Analisis Komparasi Lintasbudaya

Oleh : Hari Poerwanto

1. Pengantar
Di samping bersifat akademik, berbagai kajian tentang kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia memiliki tujuan praktis. Secara akademik dimaksudkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sedangkan salah satu manfaat praktis adalah untuk kepentingan pembangunan dalam arti luas. Pada masa penjajahan, pengetahuan mengenai suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia pernah diterapkan guna menguasai dan mengatur anak negeri. Karenanya, setelah kemerdekaan pengetahuan tentang keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia merupakan bahan penting untuk integrasi nasional dan pembangunan di Indonesia.

Secara teoretik, Swartz (1968) berpendapat bahwa sejarah merupakan serangkaian peristiwa unik dan spesifik yang pernah terjadi, dan tidak akan pernah terulang kembali. Berbagai peristiwa unik dan spesifik harus dikaji lebih jauh secara kritis, dan bukan hanya sekedar untuk menjelaskan sesuatu yang descriptive integration. Seorang peneliti harus mengetes dan memperbarui teorinya, termasuk pula mengupayakan suatu generalisasi guna mendukung argumentasinya melalui berbagai fakta empirik dan keteraturan-keteraturan lainnya. Tanpa didukung oleh suatu referensi yang berkaitan dengan dalil-dalil umum atau general laws yang ada, maka seseorang itu hanya membuat kiasan belaka. Penelitian komparasi lintasbudaya merupakan komponen yang valid untuk melakukan generalisasi dari masyarakat dan kebudayaan manusia yang tersebar luas di muka bumi.

2. Awal Mula Kajian Komparasi Lintasbudaya
Sejak lama, telah dilakukan penelitian antropologi dengan tujuan menguji korelasi antara unsur-unsur kebudayaan, yang akhirnya akan diperoleh generalisasi. Untuk itu, penelitian tadi dilakukan dengan membandingkan unsur-unsur kebudayaan dari sebanyak mungkin kebudayaan. Setelah dicoba dibuktikan oleh E.B. Tylor pada 300 kebudayaan yang tersebar luas di banyak tempat, ternyata tidak selalu benar bahwa A telah menyebabkan B. Dengan kata lain, hanya sebagian pendapatnya yang benar, dan sebagian besar pendapatnya tidak sesuai dengan teorinya.

Untuk lebih memahami proses evolusi hukum pidana pada masyarakat manusia, S.R. Steinmets juga pernah melakukan penelitian serupa. Ia meneliti 150 sampel masyarakat, kemudian diolahnya ke dalam sistem kartu (files). Sampel masyarakat tersebut diambilnya dari ratusan buku dan karangan etnografi, yang kemudian disusun ke dalam sistem kartu ‘catalogue des peuples‘ yang dimuat dalam majalah l‘Annee Sociologigue‘ (1898). Setelah itu, berbagai penelitian kebudayaan secara komparatif lainnya dilakukan oleh N.J. Nieboer tentang hologeistsch (1910), yaitu dengan fokus penelitiannya pada pranata perbudakan yang dikaitkan dengan variabel teknologi, ekonomi, dan organisasi sosial; T.S. van der Bij (1929) mengaitkan pranata perang dengan variabel teknologi, ekonomi, dan organisasi sosial.

Di Amerika Serikat, penelitian komparatif secara lintasbudaya pertama kali dilakukan oleh L.T. Hobhouse, G.C. Wheeler, dan M. Ginsberg pada 1930, dengan mengambil sampel 600 masyarakat yang terdiri dari masyarakat berburu tingkat rendah dan tingkat tinggi. Mereka mencoba mengorelasikan sistem matapencaharian hidup dengan organisasi sosial, seperti kekerabatan, pemerintahan, hukum, keadilan, hak milik, pelapisan sosial, kanibalisme, adat membunuh anak yang dianggap tak berguna, adat membunuh manusia sebagai korban, dan sebagainya.

Untuk mendukung survei komparasi lintasbudaya di Amerika, dikembangkan instrumen Outline of Cultural Materials, yang dimulai pertama kalinya pada 1937 oleh Institute of Human Relations (HRAF) Universitas Yale; yaitu sebagai bagian dari program penelitian interdisipliner ilmu-ilmu sosial di bawah pimpinan George P. Murdock. Setelah tahun 1945, pimpinan dijabat oleh Clellan S. Ford, dan sejak itu secara acak berbagai informasi dasar berbagai suku-suku bangsa di seluruh dunia mulai diorganisasi dan diklasifikasikan. Kriteria dasar klasifikasinya didasarkan atas latar belakang sejarah mereka, serta apakah mereka itu termasuk suku-bangsa dengan tingkat kehidupannya ialah kehidupan sederhana (primitive) ataukah termasuk ke dalam suku-suku bangsa yang telah modern (contemporary). Tujuan utamanya adalah secepat mungkin berbagai data tersebut dapat segera dimanfaatkan untuk menguji suatu generalisasi, sekaligus mengetahui kekurangan deskripsi dalam suatu literatur, dan selanjutnya dapat segera disusun pedoman penelitian lapangan.

