Politik Agraria Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Di DIY : Sebuah Refleksi Historis

Oleh : Soegijanto Padmo

Pengantar
Sumber daya berupa alam dan manusia baru akan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan apabila dapat diciptakan tata aturan yang memung-kinkan penguasaan dan pemanfaatannya yang adil dan merata. Berkaitan dengan hal itu faktor determinan yang penting adalah kekuasaan yaitu apakah kekuasaan itu amanah atau tidak amanah. Mencermati perjalanan sejarah bangsa menunjuk-kan bahwa periode pra-kolonial, kolonial, kemerdekaan tidak terlalu cocok untuk menggambarkan perubahan yang terjadi dalam pola hubungan antara manusia dan lahan sebagai aset dengan sumber kekuasaan yang menentukan pola dalam pe-manfaatan aset tersebut. Persoalan yang dihadapi pada era pra-kolonial adalah belum ditemukan informasi yang jelas tentang hubungan antara manusia + lahan dengan pemegang kekuasaan karena saat itu masyarakat masih belum berkembang sedemikian maju dan catatan tentang kehidupan mereka masih sedikit. Pada era kolonial perkembangan yang berarti adalah mulai diterapkannya politik kolonial yang mementingkan penguasaan wilayah pada abad ke-18. Pada saat dilaksanakan palihan nagari pada 1755 dapat diduga merupakan awal bagi pelaksanaan sistem apanage yang legendaris itu mulai dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Kebijakan agraris Sultan Mataram itu oleh penguasa kolonial dimanfaatkan untuk menunjang pelaksanaan politik kolonialnya.

Hubungan antara aset berupa lahan dengan tenaga kerja di pedesaan dengan penguasa di tingkat supra desa, baik itu penguasa tradisional maupun kolonial, membawa dampak yang kompleks sebagai unit kehidupan secara menyeluruh. Pada masa kolonial telah terjadi perubahan mendasar dalam kaitannya dengan pemanfaatan aset yang ada di pedesaan maupun lembaga birokrasi sebagai alat untuk memanfaatkan aset tersebut. Reorganisasi Agraria yang dilaksanakan di Kasultanan Yogyakarta yang mencapai penyelesaiannya pada 1920 itu di atas kertas memang memberikan posisi yang lebih kuat bagi kuli atau pemegang hak atas tanah atau tepatnya tenaga kerja pada sebidang tanah yaitu hak menggarap selama-lamanya. Namun sesungguhnya reorganisasi itu merupakan upaya untuk secara lebih sistematis dari pemerintah kolonial yang mewakili kepentingan pengusaha swasta dalam mengikat kuli agar secara kuat terikat dengan perusahaan swasta berupa diterapkannya sistem kontrak. Pada masa kemerdekaan pemerintah RI mengeluarkan peraturan bagi tanah kasultanan yang dikenal dengan Undang-undang 1948 atau Undang-undang Koversi yang mengatur tanah kasultanan yang dikuasai perusahaan swasta kemudian diduduki oleh penduduk pada masa Perju-angan kemerdekaan itu.

Pada periode kemerdekaan juga telah menyaksikan upaya yang dicanangkan oleh PBB untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan untuk meningkatkan produktivitas. Berbagai negara berkembang seperti Mesir dan Iran secara gigih melaksanaan kebijakan yang dikenal dengan landreform itu. Di Indonesia program landreform itu dikeluarkan berupa Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam makalah ini akan dibahas tentang kepemilikan tanah kraton, perkembangan penguasaan, kepemilikan dan penggunaan tanah di D.I. Yogyakarta, serta relevansi Perundangan yang diterbitkan oleh Kraton, Perundangan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi D.I. Yogyakarta, serta perundangan yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia seperti Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah di Propinsi D.I. Yogyakarta.

