Kesaktian Sang Kaki More

Oleh : Samuel Oktora

Setiap kali hendak makan, Kaki More tak mau jika air minumnya air putih. Dia hanya mau makan jika minumannya berupa tuak pilihan. Warga setempat menyebut tuak pilihan atau unggulan itu moke jengi jila, tuak yang jika dibakar akan menyala.

Jadi, tuak unggulan itu seperti spiritus, cairan alkohol yang mudah terbakar. Sebelum makan, Kaki More terlebih dahulu mencium tuak yang disuguhkan. Jika bukan tuak pilihan, dia tak mau menyentuh makanan yang dihidangkan. Demikianlah kebiasaan Kaki More.

Siang itu hawa terasa agak panas, namun langit mendung. Sesekali terdengar kicauan burung kecil yang melintas di atas tempat persemayaman jenazah Kaki More di Dusun Wolondopo. Kampung di lereng bukit dalam wilayah Desa Nuaone, Kecamatan Detusoko, itu jaraknya sekitar 45 kilometer timur Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Saat itu sejumlah rumah adat yang beratapkan alang-alang dan berdinding kayu lokal di dusun tersebut tampak senyap. Tak satu pun penghuninya terlihat. Rupanya warga, terutama laki-laki, banyak yang sedang pergi ke ladang atau kebun.

Di sudut lain, sejumlah gadis dan ibu muda terlihat menyuapi anaknya yang masih berusia di bawah lima tahun. Mereka berkumpul sambil mengobrol di depan salah satu rumah dekat bale. Bale merupakan tempat menyimpan jenazah khusus orang-orang ternama atau pembesar yang telah meninggal.

Di bale itulah, rumah mungil berukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter yang beratapkan seng, disemayamkan jenazah Kaki More. Bentuk bale ini bak rumah panggung dengan dinding dan lantai sepenuhnya terbuat dari kayu.

Sang tokoh dahulu adalah seorang mosalaki, tetua adat ternama di dusun tersebut. Jenazah Kaki More disemayamkan dalam bale itu sejak tahun 1953.

Kompas bersama Sekretaris Camat Detusoko, Dionisius Raja, dan staf kecamatan yang total rombongan berjumlah lima orang tiba di dusun yang terletak di kaki Gunung Lepembusu itu akhir Januari lalu. Rombongan dipandu Paulus Modho (72), mosalaki penerus atau cucu dari garis keturunan Kaki More.

Segala urusan adat, terutama yang menyangkut jenazah Kaki More, berada dalam kewenangan Paulus Modho.

Salah seorang penerus Modho, Tobias Seda, yang juga staf Kecamatan Detusoko, turut pula bersama Kompas.

"Sebelum melihat mumi Kaki More, terlebih dahulu harus meminta izin dengan menyajikan sirih pinang, arak, sebungkus rokok, dan juga daging ayam kurban. Sesudah itu, untuk menghormati Kaki More, pengunjung perlu memberikan tanda ucapan terima kasih dengan mengisi tenong (semacam kotak amal yang terbuat dari anyaman daun lontar) secara sukarela. Boleh percaya atau tidak, kalau tak direstui atau bukan jodoh, pengunjung yang datang dan mengambil gambar Kaki More hasilnya rusak. Dulu pernah ada turis dari Jepang yang berkali-kali mencoba memotret, tapi tak berhasil," kata Paulus Modho.

Sebelum masuk ke dalam bale, di rumah adat, Modho mempersiapkan sesaji yang diperlukan. Sebotol tuak turut dibawanya. Laki-laki yang sudah berusia senja itu lebih dahulu masuk ke dalam bale untuk berdoa. Setelah itu, Modho membagikansirih pinang, tuak, dan rokok di dekat peti jenazah.

Di dalam bale terdapat dua peti dan satu kotak yang ukurannya lebih kecil dari peti. Satu peti yang berukuran sekitar 0,5 meter x 1,5 meter berisi jenazah Kaki More. Peti lainnya dengan ukuran serupa berisi tulang-tulang tetua adat yang lain, Wewa Jara. Satu kotak kecil lagi berisi tulang-tulang tetua adat bernama Renge Nunu.

Dibantu tiga warga setempat, Modho menurunkan peti Kaki More yang diletakkan di bagian atas bale. Peti diletakkan di atas topangan papan kayu. Peti Kaki More yang sekarang berwarna hijau muda dengan ukiran khas adat itu merupakan peti pelapis atau penguat karena peti lama yang terbuat dari kayu pohon kemiri sudah keropos. Jenazah dalam peti kayu kemiri tersebut langsung dilapis atau dimasukkan ke dalam peti baru dari bahan lokal, kayu oja.

Bagian penutup peti tak semuanya terbuat dari kayu. Sebagian diberi kaca sehingga jenazah Kaki More, dari bagian dada hingga kepala, bisa dilihat dari luar. Jenazah Kaki More tampak mengenakan destar, dengan badan ditutup kain tenun ikat panjang. Selain itu, ada selempang yang terbuat dari kain tenun ikat.

