Oleh : I Ketut Sutika
Ada keselarasan dan keharmonisan ketika rudat, musik bernuansa islami, tampil bersama dengan gong blaganjur, musik tradisional Bali, pada upacara ritual di Puri Pemecutan, jantung kota Denpasar, beberapa waktu lalu.
Perpaduan dua musik berbeda latar belakang itu sengaja ditampilkan sebagai cermin betapa harmonis dan rukunnya umat beragama yang berdampingan satu sama lainnya di Bali, yang diwarisi secara turun-temurun sejak lima ratus tahun silam.
Kerukunan itu berkat Konsep "menyama braya", yakni persaudaraan yang betul-betul diterapkan dalam kehidupan umat beragama di Bali, kata Kasi Bina Ibadah Sosial, Produk Halal dan Kemitraan Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali H Mudzakkir.
Menurut dia, kehidupan umat beragama yang "mesra dan harmonis" yang selama ini dapat diwujudkan di Pulau Dewata diharapkan dapat tetap terpelihara guna mendukung terciptanya kondisi yang aman, nyaman dan tenteram, sekaligus memberikan kesejukan di hati umat manusia.
Akulturasi Islam-Hindu di Bali mewujud antara lain dalam bangunan masjid. Itu sebabnya, masjid di Bali kebanyakan berbeda dengan masjid pada umumnya.
Arsitektur Bali, yang penuh ukiran, juga mewarnai masjid di Pulau Dewata. "Akulturasi antara Islam dengan seni budaya Bali tidak masalah. Bahkan keterpaduan kedua unsur itu tetap dipertahankan hingga sekarang," ujar H. Mudzakkir, pria kelahiran kampung Bugis Sesetan, Denpasar Selatan.
Agama Islam dan Hindu sesungguhnya memiliki banyak persamaan bahkan terjadi akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Pulau Dewata.
Bukti lain dari terjadinya akulturasi Islam-Hindu terdapat di Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng, Kepaon Kota Denpasar dan Desa Loloan di Kabupaten Jembrana.
Desa Pegayaman misalnya, sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depannya sama seperti orang Bali pada umumnya. Nama khas daerah itu, misalnya Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin.
Dalam budaya, umat Islam Bali telah "berbaur" dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu.
Umat muslim juga menerapkan sistem pengairan subak, pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panen berbeda.
Umat Islam yang mengolah lahan pertanian di Subak Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan, dan Subak Yeh Santang, Kabupaten Jembrana, daerah ujung barat Pulau Bali, menerapkan sistem pengairan secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Pulau Dewata, ungkap Haji Mudzakkir.
Menurut dia, adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu itu dapat dijadikan tonggak lebih menciptakan kemesraan dan tali persaudaraan antara Hindu dan Islam, termasuk umat lain di Pulau Dewata, bahkan di Nusantara.
Tali Persahabatan
Tokoh puri atau sesepuh keluarga kerajaan di Bali telah menjalin tali persahabatan yang sangat akrab dengan umat Islam yang bermukim di masing-masing wilayahnya.
Keakraban itu tidak hanya membekas sampai sekarang, tetapi juga dapat diketahui melalui peninggalan tertulis pada sejumlah puri di Pulau Dewata.
Menurut Mudzakkir, pria kelahiran Bali yang leluhurnya berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan, peninggalan tertulis tersebut menyebutkan terjalinnya keakraban serta hubungan yang harmonis dan serasi antara pemeluk Islam dan Hindu.
Dalam bulan Ramadhan yang tengah berlangsung, para tokoh puri mendatangi warga muslim untuk mengadakan buka puasa bersama.
Hal itu antara lain dilakukan tokoh Puri Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, terhadap warga muslim Kampung Bugis, Angantiga, Kecamatan Petang.
Demikian pula tokoh Puri Pemecutan Denpasar datang ke warga muslim untuk mengadakan silaturahmi ke masjid Kepaon, masjid di Kelurahan Serangan maupun tempat lainnya yang selama ini telah terjalin keakraban.
Buku sejarah masuknya Agama Islam ke Bali yang ditulus oleh Drs M Sarlan, MPA, menyebutkan Islam masuk ke pulau itu abad 17, ketika adanya pendaratan perahu asal Jawa.
Saat itu penguasa Denpasar adalah Raja Cokorda Pemecutan III yang bergelar Betara Sakti dan gelar itu diberikan karena Raja Pemecutan III memiliki kesaktian yang luar biasa.
Ketika itu, Kerajaan Pemecutan tengah berseteru dengan tetangganya Kerjaan Mengwi. Diplomasi dan musyawarah tidak mampu mencegah perang bersenjata.