Penguasaan tanah di Kasultanan Yogyakarta
Secara tradisional Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Kasultanan Mataram adalah pemilik atas lahan atau tanah yang ada di dalam daerah kekua-saan atau wewengkon-nya (Uraian pada bagian ini berdasarkan pada Soemarsaid Moertono, 1963; Soeripto, 1929; Rouffaer, 1931 kecuali apabila disebut secara khusus). Dalam Adatsrechtbundel Jilid XXXIV, menyebutkan bahwa wilayah kerajaan Mataram lama dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu (1) Negara, kota-istana yang menjadi pusat segala kehidupan yang mencakup masalah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan; (2) Nagara-gung yang secara harafiah berarti kota besar; dan (3) Mancanegara, yaitu daerah di luar Nagara. Tanah apanage atau tanah lungguh bagi kerabat kraton baik yang dingkat menjadi aparat kerajaan atau tidak hanya berada di Nagaragung bukan di Mancanegara. Wilayah Nagaragung, yang merupakan wilayah dimana sistem apanage diduga mulai diterapkan sejak 1700 oleh Mangkurat II (1677-1703), meliputi(1) Mataram asli, kira-kira wilayah DIY pada masa kemerdekaan; (2) Pajang, baratdaya Surakarta; (3) Bangwetan, yaitu Sukawati, timur laut Surakarta; (4) Bagelen; (5) Kedu; (6) Bumi Gede atau Siti Ageng yaitu Surakarta Barat ditambah sedikit daerah perbatasan Semarang barat-daya sampai kira-kira garis Ungaran-Kedungjati. Daerah luar Nagaragung ini adalah Mancanegara yang terdiri dari Banyumas, Madiun, Kediri; serta Japan, baratdaya Surabaya, Jipang, tenggara Rembang, Grobogan dan daerah kecil lainnya di Jawa Timur.

Palihan Nagari atau pemecahan Kerajaan Mataram lama menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta bukan tanpa campur tangan pemerintah Kumpeni. Kekuatan asing ini tidak ingin melihat kedua Kerajaan Kejawen ini tumbuh kuat. Oleh karena itu pembagian daerah inti yaitu Nagaragung yang memang tingkat kesuburannya tidak sama namun bagian masing-masing harus sama yaitu masing-masing memperoleh 53.100 karya ( bahu atau cacah ). Maka akibatnya terjadi kesimpang siuran, dimana ditengah-tengah wilayah Sultan terletak lahan milik Sunan, demikian sebaliknya.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber yang berupa lahan Raja sebagai penguasa tertinggi atas segala sesuatu yang ada diwilayahnya menyerahkan tanah kepada kawulanya. Rakyat kebanyakan ini sebagai penggarap tanah pertanian yang ada di pedesaan. Suatu prinsip yang diduga sudah diterapkan sejak Kerajaan Demak yang menyertai hubungan tersebut adalah bahwa azas yang diterapkan dalam pembagian hasil produksi adalah sistem maro. Dalam sistem ini separuh hasil untuk pemilik tanah dan separuh hasil untuk petani penggarap. Sistem maro ini diperkirakan telah dipraktekkan di berbagai wiulayah di Indonesia khususnya di Tanah Jawa. Dan sisten ini pula yang mendasari setiap perjanjian bagi hasil dalam berbagai kegiatan ekonomi oleh masyarakat sampai sekarang.

Dalam melaksanakan pekerjaan penggarapan lahan itu Raja penunjuk seorang pengawas yaitu Kepala Desa, yang di Jawa disebut dengan bekel, lurah, petinggi, kuwu, dan sebagainya. Kecuali melakukan menyelenggarakan organisasi produksi dan melakukan pengawasan atas pelaksanakan kegiatan tersebut, Kepala Desa atau Bekel juga bertugas untuk mengumpulkan pajak. Sebagai upah dalam melak sanakan tugas tersebut, Bekel diberi gaji oleh Raja yaitu seluas seperlima dari luas tanah yang di bawah pengawasannya. Dengan demikian tanah pertanian di pedesaan dapat dibagi menjadi lima yaitu: Satuperlima bagian merupakan daerah bebas pajak karena berstatus tanah lungguh atau gaji bagi bekel. Sisanya yang empatperlima tetap menjadi milik Raja, yang disebut daleman. Tanah Raja ini apabila memberikan hasil, Raja berhak memperoleh separuhnya, dan separuhnya yang lain menjadi milik petani penggarap. Pembagian hasil tiu hanya berlaku bagi tanaman pokok yang ditanam di lahan pertanian yaitu padi. Untuk tanaman lain seperti palawija semula Raja tidak memperhitungkan. Baru pada masa kemudian ketentuan bagi hasil untuk palawija ditetapkan sepertiga bagian untuk Raja dan yang duapertiga untuk petani. Sistem ini lazim disebut dengan sistem mertelu. Diterapkannya sistem mertelu itu sejak 1743 saat daerah Kabupaten Pesisir diserahkan kepada Kumpeni.

