger) adalah suatu metode yang menurut tafsiran nilai naskah jelas berbeda sehingga ada satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya. Keunggulan kualitas naskah dapat dilihat dari aspek bahasa, kesastraan, sejarah, atau lainnya. Dengan demikian, naskah yang unggul kualitasnya tersebut dapat dijadikan sebagai naskah yang paling baik dan dapat dijadikan “landasan” atau “dasar” teks (Robson, 1978:36) yang akan disunting.
Perbandingan naskah, yang telah dilakukan oleh peneliti, menunjukkan bahwa naskah Tuchfah A merupakan naskah yang unggul kualitasnya sehingga naskah tersebut dijadikan “landasan” atau “dasar” suntingan teks. Suntingan teks yang telah dihasilkan melalui kerja filologis, selanjutnya dianalisis dengan memanfaatkan teori resepsi untuk mengungkapkan ajaran tasawuf, yaitu konsep Martabat Tujuh yang terdapat di dalamnya.
4.2 Teori dan Metode Resepsi
Teori resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan makna teks sastra (Jauss, 1983:20). Berbicara tentang resepsi sastra atau cara seorang pembaca menerima dan memahami teks sastra dapat merujuk teori Iser. Ia mengatakan bahwa sebuah teks sastra dapat didefinisikan sebagai wilayah indeterminasi atau wilayah ketidakpastian (indeterminacy areas) (Iser, 1987:24; Segers, 1978:40-41). Wilayah ketidakpastian merupakan “bagian-bagian kosong” atau “tempat-tempat terbuka” (leerstellen, open plek) yang “mengharuskan” pembaca untuk mengisinya. Hal ini disebabkan oleh sifat karya sastra yang mempunyai banyak tafsir (poly-interpretability) (Pradopo, 1995:235).
Dalam mengisi “tempat-tempat kosong” yang terdapat di dalam karya sastra, para pembaca pada hakikatnya masuk dalam suasana berdialog dan berkomunikasi dengan teks sastra. Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan pembaca berinteraksi. Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau melalui teks berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari repertoire (bekal atau bahan yang berupa pengetahuan dan pengalaman pembaca) dengan strateginya sehingga lahirlah realisasi teks (Iser, 1978:20, 107). Realisasi teks berupa resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari para pembaca karena mereka telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, ada kemungkinan satu karya sastra memperoleh makna yang bermacam-macam dari berbagai kelompok pembaca (Chamamah-Soeratno, 1991:21). Hal itu justru menunjukkan adanya struktur teks sastra yang dinamis, makna karya sastra akan selalu diperkaya dan dapat lebih terungkap, serta nilai sastranya pun dapat ditentukan lebih baik (Pradopo, 1995: 234).
Faktor pembaca, dalam poros komunikasi mendapat pengertian yang bermacam-macam. Salah satu di antaranya yang akan dimanfaatkan di dalam penelitian ini adalah pembaca nyata (real reader). Pembaca ini merupakan pembaca dalam arti fisik, yaitu orang yang melaksanakan tindakan pembacaan. Pembaca dalam kelompok ini meliputi pembaca peneliti dan pembaca umum. Pembaca peneliti dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra seperti yang dipahaminya dan berdiri di dalam proses pembacaan. Sementara itu, pembaca umum dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra dan berdiri di luar proses pembacaan. Dalam penelitian ini, pembaca yang dimaksudkan adalah pembaca peneliti.
Horizon harapan dari seorang pembaca ke pembaca dan dari periode ke periode itu selalu berbeda-beda disebabkan oleh adanya norma-norma yang terpaparkan dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca dan pengalaman serta pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Oleh karena itu, metode resepsi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode kritik teks dan metode intertekstual.
Metode kritik teks merupakan cara kerja yang merunut perkembangan tanggapan pembaca berdasarkan bekal pengetahuan yang telah dimiliki oleh masing-masing pembaca. Wujud tanggapannya dapat berupa ulasan, kritik, komentar, analisis, ataupun hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh pembaca (Teeuw, 1984:210; Chamamah-Soeratno, 1991:22). Sementara itu, metode intertekstual, yaitu cara kerja yang melacak sambutan terhadap teks yang sedang ataupun yang telah diteliti melalui teks lain yang menyambut teksnya. Sambut an tersebut dapat saja mengolah, memutar- balikkan, memberontaki, meneladani, atau pun menulis kembali teksnya. Hal yang demikian dapat dilakukan lewat penyalinan, penyaduran, atau penerjemahan (Teeuw, 1984:213; Chamamah-Soeratno, 1991:22).
5. Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan di dalam permasalahan di atas bahwa di penelitian ini akan menjawab dan mengungkapkan dua masalah, yaitu masalah yang berkaitan dengan pernaskahan Tuchfah dan masalah yang berkaitan dengan konsep Martabat Tujuh yang terkandung di dalam teksnya. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan jawaban dari kedua masalah tersebut.
5.1 Pernaskahan Tuchfah
Objek material di dalam penelitian ini ada dua buah naskah, yaitu naskah Tuchfah A bernomor MINA 6 dan naskah Tuchfah B bernomor MINA 7. Kedua naskah Tuchfah tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Naskah Tuchfah A berukuran 20 x 14,5 cm dan terdiri dari 7 halaman. Naskah ini tidak diberi nomor halaman sehingga penulis memberi nomor halaman dari nomor 1 sampai dengan nomor 7 untuk mempermudah dalam proses pembacaan teksnya. Setiap halaman naskah memuat 17 sampai dengan 19 baris tulisan, kecuali pada halaman 1 memuat 9 baris tulisan. Setiap barisnya rata-rata memuat 8 sampai dengan 12 kata.
Ukuran salinan teksnya untuk setiap halaman rata-rata 14 x 9,5 cm, kecuali pada halaman pertama berukuran 7 x 9,5 cm. Naskah Tuchfah A ditulis dengan tulisan berbahasa Arab, memakai tinta hitam yang cukup rapi, bersih, dan jelas dengan khath campuran antara riq‘i dan naskhi. Penyalinan teksnya tidak menggunakan garis pengarah, baik garis pabrik maupun garis kuku atau garis lainnya yang dibuat dengan tinta atau pensil. Judul teksnya terletak pada halaman pertama yang berada di tengah-tengah baris tulisan.
Kertas yang digunakan untuk menampung salinan teksnya masih bagus karena naskahnya terletak di tengah-tengah kumpulan naskah-naskah lainnya. Kertas yang digunakan untuk menyalin naskah Tuchfah A merupakan jenis kertas POSTILION buatan Belanda dengan cap air (watermark) KUDA, PERISAI, dan KUDA TUNGGANG yang ditunggangi seorang laki-laki membawa terompet (Churchill, 1965:CCLXI). Keadaan itu menandakan bahwa kertas tersebut dibuat kira-kira pada tahun 1776 M (Churchill, 1965:80).
Sementara itu, naskah Tuchfah B berukuran 22 x 15,5 cm dan terdiri dari 40 halaman. Ada beberapa halaman naskah yang hilang, yaitu halaman 3, 17, 24, 24, dan 30. Naskah ini tidak diberi nomor halaman sehingga penulis memberi nomor halaman dari nomor 1 sampai dengan nomor 40 untuk mempermudah dalam proses pembacaan teksnya. Setiap halaman naskah memuat 7 baris tulisan, kecuali pada halaman terakhir memuat 8 baris tulisan. Setiap barisnya rata-rata memuat 6 sampai dengan 8 kata.
Ukuran salinan teksnya untuk setiap halaman rata-rata 11 x 7 cm. Naskah Tuchfah B ditulis dengan tulisan berbahasa Arab dan Jawi (Arab-Melayu) dengan jarak tulisan yang berjauhan karena di sela-sela tulisan Matan Tuchfah diberi syarah dengan bahasa Arab maupun tulisan Jawi. Syarah tersebut juga ditulis mengelilingi Matan Tuchfah yang tidak beraturan sehingga pembaca yang ingin membaca teks Tuchfah B memerlukan guru dapat menuntun dalam proses pembacaan teks tersebut. Melihat bentuk tulisan yang terdapat pada naskah Tuchfah B dapat dikemukakan bahwa dalam memahami isi teks tersebut telah digunakan sistem sorogan sebagaimana yang telah dilakukan di pesantren-pesantren tradisional antara ustadz dan santrinya. Tulisan yang terdapat pada naskah Tuchfah B memakai tinta hitam yang cukup rapi, bersih, dan jelas dengan khath campuran antara riq‘i dan naskhi. Penyalinan teksnya tidak menggunakan garis pengarah, baik garis pabrik maupun garis kuku atau garis lainnya yang dibuat dengan tinta atau pensil. Judul teksnya terletak pada halaman 4.
Kertas yang digunakan untuk menampung salinan teksnya masih bagus karena naskahnya terletak di tengah-tengah kumpul-an naskah-naskah lainnya. Kertas yang digunakan untuk menyalin naskah Tuchfah B merupakan jenis kertas POSTILION buatan Belanda dengan cap air (watermark) KUDA, PERISAI, dan KUDA TUNGGANG yang ditunggangi seorang laki-laki membawa terompet (Churchill, 1965:CCLXI). Keadaan itu menandakan bahwa kertas tersebut dibuat kira-kira pada tahun 1776 M (Churchill, 1965:80).