Para pendatang dari Jawa yang perahunya rusak dan terdampar, tenaganya dimanfaatkan oleh Raja Pemecutan sebagai prajurit yang membantu menggempur Kerajaan Mengwi. "Prajurit" pendatang tersebut dipimpin Raden Sastroningrat, seorang bagsawan kelahiran Madura. Oleh Raja Pemecutan, ia dijanjikan kebebasan serta akan dinikahkan dengan salah seorang putrinya bila bersedia membantu Kerajaan Pemecutan melawan Mengwi.
Akhirnya, pasukan gabungan Pemecutan dan para pengawal Raden Sastroningrat memenangkan pertempuaran melawan Kerajaan Mengwi.
Tidak kurang dari 30 orang pasukan Bugis gugur di medan pertempuran itu dan jenazahnya dikuburkan dalam satu kawasan di Ubung, Denpasar.
Sebagian pasukan Bugis selamat dan Haji Mukmin yang ikut dalam pertempuran tersebut selamat dan diberi gelar "Gede" serta tempat pemukiman sekaligus membangun masjid di Kampung Bugis Kelurahan Serangan, tutur Ahmad Sastra, yang merupakan generasi kelima dari Haji Mukmin.
Raja Pemecutan III menempati janjinya, atas kemenangan pertempuran itu. Sastroningrat dikawinkan dengan putri raja bernama Anak Agung Ayu Rai.
Setelah itu, Sastroningrat mengajak istrinya pulang ke Jawa. Sekembalinya dari tanah Jawa, pasangan suami-istri tersebut diterima dengan baik oleh raja, namun setelah tahu putrinya pindah agama maka raja memisahkan tempat tinggal keduanya.
Putri raja dan para pengikutnya yang setia dari Jawa ditempatkan di Kebon, kini menjadi perkampungan Islam Kepaon, Denpasar Selatan, dan sebagian di Kampung Bugis, Kelurahan Serangan. Sedangkan suaminya Sastroningrat ditempatkan di Ubung, Denpasar.
Ayu Rai wafat dan dikuburkan di tempat pemakaman "Setra Ganda Mayu" Badung yang lokasinya berdekatan dengan Puri Raja Pemecutan, dan sampai sekarang makam tersebut lebih dikenal dengan nama "Pura Keramat Puri Pemecutan".
Tempat makam tersebut dalam bulan suci Ramadhan banyak diziarahi orang Madura dan Jawa yang tinggal di Bali, di samping orang Bali, tutur Jero Mangku Made Puger yang menjaga makam tersebut.
Sumber : www.kompas.com
Ada keselarasan dan keharmonisan ketika rudat, musik bernuansa islami, tampil bersama dengan gong blaganjur, musik tradisional Bali, pada upacara ritual di Puri Pemecutan, jantung kota Denpasar, beberapa waktu lalu.
Perpaduan dua musik berbeda latar belakang itu sengaja ditampilkan sebagai cermin betapa harmonis dan rukunnya umat beragama yang berdampingan satu sama lainnya di Bali, yang diwarisi secara turun-temurun sejak lima ratus tahun silam.
Kerukunan itu berkat Konsep "menyama braya", yakni persaudaraan yang betul-betul diterapkan dalam kehidupan umat beragama di Bali, kata Kasi Bina Ibadah Sosial, Produk Halal dan Kemitraan Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali H Mudzakkir.
Menurut dia, kehidupan umat beragama yang "mesra dan harmonis" yang selama ini dapat diwujudkan di Pulau Dewata diharapkan dapat tetap terpelihara guna mendukung terciptanya kondisi yang aman, nyaman dan tenteram, sekaligus memberikan kesejukan di hati umat manusia.
Akulturasi Islam-Hindu di Bali mewujud antara lain dalam bangunan masjid. Itu sebabnya, masjid di Bali kebanyakan berbeda dengan masjid pada umumnya.
Arsitektur Bali, yang penuh ukiran, juga mewarnai masjid di Pulau Dewata. "Akulturasi antara Islam dengan seni budaya Bali tidak masalah. Bahkan keterpaduan kedua unsur itu tetap dipertahankan hingga sekarang," ujar H. Mudzakkir, pria kelahiran kampung Bugis Sesetan, Denpasar Selatan.
Agama Islam dan Hindu sesungguhnya memiliki banyak persamaan bahkan terjadi akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Pulau Dewata.
Bukti lain dari terjadinya akulturasi Islam-Hindu terdapat di Desa Pegayaman Kabupaten Buleleng, Kepaon Kota Denpasar dan Desa Loloan di Kabupaten Jembrana.
Desa Pegayaman misalnya, sebagian besar warganya memeluk agama Islam, namun nama depannya sama seperti orang Bali pada umumnya. Nama khas daerah itu, misalnya Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin.
Dalam budaya, umat Islam Bali telah "berbaur" dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu.
Umat muslim juga menerapkan sistem pengairan subak, pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panen berbeda.
