Calon pengantin Banjar di Kalimantan Selatan memiliki tradisi mandi uap yang disebut Batimung. Tradisi yang diwariskan turun-temurun ini untuk mengeluarkan keringat demi kesehatan.
Oleh: M Syaifullah
Meski sangat sederhana dan tradisional, perawatan tubuh ala sauna dan spa sudah lama dilakukan, dan menjadi warisan turun temurun masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
Batimung atau timung. Begitulah warga Banjar menyebut perawatan tubuh dengan mandi uap nan kaya aroma tersebut. Mandi seperti itu menjadi keharusan bagi pasangan yang akan melangsungkan pesta pernikahan. Dengan batimung, pengantin tampil segar dan tubuh menebarkan keharuman selama bersanding. Bahkan, keharuman tubuh bisa bertahan beberapa hari setelah pesta.
Upacara Batimung, dijumpai di Kampung Pamakuan Hilir, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, akhir pekan ketiga Januari lalu. Tradisi itu dijalani Kamsiah dan abangnya, Hamsani.
Keduanya melangsungkan perkawinan serentak. Kamsiah akan bersanding dengan Arbain Muchtar, sedangkan Hamsani dengan Siti Radiah. "Sebelum kami batatai (bersanding), Batimung dilaksanakan dua-tiga kali pada malam hari," kata Hamsani.
Beberapa ibu di kampung tepian Sungai Martapura itu ikut menyiapkan berbagai rempah, seperti daun serai wangi, limau (jeruk) purut, kunyit, pandan, temulawak, laos (lengkuas), serta bunga mawar, kenanga, cempaka, dan melati. Selain itu, juga disediakan beberapa jenis akar-akaran. Semua bahan direbus dalam satu panci.
Begitu manggurak (matang), panci berisi jajarangan (masakan) rempah timung tersebut diletakkan di hadapan Kamsiah. Mempelai putri itu duduk di bangku kecil. Tubuh Kamsiah dibalut dengan kain batik panjang, tapih bahalai, setinggi ketiak. Sebagian badan dan wajahnya dilumuri pupur (bedak) basah.
Batimung dimulai tatkala panimungan (perempuan tukang timung), membungkus sekujur badan Kamsiah dengan tikar purun. Hanya kepala sang mempelai yang ada di luar gulungan tikar pandan tersebut.
Panci berisi air rempah-rempah yang masih mendidih pun disorongkan ke dalam "mantel" tikar. Tikar dilapis lagi dengan beberapa tapih bahalai sehingga uap timung tidak keluar.
Beberapa saat Kamsiah bercucur keringat. Panimungan membantu membersihkan peluh di kepala dan wajahnya. "Begitu seluruh keringat keluar, badan terasa segar," kata Kamsiah menceritakan pengalamannya.
Selesai bersauna, badan Kamsiah diseka dengan handuk halus. Proses batimung diulang dua kali, sesuai dengan kesanggupan tubuh si gadis menahan uap panas yang keluar dari panci. "Sekarang tubuh saya sudah harum dan tidak lagi bau keringat," tuturnya.
Di Pamakuan, batimung hanya umum dijalani oleh mereka yang hendak atau sudah menikah. "Anak-anak, remaja yang masih bujangan, nyaris tak pernah menjalaninya," papar Burhanuddin, tokoh masyarakat Pamakuan.
Di daerah lain, batimung juga digunakan sebagai terapi. Bahan rebusannya adalah ramuan obat-obatan tradisional. Tujuanya sama, selain untuk mengeluarkan keringat, asap ramuan obat-obatan diyakini masuk ke dalam tubuh untuk menyembuhkan penyakit.
Rias wajah
Para mempelai yang usai ber-batimung merias diri dan mandi. Kamsiah dan Hamsani tidak melakukannya di salon, cukup mengundang Isal, perias di kampung tersebut. Sebelum merias, Isal menyalakan dupa, menyediakan kelapa muda, ketan, dan beras kasih.