Dari deskripsi kedua naskah tersebut dapat dikemukakan bahwa menurut metode filologi (Robson, 1978:36), apabila telah didapatkan lebih dari satu naskah salinan, perlu dilakukan perbandingan naskah, baik dari aspek bahasa, sastra, budaya, maupun lainnya untuk menentukan satu naskah atau sekelompok naskah yang dipandang unggul kualitasnya daripada naskah lainnya. Oleh karena itu, berdasarkan deskripsi dan perbandingan naskah yang telah dilakukan oleh peneliti, baik naskah A maupun naskah B dapat dikemukakan hal-hal yang dipandang dapat mendukung untuk mendapatkan naskah yang unggul kualitasnya dari yang lain, yaitu sebagai berikut.
1. Dari aspek fisik naskah, naskah Tuchfah A maupun naskah Tuchfah B merupakan naskah tulisan tangan yang ditulis dengan rapi dan bahkan baris-baris yang dipandang penting ditulis dengan tintamerah.
2. Dari aspek bahasa dan sastra, naskah Tuchfah B walaupun penulisan kata-kata yang terdapat di dalamnya pada umumnya dipandang lengkap, tepat, jelas, dan mudah dipahami daripada penulisan kata-kata yang terdapat pada naskah Tuchfah A, untuk memahami kandungan naskah yang terdapat di dalamnya diperlukan seorang guru yang dipandang mampu menjelaskannya karena teks Tuchfah B diberi syarah yang menjelaskan matannya. Syarah yang terdapat di dalam teks Tuchfah B ditulis tidak berarturan, baik yang tertulis mengelilingi matannya, menyamping ke kanan dan ke kiri, maupun yang tertulis ke bawah. Dari segi bentuk tulisan syarah yang terdapat dalam teks Tuchfah B dapat diduga bahwa untuk memahami teksnya tampaknya telah berlangsung proses belajar mengajar model sorogan sebagaimana yang dilakukan di pesantren-pesantren tradisional.
3. Dari aspek isi, naskah Tuchfah A dan naskah Tuchfah B sama-sama mengandung isi yang lengkap sehingga tidak mengganggu dalam prosespemahamannya.
Atas dasar tiga hal tersebut di atas maka dapat ditentukan bahwa naskah Tuchfah A dipandang sebagai naskah yang unggul kualitasnya daripada naskah Tuchfah B. Oleh karena itu, naskah Tuchfah A dijadikan landasan atau dasar suntingan teks dan pada gilirannya akan dijadikan pijakan untuk mengungkap isi yang terkandung di dalamnya, terutama yang berkaitan dengan konsep Martabat Tujuh. Namun, perlu dikemukakan bahwa naskah Tuchfah B tetap dipandang sebagai naskah pendukung untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam naskah Tuchfah A.
5.2 Konsep Martabat Tujuh dalam Teks Tuchfah
Dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatul-Lâh.
Ilmu ma‘rifatul-Lâh merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Menurut Syamsuddin (dalam Mir‘atul-Muchaqqiqîn A, t.t.:12) ilmu ma‘rifatul-Lâh terbagi menjadi dua macam, yaitu ilmu makrifat tanzîh (transeden) dan ilmu makrifat tasybîh (imanen). Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzîh (lâ ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybîh (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi).
Sesungguhnnya, Allah Ta‘ala itu Ada. Keber-Ada-anya itu tanpa bentuk, tanpa ukuran, dan tanpa batas. Walaupun demikian, Allah tetap dapat dipahami, dimengerti, dan dilihat dengan bentuk dan ukuran melalui alam semesta seisinya yang telah diciptakan-Nya. Wujud Allah itu esa dan merupakan hakikat wujud-wujud (makhluk). Semua makhluk sampai sebiji atom pun tidak terlepas dari Wujud yang mutlak. Sesungguhnya, Wujud Allah ditinjau dari segi Kunhi-Nya tidak dapat diungkap oleh siapa pun dan tidak dapat dijangkau oleh akal, angan-angan, dan perasaan. Wujud Allah juga tidak dapat dianalogikan dengan apa pun karena akal, angan-angan, dan perasaan merupakan ciptaan baru (muchdats). Siapa pun yang ingin berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui Wujud dan wajah Allah Ta‘ala itu hanya merupakan pekerjaan dan perbuatan yang sia-sia belaka.
Dzât Allah Ta‘ala bernama kunhudz-dz âtil-chaqqi atau asal muasal Dzât Yang Maha Benar. Ahlus-Sulûk menamai kunhudz-dz âtil-chaqqi dengan nama lâ ta‘ayyun (tidak nyata, tak terinderawi). Dzât Tuhan atau kunhudz-dzâtil-chaqqi dinamakan lâ ta‘ayyun (tidak nyata, tak terinderawi) disebabkan oleh ilmu dan makrifat para manusia, para Ahlus-Sulûk, para wali, dan bahkan para nabi pun tidak akan pernah dapat memikir-mikir dan menembus-Nya. Karena itulah, Rasulullah SAW bersabda: tafakkarû fî khalqil-Lâhi wa lâ tafakkarû fî dz âtil-Lâhi (fî dzâtihi, fil-Lâh) fa tahlikû (Rawâhu Abusy-Syaikh). Artinya, “berpikirlah kamu tentang makhluk yang diciptakan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzât Allah, niscaya kamu akan binasa karenanya” (Hadis Riwayat Abusy-Syaikh) (Fansuri dalam Syarabul-‘Àsyiqîn, t.t:15; Yusri, 1986:7).
Walaupun kedudukan Dzât Allah pada tataran lâ ta‘ayyun (tidak nyata, tak terinderawi) atau kunhudz-dzâtil-chaqqi tidak dapat ditembus oleh ilmu dan makrifat manusia, Dia cinta untuk dikenal. Oleh karena itu, Dia menciptakan alam semesta seisinya dengan maksud agar Diri-Nya dikenal. Pemikiran tersebut berdasarkan Hadis Qudsi yang berbunyi: kuntu kanzan makhfiyyan fa achbabtu an u‘rafa fa khalaqtul-khalqa fa bî ‘arafûnî. Artinya, “Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk supaya Aku dikenal (dan melalui Aku mereka pun mengenal pada-Ku) (Fansuri dalam Syarabul-‘Àsyiqîn, t.t:3; Nasution, 1983:61). Cinta untuk dikenal inilah yang disebut permulaan tajalli Tuhan. Sesudah tajalli dilakukan, maka Dia dinamakan ta‘ayyun, artinya “nyata, terinderawi”. Keadaan Tuhan di dalam ta‘ayyun atau “nyata, terinderawi” inilah yang dapat dicapai dan ditembus oleh pikiran, pengetahuan, dan makrifat manusia. Ta‘ayyun atau “nyata, terinderawi” dibagi ke dalam 6(enam) martabat.
Dengan demikian, seseorang yang ingin memahami Wujud Allah Ta‘ala, ia harus mengetahui ilmu yang bertingkat-tingkat (mutadarrijan) dan dikenal dengan ajaran Martabat Tujuh (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:2). Sementara itu, Syamsuddin (dalam Mir‘atul-Muchaqqiqîn A, t.t.) berpendapat bahwa ketujuh martabat, baik yang tanzîh (transeden atau tak terinderawi) maupun yang tasybîh (imanen atau terinderawi) telah dijelaskan oleh Fadhlullah di dalam karyanya berjudul Tuchfah.
Para peneliti mengira bahwa ajaran Wujudiyah Hamzah yang berkembang di Indonesia sampai saat ini merupakan ajaran Martabat Tujuh. Anggapan yang demikian dibantah oleh Abdul Hadi (1995:20) yang mengatakan bahwa ajaran Martabat Tujuh baru berkembang pada awal abad ke-17 dengan Syamsuddin sebagai penganjurnya yang pertama. Hamzah dan para wali di Pulau Jawa pada abad ke-16, seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tidak pernah menganjurkan dan mengajarkan ajaran Martabat Tujuh.
Perlu dikemukakan bahwa penggagas ajaran Martabat Tujuh yang pertama adalah Fadhlullah dari India yang wafat pada tahun 1620 M. Ia mengajarkan ajaran Martabat Tujuh kepada Syamsuddin dan ajaran tersebut dibukukan dalam kitab berjudul At-Tuchfatul-Mursalah ilâ r chin-nabî shallal-Lâhu ‘alaihi wa sallam (Johns, 1966:5). Sementara itu, Hamzah langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16, terutama tokoh-tokoh seperti Bayazid Bisthami, Al-Hallaj, Fariduddin ‘Attar, Junaid Al-Baghdadi, Ibnu Arabi, dan Jalaluddin Rumi. Bazayid dan Al-Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah di dalam cinta (isyqi) dan makrifat (Hadi, 1995:21). Dengan demikian, Syamsuddin menerima ajaran Martabat Tujuh dengan mendapat pengaruh dari India yang berasal dari Fadhlullah dan mendapat pengaruh dari Arab dan Persia yang berasal dari Hamzah. Untuk hal itu, di bawah ini penulis akan mengemukakan ajaran Martabat Tujuh dengan mengacu pada naskah berjudul Tuchfah karangan Fadhlullah, yaitu sebagai berikut.
Pertama, martabat Achâdiyyah (ke‘ada‘-an Dzât yang Esa). Pada martabat ini Dzât itu mutlak, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai hubungan dengan apa pun sehingga orang tidak dapat mengetahuinya. Satu-satunya nama yang diberikan kepada Dzât yang mutlak itu adalah Huwa. Oleh karena itu, Tuhan ditempatkan pada tempat yang tidak nyata sehingga disebut dengan istilah Lâ ta‘ayyun (kenyataan yang tidak nyata). Tuhan itu adalah Azali (tidak berawal) dan Abadi (tidak berakhir).
