Pertanian Jambi, Dulu dan Sekarang

Oleh : Dr. Muh. Safri, SE., MSi.

Pada tahap revolusi (1945-1965), keadaan pertanian secara nasional dan begitu juga yang terjadi di Jambi ditandai dengan tetrjadinya nasionalisasi perkebunan dan badan-badan usaha eks kolonial Belanda dan Jepang, seperti perkebunan Teh Kayu Aro Kerinci. Nasionalisasi badan-badan usaha peninggalan Belanda dan Jepang tersebut besarnya maknanya guna memantapkan langkah awal perekonomian nasional dan daerah.

Dalam tahap kedua (tahap konsilidasi 1967-1968), sub sektor tanaman pangan tumbuh rata-rata 3,58%, sub sektor perkebunan rata-rata 4,53%.Sehingga secara nasional rata-rata sektor pertanian tumbuh sebesar 3,39% pertahun.Produksi beras sudah dapat mencaoai produksi rata-rata di atas 2 juta ton pertahun (1970) dan dibandingkan dengan tahun 1963, produktivitas pada tahun itu berhasil meningkat dua kali lipat.

Dinamika Sektor Pertanian
Pada pertumbuhan tinggi (1978-1986), sektor pertanian mampu mencapai tingkat pwertumbuhan diatas 5% pertahun. Sebagian besar masyarakat pedesaan Jambi masih mencukupi kebutuhan beras sehari-hari mereka dari olahan sawah sendiri.Kondisi produksi pertanian yang relatif bagus tersebut, adalah buah kebijaksanaan ekonomi makro disektor pertanian yang benar-benar berbasi pertanian.Rata-rat sektor pertanian mencapai pertumbuhan 6,8% pertahun.Produktivitas pertanian secara nasional rata-rata meningkat 5,6% pertahun cukup dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Jambi.

Racun Transformasi Pertanian
Walau kejadian-kejadian itu menghasilkan dampak positif, revolusi hijau yang dicananangkan pemerintah menelorkan dampak negatif pula berupa sistem monokultur tanaman. Kabupaten Bungo Tebo, Batang Hari dan Kabupaten Sarko saat itu masih didominasi monokultur tanaman karet rakyat.

Pada tahap dekontruksi sebagaiman diistilahkan sebagimana diistilahkan (1986-1997) kontribusi sektor pertanian rata-rata bergerak lamban 3,4%.Salah satu jawaba bahwa kemungkinan kita terlena dengan swasembada yang pernah diraih. Mungkin kita mengira bahwa keaadan swasembada akan bergulir terus dengan sendirinya.Padahal secara ekonomi tahap maturity(tahap puncak) yang dicapai tidak dapat diprtahankan dengan implementasi kebijakan yang tepat akan mengalami penurunan (decreasing activity).

Kebijaksanaan pengembangan sektor perindustrian yang diawali lebih intensif pada 1990 membawa pengaruh terhadap sektor pertanian di Jambi.Urbanisasi para petani dengan bekal pendidikan seadanya diperkotaan, misalnya menjadi buruh bangunan atau tukang ojek yang tingkat produktivitas relatif rendah.semestinya mereka harus tetap tinggal di pedesaan dan tetap berprofesi sebagai petani namun yang terjadi perginya tenaga potensi pedesaan ke kawasan perkotaan (urban) yang umumnya asing dimata petan, menjadikan geliat ekonomi pedesaan yang ditinggalkan menjadi suram dan tyidak menarik.

Pertanian Jambi Pragmatik
Diperlukan langkah kebijakan yang jitu untuk mengerem terjadinya backwash effect kebijakan agro industri dan agro bisnis pedesaan secara terintegrasi untuk memecahkan masalah spesifik lokal. Tahap yang krisis yang dimulai 1997 dan masih terus kita rasakan seharusnya senantiasa disikapi sebagai cambuk yang kuat untuk diatasi. Jika berpikir positif dan berbicara peluang mari kita jadikan sektor pertanian Jambi dan melakukan lompatan transformatif.Pemerintah, kalangan Swasta daerah dan kalangan masyarakat lainnya bersama-sama bergotong royong mewujudkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetisi komoditi unggulan pertanian Jambi.

Penulis adalah Alumni IPB, Kabid. Balitbangda Prov. Jambi, Dosen MEP Unja, Dosen S2 IAIN ST dan Unbari

Sumber : http://www.kotajambi.go.id/id