Jenazah Kaki More yang sudah dalam bentuk mumi itu masih terbungkus kulit meski sudah mengering dan susut dengan kulit berwarna coklat tua. Boleh dibilang kulit masih utuh.

Bagian hidung mumi Kaki More tampak berongga. Konon hal itu akibat digigit tikus, tak lama setelah ia disemayamkan.

Jenazah Kaki More dalam posisi berbaring miring atau kepala menghadap ke samping peti. Kedua kakinya menekuk ke atas dan kedua tangan bertumpu di dada.

Tak Diberi Pengawet
Menurut Modho, mumi Kaki More tak pernah diberi obat atau bahan pengawet. Bahkan sejak awal pihak keluarga tak ada niat untuk mengawetkan jenazah Kaki More.

Dari catatan keluarga yang dibuat Modho, diperkirakan Kaki More dilahirkan pada tahun 1868. Kaki More yang dulu menjabat sebagai hakim adat di Wolondopo wafat pada tahun 1948 atau saat berusia 80 tahun. Dengan demikian, usia mumi Kaki More tahun ini 59 tahun. Pihak keluarga dan masyarakat setempat di kampung tua itu meyakini, melihat kondisi muminya itu, Kaki More merupakan sosok yang semasa hidupnya amat jujur, pemberani, dan sakti.

"Kami tak menguburkan jenazahnya karena permintaan Kaki More sendiri bahwa jika meninggal jenazahnya jangan dikubur dalam tanah. Hingga keajaiban terjadi pada tahun 1953 dan diperkuat lagi pada tahun 1973 yang membuat kami semakin yakin bahwa amanat terakhir Kaki More harus dijalankan," ungkap Modho, laki-laki pensiunan pegawai negeri sipil yang terakhir sebagai Kepala SD Katolik Wolondopo II itu.

Ia menambahkan, pada tahun 1953 terjadi angin kencang yang menimbulkan kerusakan berat di Dusun Wolondopo. Ketika itu, peti Kaki More diletakkan di ujung kampung di dekat pohon beringin bersama peti kepala kampung, Pani Gebo.

Pohon beringin tersebut tumbang diterpa angin dan menimpa kedua peti itu hingga hancur berantakan. Akan tetapi, jenazah Kaki More yang sudah tanpa busana ternyata ditemukan masih dalam keadaan utuh. Jasadnya tergeletak di atas pohon beringin yang tumbang. Sejak saat itu jenazah Kaki More diletakkan dalam peti yang disimpan di bale.

Pada tahun 1973, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende, H Kanalebe, meninjau Dusun Wolondopo untuk melihat secara langsung jenazah Kaki More. Saat itu santer terdengar desas-desus ada mumi di Wolondopo. "Begitu peti dibuka, kami sendiri tak menyangka jenazah Kaki More masih utuh. Sejak saat itu informasi keberadaan mumi Kaki More makin meluas. Begitu pula ketika terjadi gempa di Flores tahun 1992. Banyak bangunan rusak, termasuk dua tiang penyangga bale roboh, tetapi jenazah Kaki More 85 persen utuh. Tak ada kerusakan berarti. Hanya sendi pada lutut mengalami retak," ujar Modho.

Melawan penjajah Belanda
Semasa hidupnya, Kaki More menjabat sebagai mosalaki yang mengemban tanggung jawab untuk urusan ke luar maupun ke dalam Dusun Wolondopo, serta dusun tetangga di Wolojita. Selain itu, Kaki More juga berjuang melawan penjajah Belanda.

Kaki More memegang peran penting dalam melawan Belanda, yaitu sebagai intelijen untuk Mari Longa, yakni pahlawan kemerdekaan dari Desa Watunggere, kawasan Lio Utara, Ende.

Dalam buku berjudul Sejarah Kota Ende (2006) terbitan Pustaka Larasan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende disebutkan, perlawanan Mari Longa terhadap pasukan Belanda berlangsung tahun 1893-1907. Mari Longa gugur di medan pertempuran yang terjadi di Benteng Watunggere tahun 1907, setelah terkena pukulan popor senjata Letnan Jeffry.

Namun, Belanda yang mulai masuk ke Ende sekitar tahun 1864 sering kesulitan menembus benteng pertahanan Mari Longa karena peran Kaki More.

Kaki More bersama Mari Longa disebutkan tak mau tunduk dan membayar pajak kepada Belanda. Keduanya juga begitu gigih mempertahankan kedaulatan adat istiadat yang sudah diwariskan berabad-abad.

"Hingga suatu saat Belanda mencoba menyuap Kaki More dengan memberikan iming-iming uang logam penuh sekaleng besar. Belanda meminta Kaki More tak bekerja lagi untuk Mari Longa. Belanda juga meminta Kaki More membuat jalan tembus dari Ekoleta menuju benteng pertahanan Mari Longa di Kecamatan Detukeli. Tapi, keinginan Belanda itu ditolak. Belanda marah besar dan mencoba membakar rambut, kumis, dan bulu mata Kaki More dengan menggunakan kayu api. Tapi, anehnya Kaki More tak terbakar, malah dia melawan dan mengusir Belanda," ujar Modho.

Sumber : Kompas