Oleh Miskudin Taufik
Jangan kaget jika suatu saat berurusan di front office sebuah hotel di Malaysia, karena anda perlu waktu untuk mencerna rangkaian percakapan yang disampaikan petugas.
Walaupun terkesan akrab di telinga, tetapi jangan cepat-cepat menyimpulkan seakan sudah paham, soalnya tidak jarang sepotong kata yang sama bunyinya dengan kata bahasa Indonesia memiliki makna yang jauh berbeda.
"Awak beranak mane," demikianlah sepotong pertanyaan yang lazim dikemukakan petugas resepsionis ketika membantu para tetamu mengisi formulir tamu. Jika mendengar pertanyaan itu, jangan gusar dulu karena yang mereka maksud adalah menyangkut tempat kelahiran anda.
Bagi tetamu iseng yang biasa keluar masuk hotel di Indonesia, kadang-kadang membelalakkan mata pada saat petugas hotel menyajikan pilihan dengan mengemukakan "awak perlu bilik kelamin ape".
Itu tidak ada kaitannya dengan perempuan untuk menemani anda tidur, tetapi maksudnya adalah katagori kamar hotel untuk "suite room" yang biasanya dapat dipergunakan untuk kamar keluarga.
Tapi perbedaan makna kebahasaan yang terkesan aneh itu, juga dapat memancing emosional seseorang yang terbiasa berbahasa Indonesia.
Ini terlihat dalam aktivitas olahraga seperti pertandingan "bola sepak" (sepakbola) yang biasa dipublikasikan media massa Malaysia dengan sepotong kalimat "pasukan bola sepak Indon tewas dibelasah Malaysia". Dalam bahasa kesaharian di Indonesia, kata "tewas" hampir identik dengan meninggal dunia, kemudian kata "Indon" adalah bahasa baku media massa Malaysia untuk menggantikan kata Indonesia. Sedangkan "belasah" merupakan bahasa Melayu dengan makna diinjak-injak, digebuki, atau dianiaya.
Jika menemui kalimat seperti itu dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sehari-hari, hampir dapat dipastikan dapat memancing kemarahan, padahal jika mengikuti maksud kebahasaan Malaysia tidak lebih dengan makna "tim kesebelasan Indonesia kalah telak dari Malaysia".
Tidak mengherankan jika seseorang yang terbiasa berbahasa Indonesia, mengalami kebingungan pada saat membaca surat kabar terbitan Kuala Lumpur yang menggunakan berbahasa Melayu. Mereka memerlukan waktu berbulan-bulan untuk memahami makna sesungguhnya tentang apa yang tersurat, karena kosakata yang sama dengan bahasa Indonesia tetapi memiliki makna yang berbeda.
Seperti kata "biadab" yang biasa dilontarkan dalam canda-gurau sesama warga di Malaysia, bukan berarti suatu makna luar biasa yang dikaitkan dengan perilaku syaitan, tetapi sesungguhnya tidak berbeda dengan "brengsek" dalam tutur bahasa keseharian warga Jakarta.
Begitu juga sering terjadi salah kaprah ketika menemukan kalimat "Kerajaan Malaysia" yang seolah-olah negara Malaysia berdasarkan sistem monarkhi seperti yang dahulu dikenal di Indonesia: Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lainnya di Nusantara yang menganut sistem ketatanegaraan di bawah perintah seorang raja.
Kalimat Kerajaan Malaysia, tidak lebih dari makna "Pemerintah Malaysia".
Ini sama membingungkan bagi warga Malaysia, ketika mereka mendengar atau membaca kalimat "pemerintah Indonesia" yang oleh tafsir bahasa Melayu Malaysia adalah sama dengan "komandan Indonesia", karena pemahaman bahasa Melayu Malaysia "pemerintah" adalah orang yang memberi perintah sebagai terjemahan dari bahasa Inggeris "commander".