Umat Islam yang mengolah lahan pertanian di Subak Yeh Sumbul, Medewi, Pekutatan, dan Subak Yeh Santang, Kabupaten Jembrana, daerah ujung barat Pulau Bali, menerapkan sistem pengairan secara teratur seperti umumnya dilakukan petani Pulau Dewata, ungkap Haji Mudzakkir.
Menurut dia, adanya unsur kesamaan antara Islam dan Hindu itu dapat dijadikan tonggak lebih menciptakan kemesraan dan tali persaudaraan antara Hindu dan Islam, termasuk umat lain di Pulau Dewata, bahkan di Nusantara.
Tali Persahabatan
Tokoh puri atau sesepuh keluarga kerajaan di Bali telah menjalin tali persahabatan yang sangat akrab dengan umat Islam yang bermukim di masing-masing wilayahnya.
Keakraban itu tidak hanya membekas sampai sekarang, tetapi juga dapat diketahui melalui peninggalan tertulis pada sejumlah puri di Pulau Dewata.
Menurut Mudzakkir, pria kelahiran Bali yang leluhurnya berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan, peninggalan tertulis tersebut menyebutkan terjalinnya keakraban serta hubungan yang harmonis dan serasi antara pemeluk Islam dan Hindu.
Dalam bulan Ramadhan yang tengah berlangsung, para tokoh puri mendatangi warga muslim untuk mengadakan buka puasa bersama.
Hal itu antara lain dilakukan tokoh Puri Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, terhadap warga muslim Kampung Bugis, Angantiga, Kecamatan Petang.
Demikian pula tokoh Puri Pemecutan Denpasar datang ke warga muslim untuk mengadakan silaturahmi ke masjid Kepaon, masjid di Kelurahan Serangan maupun tempat lainnya yang selama ini telah terjalin keakraban.
Buku sejarah masuknya Agama Islam ke Bali yang ditulus oleh Drs M Sarlan, MPA, menyebutkan Islam masuk ke pulau itu abad 17, ketika adanya pendaratan perahu asal Jawa.
Saat itu penguasa Denpasar adalah Raja Cokorda Pemecutan III yang bergelar Betara Sakti dan gelar itu diberikan karena Raja Pemecutan III memiliki kesaktian yang luar biasa.
Ketika itu, Kerajaan Pemecutan tengah berseteru dengan tetangganya Kerjaan Mengwi. Diplomasi dan musyawarah tidak mampu mencegah perang bersenjata.
Para pendatang dari Jawa yang perahunya rusak dan terdampar, tenaganya dimanfaatkan oleh Raja Pemecutan sebagai prajurit yang membantu menggempur Kerajaan Mengwi. "Prajurit" pendatang tersebut dipimpin Raden Sastroningrat, seorang bagsawan kelahiran Madura. Oleh Raja Pemecutan, ia dijanjikan kebebasan serta akan dinikahkan dengan salah seorang putrinya bila bersedia membantu Kerajaan Pemecutan melawan Mengwi.
Akhirnya, pasukan gabungan Pemecutan dan para pengawal Raden Sastroningrat memenangkan pertempuaran melawan Kerajaan Mengwi.
Tidak kurang dari 30 orang pasukan Bugis gugur di medan pertempuran itu dan jenazahnya dikuburkan dalam satu kawasan di Ubung, Denpasar.
Sebagian pasukan Bugis selamat dan Haji Mukmin yang ikut dalam pertempuran tersebut selamat dan diberi gelar "Gede" serta tempat pemukiman sekaligus membangun masjid di Kampung Bugis Kelurahan Serangan, tutur Ahmad Sastra, yang merupakan generasi kelima dari Haji Mukmin.
Raja Pemecutan III menempati janjinya, atas kemenangan pertempuran itu. Sastroningrat dikawinkan dengan putri raja bernama Anak Agung Ayu Rai.
Setelah itu, Sastroningrat mengajak istrinya pulang ke Jawa. Sekembalinya dari tanah Jawa, pasangan suami-istri tersebut diterima dengan baik oleh raja, namun setelah tahu putrinya pindah agama maka raja memisahkan tempat tinggal keduanya.
Putri raja dan para pengikutnya yang setia dari Jawa ditempatkan di Kebon, kini menjadi perkampungan Islam Kepaon, Denpasar Selatan, dan sebagian di Kampung Bugis, Kelurahan Serangan. Sedangkan suaminya Sastroningrat ditempatkan di Ubung, Denpasar.
Ayu Rai wafat dan dikuburkan di tempat pemakaman "Setra Ganda Mayu" Badung yang lokasinya berdekatan dengan Puri Raja Pemecutan, dan sampai sekarang makam tersebut lebih dikenal dengan nama "Pura Keramat Puri Pemecutan".
Tempat makam tersebut dalam bulan suci Ramadhan banyak diziarahi orang Madura dan Jawa yang tinggal di Bali, di samping orang Bali, tutur Jero Mangku Made Puger yang menjaga makam tersebut.
Sumber : www.kompas.com