Kedua, martabat Wachdah (ke-‘ada‘-an sifat yang memiliki keesaan). Pada martabat ini Dzat tersebut dinamakan Allah dan bertajalli dalam sifat-sifat yang disebut a‘yân tsâ bitah (kenyataan yang terpendam, kenyataan yang tetap). Sifat-sifat tersebut adalah Ilmu, Wujud, Syuhud, dan Nur. Pada tahap ini Dzât yang mutlak lagi esa itu mengandung dalam diri-Nya semacam kejamakan akali dalam bentuk sifat-sifat tersebut. Pada tahap ini adalah tahap Nur Muhammad atau hakikat Muhammad yang merupakan sebab bagi terjadinya alam semesta ini. Tentang alam dalam martabat ini masih dalam keadaan terpendam dan karena itulah ia bersifat global, seperti halnya kacang dalam bijinya. Pada tahap seperti ini Tuhan pertama-tama memanifestasikan diri-Nya melalui sifat, lalu Tuhan keluar dan membentangkan diri-Nya dengan sifat-sifat-Nya (Rachmân, Rachîm, dan lain sebagainya), lalu dapat dimengerti. Oleh karena itu, pada martabat ini disebut dengan istilah Ta‘ayyun Awwal (kenyataan pertama).
Ketiga, martabat Wachîdiyyah (ke-‘ada‘-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan). Pada tahap ini, segala sesuatu yang terpendam itu sudah dibedakan dengan tegas dan terperinci, tetapi belum lagi muncul dalam kenyataan. Perpindahan sesuatu yang terpendam itu ke dunia gejala ini tidak dapat dengan sendirinya, tetapi ia memerlukan firman Tuhan yang berbunyi Kun fa yakûn (Jadilah, maka Menjadilah). Dengan firman Tuhan itu, maka hal-hal yang terpendam akan mengalir ke luar dalam berbagai bentuk dan, dengan demikian, dunia gejala pun muncul. Pada tahap inilah kaum Wujudiyah (Hamzah, Syamsuddin, dan para pengikutnya) mengatakan seperti halnya yang dikatakan oleh Ibnu Arabi bahwa alam ini tidak terjadi dari yang tidak ada (reatio ex nihilo), tetapi dari sesuatu yang telah ada (pre-exist) dalam diri Tuhan. Hal yang demikian serupa dengan kacang yang terpendam dalam bijinya. Batang kacang, dahan, daun, dan bijinya tidak akan tampak keluar dari bijinya tanpa ada faktor lain, seperti tanah, air, dan lain sebagainya. Karena itu, kaum Wujudiyah mengatakan bahwa Tuhan dan alam itu seperti halnya biji kacang dan batangnya. Tahap ini merupakan lembaga yang akan mendapat sasaran sifat-sifat Tuhan sehingga tahap ini disebut dengan istilah A‘yân Tsâbitah (kenyataan yang tetap). hal ini semua masih dalam wujud, Dzât, dan hakikat-Nya, masih belum terpisah (masih dalam kandungan Tuhan). Tahap ini juga disebut Ta‘ayyun Tsâni (kenyataan kedua).
Keempat, martabat Alam Arwah. Pada tahap ini kenyataan yang terpendam (kenyataan yang tetap) mengalir ke luar mengambil bentuk alam arwah. Hakikat alam ini adalah satu, aspek saja yang terbagi ke dalam ruh manusia, ruh hewan, dan ruh tumbuh-tumbuhan. Pada tahap ini, Tuhan keluar dari kandungan-Nya dari A‘yân Tsâbitah ke A‘yân Khârijiyyah. Tahap ini juga disebut A‘yân Khârijiyyah (kenyataan yang ada di luar) atau disebut Ta‘ayyun Tsâlits (kenyataan ketiga). Menurut kaum Wujudiyah, dari A‘yân Tsâbitah ke A‘yân Khârijiyyah itu tidak melalui ciptaan, tetapi melalui tajalli (emanasi, pancaran) pada lembaga, yaitu alam semesta.
Kelima, martabat Alam Mitsâl. Tahap ini merupakan alam ide dan merupakan perbatasan antara alam arwah dan alam jisim. Tahap ini juga disebut dengan istilah Ta‘ayyun Râbi‘ (kenyataan keempat).
Keenam, martabat Alam Ajsâm (alam benda). Tahap ini merupakan alam anasir yang halus dan disebut juga dengan istilah Ta‘ayyun Khâmis (kenyataan kelima).
Ketujuh, martabat Alam Insan. Tahap ini merupakan dunia gejala dan tajalli (pancaran) Tuhan dalam dunia ini. Proses selanjutnya baru memperoleh kesempurnaannya dalam bentuk manusia. Tajjalli Tuhan sepenuhnya hanya pada insan kamil, yaitu para Nabi dan Auliyâ‘ (para wali).
Menurut Syamsuddin (dalam Mir‘atul-Muchaqqiqîn A, t.t.:12-17) ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzîh (transenden atau lâ ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybîh (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama. Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatul-Lâh, baik Ma‘rifah Tanzîh (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybîh (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wachdatul-Wujûd. Uraian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Martabat ‘alamul-insân (alam manusia) yang merupakan martabat ketujuh terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan, air mani (sperma yang masih encer), nuthfah (sperma yang sudah matang, dan di dalam rahim masih dijelaskan secara rinci), Muslim (orang Islam), Thâlib (orang yang mencari kebenaran), Sâlik (orang yang berjalan mencari kebenaran), ‘Ârif Kâmil Mukammil (orang bijak yang betul-betul sempurna), Wâshil (orang yang telah sampai di sisi Allah), dan Insan Kamil (manusia sempurna). Martabat Insan Kamil terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW (As-Samatrâ‘î dalam Mir‘atul-Muchaqqiqîn A, t.t.:10).
Martabat nama-nama ketuhanan tidak boleh disamakan dengan martabat nama-nama alam semesta seisinya termasuk manusia. Kedua wujud, baik wujud alam semesta maupun Wujud Allah merupakan dua hal yang dipandang sempurna karena yang satu merupakan kesempurnaan Dzât-Nya dan lainnya merupakan kesempurnaan asmâ‘-Nya.
Kesempurnaan Dzât adalah penjelasan tentang tampaknya Allah Ta‘ala atas diri-Nya tanpa membutuhkan yang lain (al-ghinâ‘ul-muthlâq). Dengan demikian, al-ghinâ‘ul-muthlâq merupakan kesaksian Allah Ta‘ala atas diri-Nya, penjelasan tentang ketuhanan, dan keterkaitannya dengan hukum-hukum sehingga Allah Ta‘ala dengan kesaksiannya ini tidak membutuhkan keberadaan alam semesta seisinya secara terperinci. Adapun kesempurnaan asmâ‘ merupakan penjelasan tentang kesaksian Allah Ta‘ala atas diri-Nya dan Dzât-Nya dalam at-ta‘ayyunul-khârijiyyah, yaitu alam semesta seisinya. Kesaksian ini menjadi kesaksian penglihatan secara nyata (‘yâniyyan ‘ainiyyan wujûdiyyan) (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:3-4).
Sesungguhnya, alam semesta seisinya, termasuk manusia, merupakan pertunjukan dan yang dipertunjukkan adalah Allah Ta‘ala. Dengan pertunjukan itulah, manusia dapat mengenal dan mengetahui Allah melalui dirinya dan terpusat dalam hatinya. Untuk itu, semakin jernih dan bening hati seseorang, maka ia semakin jelas mengenal dan melihat Tuhan dan pada gilirannya ia akan dapat merasakan bersatu dengan-Nya (Wachdatul-Wujûd).
Untuk dapat merasa bersatu dengan Tuhan, manusia memerlukan dua pendekatan, yaitu pendekatan wajib (qurbul-farâ‘id) dan pendekatan sunat (qurbun-nawâfil). Qurbul-farâ‘id (kedekatan berbagai amalan wajib) adalah hilangnya perasaan terhadap seluruh maujûdât sampai dengan dirinya sendiri dan hal ini tetap dalam pandangan Wujud Allah Yang Maha Benar. Artinya, sang hamba melakukan amalan-amalan ibadah wajib untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta‘ala. Adapun qurbun-nawâfil (kedekatan berbagai amalan ibadah sunat) adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan dan munculnya sifat-sifat ketuhanan. Artinya, sang hamba melakukan amalan-amalan ibadah sunat untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta‘ala. Dengan amalan-amalan tersebut, sang hamba dapat mendengar dan melihat sesuatu tidak dari telinga dan mata saja. Selain itu, ia juga dapat mendengar dan melihat sesuatu dari jauh. Semuanya ini merupakan buah dari qurbun-nawâfil. Dengan dua pendekatan sebagaimana dikemukakan di atas, sang hamba dapat menyatu dengan Allah Ta‘ala atau Wachdatul-Wujûd (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:5-7; Armstrong, 1996:231-232).