Sistem bagi hasil dengan sistem mertelu tampaknya juga telah cukup populer di daerah yang kurang subur yaitu daerah pertanian dengan irigasi setengah teknis atau daerah tadah hujan, daerah pegagan yang lazim dijumpai di daerah pegunungan atau tanah kering. Lahan semacam itu digarap dengan cangkul atau dengan cara berhuma. Di lahan tersebut yang cara penggarapannya lebih sulit tetapi hasilnya lebih sedikit maka sudah sewajarnya kalau pajak yang dibayarnya juga lebih kecil. Di daerah yang pegunungan yang kondisi lahannya kurus sistem pajak yang diterapkan adalah seperempat bagian dari hasil panen atau sistem mrapat atau seperlima bagian dari hasil panen atau sistem maralima.

Tugas bekel sebagai penarik sebagian hasil dari penggarap semua minta penggarap menyerahkan sebagian hasil pertaniannya sesuai dengan kesepakatan antara Raja dengan penggarap. Namun pada masa kemudian Bekel diperintahkan untuk menarik pajak berupa uang. Besarnya pajak berupa uang diperkirakan setara dengan nilai hasil pertanian yaitu duaperlima dari setiap luasan lahan yang dikerjakan oleh seorang penggarap. Misalnya pajak tanah sebesar satu real setiap tahun untuk setiap jung tanah pertanian maka nilai duaperlima bagian dari hasil padi tanah selas satu jung juga kuranglebih sebesar satu real Spanyol.

Sistem pajak tanah yang diduga telah dilaksanakan sejak sebelum pemerintahan Senopati pada 1585 sampai 1601. Dalam sistem tersebut setiap jung tanah digarap oleh empat orang petani ( bahu ). Setiap petani harus menyerahkan kepada raja setengah hasil sawahnya atau dengan cara lain yaitu menyerahkan uang sebesar seperempat real setahun atau sebesar satu real untuk tanah satu jung. Untuk tanah daleman pajak ditetapkan berupa hasil bumi yaitu sebesar separuhnya.

Karena suatu alasan seperti menurunnya nilai real di Tanah Jawa seperti yang terjadi pada sekitar 1743 Raja mengubah uang pajak satu real untuk setiap jung tanah pertanian atau empat bahu menjadi satu real untuk setiap bahu. Karena satu jung adalah sama dengan empat bahu maka artinya sejak saat itu pajak meningkat menjadi empat kali lipat. Sebagaimana yang tertulis dalam daftar Keturunan Raja Jawa yang diterbitkan pada 1744 misalnya seorang Wedana mempunyai 1300 cacah dan di bawah perintahnya 5000 orang kepala maka pajak yang dapat dikumpulkan oleh Wedana tersebut adalah 1300 real setahun yang dikumpulkan dari tanah lungguhnya tetapi pajak tanah dari seluruh rakyatnya tercatat sebesar 5000 real setahun. Istilah cacah yang digunakan dalam daftar tersebut berarti tanda satuan pada tongkat atau papan. Satuan Karya atau bahu juga menunjukkan cacah atau kesatuan tanah yang terletak di suatu daerah. Sejak Palihan Nagari pada 1755 penyamaan istilah yang dilakukan menyebabkan perubahan pada naskah Belanda pada abad ke-18 dimana yang semula cacah berarti kesatuan beralih menjadi kelompok petani dan di kemudian hari berubah lagi menjadi kelompok keluarga.

Harta kekayaan Raja yang paling nyata adalah berupa tanah atau lahan pertanian dengan penduduk yang ada di atasnya. Bagi pegawai istana yang pada umumnya adalah kerabat Raja Tinggi rendahnya pangkat atau kedudukan menentukan luas tanah lungguh yang diterima oleh seorang pegawai istana. Tanah gaji bagi pegawai istana atau tanah lungguh itu prakteknya juga harus dipercayakan kepada Bekel sebagai pelaksana kegiatan organis produksi di tanah lungguh tersebut. Seperti yang terjadi saat tanah tersebut dikuasai langsung oleh Raja maka pegawai tersebut memperoleh seperlima bagian dari hasil pertanian sedangkan yang empatperlima dibagi dua antara bekel dan petani penggarap.

