Bahasa Simbol Kre Alang dan Kre Polak

Seperti etnis lain di Nusantara umumnya, perempuan suku Samawa, di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), juga memiliki keterampilan menenun kain songket yang didapat secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.

Saking lekatnya tradisi menenun —termasuk menyulam dan menjahit— di Tana Samawa menjadikan keterampilan itu sebagai jati diri kaum perempuan.

Itu tergambar dari ungkapan lokal lamin no to nesek, siong tau swai, artinya bila tidak bisa menenun, bukanlah perempuan. Ungkapan itu sekaligus membedakan tugas kaum lelaki di sana seperti menggembala ternak, membajak sawah, dan lainnya.

Belum ada catatan yang jelas kapan tradisi menenun di Sumbawa dimulai. Dari telusur pustaka disebutkan, tradisi nesek adalah denyut nadi keseharian kaum wanita Sumbawa pada zaman kesultanan, mulai dari Sultan Harunnurrasjid I (1674-1702) hingga Sultan Muhammad Kaharudin III (1931-1958).

Malah, H Zolinger, penulis berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi Sumbawa tahun 1847, menggambarkan secara ringkas busana orang Sumbawa.

Pada periode kesultanan itu diceritakan hampir semua gadis Sumbawa pandai menenun teknik palekat maupun songket. Kain-kain itu terbuat dari katun dan sutra, dikombinasikan dengan benang perak dan emas.

Kerajinan itu kian berkembang, apalagi sebelum Perang Dunia II, saat para gadis Sumbawa dipingit dan praktis bekerja di rumah, seperti menenun, menyulam, dan menjahit.

Produk tenun songket yang dihasilkan saat itu dan kini menjadi motif khas, seperti kre alang (kre = kain, alang = loteng yang melengkapi rumah panggung). Kre alang itu kemudian digunakan sebagai busana adat maupun prosesi adat.

Ada pula kain tenun kre polak desa (polak = sebagian atau separuh, desa = wilayah desa). Tenunan itu bahannya dikumpulkan dari sumbangsih warga desa.

Selesai ditenun, kain itu tidak dijual, tetapi dijadikan media pengobatan bagi anak balita (usia di bawah lima tahun) yang menderita penyakit tertentu.

Kalau mau diartikan, kain tenun Sumbawa bukanlah sekadar membuat motif dan ornamen, kata Dinullah Rayes, pemerhati budaya Samawa, tetapi memiliki filosofi yang punya hubungan timbal balik dengan pola kehidupan agraris warganya, kondisi alam dan lingkungan, representasi bentuk-bentuk kekerabatan dan kebersamaan dalam kehidupan komunal mereka.

Hanya saja pesan-pesan budaya itu kini jarang dipahami sebab kebanyakan penenun lebih berorientasi pada nilai ekonomis ataupun keinginan pasar.

Terlebih lagi, dengan alat tenun tradisional, selembar kain songket kre alang baru bisa selesai ditenun satu bulan, terhitung sejak mengumpulkan bahan-bahan tenunan.

Penenun menjualnya Rp 500.000-Rp 750.000 per lembar. Sentra kerajinan kre alang terdapat di Desa Poto, Kecamatan Moyo Hulur, sekitar 8 kilometer dari Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa.

Lepas dari tuntutan ekonomis itu, kre alang memiliki makna yang disimbolkan pada ornamennya yang padat (empat-lima motif per lembar kain).

Ada garis diagonal membentuk belah ketupat, sulur daun/bunga, garis simetris, burung merak, perahu, pohon hayat, garis zig-zag, figur ayam jantan, dan burung merak antara lain menghiasi bagian tepi dan tengah bidang tenunan.

Dari sekian banyak motif, beberapa di antaranya yang populer seperti motif cepa (bunga bersudut delapan) yang mirip motif unggusuwaru yang umumnya dipakai kalangan Kesultanan Bima. Kata Aris Zulkarnaen, pemerhati budaya Samawa, bunga dengan delapan sudut itu simbol dari sifat pemimpin dalam konsep Astabrata (Hindu).