"Saya tidak berani merias kalau barang-barang itu tidak disediakan, sebab khawatir terjadi gangguan seperti badan tiba-tiba lemah," ujar Isal.
Sesaji yang sama juga harus diletakkan di bawah balai atau tempat pengantin bersanding. Selain itu, juga disediakan piduduk (sesaji) untuk dimakan bersama seperti nasi lemak dan inti, gula merah, kue-kue, kacang hijau goreng, pisang, ubi, bubur putih dan merah, rokok, minyak lekat baburih, dan air tepung tawar.
"Ini tidak melanggar ajaran agama karena tidak digunakan untuk sesembahan," kata Burhanuddin.
Piduduk biasanya disertakan saat upacara mandi pengantin. Kegiatan mandinya sendiri dilaksanakan di dalam pagar mayang, yakni bilik yang dibuat pada pelataran rumah yang dibatasi empat batang tebu berhias aneka kembang. Pada batang-batang tebu juga digantungkan beberapa kue.
Saat turun ke pagar mayang, pengantin ditaburi beras kuning sambil membaca salawat, puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw. Pengantin kemudian duduk di kursi di tengah pagar mayang. Di sejumlah daerah lain di Kalimantan Selatan, upacara ini disebut badudus atau bapapai.
Badudus ditangani oleh perempuan tua dengan membasahi kepala pengantin secara perlahan-lahan dengan mayang pinang, daun kambat, dan halin juang sebanyak tiga kali. Air kembang pun disiramkan setelah dibacakan surat Yasin, surat ke-36 pada Kitab Suci Al Quran.
Kegiatan terakhir dari prosesi itu adalah batumbang. Pada tahap ini, warga yang hadir berebut batang tebu dan kue-kuenya.
Ritual mandi seperti itu juga dilakukan terhadap calon ibu yang hamil untuk kali pertama. Prosesinya disebut mandi baya.
"Kalau mau lihat tradisi mandi baya, boleh datang lagi nanti," ujar Kamsiah yang bersiap-siap berpakaian pengantin untuk batatai dan menyambut kedatangan para tamu di hari bahagia.
Sumber: Kompas
Oleh: M Syaifullah
Meski sangat sederhana dan tradisional, perawatan tubuh ala sauna dan spa sudah lama dilakukan, dan menjadi warisan turun temurun masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
Batimung atau timung. Begitulah warga Banjar menyebut perawatan tubuh dengan mandi uap nan kaya aroma tersebut. Mandi seperti itu menjadi keharusan bagi pasangan yang akan melangsungkan pesta pernikahan. Dengan batimung, pengantin tampil segar dan tubuh menebarkan keharuman selama bersanding. Bahkan, keharuman tubuh bisa bertahan beberapa hari setelah pesta.
Upacara Batimung, dijumpai di Kampung Pamakuan Hilir, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, akhir pekan ketiga Januari lalu. Tradisi itu dijalani Kamsiah dan abangnya, Hamsani.
Keduanya melangsungkan perkawinan serentak. Kamsiah akan bersanding dengan Arbain Muchtar, sedangkan Hamsani dengan Siti Radiah. "Sebelum kami batatai (bersanding), Batimung dilaksanakan dua-tiga kali pada malam hari," kata Hamsani.
Beberapa ibu di kampung tepian Sungai Martapura itu ikut menyiapkan berbagai rempah, seperti daun serai wangi, limau (jeruk) purut, kunyit, pandan, temulawak, laos (lengkuas), serta bunga mawar, kenanga, cempaka, dan melati. Selain itu, juga disediakan beberapa jenis akar-akaran. Semua bahan direbus dalam satu panci.
Begitu manggurak (matang), panci berisi jajarangan (masakan) rempah timung tersebut diletakkan di hadapan Kamsiah. Mempelai putri itu duduk di bangku kecil. Tubuh Kamsiah dibalut dengan kain batik panjang, tapih bahalai, setinggi ketiak. Sebagian badan dan wajahnya dilumuri pupur (bedak) basah.
