Oleh : Dra. Maleha Azis
Penulis mengemukakan berbagai peran perempuan Melayu di Riau pada periode sebelum dan sesudah tahun 1950. Setiap periode diklasifikasikan menurut peran dan tokoh-tokohnya. Di Riau sebelum tahun 1950, seorang perempuan berperan sebagai istri, ibu, dan memegang peran dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Tokoh perempuan periode ini adalah Cik Puan. Sesudah tahun 1950, perempuan berperan sebagai pendidik (formal dan nonformal) dan aktif dalam organisasi kemasyarakatan (Aisyiyah dan sebagainya). Tokoh periode ini antara lain R. Hadijah, Khadijah Ali, dan Fatimah binti Suhil.
1. Pendahuluan
Tulisan ini memaparkan peran perempuan Melayu Riau dalam kebudayaan Melayu Riau dan memperkenalkan tokoh-tokoh perempuan Melayu Riau yang telah berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara umumnya, dan kebudayaan daerah Riau khususnya. Informasi diperoleh dari observasi, wawancara terhadap tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai andil dalam meningkatkan peran perempuan Melayu Riau, dan melalui studi pustaka yang ten-tang perempuan Melayu Riau.
Perempuan Melayu Riau telah memajukan kebudayaan daerahnya bersama kaum laki-laki, namun perannya belum banyak diketahui. Berbagai tulisan tentang tokoh laki-laki Melayu Riau relatif lebih banyak dibandingkan dengan tokoh perempuan. Keadaan itu mendorong penulis untuk mempelajari peran perempuan Melayu Riau dan tokohnya, yang telah berperan dalam kebudayaan Melayu Riau. Informasi yang disajikan dalam tulisan ini sebagian besar berasal dari kebudayaan Melayu yang terdapat di Bengkalis dan Siak.
2. Kebudayaan Melayu Riau
Kebudayaan adalah milik manusia, karena manusia merupakan makhluk tertinggi yang memiliki kemampuan untuk mengubah serta memberikan bentuk dan susunan baru terhadap pemberian alam sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohani. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, sehingga kesatuan hidup manusia terwujud dalam bentuk masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia membutuhkan beberapa hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan hal ini menimbulkan kebudayaan.
Koentjaraningrat membagi pengertian kebudayaan dalam tiga wujud, yakni (a) wujud kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks berupa ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; (b) wujud kebudayaan sebagai rangkaian aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; (c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Masing-masing kebudayaan akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga terjadi pergeseran dan perubahan nilai budaya masyarakat itu sendiri. Perubahan yang terjadi disebabkan oleh faktor intern dan faktor ekstern. Masyarakat manusia berkembang, pindah ke daerah lain, kemudian saling berhubungan (Koentjaraningrat, 1980: 200–201).
Pengertian Melayu sangat luas, namun Melayu yang dimaksud di sini menunjukkan Melayu sekarang. Kata Melayu pertama kali diketahui dari berita Cina tahun 644 yang menunjukkan adanya Kerajaan Melayu Nusantara. “Pada waktu itu Kerajaan Mo lo yeu menghadiahkan hasil negerinya dan dalam pada itu dikenal Melayu” (Krom, 1950: 48). Nama Melayu dapat dihubungkan dengan negeri Melayu yang terletak di pantai timur Sumatera yang berpusat di sekitar Jambi.
Pada tahun 629 It Sing membuat pernyataan yang menarik mengenai pengertian Melayu setelah singgah di Melayu atau Jambi. Dia mengatakan bahwa setelah dua bulan dia meninggalkan Sriwijaya ke India, Melayu atau Jambi kemudian menjadi bagian dari Sriwijaya (Hall, 1981: 57).
a. Melayu Riau : Sebuah Pengertian
Pengertian Melayu Riau selanjutnya diawali dari Kerajaan Melayu Melaka. Pada tahun 1511 setelah Melayu Melaka direbut Portugis, maka pusat Melayu pindah ke Johor. Di Johor Sultan Mahmud Syah juga mendapat serangan dari Portugis. Pada tahun 1513 dia memutuskan untuk pindah ke Bintan yang terletak di sebelah selatan Singapura (Ryan, 1962: 49). Setelah pusat kekuasaan pindah ke Bintan, “Bintan pun kalah, maka lari pula ke Kampar. Di Kampar inilah mangkatnya Sultan Mahmud laki istri” (Haji, 1965: 7–8). Dia meninggal dunia pada tahun 1528.
Pada tahun 1818, daerah kekuasaan Kerajaan Riau meliputi Riau-Johor, Pahang, Riau-Lingga, serta rantau jajahan taklukannya, tetapi Traktat London 1824 yang dibuat oleh Belanda dan Inggris menegaskan bahwa Kerajaan Riau dan Lingga langsung di bawah kekuasaan Belanda, sedangkan Johor dan Pahang diserahkan kepada kekuasaan Inggris (Lutfi dkk., 1977: 379). Dalam perjanjian itu wilayah kerajaan terbagi dua, yaitu 1) Kerajaan Melayu Johor, Pahang, dan Singapura; dan 2) Kerajaan Riau yang meliputi Riau-Lingga yang dikenal dengan nama Melayu Riau.