Ada juga kemang setange (bunga setangkai), lonto engal, pusuk rebong, gelampok (tampuk buah manggis), pio (burung), kayu (pohon hayat), ular naga, slimpat (jalinan), dan lainnya.

Lonto engal adalah tanaman merambat yang buahnya berada di dalam tanah. Itu oleh Dinullah maupun Aris digambarkan sebagai sosok pekerja keras, menghindari sanjungan dan formalitas, atau lebih banyak bekerja ketimbang bicara. Ibarat penyu, yang diam-diam datang ke tempat sunyi untuk bertelur kemudian pergi mengembara meninggalkan telurnya.

Kemudian motif kapal atau perahu mungkin merupakan simbol keabadian hubungan manusia dengan Tuhan.

Sementara figur ayam jantan lewat kokoknya dikiaskan sebagai penunjuk waktu (siang-malam). Sekaligus mengingatkan manusia tentang dinamika hidup dan tanggung jawab, yang ditunjukkan ayam betina yang selalu mengajak anak-anaknya mencari dan mengais makanan.

Warna merah, coklat, dan hitam yang merupakan warna dominan songket kre alang juga sebuah simbol. Warna hitam menunjuk simbol keabadian dan kebenaran. Warna merah bisa diartikan berani berbuat apa pun demi membela kebenaran.

Jika mau disimpulkan, ragam hias dalam kain songket kre alang akhirnya menunjuk pada pranata hidup dan kehidupan yang harmoni. Adanya hubungan antara manusia dan Tuhan serta antara sesama manusia dan alam.

Manusia haruslah sadar bahwa suatu saat akan kembali kepada Sang Pencipta. Karena itu, jagad raya sebagai karunia Ilahi adalah "perantara" untuk dimanfaatkan dalam kehidupan sosial yang menuntut adanya keserasian, keselarasan, dan saling hormat-menghormati sesama.

Pesan itu, seperti dikatakan Dinullah, termuat dalam ujar-ujaran sai sati nyaman mate, laga murembit sembayang, lema nyaman nyawa lalo (roh manusia akan keluar dengan mulus dari badan (sakaratulmaut), haruslah taat mengerjakan solat secara benar).
Sikap kodrati manusia seperti solidaritas sosial dan kebersamaan itu misalnya, mulai dibentuk sejak usia dini.

Mungkin pesan-pesan itu diwujudkan dalam tradisi kre polak desa. Kain tenun yang umunya berornamen garis lurus, tumpal (segi tiga), empat persegi dipakai sebagai selimut bagi balita yang menderita penyakit tertentu.

Arti simboliknya mungkin, dalam usia balita, anak perlu perlindungan yang cukup dari orang tua/keluarga, agar dalam tumbuh-kembangnya menjadi dewasa terhindar dari gangguan penyakit fisik maupun godaan duniawi dan pengaruh realitas sosial di lingkungannya.

Atau bisa juga diterjemahkan, bahwa bentuk segi tiga dalam ornamen kre alang, adalah simbol dari daur hidup manusia: lahir, hidup dan mati.

Begitu pun bentuk segi empat adalah simbol asal mula manusia dari air, tanah, api dan angin.
Kecenderungan ekonomis yang menyertai tradisi menenun agaknya tidak bisa dihindari, karena tuntutan zaman kini jauh berbeda dengan masa lampau. Namun, agar penenun tidak sekadar menjadi mesin ekonomi, "kami kalangan orangtua mencoba memberikan makna ornamen dan motif dalam kain tenun," ujar Aris Zulkarnain.

Menerjemahkan bahasa simbol pada salah satu pusaka leluhur Samawa itu agaknya diperlukan, untuk memperkuat jati diri sebagai bagian dari puak di Nusantara ini.

Dan percaya atau tidak, ia juga bisa menjadi "energi" bagi pengrajin dalam proses kreatifnya…

Sumber : www.sumbawanews.com