Sampai dengan tahun 1943, telah berhasil dibuat 500.000 files yang tersusun secara sistematik, memuat informasi substansial dari hampir 150 kebudayaan. Berbagai informasi dasar itu diperoleh melalui literatur, dan jika perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kemudian diklasifikasikan berdasarkan sistem the Outline. Hasilnya, berupa informasi dan deskripsi yang mewakili bangsa-bangsa yang masih sederhana kehidupannya di muka bumi. Selain itu, ada pula informasi yang berasal dari kebudayaan masyarakat yang telah maju peradabannya seperti Romawi dan Inggris. Ternyata, berbagai bahan yang dikumpulkan tersebut secara minimal telah mampu dipakai sebagai bahan penelitian, antara lain seperti yang dilakukan oleh para staf peneliti HRAF Clellan S. Ford, D. Horton clan G.P. Murdock.

Memasuki Perang Dunia II, survai lintasbudaya lebih dikonsentrasikan pada upaya mengatasi persoalan di berbagai medan peperangan, terutama di kawasan Pasifik. Dengan bantuan dana dari Carnegie Corporation, HRAF mendapatkan tugas memberikan informasi yang dapat mendukung tugas National War Agencies. Berbagai materi informasi tersebut disusun dalam file, dan kemudian dimuat pada tujuh penerbitan Strategic Bulletins or Oceanea, yang dikelola oleh bagian etnogeografi dari Smithsonian Institute, antara lain berisikan berbagai hal seperti metereologi, persediaan makanan dan air, penyebaran penyakit, dan sebagainya.

Disebabkan oleh kebutuhan akan informasi spesifik dari pemerintah Amerika, maka pada 1 Juli 1942 dengan Universitas Yale sebagai koordinator Inter American Affairs, mengembangkan Strategic Index of the Americas. Untuk keperluan tersebut, dikerahkan para staf yang berkompeten pada bidangnya guna mengklasifikasi berbagai kebudayaan dan subbudaya di Amerika Latin. Akhirnya, mereka mampu mengklasifikasikan kebudayaan di Amerika Latin ke dalam sekitar seratus kesatuan regional. Strategic Index tersebut diproses dengan mendasarkan atas klasifikasi Outline or Cultural Materials. Sampai dengan 30 September 1943, terdapat 488 sumber data yang, berhasil diproses, terdiri dari 22.663 halaman, antara lain berisikan juga peta, foto, berbagai informasi majalah dan buku, laporan khusus seperti tentang geologi, berbagai pemanfaatan flora, makanan, kesehatan dan pemukiman. Selain itu, ada 249 sumber data yang tidak dapat diproses dan hanya diterjemahkan atau hanya dalam bentuk kumpulan manuskrip.

Semakin lama, manfaat materi files untuk survei lintasbudaya semakin terasa, terutama tatkala Jepang menduduki berbagai pulau di Pasifik. Karenanya, pada 1943 Angkatan Laut Amerika bekerjasama dengan Universitas Yale melanjutkan dan memperluas survei, termasuk mengumpulkan berbagai informasi tentang orang Jepang dari berbagai sumber, termasuk yang tertulis dalam berbagai bahasa asing. Kumpulan informasi tersebut disajikan dalam bentuk practical handbooks bagi para pejabat militer Amerika . Selama Agustus 1943 sampai dengan November 1944, berhasil disusun sembilan buah Military Government Hand-books, mencakup informasi komprehensif tentang Kepulauan Marshall, Caroline, Mariana, Izu, Bonin, Kurile, dan Ryukyu. Setelah perang usai, buku pegangan tersebut direklasifikasikan kembali, dan disebar-luaskan untuk para sarjana sipil oleh Chief of Naval Operations, Office for Islam Governments, Navy Department, Washington, D.C.

Selanjutnya, selama 1946 dan 1947 Universitas Nebraska bekerjasama dengan HRAF di Yale, membuat proyek khusus untuk menyusun informasi mengenai berbagai suku-bangsa Indian di kawasan dataran rendah. Proyek tersebut dipimpin oleh John K. Roberts, dan menggunakan model Outline of Cultural Materials.

3. Aplikasi Penelitian Komparasi Lintasbudaya
Pada 1948 dan 1949, The Social Science Research Council, bekerja sama dengan Carnegie Corporation, sepakat untuk menggandakan dan menyebarluaskan, serta melanjutkan survei dengan basis yang lebih luas. Untuk itu, pada 1 Oktober 1949, Brewster dari Harvard Department of Social Relations bekerja sama dengan sejumlah lembaga yang tertarik, antara lain Carnegie Corporation sebagai penyandang dana, mendirikan organisasi antaruniversitas yang lebih dikenal dengan HRAF; beranggotakan Universitas Chicago, Universitas Harvard, State University of Iowa, Universitas North Carolina, Universitas Oklahoma, Universitas Pennsylvania, Universitas Southern California, Universitas Washington, dan Universitas Yale.