Di dalam wilayah Negaragung keadaanya berbeda. Di wilayah ini sebagian besar tanah Raja diserahkan kepada orang lain. Beberapa tanah tertentu seperti tanah narawita, tanah Mahkota, yaitu tanah di Kasultanan Mataram karena hasil padinya dan tanah tertentu didekat istana disediakan untuk Raja sendiri sebagai kebun bunga, untuk menanam rumput, dan sebagainya.

Seseorang yang memperoleh tanah lungguh di daerah narawito untuk melaksanakan haknya ia cukup menyerahkan kepada Bekel beserta penduduk yang ada di desa tersebut tanpa melewati perantara. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah sistem maro seperti yang diuraikan di depan. Sementara itu di wilayah mancanegara sistem bagi hasil yang dilaksanakan masih belum jelas karena di tempat tersebut kekuasaan pemerintah lokal masih cukup kuat sehingga sistem yang diterapkan di pusat belum cukup mempengaruhi pelaksanaan di daerah.

Dengan menyusutnya luas tanah lungguh seperti yang terjadi di daerah Kedu pada 1812 sebagai akibat menyusutnya luas Praja Kejawen. Akibat dari keadaan tersebut adalah untuk pertama kali Raja Mataram memberi gaji kepada pegawainya berupa uang, sebagai tunjangan kepada beberapa orang pejabat. Dilaporkan bahwa pada 1820 sistem tunjangan di Kasultanan Yogya sudah meluas. Kasunanan lebih memiliki tanah karena sampai 1831 Sunan masih dapat memberi gaji pegawainya berupa tanah lungguh.

Sejalan dengan menyusutnya wilayah Praja Kejawen pemanfaatan lahan untuk tanah lungguh bagi pegawai atau sistem apanage menjadi masalah. Namun sepanjang masih dapat dilaksanakan maka sistem apanage ini tetap dipertahankan. Ada satu kesamaam di kedua Praja Kejawen yaitu bahwa tunjangan bagi pegawai adalah sebesar luasan karya tanah lungguh yang dikuasakan kepadanya. Pada abad ke-19 ada perubahan yaitu bahwa dahulu penghasilan pegawai adalah satu real intu tanah lungguh seluas satu jung maka kemudian menjadi empat real setahun untuk satu jung.

Masalah yang lazim muncul dalam penguasaan tanah adalah hak waris. Bagi tanah lungguh yang boleh diwariskan adalah hanya bagi anak anggota keluarga Raja. Bagi keluarga pera pegawai tidak dapat diwariskan. Pewarisanpun juga dibatasi sampai keturunan yang ke empat atau canggah, yaitu cucu dari cucu yang disebut sentana artinya mempnuyai hubungan darah dengan Raja. Putra Raja mempunyai derajat lebih tinggi daripada cucu Raja. Berhubung dengan hal tersebut maka di Praja Kejawen terdapat istilah Tanah Warisan, atau kalau bukan Tanah juga tunjangan berupa uang kepada anak keturunannya, maka ada istilah belanja warisan.

Seseorang yang diangkat menjadi pejabat oleh Raja dan karena pengangkatan tersebut ia memperoleh tanah lungguh, yang bersangkutan akan menerima nawala atau akta pengangkatan dari Raja sendiri. Pejabat yang baru tersebut wajib membayar uang pendaftaran kepada Raja, yang dinamakan pilungguh, sebesar empat real setiap jung. Karena sejak Palihan Nagari satu jung pajaknya berubah menjadi empat real. Artinya pada saat pengangkatan itu pejabat tersebut sudah membayar pajak setahun penuh untuk tanah lungguh yang diberikan kepadanya. Pajak itu dianggap sebagai bingkisan tanda bakti kepada Raja ( Bekti, Bukti Jw ).