Pengertian Wachdatul-Wujûd (kesatuan wujud) ada tiga tingkatan. Pertama, Wachdatul-Wujûd berarti sang hamba mengetahui bahwa Allah Ta‘ala adalah hakikat seluruh makhluk. Akan tetapi, ia tidak menyaksikan Allah dalam ciptaan-Nya. Kedua, Wachdatul-Wujûd berarti dapat menyaksikan Allah Ta‘ala melalui makhluk-Nya dengan kesaksian hati. Tingkatan ini lebih tinggi daripada tingkatan yang pertama. Ketiga, Wachdatul-Wujûd berarti sang hamba menyaksikan Allah Ta‘ala pada makhluk-Nya dan menyaksikan makhluk pada Allah Ta‘ala. Dengan demikian, antara keduanya tidak ada perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Tingkatan ini lebih utama dan lebih tinggi daripada tingkatan yang pertama dan kedua. Selain itu, tingkatan ini merupakan tingkatan pada nabi, pada wali, dan orang-orang yang mengikuti ajaran mereka, yaitu para shâlichîn (orang-orang yang berbuat baik atau shaleh). Menurut tingkatan yang ketiga ini dikemukakan bahwa semua makhluk dilihat dari segi hakikatnya adalah Allah Ta‘ala, sedangkan dilihat dari segi ta‘ayyunnya bukan Allah. Untuk memahami pernyataan ini dapat diibaratkan seperti gelombang laut, ombak, dan saljunya. Gelombang laut, ombak, dan saljunya dilihat dari segi hakikatnya adalah air, sedangkan dilihat dari segi ta‘ayyunnya bukan air. Untuk memperkuat pendapat tentang tingkatan Wachdatul-Wujûd yang ketiga ini dikutip ayat-ayat Alquran dan Hadis-hadis nabi Muhammad SAW. Ayat Alquran yang dimaksud antara lain di dalam Q.S. Qaf ayat 16 berbunyi: wa nachnu aqrabu ilaihi min chablil-warîd. Artinya, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Sementara itu, Hadis Nabi yang dimaksud antara lain berbunyi: idzâ qâma ilash-shalâti fa innamâ yunâji rabbahu, fa inna rabbahu bainahu wa baina qalbihi. Artinya, “apabila seseorang mendirikan shalat, maka sesungguhnya ia sedang mengharap kepada Allah. Jarak antara ia dengan Allah seperti ia dengan hatinya sendiri” (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:7-8).
Dari tiga tingkatan Wachdatul-Wujûd di atas dapat dikemukakan bahwa apabila seseorang ingin sampai dan bertemu dengan Allah Ta‘ala hendaknya mengikuti nabi Muhammad SAW, baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin dan kemudian berusaha sekuat tenaga untuk memahami Wachdatul-Wujûd. Selain itu, cara untuk mendekatkan diri pada Allah Ta‘ala adalah dengan menghilangkan ego yang ada pada diri masing-masing (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:8-9).
6. Kesimpulan
Manusia diciptakan oleh Allah tidak lain hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam rangka pengabdiannya kepada Allah sudah barang tentu tidak terlepas dari pengetahuan tentang keber-Ada-an dan ke-Ada-an Allah itu sendiri. oleh karena itu, manusia perlu mengenal Allah sedekat mungkin agar pengabdiannya mendapatkan hasil yang baik di sisi-Nya. Banyak orang yang bertahun-tahun telah mengabdi dengan melaksanakan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, tetapi karena ia belum mengenal Allah dalam pengertian yang lebih terarah, pengabdiannya belum mendapatkan hasil yang baik.
Mengenal Allah merupakan jalan terbaik agar manusia dapat bertemu dengan-Nya sedekat mungkin. Cara mengenal Allah yang terarah dan sistematis salah satu di antaranya adalah melalui konsep Martabat Tujuh. Namun, perlu diketahui bahwa untuk memahami konsep Martabat Tujuh, manusia terlebih dahulu harus menempuh empat tanjakan, yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Syariat merupakan peraturan-peraturan Allah yang bersumber pada Alquran dan Hadis. Menurut kalangan sufi, syariat merupakan amal ibadah lahir, baik mengenal hubungan antara manusia dengan manusia lainnya (chablun minas-nâs) maupun hubungan antara manusia dengan Tuhannya (chablun minal-Lâh). Tarikat merupakan pelaksanaan peraturan-peraturan Allah yang bersumber pada Alquran dan hadis. Orang yang dapat menjalankan syariat secara kontinyu akan mendapatkan karunia dari Allah sehingga ia dapat melihat-Nya dengan matahati yang ada di dalam sanubarinya. Hakikat merupakan tujuan pokok agar sampai pada Allah dengan keyakinan akal, kehendak, angan-angan, dan jiwanya. Adapun makrifat adalah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, baik Af‘âl (Perbuatan-Perbuatan, Asmâ‘ (Nama-Nama), Sifat-Sifaf, maupun Dzât-Nya.
Daftar Pustaka
Al-Burhanpuri, Muhammad Fadhlullah. t.t. At-Tuchfatul-Mursalah ilâ Rchin NabîShallal-Lâhu ‘Alaihi wa Sallam A. 9 halaman. Naskah Koleksi Pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum. Peuniti, Banda Aceh.
—————— t.t. At-Tuchfatul-Mursalah ilâ Rûchin- NabîShallal-L âhu ‘Alaihi wa Sallam B. 39 halaman. Naskah Koleksi Pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum. Peuniti, Banda Aceh.
Armstrong, Amatullah. 1996. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf diterjemahkan oleh M.S. Nashrullah dan Ahmad Baiquni dari judul asli Sufi Terminilogy (Al-Qamus Al-Sufi) The Mystical Language of Islam. Cetakan I Mizan, Bandung.
As-Samatrâ‘î, Syamsuddin.t.t. Mir‘atul-Muchaqqiqîn A. 18 halaman. Naskah Koleksi Filologika Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
——————. t.t. Mir‘atul-Muchaqqiqîn B. Naskah Berbahasa Arab 20 halaman. Naskah Koleksi Filologika Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
Chamamah Soeratno, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain Analisis Resepsi. Balai Pustaka, Jakarta.
Churchil, W.A. 1965. Watermark in Paper in Holland, England, France, Etc. in The XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection. Menno Hertz-berger & Coo, Amsterdam.
Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi” dalam Bahasa, dan Sastra. Tahun III Nomor 1 halaman 20-33.
Fansuri, Hamzah.t.t.Syarabul-‘Asyiqîn. 25 halaman. Naskah Koleksi Filologika Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
Hadi W.M., Abdul.. 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. Mizan, Bandung.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading A Theory of Aesthetic Response. The John Hopkins Press Ltd., London.
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. University of minnesota Press, Minneapolis.
Johns, A.H. 1966. The Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Published by The Australian National University, Camberra.
Nasution, Harun. 1983. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra, Tahun IV Nomor 6.
Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Text. The Peter de Ridder Press, Lisse. Teeuw, Andries. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya, Jakarta.
Yusri, Hasan. 1986. Rahasia dari Sudut Tasawuf (Jalan bagi Hamba Allah). Cetakan I Bina Ilmu, Surabaya.
Sangidu Doktor, Magister Humaniora, Staf Pengajar Jurusan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber : Humaniora Volume XIV, No. 1/2002
Oleh : Sangidu
1. Pengantar
Filologi merupakan suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah naskah dan teks. Oleh karena itu, untuk meneliti naskah dan teks menurut kerja filologi, hal yang pertama-tama harus dikerjakan oleh peneliti adalah mendaftar semua naskah yang terdapat di berbagai perpustakaan, museum, dan koleksi perseorangan yang biasa menyimpan naskah. Daftar naskah dapat dilihat berdasarkan katalogus yang tersedia (Djamaris, 1977:20, 24), buku-buku yang membicarakan pernaskahan, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan pernaskahan, dan informasi-informasi lain yang berkaitan dengan pernaskahan.
Naskah at-tuchfatul-mursalah ilâ rûchinnabî shallal-Lâhu ‘alaihi wa sallam (selanjutnya disebut Tuchfah) yang dijadikan objek material di dalam penelitian ini ada dua buah, yaitu naskah Tuchfah bernomor MINA 6 (Manuskrip Islam Nurdin AR, Nomor 6) dan MINA 7. Kedua naskah tersebut terdapat di perpustakaan pribadi Drs. Nurdin AR, M.Hum. di Banda Aceh dan merupakan warisan dari leluhurnya yang telah diwariskan melalui Tgk. Muhammad Arsyad bin Tgk. Ibrahim (kakak kandung ayahnya) bin Tgk. Muhammad Mas‘ud bin Tgk. Di Tunong kepada Tgk. Muhammad Mas‘ud kepada Tgk. Ibrahim kepada Tgk. Muhammad Arsyad kepada Nurdin AR. Naskah tersebut telah menjadi koleksi pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum sejak tahun 1976 dan telah diinven tarisasi sejak tahun 1985 setelah menyelesaikan pendidikan S-1-nya di Fakultas Sastra UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Untuk mempermudah mendeskripsikan kedua naskah tersebut, naskah bernomor MINA 6 disebut naskah Tuchfah A dan naskah bernomor MINA 7 disebut naskah Tuchfah B. Kedua naskah tersebut merupa kan naskah berbahasa Arab karangan Syaikh Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri (selanjutnya disebut Fadhlullah).
Naskah Tuchfah merupakan naskah berbahasa Arab dan berisi ajaran Martabat Tujuh yang telah diajarkan Fadhlullah kepada muridnya, yaitu Syaikh Syamsuddin As-Samanrâ‘î (selanjutnya disebut Syamsuddin). Ajaran Martabat Tujuh tersebut berkaitan dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Puncak dari hubungan tersebut adalah rasa bersatunya manusia dengan Tuhan yang terkenal dengan sebutan Wachdatul-Wujûd.
2. Masalah
Dari uraian di atas, terdapat beberapa masalah yang perlu dipecahkan di dalampenelitian ini, yaitu masalah yang berkaitan dengan pernaskahan Tuchfah, penyuntingan, penerjemahan, dan konsep Martabat Tujuh yang terkandung di dalam teks Tuchfah. Tulisan ini hanya menjawab dan mengungkapkan dua masalah yang berkaitan dengan pernaskahan Tuchfah dan konsep Martabat Tujuh yang terkandung di dalam teksnya.
3. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berkaitan dengan teks Tuchfah pernah dilakukan oleh A.Johns (1966). Hasil penelitian yang telah dilakukannya telah diterbitkan berupa kumpulan risalah Tuchfah. Selain itu, ia juga menduga bahwa kumpulan risalah tersebut disusun oleh murid Syamsuddin. Penulis telah menemukan dua naskah Tuchfah yang berada di perpustakaan pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum. dengan nomor kode MINA 6 dan MINA 7. Penelitian yang berkaitan dengan pernaskahan, penyuntingan, penerjemahan, dan ajaran tasawuf yang terdapat di dalam teks Tuchfah, baik naskah Tuchfah bernomor Mina 6 maupun bernomor Mina 7 belum pernah dilakukan sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Johns besar bantuannya untuk mendukung penelitian terhadap Tuchfah, baik dari aspek pernaskahan maupun dari aspek isinya.
4. Landasan Teori dan Metode
Penelitian terhadap Tuchfah secara praktis ditujukan untuk mengungkapkan pernaskahan dan konsep Martabat Tujuh yang terkandung di dalamnya. Karena itu, penelitian ini memanfaatkan dua teori, yaitu teori filologi dan teori resepsi. Berikut ini dikemukakan dasar-dasar kedua teori tersebut.
4.1 Teori dan Metode Filologi
Banyaknya jumlah naskah salinan melahirkan variasi teks yang banyak pula. Gejala proses penyalinan naskah yang demikian ini perlu dipecahkan dengan metode filologi yang sesuai dengan kondisi naskah. Di lain pihak, proses penyalinan suatu naskah dapat disalin dari sejumlah teks induk, yakni naskah kontaminasi yang lahir dari proses penyalinan yang bersifat horizontal. Proses penyalinan naskah secara hori zontal ini dapat memberikan kebebasan terhadap kreativitas penyalinnya yang sudah barang tentu tidak dapat terhindar dari konvensi yang hidup dalam kegiatan salin-menyalin naskah-naskah lama. Dalam menghadapi kondisi naskah yang demikian ini, metode filologi perlu mendahulukan deskripsi naskah secara tuntas dan menye diakan aparat kritik secara layak (Chamamah Soeratno, 1991:12-14).
Penelitian terhadap Tuchfah sebagai salah satu karya sastra lama dapat dibaca melalui dua buah naskah salinannya, yaitu naskah Tuchfah A dan B. Dalam menghadapi kedua naskah Tuchfah tersebut, yang pertama-tama dilakukan peneliti adalah membandingkan kedua naskah dan menetapkan satu naskah unggul sebagai teks suntingan. Perbandingan terhadap kedua naskah tersebut memerlukan metode filologi yang sesuai dengan kondisi naskah dan terkenal dengan metode landasan atau induk (legger).
Metode landasan atau induk (legger) adalah suatu metode yang menurut tafsiran nilai naskah jelas berbeda sehingga ada satu atau segolongan naskah yang unggul kualitasnya. Keunggulan kualitas naskah dapat dilihat dari aspek bahasa, kesastraan, sejarah, atau lainnya. Dengan demikian, naskah yang unggul kualitasnya tersebut dapat dijadikan sebagai naskah yang paling baik dan dapat dijadikan “landasan” atau “dasar” teks (Robson, 1978:36) yang akan disunting.
Perbandingan naskah, yang telah dilakukan oleh peneliti, menunjukkan bahwa naskah Tuchfah A merupakan naskah yang unggul kualitasnya sehingga naskah tersebut dijadikan “landasan” atau “dasar” suntingan teks. Suntingan teks yang telah dihasilkan melalui kerja filologis, selanjutnya dianalisis dengan memanfaatkan teori resepsi untuk mengungkapkan ajaran tasawuf, yaitu konsep Martabat Tujuh yang terdapat di dalamnya.
4.2 Teori dan Metode Resepsi
Teori resepsi sastra merupakan suatu disiplin yang memandang penting peran pembaca dalam memberikan makna teks sastra (Jauss, 1983:20). Berbicara tentang resepsi sastra atau cara seorang pembaca menerima dan memahami teks sastra dapat merujuk teori Iser. Ia mengatakan bahwa sebuah teks sastra dapat didefinisikan sebagai wilayah indeterminasi atau wilayah ketidakpastian (indeterminacy areas) (Iser, 1987:24; Segers, 1978:40-41). Wilayah ketidakpastian merupakan “bagian-bagian kosong” atau “tempat-tempat terbuka” (leerstellen, open plek) yang “mengharuskan” pembaca untuk mengisinya. Hal ini disebabkan oleh sifat karya sastra yang mempunyai banyak tafsir (poly-interpretability) (Pradopo, 1995:235).
Dalam mengisi “tempat-tempat kosong” yang terdapat di dalam karya sastra, para pembaca pada hakikatnya masuk dalam suasana berdialog dan berkomunikasi dengan teks sastra. Dalam komunikasi sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan pembaca berinteraksi. Dalam interaksi itu, wujud struktur yang terjangkau melalui teks berperan memberikan arahan kepada pembaca yang diangkat dari repertoire (bekal atau bahan yang berupa pengetahuan dan pengalaman pembaca) dengan strateginya sehingga lahirlah realisasi teks (Iser, 1978:20, 107). Realisasi teks berupa resepsi (tanggapan) dan penafsiran yang berbeda-beda dari para pembaca karena mereka telah dibekali oleh pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, ada kemungkinan satu karya sastra memperoleh makna yang bermacam-macam dari berbagai kelompok pembaca (Chamamah-Soeratno, 1991:21). Hal itu justru menunjukkan adanya struktur teks sastra yang dinamis, makna karya sastra akan selalu diperkaya dan dapat lebih terungkap, serta nilai sastranya pun dapat ditentukan lebih baik (Pradopo, 1995: 234).
Faktor pembaca, dalam poros komunikasi mendapat pengertian yang bermacam-macam. Salah satu di antaranya yang akan dimanfaatkan di dalam penelitian ini adalah pembaca nyata (real reader). Pembaca ini merupakan pembaca dalam arti fisik, yaitu orang yang melaksanakan tindakan pembacaan. Pembaca dalam kelompok ini meliputi pembaca peneliti dan pembaca umum. Pembaca peneliti dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra seperti yang dipahaminya dan berdiri di dalam proses pembacaan. Sementara itu, pembaca umum dalam resepsinya berupa reaksi atau tanggapan terhadap sebuah teks sastra dan berdiri di luar proses pembacaan. Dalam penelitian ini, pembaca yang dimaksudkan adalah pembaca peneliti.
Horizon harapan dari seorang pembaca ke pembaca dan dari periode ke periode itu selalu berbeda-beda disebabkan oleh adanya norma-norma yang terpaparkan dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca dan pengalaman serta pengetahuan pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Oleh karena itu, metode resepsi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode kritik teks dan metode intertekstual.
Metode kritik teks merupakan cara kerja yang merunut perkembangan tanggapan pembaca berdasarkan bekal pengetahuan yang telah dimiliki oleh masing-masing pembaca. Wujud tanggapannya dapat berupa ulasan, kritik, komentar, analisis, ataupun hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh pembaca (Teeuw, 1984:210; Chamamah-Soeratno, 1991:22). Sementara itu, metode intertekstual, yaitu cara kerja yang melacak sambutan terhadap teks yang sedang ataupun yang telah diteliti melalui teks lain yang menyambut teksnya. Sambut an tersebut dapat saja mengolah, memutar- balikkan, memberontaki, meneladani, atau pun menulis kembali teksnya. Hal yang demikian dapat dilakukan lewat penyalinan, penyaduran, atau penerjemahan (Teeuw, 1984:213; Chamamah-Soeratno, 1991:22).
5. Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan di dalam permasalahan di atas bahwa di penelitian ini akan menjawab dan mengungkapkan dua masalah, yaitu masalah yang berkaitan dengan pernaskahan Tuchfah dan masalah yang berkaitan dengan konsep Martabat Tujuh yang terkandung di dalam teksnya. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan jawaban dari kedua masalah tersebut.
5.1 Pernaskahan Tuchfah
Objek material di dalam penelitian ini ada dua buah naskah, yaitu naskah Tuchfah A bernomor MINA 6 dan naskah Tuchfah B bernomor MINA 7. Kedua naskah Tuchfah tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.
Naskah Tuchfah A berukuran 20 x 14,5 cm dan terdiri dari 7 halaman. Naskah ini tidak diberi nomor halaman sehingga penulis memberi nomor halaman dari nomor 1 sampai dengan nomor 7 untuk mempermudah dalam proses pembacaan teksnya. Setiap halaman naskah memuat 17 sampai dengan 19 baris tulisan, kecuali pada halaman 1 memuat 9 baris tulisan. Setiap barisnya rata-rata memuat 8 sampai dengan 12 kata.
Ukuran salinan teksnya untuk setiap halaman rata-rata 14 x 9,5 cm, kecuali pada halaman pertama berukuran 7 x 9,5 cm. Naskah Tuchfah A ditulis dengan tulisan berbahasa Arab, memakai tinta hitam yang cukup rapi, bersih, dan jelas dengan khath campuran antara riq‘i dan naskhi. Penyalinan teksnya tidak menggunakan garis pengarah, baik garis pabrik maupun garis kuku atau garis lainnya yang dibuat dengan tinta atau pensil. Judul teksnya terletak pada halaman pertama yang berada di tengah-tengah baris tulisan.
Kertas yang digunakan untuk menampung salinan teksnya masih bagus karena naskahnya terletak di tengah-tengah kumpulan naskah-naskah lainnya. Kertas yang digunakan untuk menyalin naskah Tuchfah A merupakan jenis kertas POSTILION buatan Belanda dengan cap air (watermark) KUDA, PERISAI, dan KUDA TUNGGANG yang ditunggangi seorang laki-laki membawa terompet (Churchill, 1965:CCLXI). Keadaan itu menandakan bahwa kertas tersebut dibuat kira-kira pada tahun 1776 M (Churchill, 1965:80).