Setiap informasi dari berbagai kelembagaan anggota HRAF akan dituangkan dalam bentuk kartu berukuran 5 x 8 inci, dan disimpan dalam bentuk files. Setiap kartu akan dipisah-pisahkan berdasarkan kebudayaan atau subbudaya, dan setiap file berisikan latar belakang dan periodisasi sejarah, termasuk kasus-kasus tertentu yang bersifat khas yang mencatat substansi perubahan-perubahan kebudayaan. Selain itu, setiap kartu juga berisikan data tentang topik-topik tertentu, kemudian diklasifikasikan berdasarkan sistematika Outline; misalnya file tentang ‘prosedur pemilihan umum pada awal kerajaan Romawi‘ berada pada kategori 666.

Dalam sistem tersebut, pada setiap kartu disebutkan berbagai hal, misalnya jumlah bibliografi dan jumlah halaman. Setiap bibliografi memiliki nomor berbeda yang menunjukkan setiap sumber, yang diproses dalam sebuah file. Setiap nomor halaman menunjukkan nomor yang sebenarnya dari suatu sumber. Karenanya, dalam setiap kategori akan diberi catatan tanpa kecuali, misalnya dari sumber pertama, kedua, dan seterusnya. Setiap kartu berisikan bibliografi dan nomor halaman yang tertera pada bagian pojok kiri atas.

Referensi dari semua bibliografi dan semua sumber akan dipisahkan dan dimasukkan pada kategori 111. Berkaitan dengan referensi, pada setiap kartu juga disertakan kritik yang berkaitan dengan sumber dan analisisnya. Selain itu, juga disertakan nomor kode yang berkaitan dengan sumber tersebut, seperti nama benua atau berbagai pembagian wilayah geografis, culture area atau subdivisi kawasan, kebudayaan atau subbudayanya; termasuk pula perihal subjek yang dibicarakan. Salinan berbagai referensi bibliografi juga dicantumkan secara alfabetis berdasarkan nama pengarang; dan semua files bibliografi dari sumber-sumber penting akan disimpan oleh HRAF.

Suatu kebudayaan yang akan diproses dalam file, harus mendapatkan persetujuan Executive Board Antaruniversitas HRAF; yang diseleksi secara intensif, antara lain didasarkan atas signifikansi bahan bacaan serta berbagai sumber yang dipergunakan, baik yang telah diterbitkan maupun yang masih dalam manuskrip. Apabila sumber yang terpilih tersebut tertulis dalam bahasa asing, langkah berikutnya adalah menerjemahkan secara lengkap dan akurat. Informasi dari sumber yang diterjemahkan harus diterjemahkan tanpa ada pengertian yang diberi tanda kutip.

Langkah berikutnya adalah membuat anotasi dari sumber, terutama dikaitkan dengan kategorisasi penomoran dari Outline sebagai pedoman pengetikan. Panjang anotasi dari materi hanya satu paragraf, umumnya berisikan beberapa kategori Outline. Jadi, pernyataaan yang berkaitan dengan keranjang yang hanya dikerjakan oleh kaum wanita misalnya, dianotasi pada nomor 285 dan 887, yaitu yang berkaitan Mats and Baskertry pada nomor 285, Activity of the Age pada nomor 887, yaitu di samping pada penjelasan umum pada nomor 116 (Texts).

Isi dari setiap file merupakan anotasi dari sumber yang harus ditulis lengkap dan bukan dalam bentuk abstraksi. Adakalanya untuk kasus tertentu, dicacat dalam kartu khusus, misalnya tentang ceritera rakyat hanya ditulis secara garis besar dengan tak lupa menyebut lokasi dari ceritera rakyat tersebut. Setelah itu langkah berikutnya adalah mengetik anotasi dari materi dengan memakai mesin ketik IBM, dan kemudian memperbanyak kopi files tersebut kepada para anggota HRAF.

Sebuah outline merupakan alat dengan dua tujuan utama. Pertama untuk membantu para staf HRAF melakukan anotasi dan mengklarifikasi berbagai materi budaya dari berbagai masyarakat. Kedua untuk membantu para peneliti agar cepat akan mendapatkan berbagai penjelasan yang diperlukan berkaitan dengan masalah yang ingin diteliti. Untuk itu, diperlukan standar tunggal sebagai suatu sistem untuk mengorganisasikan berbagai kebudayaan dan latar belakang suatu masyarakat, dari hal-hal yang sederhana sampai dengan yang kompleks.

Kata “Kazak” di bagian pojok kanan atas menunjukkan bahwa file tersebut berada pada file orang Kazak, yaitu suku-bangsa di Asia Tengah. Selanjutnya “4:

4: Castagne –- 57 1930 Kazak
116, 158, 756, 776, 787

The sorcerer, magician, shaman, and baksa believe in their super-natural power, and this faith is shared by those who surround them. The approach of hallucination, ectacy, and excitement of spirit are not imaginary. The sorcerrer is sincere. He is persuaded that spirit are in relation with him. Indeed, the shaman is only a medium whom they inspire. If his action is not crowned with success it is because for some reason the spirit in association with him has not been able to conquer to hostile spirit which he is struggling.

Dikutip dari Murdock, George Peter et al., 1950, Outline of Cultural Materials, Human Relation Area Files Inc., New Haven, Hlm xvii.