Apabila tanah milik Raja itu dalam pemanfaatannya sebagian tanah itu dikuasai oleh Raja dan keluarganya sebagai sumber kehidupan dan sebagian lagi diberikan kepada para pejabat istana sebagai gaji maka rakyat kebanyakan yang hidup di atas lahan tersebut diberi hak sebagai penggarap. Dalam masyarakat feodal lama Raja menjadi pusat kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Terpusatnya kehidupan di Kasultanan itu mencerminkan konsep manunggaling kawulo gusti atau menyatunya antara rakyat dengan tuannya. Konsep yang paternalistik itu menggambarkan Raja sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga Raja mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyat dan sebaliknya rakyat diwajibkan untuk mengabdi kepada Raja. Konsep semacam itu bukan saja merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan atau tinitah tetapi konsep itu menunjukkan pula adanya saling ketergantungan yang erat antara dua unsur yang berbeda yang tidak terpisahkan.

Dengan wibawa yang dimilikinya Bekel tampil sebagai mediator sekaligus sebagai legitimizer dalam melaksanakan pemanfaatan tanah lungguh. Sebagai poemegang hak atas tanah lungguh yang ada di pedesaan, para patuh tidak berurusan langsung dengan rakyat. Pengelolaan tanah lungguh itu sepenuhnya menjadi wewenang Bekel. Oleh karena itu Bekel, meskipun ia bukan berstatus sebagai pemilik tanah tetapi berhak menentukan siapa memperoleh apa. Bekel dengan kekuasaannya itu berhak menunjuk warga desanya untuk menjadi penggarap atau kuli. Setiap kuli diberi sebidang tanah pekarangan dan sebidang atau beberapa bidang tanah pertanian. Hak atas tanah pertanian itu adalah sekedar menggarap bukan memiliki meskipun ia dijinkan untuk mewariskan tanah itu kepada keturunannya. Hak semacam itu disebut hak anggaduh, sebagai ditetapkan dalam Rijksblad Kasultanan Ngayogyakarta ( Rijksblads van Sultanaat Yogyakarta 1918, No. 16, Pasal 1 ).

Kekuasaan yang sedemikian besar ini memberikan implikasi politik yang serius pada masa kemudian. Semula setriap desa hanya terdapat saru atau beberapa Bekel dan setiap Bekel mempunyai sejumlah petani pengikut sebagai penggarap tanah yang dikuasakan kepadanya. Sejalan dengan pertambahan penduduk maka jumlah Bekel dalam satu desa bertambah tetapi jumlah pengikut cenderung berkurang. Semakin banyaknya jumlah Bekel di pedesaan dianggap oleh pejabat kolonial sebagai tidak efektif dan menjadi sumber berbagai tindak pemerasan di kalangan masyarakat pedesaan serta pelaksanaan berbagai pekerjaan tidak efisien. Oleh karena itu pada 1890 pejabat pemerintah kolonial mendorong dilaksanakan- nya restrukturisasi dengan cara menunjukan Bekel senior sebagai kepala Desa dan Bekel lainnya sebagai pengawas pekerjaan yang dilakukan di desa atau disebut Bekel Gundul karena tidak mempunyai kuli (Soegijanto Padmo, 2002). Kebijakan ini merupakan sumber meletusnya berbagai protes dari Bekel Gundul yang terjadi di pedesaan pada pergantian abad ke-20.

Sebagai pemilik tanah yang ada di Kasultanan Raja memiliki hak menguasai dan mencabut hak dari pemegangnya atau memberikan kepada pihak lain. Hak penguasaan tanah dalam sistem feodal semacam itu memberikan keleluasaan kepala penenam modal swasta asing berkembang di daerah Praja Kejawen. Tanah milik Raja disewakan kepada pemerintah kolonial Belanda lewat Gubernur Jendral, perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Belanda maupun perusahaan swasta, perseorangan bangsa Belanda dan Cina. Pejabat Belanda, pengusaha Cina, mapun perusahaan swasta Belanda itu menyewa tanah di beeerbagai beagian wilayah Kasultanan. Semula mereka menyewa untuk membangun tempat peristirtahatan tetapi kemudian berkembang menjadi perusahaan perkebunan atau perusahaan lainnya.