Ketika diselenggarakan kegiatan musyawarah kebahasaan oleh Perhimpunan Bahasa Melayu di Johor Bahru, Malaysia, sempat terjadi kebingungan di antara delegasi Indonesia, Brunei, Malaysia dan Singapura ketika diperkenalkan istilah baru "penatar" dari panitia pelaksana.
Kata "penatar" yang lazim difahami di Indonesia adalah "orang yang menatar", di Malaysia dipahami sebagai "peserta penataran", karena mereka sudah memiliki istilah "juru tatar" yang maksudnya adalah orang yang memberikan materi penataran.
Sedangkan bagi delegasi Brunei maupun Singapura sama bingungnya karena dalam kamus bahasa Melayu di kedua Negara belum ditemukan istilah itu.
Untuk memastikan makna sesungguhnya, jangan malu-malu untuk meminta penjelasan cuplikan bahasa keseharian di Malaysia, seperti "bisa" (maksudnya bisa ular dan bukan berarti "dapat" dalam bahasa Indonesia), sup eko (sop buntut), mata kerbau (masakan telor mata sapi), bomoh (dukun), bilik air/tandas (toilet), budak (anak-anak), minda (kecerdasan), sahala (satu arah), rogol (perkosaan), begaduh (berkelahi), beli belah (mall), setrika bumi (alat berat stomwales), kaki tangan (staf), butuh (kemaluan lelaki), lucah (porno) dan banyak lagi.
Di antara banyak kata itu, sering orang Indonesia bercanda dengan menyebut kalimat "rumah sakit korban lelaki" untuk menerjemahkan rumah bersalin atau "hentak-hentak bumi" sebagai pengganti istilah aba-aba didunia militer "jalan ditempat".
Kedua istilah tersebut sama sekali tidak dikenal di Malaysia, begitu pula untuk istilah "rumah sakit" karena mereka lebih pas mengambil istilah "hospital" untuk memelihara warisan Inggris yang pernah menjajah Malaysia.
Sumber : Antara
Jangan kaget jika suatu saat berurusan di front office sebuah hotel di Malaysia, karena anda perlu waktu untuk mencerna rangkaian percakapan yang disampaikan petugas.
Walaupun terkesan akrab di telinga, tetapi jangan cepat-cepat menyimpulkan seakan sudah paham, soalnya tidak jarang sepotong kata yang sama bunyinya dengan kata bahasa Indonesia memiliki makna yang jauh berbeda.
"Awak beranak mane," demikianlah sepotong pertanyaan yang lazim dikemukakan petugas resepsionis ketika membantu para tetamu mengisi formulir tamu. Jika mendengar pertanyaan itu, jangan gusar dulu karena yang mereka maksud adalah menyangkut tempat kelahiran anda.
Bagi tetamu iseng yang biasa keluar masuk hotel di Indonesia, kadang-kadang membelalakkan mata pada saat petugas hotel menyajikan pilihan dengan mengemukakan "awak perlu bilik kelamin ape".
Itu tidak ada kaitannya dengan perempuan untuk menemani anda tidur, tetapi maksudnya adalah katagori kamar hotel untuk "suite room" yang biasanya dapat dipergunakan untuk kamar keluarga.
Tapi perbedaan makna kebahasaan yang terkesan aneh itu, juga dapat memancing emosional seseorang yang terbiasa berbahasa Indonesia.
Ini terlihat dalam aktivitas olahraga seperti pertandingan "bola sepak" (sepakbola) yang biasa dipublikasikan media massa Malaysia dengan sepotong kalimat "pasukan bola sepak Indon tewas dibelasah Malaysia". Dalam bahasa kesaharian di Indonesia, kata "tewas" hampir identik dengan meninggal dunia, kemudian kata "Indon" adalah bahasa baku media massa Malaysia untuk menggantikan kata Indonesia. Sedangkan "belasah" merupakan bahasa Melayu dengan makna diinjak-injak, digebuki, atau dianiaya.