Daerah Riau dahulunya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Tengah, namun pada tanggal 27 Februari 1958 daerah Riau menjadi provinsi tersendiri. Kata Riau berasal dari bahasa Melayu yang berarti ‘riuh‘, selanjutnya dikenal dengan kata ‘riuh rendah‘, ‘hiruk-pikuk‘, dan ‘sibuk‘. Hal tersebut sesuai dengan keadaan geografis Riau yang terdiri dari pulau-pulau yang terletak di tengah-tengah jalur lalu lintas perdagangan yang menghubungkan dunia Barat dengan Timur. Keadaan itu menimbulkan suasana hiruk-pikuk dan riuh rendah. Jadi, dari kata “riuh” yang berarti ‘ramai‘, ‘sibuk‘, ‘hiruk-pikuk‘ tersebut nama Riau timbul.
Kebudayaan Melayu yang kita bicarakan sekarang adalah kebudayaan Melayu Riau. Kebudayaan Melayu Riau dipengaruhi oleh kebudayaan animisme dan Hinduisme. Setelah masuknya agama Islam, corak kebudayaan Melayu Riau mengalami perubahan. Nilai Islam dipandang sebagai tolok ukur dan berperan dalam menyaring nilai-nilai lain, karena nilai-nilai Islam dipandang lebih tinggi daripada nilai-nilai lain (Ahmad, 1985: 6). Menurut wilayahnya, kebudayaan Melayu Riau dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Riau Daratan yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, dan Riau Kepulauan yang berbatasan dengan Malaysia.
Kebudayaan dari daerah yang berbatasan dengan Riau sedikit banyak telah mempengaruhi kebudayaan Riau, sehingga kebudayaan Melayu Riau beragam. Keragaman kebudayaan ini disebabkan terutama oleh hubungan manusia dengan Khalik, hubungan manusia dengan penguasa, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Keragaman kebudayaan Melayu diseragamkan oleh adanya unsur agama Islam. Pengaruh agama Islam dalam kebudayaan Melayu memberikan corak khusus dan menentukan perkembangan kebudayaan secara material maupun moral.
b. Sistem Kekerabatan
Secara geografis Provinsi Riau terbagi atas dua bagian, demikian juga sistem kekerabatannya. Penduduk Riau yang hidup sebagai nelayan (pelaut) memiliki sistem kekerabatan patrilineal. Karena kaitan keluarga didasarkan pada pihak bapak sesuai dengan ketentuan dalam agama. Dalam susunan keluarga bilateral, hubungan keluarga seseorang diperhitungkan dengan mengikuti garis keturunan pihak ibu dan bapak. Walaupun garis keturunan keluarga mengikuti pihak bapak, tetapi dalam tata pergaulan dan kewajiban sosial, pihak bapak dan ibu sama kuat, sehingga kewajiban anak terhadap keluarga bapak maupun keluarga ibu sama beratnya (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Riau, 1977/1978). Dalam hal pernikahan dan pemilihan jodoh dibebaskan bagi yang menjalani, asal orang tua atau keturunannya jelas. Menurut adat Riau Kepulauan atau patrilineal, seseorang boleh menikah asal bukan dengan muhrimnya.
Di daerah Riau Daratan sistem kekerabatan adalah matrilineal, yaitu menurut garis keturunan ibu dengan kesukuannya yang masih kuat, yang dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Menikah dengan orang yang masih satu suku dilarang, karena dianggap masih mempunyai pertalian darah (klan). Mereka yang melanggar adat akan mendapat hukuman sesuai dengan ketentuan adat dan sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Sesuai dengan perkembangan zaman, seorang ayah tidak lagi bertanggung jawab atas kemenakan, tetapi bertanggung jawab sepenuhnya atas anaknya.
3. Peran Perempuan Melayu Riau Sebelum Tahun 1950
Kebudayaan Melayu Riau diwarnai oleh unsur-unsur Islam. Oleh karena itu tingkah-laku masyarakat Melayu selalu berpedoman pada norma-norma Islam, terutama kaum perempuannya. Dalam hadist disebutkan bahwa “Wanita adalah tiang agama. Apabila ia baik, maka negara akan baik. Dan apabila ia rusak, maka negara akan rusak”. Hadist tersebut hendaknya selalu dijadikan pedoman setiap insan agar setiap perempuan menjadi pedoman dalam segala tindak-tanduk untuk mencapai suatu negara yang baik.
Pada tahun 1950-an peran perempuan pada umumnya masih banyak berkisar dalam urusan keluarga atau rumah tangga, karena adat masih mengikat perempuan, sehingga dapat dikatakan perempuan Melayu Riau pada periode sebelum 1950 lebih berperan dalam keluarga. Namun perannya dalam masyarakat juga sudah ada, walaupun belum menonjol.
a. Peran Perempuan Melayu dalam Keluarga
Peran perempuan Melayu Riau dalam keluarga selanjutnya diuraikan sebagai berikut.