Castagne — 57 di bagian pojok kiri atas menunjukkan bahwa kutipan tersebut berada pada halaman 57, yang diambil dari bibliografi nomor 4. Referensi dari kartu bibliografi tersebut dijelaskan pada kategori 111, yaitu dari sumber yang ditulis oleh J. Castagne, “Magie et exorcisme chezles Kazak-Kirghizes et autures peuples turks orientaux”, dalam Revue des Etudes Islamiques, Vol. IV, Paris 1930. Nama pengarang kasus tersebut adalah “Castagne”, dan harus ditunjukkan pada setiap kartu di samping bibliografi dan nomor halaman agar cepat mencarinya. Pada bagian atas tengah, terdapat “1930” yang menunjukkan kasus tahun penerbitan buku tersebut. Di bagian bawah bibliografi, terdapat lima angka kode lainnya, ialah “116, 158, 756, 776, 787”; yang mengindikasikan informasi lain yang berada pada nomor kategori Outline (116 tentang text notes, 158 tentang data on hallucination, 756 tentang shaman 776 tentang familiar spirits, dan 787 tentang inspiration and spirit possession).

Sampai dengan tahun 1950, Outline of Cultural Materials dikelompokkan ke dalam 79 seksi (dimulai dari seksi 11 sampai dengan terakhir seksi 88) dan setiap seksi terdiri dari 5 sampai dengan 9 kategori. Setiap kategori dibagi-bagi lagi ke dalam items yang lebih kecil dan terinci, seperti tampak pada contoh tentang stratifikasi sosial.

56 SOCIAL STRATIFICATION
This section deals with major differentiations in social status that are commonly hierarchically graded or stratified. For occupational differentiation see 463; for differentiation in political statueses see 62, 63, and 64.

561. Age Stratification . . . . .
562. Sex Status — rights privileges powers duties and disabilities of each sex (e.g. legal domestic economic political ceremonial); special exceptions for each sex; evidence bearing upon the status inferiority or superiority of women); explanations of sex differences; etc.

*** For ethnic composition on the population see 162 for ethnocentrism see 186: for race theories see 828 ‘ for immigration see 167; for naturalization see 641; for acculturation see 177; for reservations see 657.
563. Ethnic Stratification . . . . .
564. Castes . . . . .
565. Classes . . . . .
566. Serfdom and Peonage . . . . .
567. Slavery . . . . .

Selanjutnya, jika dilihat lebih lanjut pada kategori 162 tentang Composition or Population, termasuk dalam seksi Demografi, adalah sebagai berikut.

162. Composition or Population — distribution of population by age sex locality maritas status, mode of life (e.g. rural and urban nomadic and sedentary), and significant social groupings (e.g. occupation religion, class, ethnic group); size of families; ect.

*** For statistic on crime see 674, for defective and dependents see 73; for age at marriage see 582; for incidence of plural marriages see 585; for literacy see 212; for educational statistics see 871; for urban and rural differentiation see 368; for occupational specialization see 463; for ethnic stratification see 563.

Beberapa masalah yang sering dihadapi oleh ilmu sosial dan humaniora adalah menemukan kepustakaan dari sejumlah masyarakat yang berbeda. Karenanya, berbagai file HRAF dapat dipertimbangkan untuk melengkapi kajian pustaka; bahkan dapat pula dipertimbangkan sebagai salah satu metode. Selain itu, juga diharapkan mampu membantu merumuskan hipotesis. Bagi para peneliti yang lebih menekankan pada pemakaian teori, file tersebut juga dapat dipakai sebagai pilihan untuk generalisasi maupun mengarahkan kerangka teori yang akan dipakai. Berbagai fakta yang ada dalam file dapat dipakai untuk mendukung kerangka pemikirannya; demikian nantinya dalam analisisnya.

Selain itu, seringkali para peneliti ilmu sosial dan humaniora yang kurang memahami teori kebudayaan, mengalami kesulitan menerjemahkan hipotesisnya ke dalam terminologi budaya. Untuk itu, mereka dapat mencoba mengetes berdasarkan materi yang terdapat dalam file. Sebagai contoh, seorang ahli psikologi yang ingin meneliti sikap agresif, ia dapat membuka kategori 865 tentang Agression and Training (Murdock et al., 1950). Jika masih belum puas, ia dapat pula melihat seksi 15 tentang Behavior Process and Personality dan kategori 828 (Ethno-psychologi). Selain itu, berbagai hal tentang sikap agresif juga terkait dengan kategori-kategori 186 (Ethnocentrism), 266 (Canibalism), 477 (Competition), 522 (Humor), 526 (Atletic Sport), 578 (Ingorup Antagoism), 586 (Termination of Harrisge), 626 (Social Control), 628 (Informal Intergroup Justice), 668 (Political Movement), 683 (Offenses against the Person), 691 (Litigation), 721 (Instigation of War), 754 (Sorcery), 798 (Religious Persecution).

4. George Peter Murdock dan Komparasi Lintasbudaya
Di Amerika, penelitian komparasi lintasbudaya baru ditangani dengan serius setelah dilakukan penyusunan dalam bentuk sistem kartu pada 1937 di bawah G.P. Murdock, kemudian setelah 1945 dilanjutkan oleh Clellan S. Ford[1]. Setelah Kepulauan Mikronesia dan Kepulauan Okinawa direbut tentara Sekutu pada Perang Dunia II, kedua orang tersebut bersama dengan J.W.M. Whiting, oleh Angkatan Laut Amerika Serikat diminta memberikan penjelasan tentang berbagai kebudayaan dan masyarakat di sana. Kedua kepulauan tersebut memiliki arti strategis dan akan dijadikan basis menyerang Jepang. Karena Amerika Serikat akan membangun pusat angkatan lautnya di Pulau Truk seusai Perang Dunia II, G.P. Murdock bersama W.H. Goodenough dan tim antropologi lainnya, diminta pula meneliti masyarakat dan kebudayaan di Mikronesia.

