Primor Dialisme Melayu Raya

Oleh : René L Pattiradjawane

Empat belas tahun lalu, Samuel Huntington mengajukan sebuah paradigma baru dalam hubungan internasional melalui artikelnya yang terkenal, "The Clash of Civilization?", yang dimuat pada jurnal bergengsi Foreign Affairs pada tahun 1993.

Huntington ketika itu menyebutkan, negara bangsa adalah, dan akan tetap, menjadi aktor yang paling penting dalam urusan dunia. Tapi, kepentingan, asosiasi, dan konfliknya secara cepat dipertajam oleh faktor-faktor kebudayaan dan peradaban.

Hubungan Indonesia-Malaysia akan sangat terpengaruh oleh faktor-faktor kebudayaan dan peradaban, tepat seperti paradigma Huntington, menghadirkan disharmoni soal lagu Rasa Sayange, pemukulan dan penangkapan, persoalan Pulau Ambalat, dan lainnya. Disharmoni ini sendiri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hubungan bertetangga.

Kalau boleh menggunakan ucapan Bung Karno, presiden pertama RI, hubungan Indonesia-Malaysia ini ibarat "...een rimpeltje in de ocean", sebuah riak di lautan. Sehingga tidak mengherankan, hubungan Indonesia-Malaysia menghadirkan kilas balik "Ganyang Malaysia" sebagai kekesalan Bung Karno karena sikap abstain Kuala Lumpur terhadap persoalan Irian Barat.

Benih perbedaan dan perselisihan RI-Malaysia dan stereotip yang menganggap Indonesia sebagai bangsa yang rendah disebabkan oleh berbagai faktor tidak hanya melulu persoalan ekonomi, sosial, dan politik di antara kedua negara. Konsep Melayu Raya dalam sistem Pan-Malaysianisme ternyata memiliki resonansi yang rendah tanpa semangat nasionalisme yang membentuk sejarah pengalaman Malaysia seperti yang diduga Ibrahim Yacoob, tokoh pergerakan Pan-Melayu pada pertengahan dekade 1930-an.

Malaysia modern yang mendorong kemajuan pembangunan, melebihi Indonesia yang luas dengan penduduk keempat terbesar di dunia, ternyata di sisi lain juga menghasilkan perilaku OKB (orang kaya baru) berasaskan primordialisme yang menganggap dinasti Malaka atau Selangor adalah bibit unggul ras Melayu, melebihi orang-orang Indonesia.

Kebesaran Indonesia dalam rukun Nusantara di bawah kerajaan terkenal, mulai dari Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai, dan lainnya, dianggap merupakan bagian dari kebesaran dinasti Selangor, Malaka, Kedah, dan lainnya yang hanya memiliki wilayah kekuasaan di Semenanjung Malaysia dan sebagian wilayah utara Kalimantan.

Ketika orang-orang Jawa datang bekerja sebagai TKI, ternyata konsep Melayu yang dianggap sebagai keturunan dinasti berbagai kesultanan Malaysia menghasilkan persepsi stereotip yang berbeda dengan orang-orang Melayu yang dicita-citakan. Celakanya, para TKI lebih memilih berdamai dan kompromi menghadapi berbagai persoalan dengan penguasa local Malaysia ketimbang menyelesaikan persoalan secara hukum seperti yang dilakukan para pekerja Filipina di Malaysia.

Di sisi lain, percaturan hubungan internasional memang tidak melulu terkait dengan masalah multilateralisme yang menghasilkan diplomat andal di Deplu, tapi hubungan bilateral ternyata merupakan persoalan yang tidak kalah pelik dan perlu perhatian agar hubungan RI-Malaysia tidak menjadi lebih buruk.

Kebudayaan dan peradaban Indonesia terbangun karena asas kebangsaan yang berbeda dengan Malaysia yang membangun nasionalismenya berdasarkan rasial-etnik yang dominan tercermin pada sentimen primordialisme UMNO yang berkuasa.

Mencari identitas kebudayaan dan peradaban dengan mengaitkan kejayaan Kerajaan Sriwijaya dengan keturunan Kesultanan Malaka menjadi faktor pertikaian kita dengan Malaysia.

Sumber : Kompas.com