Sementara itu, naskah Tuchfah B berukuran 22 x 15,5 cm dan terdiri dari 40 halaman. Ada beberapa halaman naskah yang hilang, yaitu halaman 3, 17, 24, 24, dan 30. Naskah ini tidak diberi nomor halaman sehingga penulis memberi nomor halaman dari nomor 1 sampai dengan nomor 40 untuk mempermudah dalam proses pembacaan teksnya. Setiap halaman naskah memuat 7 baris tulisan, kecuali pada halaman terakhir memuat 8 baris tulisan. Setiap barisnya rata-rata memuat 6 sampai dengan 8 kata.
Ukuran salinan teksnya untuk setiap halaman rata-rata 11 x 7 cm. Naskah Tuchfah B ditulis dengan tulisan berbahasa Arab dan Jawi (Arab-Melayu) dengan jarak tulisan yang berjauhan karena di sela-sela tulisan Matan Tuchfah diberi syarah dengan bahasa Arab maupun tulisan Jawi. Syarah tersebut juga ditulis mengelilingi Matan Tuchfah yang tidak beraturan sehingga pembaca yang ingin membaca teks Tuchfah B memerlukan guru dapat menuntun dalam proses pembacaan teks tersebut. Melihat bentuk tulisan yang terdapat pada naskah Tuchfah B dapat dikemukakan bahwa dalam memahami isi teks tersebut telah digunakan sistem sorogan sebagaimana yang telah dilakukan di pesantren-pesantren tradisional antara ustadz dan santrinya. Tulisan yang terdapat pada naskah Tuchfah B memakai tinta hitam yang cukup rapi, bersih, dan jelas dengan khath campuran antara riq‘i dan naskhi. Penyalinan teksnya tidak menggunakan garis pengarah, baik garis pabrik maupun garis kuku atau garis lainnya yang dibuat dengan tinta atau pensil. Judul teksnya terletak pada halaman 4.
Kertas yang digunakan untuk menampung salinan teksnya masih bagus karena naskahnya terletak di tengah-tengah kumpul-an naskah-naskah lainnya. Kertas yang digunakan untuk menyalin naskah Tuchfah B merupakan jenis kertas POSTILION buatan Belanda dengan cap air (watermark) KUDA, PERISAI, dan KUDA TUNGGANG yang ditunggangi seorang laki-laki membawa terompet (Churchill, 1965:CCLXI). Keadaan itu menandakan bahwa kertas tersebut dibuat kira-kira pada tahun 1776 M (Churchill, 1965:80).
Dari deskripsi kedua naskah tersebut dapat dikemukakan bahwa menurut metode filologi (Robson, 1978:36), apabila telah didapatkan lebih dari satu naskah salinan, perlu dilakukan perbandingan naskah, baik dari aspek bahasa, sastra, budaya, maupun lainnya untuk menentukan satu naskah atau sekelompok naskah yang dipandang unggul kualitasnya daripada naskah lainnya. Oleh karena itu, berdasarkan deskripsi dan perbandingan naskah yang telah dilakukan oleh peneliti, baik naskah A maupun naskah B dapat dikemukakan hal-hal yang dipandang dapat mendukung untuk mendapatkan naskah yang unggul kualitasnya dari yang lain, yaitu sebagai berikut.
1. Dari aspek fisik naskah, naskah Tuchfah A maupun naskah Tuchfah B merupakan naskah tulisan tangan yang ditulis dengan rapi dan bahkan baris-baris yang dipandang penting ditulis dengan tintamerah.
2. Dari aspek bahasa dan sastra, naskah Tuchfah B walaupun penulisan kata-kata yang terdapat di dalamnya pada umumnya dipandang lengkap, tepat, jelas, dan mudah dipahami daripada penulisan kata-kata yang terdapat pada naskah Tuchfah A, untuk memahami kandungan naskah yang terdapat di dalamnya diperlukan seorang guru yang dipandang mampu menjelaskannya karena teks Tuchfah B diberi syarah yang menjelaskan matannya. Syarah yang terdapat di dalam teks Tuchfah B ditulis tidak berarturan, baik yang tertulis mengelilingi matannya, menyamping ke kanan dan ke kiri, maupun yang tertulis ke bawah. Dari segi bentuk tulisan syarah yang terdapat dalam teks Tuchfah B dapat diduga bahwa untuk memahami teksnya tampaknya telah berlangsung proses belajar mengajar model sorogan sebagaimana yang dilakukan di pesantren-pesantren tradisional.
3. Dari aspek isi, naskah Tuchfah A dan naskah Tuchfah B sama-sama mengandung isi yang lengkap sehingga tidak mengganggu dalam prosespemahamannya.
Atas dasar tiga hal tersebut di atas maka dapat ditentukan bahwa naskah Tuchfah A dipandang sebagai naskah yang unggul kualitasnya daripada naskah Tuchfah B. Oleh karena itu, naskah Tuchfah A dijadikan landasan atau dasar suntingan teks dan pada gilirannya akan dijadikan pijakan untuk mengungkap isi yang terkandung di dalamnya, terutama yang berkaitan dengan konsep Martabat Tujuh. Namun, perlu dikemukakan bahwa naskah Tuchfah B tetap dipandang sebagai naskah pendukung untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalam naskah Tuchfah A.
5.2 Konsep Martabat Tujuh dalam Teks Tuchfah
Dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatul-Lâh.
Ilmu ma‘rifatul-Lâh merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Menurut Syamsuddin (dalam Mir‘atul-Muchaqqiqîn A, t.t.:12) ilmu ma‘rifatul-Lâh terbagi menjadi dua macam, yaitu ilmu makrifat tanzîh (transeden) dan ilmu makrifat tasybîh (imanen). Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzîh (lâ ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybîh (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi).
Sesungguhnnya, Allah Ta‘ala itu Ada. Keber-Ada-anya itu tanpa bentuk, tanpa ukuran, dan tanpa batas. Walaupun demikian, Allah tetap dapat dipahami, dimengerti, dan dilihat dengan bentuk dan ukuran melalui alam semesta seisinya yang telah diciptakan-Nya. Wujud Allah itu esa dan merupakan hakikat wujud-wujud (makhluk). Semua makhluk sampai sebiji atom pun tidak terlepas dari Wujud yang mutlak. Sesungguhnya, Wujud Allah ditinjau dari segi Kunhi-Nya tidak dapat diungkap oleh siapa pun dan tidak dapat dijangkau oleh akal, angan-angan, dan perasaan. Wujud Allah juga tidak dapat dianalogikan dengan apa pun karena akal, angan-angan, dan perasaan merupakan ciptaan baru (muchdats). Siapa pun yang ingin berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui Wujud dan wajah Allah Ta‘ala itu hanya merupakan pekerjaan dan perbuatan yang sia-sia belaka.
Dzât Allah Ta‘ala bernama kunhudz-dz âtil-chaqqi atau asal muasal Dzât Yang Maha Benar. Ahlus-Sulûk menamai kunhudz-dz âtil-chaqqi dengan nama lâ ta‘ayyun (tidak nyata, tak terinderawi). Dzât Tuhan atau kunhudz-dzâtil-chaqqi dinamakan lâ ta‘ayyun (tidak nyata, tak terinderawi) disebabkan oleh ilmu dan makrifat para manusia, para Ahlus-Sulûk, para wali, dan bahkan para nabi pun tidak akan pernah dapat memikir-mikir dan menembus-Nya. Karena itulah, Rasulullah SAW bersabda: tafakkarû fî khalqil-Lâhi wa lâ tafakkarû fî dz âtil-Lâhi (fî dzâtihi, fil-Lâh) fa tahlikû (Rawâhu Abusy-Syaikh). Artinya, “berpikirlah kamu tentang makhluk yang diciptakan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzât Allah, niscaya kamu akan binasa karenanya” (Hadis Riwayat Abusy-Syaikh) (Fansuri dalam Syarabul-‘Àsyiqîn, t.t:15; Yusri, 1986:7).
Walaupun kedudukan Dzât Allah pada tataran lâ ta‘ayyun (tidak nyata, tak terinderawi) atau kunhudz-dzâtil-chaqqi tidak dapat ditembus oleh ilmu dan makrifat manusia, Dia cinta untuk dikenal. Oleh karena itu, Dia menciptakan alam semesta seisinya dengan maksud agar Diri-Nya dikenal. Pemikiran tersebut berdasarkan Hadis Qudsi yang berbunyi: kuntu kanzan makhfiyyan fa achbabtu an u‘rafa fa khalaqtul-khalqa fa bî ‘arafûnî. Artinya, “Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk supaya Aku dikenal (dan melalui Aku mereka pun mengenal pada-Ku) (Fansuri dalam Syarabul-‘Àsyiqîn, t.t:3; Nasution, 1983:61). Cinta untuk dikenal inilah yang disebut permulaan tajalli Tuhan. Sesudah tajalli dilakukan, maka Dia dinamakan ta‘ayyun, artinya “nyata, terinderawi”. Keadaan Tuhan di dalam ta‘ayyun atau “nyata, terinderawi” inilah yang dapat dicapai dan ditembus oleh pikiran, pengetahuan, dan makrifat manusia. Ta‘ayyun atau “nyata, terinderawi” dibagi ke dalam 6(enam) martabat.