Salah satu hasil penelitian komparatif lintasbudaya pada 230 kebudayaan yang tersebar di muka bumi yang pernah dilakukan Murdock ialah Correlations of Matrilineal and Patrilineal Institutions (1937). Dalam buku tersebut ia ingin mengetahui sejauh manakah sistem kekerabatan, yaitu matrillineal dan patrilineal berkorelasi dengan sejumlah variabel seperti mata pencaharian hidup, kemampuan membuat tembikar, menenun, menulis, keahlian sebagai tukang, stratifikasi social, dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1990:20). Selain itu, Murdock juga mengembangkan penelitian yang pernah dilakukan F.E. Clements Primitive Concepts of Disease (1932) melalui kajian komparatif lintasbudaya pada 186 kebudayaan. Penelitian Murdock bertujuan untuk menjelaskan bahwa dalam berbagai kebudayaan konsepsi ‘rasa sakit‘ dan ‘rasa tidak sehat‘ berbeda dengan yang dikemukakan oleh orang Amerika maupun Eropa. Hasil penelitiannya diterbitkan dalam karangan berjudul World Distribution of Theories of Illness (1978) dan bukunya Theory of Illness (1980). Di kelak kemudian hari permasalahan tersebut semakin berkembang, yaitu terkait dengan konsepsi emics dan ethics, yaitu suatu bidang kajian antropologi kognitif.

Salah satu karya menonjol dari Murdock yang disusun berdasarkan sistem kartu etnografi (the Outline) yang ada di Universitas Yale adalah Africa: Its Peoples and Their Culture History (1959),berisikan tentang sejarah kebudayaan bangsa-bangsa di Afrika berikut pengelompokan dan lokasi ratusan suku-bangsa di sana.

Pada 1949, G.P. Murdock menerbitkan bukunya Social Structure, merupakan penelitian komparatif lintasbudaya pada 250 kebudayaan. Selanjutnya, penelitiannya itu pada 1957 ia kembangkan menjadi 564 kebudayaan; dan hasilnya diterbitkan dalam World Ethnographic Samples atau WES. Setiap tiga bulan sekali, WES direvisi dan ditambah dengan bahan baru yang dimuat dalam majalah Etnology pada bagian yang disebut dengan Ethnographis Atlas.

Percontohan atlas etnografi yang disusun oleh Murdock memuat penjelasan mengenai 30 ciri-ciri kebudayaan (dalam bentuk tanda huruf, lihat Lampiran 2) dari 565 suku-bangsa yang tersebar di muka bumi, yaitu 116 di Afrika, 78 di sekitar Laut Mediteran, 85 dari Asia, 99 penduduk di Lautan Teduh, 110 di Amerika Utara, dan 77 dari Amerika Selatan. Ke-565 suku-bangsa tersebut dinilai oleh Murdock paling besar jumlah penduduknya atau paling luas persebarannya, memiliki keanekaragaman matapencaharian hidup, berasal dari berbagai keluarga bahasa, menunjukkan ciri-ciri tertentu, dan lain sebagainya.

Dalam bukunya Social Structure (1949), G.P. Murdock ingin mengetahui proses evolusi sistem kekerabatan manusia, yang sekaligus pula ingin menyusun tipologi sistem kekerabatan yang mengacu pada saudara sepupu ke dalam enam tipe, ialah tipe Hawaii, tipe Eskimo, tipe Iroquois, tipe Sudan, tipe Omaha, dan tipe Crow. Untuk itu, ia meneliti 250 kebudayaan masyarakat suku-bangsa, dan melakukan tes statistik terhadap 30 korelasi antara berbagai unsur adat-istiadat, pranata sistem kekerabatan dan pranata matapencaharian hidup. Atas dasar itu ia menyimpulkan bahwa dalam matapencaharian hidup, pembagian kerja atas jenis kelamin erat kaitannya, atau menyebabkan pola menetap nikah tertentu. Selain itu, pembagian kerja tersebut juga telah mendorong berkembangnya suatu azas keturunan tertentu yang mengacu pada pola istilah kekerabatan yang berpusat pada saudara sepupu[2].

5. Beberapa Penelitian Lintasbudaya pada Dewasa Ini
Salah satu kajian komparatif cross cultural adalah Death: A Cross-Cultural Perspective dari Phyllis Palgi dan Henry Abramovitch (1984). Dalam tulisannya, ia mengemukakan bagaimana pandangan kaum evolusi memandang tentang kematian, yang selalu dikaitkan dengan asal mula religi. Munculnya religi dinilai sebagai respons kolektif terhadap mati yang dikaitkan dengan tidur dan mimpi, antara lain tampak dalam tulisan J.G. Frazer (1890, 1913, 1933). Berbagai upacara kematian erat kaitannya dengan kehidupan lain setelah seseorang itu mati. Demikian pula halnya J.J. Bachofen (1987) yang menggambarkan bahwa perbedaan jenis kelamin selalu mendominasi arti simbolik dalam suatu penguburan. Dalam perkembangan selanjutnya, kajian mengenai berbagai upacara selalu menjadi isu sentral untuk membahas arti suatu kepercayaan.