Dalam ketentuan yang termuat dalam Rijksblad 1918, yang merupakan Keputusan Raja atas Reorganisasi Agraria yang sangat dianjurkan oleh para pejabat Belanda kepada Raja, hak rakyat pedesaan atas tanah yang mereka kerjakan masih lemah yaitu terbatas pada hak menggarap. Melihat kenyataan itu, Raja berniat mengubah ketentuan dalam pemanfaatan tanah Raja tersebut. Dalam merealisasikan maksud tersebut pada tahun 1925 Raja menata kembali aturan mengenai pemanfaatan tanah di wilayah Kasultanan. Dalam aturan yang baru ditetapkan bahwa rakyat diberi hak pakai secara turun temurun. Tanah yang diberikan kepada seseorang dengan hak pakai itu dapat diwariskan kepada keturunannya dan menyerahkan tanah dengan status hak memiliki kepada Kalurahan yang ada di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta. Dengan demikian tanah desa oleh Raja diberikan hak penguasaannya kepada Kalurahan atau Desa dengan hak handarbeni atau hak memiliki. Namun tanah yang diberikan kepada Desa itu hanyalah tanah yang jelas digunakan oleh rakyat sebagai tempat tinggal atau diusahakan untuk mengusahakan tanaman pangan. Dengan demikian Desa atau Kalurahan memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengatur penggunaan tanah yang menjadi wewenang dan kekuasaannya seperti menyewakan atau adol sewa, memindahkan untuk digunakan secara turun-temurun atau erfelijk gebruiksrecht, memindahkan sementara hak atas tanah atau tijdelijke vervreemding.

Di wilayah perkotaan, tanah milik Raja langsung dikuasai Raja dan Raja mengatur pemanfaatan tanah tersebut. Tanah Kraton yang sangat luas itu dalam pemanfatannya diatur sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sebagai berikut (Lihat Ter Haar, t.th.; Notoyudo, 1975; Tauchid, 1952):

a.Tanah yang digunakan sendiri oleh Sultan

b.Tanah yang diberikan kepada pemerintah Hindia Belanda guna keperluan membangun jalan kereta api, benteng Vredeburg, kantor/kediaman Residen /Gubernur, Setasiun, dan lain-lain.

c.Tanah dengan hak eigendom dan opstal yang diberikan kepada orang Tionghoa dan Belanda

d.Tanah yang diserahkan kepada untuk digunakan sebagai pegawai sultan yang dikelola secara kelompok yang disebut tanah golongan

e.Tanah yang diserahkan kepada kerabat Sultan dengan status hak pakai yang disebut tanah kasentanan

f.Tanah pekarangan Bupati yang semula termasuk tanah golongan tetapi lambat laun dilepaskan ikatan golongannya dan menjadi tanah pekarangan pegawai tinggi lainnya.

g.Tanah pekarangan dan perkebunan yang terletak di luar pusat kota yang diberikan dengan hak pakai kepada Patih Dalem yang disebut tanah Kebonan untuk kepentingan umum.

h.Tanah pekarangan rakyat termasuk tanah yang di bawah kekuasaan sultan

i.Sawah yang dikerjakan dan dipelihara oleh Bekel yang disebut Tanah Maosan.

Tanah dimana bangunan kraton terletak seluas 4.000 meter persegi berada di tengah kompleks kraton seluas 14.000 meter persegi yang terletak di antara Sungai Code dan Winongo. Pembangunan kota Yogyakarta setelah Palihan Nagari didahului oleh pembangunan tempat tinggal Residen baru Istana Raja dan rumah kediaman para pejabat dan prajurit Kraton. Penempatan pegawai raja di ibukota diatur masing-masing menurut golongan pekerjaannya yang merupakan kampung tersendiri. Tiap golongan mempunyai daerah lingkungan kediaman dalam kota sebagai tanah golongan. Terdapat 8 golongan yang masing-masing dikepalai oleh Bupati Nayoko – Mantri – yaitu Bagian dalam – reh lebet - dan Bagian Luar – reh jawi. Masing-masing terdiri dari Gedong Kiwo, Gedong tengen, Keparak Kiwo, Keparak tengen – keempat ini masuk Reh Lebet.

Sumber : http://sejarah.fib.ugm.ac.id