Dengan demikian, seseorang yang ingin memahami Wujud Allah Ta‘ala, ia harus mengetahui ilmu yang bertingkat-tingkat (mutadarrijan) dan dikenal dengan ajaran Martabat Tujuh (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:2). Sementara itu, Syamsuddin (dalam Mir‘atul-Muchaqqiqîn A, t.t.) berpendapat bahwa ketujuh martabat, baik yang tanzîh (transeden atau tak terinderawi) maupun yang tasybîh (imanen atau terinderawi) telah dijelaskan oleh Fadhlullah di dalam karyanya berjudul Tuchfah.
Para peneliti mengira bahwa ajaran Wujudiyah Hamzah yang berkembang di Indonesia sampai saat ini merupakan ajaran Martabat Tujuh. Anggapan yang demikian dibantah oleh Abdul Hadi (1995:20) yang mengatakan bahwa ajaran Martabat Tujuh baru berkembang pada awal abad ke-17 dengan Syamsuddin sebagai penganjurnya yang pertama. Hamzah dan para wali di Pulau Jawa pada abad ke-16, seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tidak pernah menganjurkan dan mengajarkan ajaran Martabat Tujuh.
Perlu dikemukakan bahwa penggagas ajaran Martabat Tujuh yang pertama adalah Fadhlullah dari India yang wafat pada tahun 1620 M. Ia mengajarkan ajaran Martabat Tujuh kepada Syamsuddin dan ajaran tersebut dibukukan dalam kitab berjudul At-Tuchfatul-Mursalah ilâ r chin-nabî shallal-Lâhu ‘alaihi wa sallam (Johns, 1966:5). Sementara itu, Hamzah langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan Persia sebelum abad ke-16, terutama tokoh-tokoh seperti Bayazid Bisthami, Al-Hallaj, Fariduddin ‘Attar, Junaid Al-Baghdadi, Ibnu Arabi, dan Jalaluddin Rumi. Bazayid dan Al-Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah di dalam cinta (isyqi) dan makrifat (Hadi, 1995:21). Dengan demikian, Syamsuddin menerima ajaran Martabat Tujuh dengan mendapat pengaruh dari India yang berasal dari Fadhlullah dan mendapat pengaruh dari Arab dan Persia yang berasal dari Hamzah. Untuk hal itu, di bawah ini penulis akan mengemukakan ajaran Martabat Tujuh dengan mengacu pada naskah berjudul Tuchfah karangan Fadhlullah, yaitu sebagai berikut.
Pertama, martabat Achâdiyyah (ke‘ada‘-an Dzât yang Esa). Pada martabat ini Dzât itu mutlak, tidak bernama, tidak bersifat dan tidak mempunyai hubungan dengan apa pun sehingga orang tidak dapat mengetahuinya. Satu-satunya nama yang diberikan kepada Dzât yang mutlak itu adalah Huwa. Oleh karena itu, Tuhan ditempatkan pada tempat yang tidak nyata sehingga disebut dengan istilah Lâ ta‘ayyun (kenyataan yang tidak nyata). Tuhan itu adalah Azali (tidak berawal) dan Abadi (tidak berakhir).
Kedua, martabat Wachdah (ke-‘ada‘-an sifat yang memiliki keesaan). Pada martabat ini Dzat tersebut dinamakan Allah dan bertajalli dalam sifat-sifat yang disebut a‘yân tsâ bitah (kenyataan yang terpendam, kenyataan yang tetap). Sifat-sifat tersebut adalah Ilmu, Wujud, Syuhud, dan Nur. Pada tahap ini Dzât yang mutlak lagi esa itu mengandung dalam diri-Nya semacam kejamakan akali dalam bentuk sifat-sifat tersebut. Pada tahap ini adalah tahap Nur Muhammad atau hakikat Muhammad yang merupakan sebab bagi terjadinya alam semesta ini. Tentang alam dalam martabat ini masih dalam keadaan terpendam dan karena itulah ia bersifat global, seperti halnya kacang dalam bijinya. Pada tahap seperti ini Tuhan pertama-tama memanifestasikan diri-Nya melalui sifat, lalu Tuhan keluar dan membentangkan diri-Nya dengan sifat-sifat-Nya (Rachmân, Rachîm, dan lain sebagainya), lalu dapat dimengerti. Oleh karena itu, pada martabat ini disebut dengan istilah Ta‘ayyun Awwal (kenyataan pertama).
Ketiga, martabat Wachîdiyyah (ke-‘ada‘-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan). Pada tahap ini, segala sesuatu yang terpendam itu sudah dibedakan dengan tegas dan terperinci, tetapi belum lagi muncul dalam kenyataan. Perpindahan sesuatu yang terpendam itu ke dunia gejala ini tidak dapat dengan sendirinya, tetapi ia memerlukan firman Tuhan yang berbunyi Kun fa yakûn (Jadilah, maka Menjadilah). Dengan firman Tuhan itu, maka hal-hal yang terpendam akan mengalir ke luar dalam berbagai bentuk dan, dengan demikian, dunia gejala pun muncul. Pada tahap inilah kaum Wujudiyah (Hamzah, Syamsuddin, dan para pengikutnya) mengatakan seperti halnya yang dikatakan oleh Ibnu Arabi bahwa alam ini tidak terjadi dari yang tidak ada (reatio ex nihilo), tetapi dari sesuatu yang telah ada (pre-exist) dalam diri Tuhan. Hal yang demikian serupa dengan kacang yang terpendam dalam bijinya. Batang kacang, dahan, daun, dan bijinya tidak akan tampak keluar dari bijinya tanpa ada faktor lain, seperti tanah, air, dan lain sebagainya. Karena itu, kaum Wujudiyah mengatakan bahwa Tuhan dan alam itu seperti halnya biji kacang dan batangnya. Tahap ini merupakan lembaga yang akan mendapat sasaran sifat-sifat Tuhan sehingga tahap ini disebut dengan istilah A‘yân Tsâbitah (kenyataan yang tetap). hal ini semua masih dalam wujud, Dzât, dan hakikat-Nya, masih belum terpisah (masih dalam kandungan Tuhan). Tahap ini juga disebut Ta‘ayyun Tsâni (kenyataan kedua).
Keempat, martabat Alam Arwah. Pada tahap ini kenyataan yang terpendam (kenyataan yang tetap) mengalir ke luar mengambil bentuk alam arwah. Hakikat alam ini adalah satu, aspek saja yang terbagi ke dalam ruh manusia, ruh hewan, dan ruh tumbuh-tumbuhan. Pada tahap ini, Tuhan keluar dari kandungan-Nya dari A‘yân Tsâbitah ke A‘yân Khârijiyyah. Tahap ini juga disebut A‘yân Khârijiyyah (kenyataan yang ada di luar) atau disebut Ta‘ayyun Tsâlits (kenyataan ketiga). Menurut kaum Wujudiyah, dari A‘yân Tsâbitah ke A‘yân Khârijiyyah itu tidak melalui ciptaan, tetapi melalui tajalli (emanasi, pancaran) pada lembaga, yaitu alam semesta.
Kelima, martabat Alam Mitsâl. Tahap ini merupakan alam ide dan merupakan perbatasan antara alam arwah dan alam jisim. Tahap ini juga disebut dengan istilah Ta‘ayyun Râbi‘ (kenyataan keempat).
Keenam, martabat Alam Ajsâm (alam benda). Tahap ini merupakan alam anasir yang halus dan disebut juga dengan istilah Ta‘ayyun Khâmis (kenyataan kelima).
Ketujuh, martabat Alam Insan. Tahap ini merupakan dunia gejala dan tajalli (pancaran) Tuhan dalam dunia ini. Proses selanjutnya baru memperoleh kesempurnaannya dalam bentuk manusia. Tajjalli Tuhan sepenuhnya hanya pada insan kamil, yaitu para Nabi dan Auliyâ‘ (para wali).
Menurut Syamsuddin (dalam Mir‘atul-Muchaqqiqîn A, t.t.:12-17) ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzîh (transenden atau lâ ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybîh (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama. Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatul-Lâh, baik Ma‘rifah Tanzîh (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybîh (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wachdatul-Wujûd. Uraian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Martabat ‘alamul-insân (alam manusia) yang merupakan martabat ketujuh terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan, air mani (sperma yang masih encer), nuthfah (sperma yang sudah matang, dan di dalam rahim masih dijelaskan secara rinci), Muslim (orang Islam), Thâlib (orang yang mencari kebenaran), Sâlik (orang yang berjalan mencari kebenaran), ‘Ârif Kâmil Mukammil (orang bijak yang betul-betul sempurna), Wâshil (orang yang telah sampai di sisi Allah), dan Insan Kamil (manusia sempurna). Martabat Insan Kamil terdapat pada diri Nabi Muhammad SAW (As-Samatrâ‘î dalam Mir‘atul-Muchaqqiqîn A, t.t.:10).
Martabat nama-nama ketuhanan tidak boleh disamakan dengan martabat nama-nama alam semesta seisinya termasuk manusia. Kedua wujud, baik wujud alam semesta maupun Wujud Allah merupakan dua hal yang dipandang sempurna karena yang satu merupakan kesempurnaan Dzât-Nya dan lainnya merupakan kesempurnaan asmâ‘-Nya.
Kesempurnaan Dzât adalah penjelasan tentang tampaknya Allah Ta‘ala atas diri-Nya tanpa membutuhkan yang lain (al-ghinâ‘ul-muthlâq). Dengan demikian, al-ghinâ‘ul-muthlâq merupakan kesaksian Allah Ta‘ala atas diri-Nya, penjelasan tentang ketuhanan, dan keterkaitannya dengan hukum-hukum sehingga Allah Ta‘ala dengan kesaksiannya ini tidak membutuhkan keberadaan alam semesta seisinya secara terperinci. Adapun kesempurnaan asmâ‘ merupakan penjelasan tentang kesaksian Allah Ta‘ala atas diri-Nya dan Dzât-Nya dalam at-ta‘ayyunul-khârijiyyah, yaitu alam semesta seisinya. Kesaksian ini menjadi kesaksian penglihatan secara nyata (‘yâniyyan ‘ainiyyan wujûdiyyan) (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:3-4).