Berbagai tulisan tentang kematian dengan pendekatan evolusionis banyak dijumpai pada buku-buku etnografi di masa lampau. Selain itu, berkembang pula berbagai kajian mengenai bagaimana seseorang itu mati. Hal ini pun biasanya juga lebih menekankan mengenai berbagai adat-adat yang berkaitan dengan kematian, misalnya tampak pada tulisan J. Fabian (1973) dan E. Bendann (1930). Untuk itu, keduanya mencoba meneliti secara lintasbudaya berbagai upacara penguburan yang dikaitkan dengan gagasan yang ada di balik upacara tersebut pada penduduk di Melanesia, Australia, Siberia Timur-Laut, dan India. Berdasarkan berbagai variasi topik, ia menemukan ada sejumlah ‘persamaan‘ di samping ada pula ‘perbedaannya‘. Ia membandingkan tentang konsepsi mengenai asal-mula kematian, penyebab kematian seseorang, ketakutan terhadap arwah, memperlakukan jenazah, tabu-tabu dalam masa berkabung, perusakan hak milik setelah mati, pemujaan terhadap kematian, dan sebagainya. Atas dasar itu, ia menemukan sejumlah persamaan yang universal tentang kematian.

Selanjutnya, Burton dan White (1987: 148-155) menjelaskan sejumlah penelitian komparatif lintasbudaya yang banyak dilakukan pada akhir-akhir ini, antara lain adalah sebagai berikut.

1. Pasar dan tenaga kerja, misal tulisan F.L. Pryor The Origins of the Economic (1977) dari 60 masyarakat, dengan mengaitkan sejumlah variabel seperti kelangkaan dan penyewaan tanah, intensitas modal dalam produksi, perdagangan keluar, pasar, tenaga kerja terdidik, pertukaran timbal-balik dan upacara, pertukaran tenaga kerja, perbudakan, dan ketimpangan sosialekonomi.

2. Kesejahteraan dan konflik, antara lain tulisan K.F. Otterbein Internal War (1968), yang menguji hipotesis keterkaitan peperangan dengan adatmatrilokal dan migrasi; dan seterusnya.

3. Upacara reproduksi, misalnya tulisan Barry H. Schlegel A. Adolescent Initiation Ceremonies (1979), J.K. Brown A Cross-Cultural Study of Female Initiation Rites (1963); menguji keterkaitan antara inisiasi anak laki-laki dan wanita dengan kedewasaan perilaku seksual, tabu-tabu menstruasi, adat couvade, tabu setelah melahirkan, dan banyak lagi tulisan lainnya.

4. Rumah tangga dan adat poligini, kepercayaan gender dan perilaku[3].

6. Metodologi
Menurut Cohen (1968), riset perbandingan lintasbudaya skala besar bukan dimaksudkan meneliti semua masalah, melainkan lebih bertujuan mengetahui bagaimanakah suatu sistem sosial-budaya mampu mengatur kehidupan masyarakat. Untuk itu, penelitian seperti itu harus mendasarkan atas data empiris, antara lain dapat ditemukan dalam file yang disusun berdasarkan The Outline of Cultural Materials dari HRAF. Sebelum melakukan penelitian maka seorang peneliti harus merumuskan beberapa pokok pandangan yang ingin dikaji. Karena itulah, hal krusial yang harus diperhatikan dalam penelitian lintasbudaya adalah menyangkut metode yang akan dipergunakan. Secara empirik, hipotesis yang akan dipakai harus diverifikasi dengan yang pernah dipergunakan oleh peneliti lain.

Salah satu problem utama kajian perbandingan lintasbudaya adalah menyangkut besarnya sampel yang dianggap representatif (Udy, 1973; White, 1987), terutama terkait dengan tujuan untuk mengetes suatu hipotesis. Menurutnya, adalah sulit untuk mengatakan berapa jumlah sampel yang ideal, kesemuanya ini akan tergantung pada teori dan metodologi yang dipergunakan.

Mengingat kompleksitas suatu masyarakat dan kebudayaan maka di masa mendatang sampling dalam kajian lintasbudaya perlu diperhatian. Banyak terjadi bias-sampling yang dilakukan para ahli antropologi Amerika, termasuk Murdock. Dalam penilaian Burton dan White (1987), Murdock telah melakukan oversampling untuk penduduk di Afrika, sedangkan untuk Eropa, India, dan Cina ia undersampling. Selain itu, Murdock sendiri mengalami kesulitan dalam hal coding, termasuk dalam merumuskan kalimat yang seringkali sulit dimengerti oleh orang lain.

Setelah dilakukan penelitian, seringkali peneliti mendapatkan korelasi yang tinggi, misalnya antara dua pranata kekerabatan. Untuk itu timbul pertanyaaan, misalnya dari Galton, yaitu apakah korelasi yang tinggi terse but lebih merupakan sebab akibat ataukah karena difusi (Galton‘s problems)[4].