Jika menemui kalimat seperti itu dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sehari-hari, hampir dapat dipastikan dapat memancing kemarahan, padahal jika mengikuti maksud kebahasaan Malaysia tidak lebih dengan makna "tim kesebelasan Indonesia kalah telak dari Malaysia".
Tidak mengherankan jika seseorang yang terbiasa berbahasa Indonesia, mengalami kebingungan pada saat membaca surat kabar terbitan Kuala Lumpur yang menggunakan berbahasa Melayu. Mereka memerlukan waktu berbulan-bulan untuk memahami makna sesungguhnya tentang apa yang tersurat, karena kosakata yang sama dengan bahasa Indonesia tetapi memiliki makna yang berbeda.
Seperti kata "biadab" yang biasa dilontarkan dalam canda-gurau sesama warga di Malaysia, bukan berarti suatu makna luar biasa yang dikaitkan dengan perilaku syaitan, tetapi sesungguhnya tidak berbeda dengan "brengsek" dalam tutur bahasa keseharian warga Jakarta.
Begitu juga sering terjadi salah kaprah ketika menemukan kalimat "Kerajaan Malaysia" yang seolah-olah negara Malaysia berdasarkan sistem monarkhi seperti yang dahulu dikenal di Indonesia: Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lainnya di Nusantara yang menganut sistem ketatanegaraan di bawah perintah seorang raja.
Kalimat Kerajaan Malaysia, tidak lebih dari makna "Pemerintah Malaysia".
Ini sama membingungkan bagi warga Malaysia, ketika mereka mendengar atau membaca kalimat "pemerintah Indonesia" yang oleh tafsir bahasa Melayu Malaysia adalah sama dengan "komandan Indonesia", karena pemahaman bahasa Melayu Malaysia "pemerintah" adalah orang yang memberi perintah sebagai terjemahan dari bahasa Inggeris "commander".
Ketika diselenggarakan kegiatan musyawarah kebahasaan oleh Perhimpunan Bahasa Melayu di Johor Bahru, Malaysia, sempat terjadi kebingungan di antara delegasi Indonesia, Brunei, Malaysia dan Singapura ketika diperkenalkan istilah baru "penatar" dari panitia pelaksana.
Kata "penatar" yang lazim difahami di Indonesia adalah "orang yang menatar", di Malaysia dipahami sebagai "peserta penataran", karena mereka sudah memiliki istilah "juru tatar" yang maksudnya adalah orang yang memberikan materi penataran.
Sedangkan bagi delegasi Brunei maupun Singapura sama bingungnya karena dalam kamus bahasa Melayu di kedua Negara belum ditemukan istilah itu.
Untuk memastikan makna sesungguhnya, jangan malu-malu untuk meminta penjelasan cuplikan bahasa keseharian di Malaysia, seperti "bisa" (maksudnya bisa ular dan bukan berarti "dapat" dalam bahasa Indonesia), sup eko (sop buntut), mata kerbau (masakan telor mata sapi), bomoh (dukun), bilik air/tandas (toilet), budak (anak-anak), minda (kecerdasan), sahala (satu arah), rogol (perkosaan), begaduh (berkelahi), beli belah (mall), setrika bumi (alat berat stomwales), kaki tangan (staf), butuh (kemaluan lelaki), lucah (porno) dan banyak lagi.
Di antara banyak kata itu, sering orang Indonesia bercanda dengan menyebut kalimat "rumah sakit korban lelaki" untuk menerjemahkan rumah bersalin atau "hentak-hentak bumi" sebagai pengganti istilah aba-aba didunia militer "jalan ditempat".
Kedua istilah tersebut sama sekali tidak dikenal di Malaysia, begitu pula untuk istilah "rumah sakit" karena mereka lebih pas mengambil istilah "hospital" untuk memelihara warisan Inggris yang pernah menjajah Malaysia.
Sumber : Antara