Sesungguhnya, alam semesta seisinya, termasuk manusia, merupakan pertunjukan dan yang dipertunjukkan adalah Allah Ta‘ala. Dengan pertunjukan itulah, manusia dapat mengenal dan mengetahui Allah melalui dirinya dan terpusat dalam hatinya. Untuk itu, semakin jernih dan bening hati seseorang, maka ia semakin jelas mengenal dan melihat Tuhan dan pada gilirannya ia akan dapat merasakan bersatu dengan-Nya (Wachdatul-Wujûd).
Untuk dapat merasa bersatu dengan Tuhan, manusia memerlukan dua pendekatan, yaitu pendekatan wajib (qurbul-farâ‘id) dan pendekatan sunat (qurbun-nawâfil). Qurbul-farâ‘id (kedekatan berbagai amalan wajib) adalah hilangnya perasaan terhadap seluruh maujûdât sampai dengan dirinya sendiri dan hal ini tetap dalam pandangan Wujud Allah Yang Maha Benar. Artinya, sang hamba melakukan amalan-amalan ibadah wajib untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta‘ala. Adapun qurbun-nawâfil (kedekatan berbagai amalan ibadah sunat) adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan dan munculnya sifat-sifat ketuhanan. Artinya, sang hamba melakukan amalan-amalan ibadah sunat untuk mencapai kedekatan dengan Allah Ta‘ala. Dengan amalan-amalan tersebut, sang hamba dapat mendengar dan melihat sesuatu tidak dari telinga dan mata saja. Selain itu, ia juga dapat mendengar dan melihat sesuatu dari jauh. Semuanya ini merupakan buah dari qurbun-nawâfil. Dengan dua pendekatan sebagaimana dikemukakan di atas, sang hamba dapat menyatu dengan Allah Ta‘ala atau Wachdatul-Wujûd (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:5-7; Armstrong, 1996:231-232).
Pengertian Wachdatul-Wujûd (kesatuan wujud) ada tiga tingkatan. Pertama, Wachdatul-Wujûd berarti sang hamba mengetahui bahwa Allah Ta‘ala adalah hakikat seluruh makhluk. Akan tetapi, ia tidak menyaksikan Allah dalam ciptaan-Nya. Kedua, Wachdatul-Wujûd berarti dapat menyaksikan Allah Ta‘ala melalui makhluk-Nya dengan kesaksian hati. Tingkatan ini lebih tinggi daripada tingkatan yang pertama. Ketiga, Wachdatul-Wujûd berarti sang hamba menyaksikan Allah Ta‘ala pada makhluk-Nya dan menyaksikan makhluk pada Allah Ta‘ala. Dengan demikian, antara keduanya tidak ada perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Tingkatan ini lebih utama dan lebih tinggi daripada tingkatan yang pertama dan kedua. Selain itu, tingkatan ini merupakan tingkatan pada nabi, pada wali, dan orang-orang yang mengikuti ajaran mereka, yaitu para shâlichîn (orang-orang yang berbuat baik atau shaleh). Menurut tingkatan yang ketiga ini dikemukakan bahwa semua makhluk dilihat dari segi hakikatnya adalah Allah Ta‘ala, sedangkan dilihat dari segi ta‘ayyunnya bukan Allah. Untuk memahami pernyataan ini dapat diibaratkan seperti gelombang laut, ombak, dan saljunya. Gelombang laut, ombak, dan saljunya dilihat dari segi hakikatnya adalah air, sedangkan dilihat dari segi ta‘ayyunnya bukan air. Untuk memperkuat pendapat tentang tingkatan Wachdatul-Wujûd yang ketiga ini dikutip ayat-ayat Alquran dan Hadis-hadis nabi Muhammad SAW. Ayat Alquran yang dimaksud antara lain di dalam Q.S. Qaf ayat 16 berbunyi: wa nachnu aqrabu ilaihi min chablil-warîd. Artinya, “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. Sementara itu, Hadis Nabi yang dimaksud antara lain berbunyi: idzâ qâma ilash-shalâti fa innamâ yunâji rabbahu, fa inna rabbahu bainahu wa baina qalbihi. Artinya, “apabila seseorang mendirikan shalat, maka sesungguhnya ia sedang mengharap kepada Allah. Jarak antara ia dengan Allah seperti ia dengan hatinya sendiri” (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:7-8).
Dari tiga tingkatan Wachdatul-Wujûd di atas dapat dikemukakan bahwa apabila seseorang ingin sampai dan bertemu dengan Allah Ta‘ala hendaknya mengikuti nabi Muhammad SAW, baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin dan kemudian berusaha sekuat tenaga untuk memahami Wachdatul-Wujûd. Selain itu, cara untuk mendekatkan diri pada Allah Ta‘ala adalah dengan menghilangkan ego yang ada pada diri masing-masing (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:8-9).
6. Kesimpulan
Manusia diciptakan oleh Allah tidak lain hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam rangka pengabdiannya kepada Allah sudah barang tentu tidak terlepas dari pengetahuan tentang keber-Ada-an dan ke-Ada-an Allah itu sendiri. oleh karena itu, manusia perlu mengenal Allah sedekat mungkin agar pengabdiannya mendapatkan hasil yang baik di sisi-Nya. Banyak orang yang bertahun-tahun telah mengabdi dengan melaksanakan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, tetapi karena ia belum mengenal Allah dalam pengertian yang lebih terarah, pengabdiannya belum mendapatkan hasil yang baik.
Mengenal Allah merupakan jalan terbaik agar manusia dapat bertemu dengan-Nya sedekat mungkin. Cara mengenal Allah yang terarah dan sistematis salah satu di antaranya adalah melalui konsep Martabat Tujuh. Namun, perlu diketahui bahwa untuk memahami konsep Martabat Tujuh, manusia terlebih dahulu harus menempuh empat tanjakan, yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Syariat merupakan peraturan-peraturan Allah yang bersumber pada Alquran dan Hadis. Menurut kalangan sufi, syariat merupakan amal ibadah lahir, baik mengenal hubungan antara manusia dengan manusia lainnya (chablun minas-nâs) maupun hubungan antara manusia dengan Tuhannya (chablun minal-Lâh). Tarikat merupakan pelaksanaan peraturan-peraturan Allah yang bersumber pada Alquran dan hadis. Orang yang dapat menjalankan syariat secara kontinyu akan mendapatkan karunia dari Allah sehingga ia dapat melihat-Nya dengan matahati yang ada di dalam sanubarinya. Hakikat merupakan tujuan pokok agar sampai pada Allah dengan keyakinan akal, kehendak, angan-angan, dan jiwanya. Adapun makrifat adalah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, baik Af‘âl (Perbuatan-Perbuatan, Asmâ‘ (Nama-Nama), Sifat-Sifaf, maupun Dzât-Nya.
Daftar Pustaka
Al-Burhanpuri, Muhammad Fadhlullah. t.t. At-Tuchfatul-Mursalah ilâ Rchin NabîShallal-Lâhu ‘Alaihi wa Sallam A. 9 halaman. Naskah Koleksi Pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum. Peuniti, Banda Aceh.
—————— t.t. At-Tuchfatul-Mursalah ilâ Rûchin- NabîShallal-L âhu ‘Alaihi wa Sallam B. 39 halaman. Naskah Koleksi Pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum. Peuniti, Banda Aceh.
Armstrong, Amatullah. 1996. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf diterjemahkan oleh M.S. Nashrullah dan Ahmad Baiquni dari judul asli Sufi Terminilogy (Al-Qamus Al-Sufi) The Mystical Language of Islam. Cetakan I Mizan, Bandung.
As-Samatrâ‘î, Syamsuddin.t.t. Mir‘atul-Muchaqqiqîn A. 18 halaman. Naskah Koleksi Filologika Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
——————. t.t. Mir‘atul-Muchaqqiqîn B. Naskah Berbahasa Arab 20 halaman. Naskah Koleksi Filologika Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
Chamamah Soeratno, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain Analisis Resepsi. Balai Pustaka, Jakarta.
Churchil, W.A. 1965. Watermark in Paper in Holland, England, France, Etc. in The XVII and XVIII Centuries and Their Interconnection. Menno Hertz-berger & Coo, Amsterdam.
Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi” dalam Bahasa, dan Sastra. Tahun III Nomor 1 halaman 20-33.
Fansuri, Hamzah.t.t.Syarabul-‘Asyiqîn. 25 halaman. Naskah Koleksi Filologika Museum Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
Hadi W.M., Abdul.. 1995. Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. Mizan, Bandung.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading A Theory of Aesthetic Response. The John Hopkins Press Ltd., London.
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. University of minnesota Press, Minneapolis.
Johns, A.H. 1966. The Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Published by The Australian National University, Camberra.
Nasution, Harun. 1983. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang, Jakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Penerapannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra, Tahun IV Nomor 6.
Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Text. The Peter de Ridder Press, Lisse. Teeuw, Andries. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya, Jakarta.
Yusri, Hasan. 1986. Rahasia dari Sudut Tasawuf (Jalan bagi Hamba Allah). Cetakan I Bina Ilmu, Surabaya.
Sangidu Doktor, Magister Humaniora, Staf Pengajar Jurusan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber : Humaniora Volume XIV, No. 1/2002