Atas dasar itu muncul pandangan bahwa suatu penelitian komparatif dengan lintasbudaya harus memperhatikan metode controlled comparison. Pertama dengan menggunakan metode run test for diffusion, yaitu apakah unsur-unsur satuan pembanding tersebut mengelompok pada suatu daerah tertentu. Jika demikian, jelas bahwa korelasi yang tinggi lebih disebabkan oleh difusi daripada hubungan sebab-akibat. Kedua, untuk menghindarkan dari pengaruh difusi, Naroll (1966) mengusulkan agar kebudayaan yang diteliti tidak terletak kurang dari dua derajat garis lintang atau garis bujur (“three degree rule”) juga digunakan sifting test, yaitu tes dengan mengeluarkan masyarakat yang letak geografisnya berdekatan sehingga sampel masyarakat yang diteliti adalah representatif.

Dalam kajian komparatif lintasbudaya, biasanya pemilihan sampel masyarakat antara lain didasarkan atas latar belakang sejarah, migrasi, perkawinan campuran, dan interaksi mereka dalam perdagangan dan dominasi politik. Selain itu, G.P. Murdock juga mengusulkan agar yang diperbandingkan merupakan suku-suku bangsa yang memiliki kesamaan, misalnya berdasarkan sistem matapencaharian hidup pokok tertentu yang berada pada ‘tingkatan relatif sama‘, seperti memiliki kebudayaan berburu-meramu, bercocok tanam di ladang, atau bercocok tanam dengan irigasi. Jika halnya demikian pada waktu sebelum meneliti, terlebih dahulu seorang peneliti membuat daftar suku-suku bangsa tersebut dengan mengecek data yang ada dalam HRAF.

Menurut H.E.Driver (1961), sampel masyarakat yang diteliti secara komparatif dengan lintasbudaya dapat diklasifikasikan ke dalam empat hal. Pertama, penelitian dengan sampel yang tersebar secara acak di berbagai tempat di dunia. Menurutnya, hasil yang diperoleh diragukan kebenarannya, termasuk yang dilakukan oleh Murdock. Kedua, penelitian dengan sampel yang tersebar acak dalam satu benua, misalnya penelitian Murdock tentang Afrika, juga masih diragukan hasilnya karena data yang dipakai tidak memiliki kualitas yang sama. Ketiga, penelitian dengan sampel yang terdiri dari kebudayaan yang dipilih dari semua daerah kebudayaan di seluruh dunia. Menurutnya, penelitian semacam ini belum pernah dilaksanakan karena akan melibatkan tim ahli antropologi yang masing-masing mengenal dengan baik kebudayaan masyarakat yang diteliti. Keempat, penelitian dengan sampel dari kebudayaan-kebudayaan yang terletak dalam satu atau beberapa daerah kebudayaan. Menurutnya, sampel penelitian ini secara kualitatif yang terbaik dan paling besar maknanya.

Selanjutnya, menurut White et al. (1987), banyak dari penelitian lintasbudaya dilakukan pada masyarakat yang memiliki perbedaan level kompleksitas atau skala kompleksitas yang berbeda, misalnya antara Tikopia dan Cina; kedua suku-bangsa tidak begitu saja dapat diperbandingkan. Sampel kedua suku-bangsa tersebut diambil dari 200 provinsi kebudayaan sehingga muncul pertanyaan bagaimana suatu unit komunitas yang bergitu besar dapat diperbandingkan. Apalagi dalam mengidentifikasi perbedaan kebudayaan dan masyarakat hanya dilihat sebagai sebuah variasi internal. Selain itu, juga timbul pertanyaan indikator apakah yang dipakai untuk melakukan stratifikasi suatu masyarakat ke dalam suatu strata tertentu. Pada kenyataannya, seringkali lebih didasarkan atas tingkat partisipasi individual seperti atas dasar poligini. Sementara itu, Barnes mengatakan bahwa justru terdapatnya masalah variasi internal merupakan sesuatu keunikan dari kajian lintasbudaya, yaitu sama halnya dengan masalah ciri-ciri kualitatif dari kebanyakan etnografi.

Seringkali masalah coding data juga muncul, antara lain disebabkan oleh luasnya cakupan dari suatu aspek, misalnya tentang membajak tanah, peranan wanita dalam panen, dan keindahan suatu rumah. Demikian pula yang menyangkut coding yang berkaitan dengan fenomena psikologis, seperti kedekatan ayah dan bayinya. Seringkali coding data yang terkait dengan hal terakhir ini harus disadari akan berakibat memiliki tingkat validitas yang rendah. Mengingat hal tersebut maka Burton dan White (1987) mengusulkan dilakukan standardisasi. Ia mengusulkan coding “konstruksi rumah” ke dalam sepuluh variabel seperti yang pernah dimuat dalam Atlas Etnografi. Klasifikasi ke dalam sepuluh variabel cukup mudah dilakukan karena biasanya terkait aspek ekonomi dan status kepemilikan.