Batimung dimulai tatkala panimungan (perempuan tukang timung), membungkus sekujur badan Kamsiah dengan tikar purun. Hanya kepala sang mempelai yang ada di luar gulungan tikar pandan tersebut.
Panci berisi air rempah-rempah yang masih mendidih pun disorongkan ke dalam "mantel" tikar. Tikar dilapis lagi dengan beberapa tapih bahalai sehingga uap timung tidak keluar.
Beberapa saat Kamsiah bercucur keringat. Panimungan membantu membersihkan peluh di kepala dan wajahnya. "Begitu seluruh keringat keluar, badan terasa segar," kata Kamsiah menceritakan pengalamannya.
Selesai bersauna, badan Kamsiah diseka dengan handuk halus. Proses batimung diulang dua kali, sesuai dengan kesanggupan tubuh si gadis menahan uap panas yang keluar dari panci. "Sekarang tubuh saya sudah harum dan tidak lagi bau keringat," tuturnya.
Di Pamakuan, batimung hanya umum dijalani oleh mereka yang hendak atau sudah menikah. "Anak-anak, remaja yang masih bujangan, nyaris tak pernah menjalaninya," papar Burhanuddin, tokoh masyarakat Pamakuan.
Di daerah lain, batimung juga digunakan sebagai terapi. Bahan rebusannya adalah ramuan obat-obatan tradisional. Tujuanya sama, selain untuk mengeluarkan keringat, asap ramuan obat-obatan diyakini masuk ke dalam tubuh untuk menyembuhkan penyakit.
Rias wajah
Para mempelai yang usai ber-batimung merias diri dan mandi. Kamsiah dan Hamsani tidak melakukannya di salon, cukup mengundang Isal, perias di kampung tersebut. Sebelum merias, Isal menyalakan dupa, menyediakan kelapa muda, ketan, dan beras kasih.
"Saya tidak berani merias kalau barang-barang itu tidak disediakan, sebab khawatir terjadi gangguan seperti badan tiba-tiba lemah," ujar Isal.
Sesaji yang sama juga harus diletakkan di bawah balai atau tempat pengantin bersanding. Selain itu, juga disediakan piduduk (sesaji) untuk dimakan bersama seperti nasi lemak dan inti, gula merah, kue-kue, kacang hijau goreng, pisang, ubi, bubur putih dan merah, rokok, minyak lekat baburih, dan air tepung tawar.
"Ini tidak melanggar ajaran agama karena tidak digunakan untuk sesembahan," kata Burhanuddin.
Piduduk biasanya disertakan saat upacara mandi pengantin. Kegiatan mandinya sendiri dilaksanakan di dalam pagar mayang, yakni bilik yang dibuat pada pelataran rumah yang dibatasi empat batang tebu berhias aneka kembang. Pada batang-batang tebu juga digantungkan beberapa kue.
Saat turun ke pagar mayang, pengantin ditaburi beras kuning sambil membaca salawat, puji-pujian kepada Nabi Muhammad Saw. Pengantin kemudian duduk di kursi di tengah pagar mayang. Di sejumlah daerah lain di Kalimantan Selatan, upacara ini disebut badudus atau bapapai.
Badudus ditangani oleh perempuan tua dengan membasahi kepala pengantin secara perlahan-lahan dengan mayang pinang, daun kambat, dan halin juang sebanyak tiga kali. Air kembang pun disiramkan setelah dibacakan surat Yasin, surat ke-36 pada Kitab Suci Al Quran.
Kegiatan terakhir dari prosesi itu adalah batumbang. Pada tahap ini, warga yang hadir berebut batang tebu dan kue-kuenya.
Ritual mandi seperti itu juga dilakukan terhadap calon ibu yang hamil untuk kali pertama. Prosesinya disebut mandi baya.
"Kalau mau lihat tradisi mandi baya, boleh datang lagi nanti," ujar Kamsiah yang bersiap-siap berpakaian pengantin untuk batatai dan menyambut kedatangan para tamu di hari bahagia.
Sumber: Kompas