7. Penutup
Keanekaragaman suku-bangsa di Indonesia, di samping sebagai kebanggaan, juga potensial bagi munculnya konflik. Selain juga menimbulkan permasalahan dalam mengelola bangsa, terutama untuk mempersatukannya, kajian lintasbudaya dapat dipakai untuk tujuan pembangunan bangsa dalam arti luas. Berbagai data etnografi tentang berbagai suku-bangsa di Indonesia masih tersebar dan belum dikelola dan disusun ke dalam file sehingga jika timbul masalah yang bersumberkan dengan keragaman kebudayaan, informasi yang berkaitan dengan suatu suku-bangsa tertentu mudah dicari dan dirujuk. Sementara itu, sistem file yang dimiliki oleh HRAF belum sepenuhnya dapat diakses langsung dari Indonesia.

Berbagai informasi tentang keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di Indonesia seperti yang dikerjakan dan dimiliki oleh HRAF perlu diupayakan, baik untuk kepentingan akademik maupun praktis. Untuk itu, dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai karya etnografi di Indonesia yang ada, baik di masa lalu maupun sekarang.

Daftar Pustaka
Abramovits, Henry dan Phyllis Palgi, 1984. “Death: A Cross-Cultural Perspective”, Annual Reviews of Anthropology, 13: 385-417.

Cohen, Yehudi A., 1968. “Macroethnology: Large-Scale Comparative Studies”, dalam Introduction to Cultural Anthropology, James A.Clifton (ed.), Houghton Mifflin Company, Boston, Hlm. 402-449.

Ember, Carol R., 1977. “Cross-Cultural Cognitive Studies“, Annual Reviews of Anthropology, 6: 33-56.

Ford, Clellan S. (ed.), 1967. Cross Cultural Approaches: Reading in Comparative Research, HRAF Press, New Haven.

Jorgensen, Joseph, 1979. “Cross-Cultural Comparations”, Annual Reviews of Anthropology, 8:309-331.

Koentjaraningrat, 1958. Beberapa Metode Antropologi dalam Penyelidikan-penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Penerbitan Universitas.

Koentja raningrat, 1969. Atlas Etnografi Sedunia, Jakarta, Penerbit Dian Rakyat.

Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.

Murdock, George Peter, 1949. Social Structure, The Free Press, New York.

Murdock, George Peter et al., 1950. Outline of Cultural Materials, Human Relation Area Files Inc., New Haven.

Murdock, George Peter, 1959. Africa: Its Peoples and Their Culture History, McGraw-Hill Book Company, New York.

Swartz, Marc J., 1969. “History and Science in Anthropology”, dalam Theory in Anthropology, Robert A. Manner dan David Kaplan (ed.), London, Routledge & Kegan Paul, 269-275.

Udy, Stanley H. Jr., 1973. “Cross-Cultural Analysis: Methods and Scope”, Annual Reviews of Anthropology, 3: 253-270.

White, Douglas R. dan Michael L. Burton, 1987. “Cross-Cultural Survey Today” Annual Reviews of Anthropology, 16: 143-160.

Hari Poerwanto Profesor, Doktor, Master of Arts, adalah Staf Pengajar Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber : Humaniora Volume XIV, No. 1/2002
________________________________________
[1] Pada 1967, bersama-sama dengan sejumlah penulis seperti Clyde Kluckhohn, I. Schapera, John W.M. Whiting, S.F. Nadel, dan sebagainya, Clellan S. Ford bertindak sebagai editor buku Cross-Cultural Approsches : Reading in Comparative Research, HRAF Press, New Haven.

[2] Uraian lebih lanjut, lihat Koentjaraningrat 1974:141-146.

[3] Dalam buku Koentjaraningrat Tokoh-Tokoh Antropologi (1964:103-105), juga dikemukakan sejumlah karya antropologi dengan metode cross-cultural; antara lain tulisan J.W.H. Whiting dan seorang ahli psikologi I.L. Child Child Training and Personality (1953). Ada 74 kebudayaan yang diteliti, dan diteliti berbagai gejala korelasi antara beberapa unsur pengasuhan anak (cara penyapihan, saat penyapihan, cara belajar kebersihan, belajar tentang seks) dengan pola watak setelah dewasa. Demikian pula tulisan D.G. Harton Function of Alcohol in Primitive Societies(1943), yaitu ingin mengetahui kebiasaan minum anggur dengan pola gangguan jiwa pada 56 kebudayaan.

[4] Kritik F. Galton ditujukan terhadap ceramah E.B. Tylor Methods of Investigating the Developments Institution dalam pertemuan Royal Anthropological Institute 1889. Pandangan Galton tersebut lebih menyangkut masalah teknik pengambilan sampel karena kurang memperhatikan aspek difusi. Serupa dengan Galton, kritik tersebut juga pernah dikemukakan oleh I. Schapera dalam pertemuan Wenner Green Foundation for Anthropological Research (1953). Seringkali penelitian komparatif cross-cultural kurang memperhatikan satuan masyarakat pembanding yang tidak sama nilainya, misalnya membandingkan orang Indian Inca di Peru yang telah memiliki peradaban tinggi dan mengenal sistem kenegaraan; dibandingkan dengan penduduk Arunta yang jumlah kecil di Australia dan hidup dari berburu.