Sebagai Istri. Istri adalah pendamping suami yang sangat berperan dalam rumah tangga. Apabila si istri pandai mengatur rumah tangga, keharmonisan rumah tangga akan terwujud, sehingga rumah tangga akan berfungsi sebagai tempat yang paling nyaman bagi keluarganya. Pada umumnya, perempuan Melayu Riau masih dapat melaksanakan fungsinya sebagai seorang istri, seperti yang ditentukan oleh ajaran Islam, sehingga perempuan Melayu Riau jarang berbuat curang kepada suami. Hal itu membuat sebagian besar laki-laki Melayu Riau tidak beristri lebih dari satu. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan Melayu tidak ada yang dimadu. Bagaimanapun sebagian besar responden yang diwawancarai (60–70 orang) tetap beristri satu (monogami).
Sebagai Ibu. Ibu adalah tumpuan dalam rumah tangga. Begitu besar dan pentingnya peran ibu. Nabi Muhammad saw. bersabda “Surga terletak di bawah telapak kaki ibu”. Hadis ini mengingatkan agar setiap orang menghormati kedua orang tuanya. Di samping itu, kaum laki-laki harus pandai menjaga “surga” tersebut. Apabila kaum laki-laki dan kaum perempuan sama-sama menjaganya, maka keselamatan hidup di dunia dan akhirat akan terjamin.
Selanjutnya timbul pertanyaan, “Siapakah yang diutamakan dalam berbakti terhadap kedua orang tua kita?” Rasulullah Muhammad saw. menjawab, “Ibumu, sesudah itu ayah” (Hamka, 1973: 41). Hadis itu menekankan besarnya peran perempuan sebagai seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan pembinaan dan kasih sayang. Suasana rumah tangga yang tenang dan bahagia merupakan modal yang baik dalam pembentukan pribadi anak. Hal yang dapat dilakukan perempuan dalam pembentukan pribadi anak antara lain pertama, dengan menyanyikan lagu untuk anak yang berumur 2 tahun, saat anak tersebut akan tidur. Nyanyian lagu yang dipilih adalah yang mengandung makna pendidikan, seperti lagu salawat Nabi dan mengagungkan nama Allah. Dengan begitu, perempuan telah mengajarkan agama, sehingga anak dapat mengenal kata-kata Laa ilaahaillallah, Muhammadurrasulullah, dan kata lain yang bernafaskan agama.
Kedua, dengan bercerita, ketika anak berumur 3–10 tahun. Dalam hal ini orang tua (nenek, makcik, dan sebagainya) harus sering bercerita saat anak atau cucunya hendak tidur. Cerita yang disajikan misalnya cerita Anak Durhaka, Si Miskin, Anak Yang Sombong, Kancil Yang Cerdik, Bato Belah Bato Bertangkup, dan sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan. Secara tidak langsung cerita ini dapat membentuk sikap dan watak anak, sehingga anak dapat membedakan hal baik dan buruk, hal yang berdosa dan hal yang berpahala. Diharapkan nilai-nilai positif yang terkandung dalam cerita itu akan menjadi pedoman bagi anak.
Ketiga, dengan membawa anak-anak salat berjamaah, setidak-tidaknya waktu maghrib, karena hal ini akan membiasakan anak melakukan ibadah. Keempat, menyekolahkan anak, minimal sekolah di daerahnya (sekolah agama dan sekolah umum), dan jika mampu disekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian ibu telah membentuk moral, sikap, dan memberi “ajar” untuk memelihara nilai-nilai sejak dini, serta telah mengawali proses sosialisasi dalam mengenal dan memelihara kebudayaan. Peran ibu dalam keluarga sangat besar dalam membina masa depan anak.
b. Peran Perempuan Melayu dalam Masyarakat
Pada umumnya, perempuan Melayu Riau baru berkecimpung dalam masyarakat setelah berkembangnya pendidikan, baik yang bersifat formal maupun nonformal. Dalam hal ini penulis akan menguraikan beberapa tokoh perempuan Melayu Riau yang diketahui, terutama yang pernah menyumbangkan tenaga maupun pemikirannya dalam meningkatkan peran perempuan Melayu, baik dalam organisasi masyarakat maupun dalam pendidikan. Uraian peran perempuan dalam masyarakat Melayu akan dibagi atas dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1945 dan periode setelah tahun 1945.
Periode Sebelum Tahun 1945
Dang Merdu. Ia adalah tokoh perempuan Melayu Riau yang telah berhasil mendidik anaknya menjadi seorang laksamana, yaitu Laksamana Hang Tuah. Hang Tuah terkenal dengan perjuangannya di sekitar Selat Melaka, walaupun dia berasal dari rakyat biasa.
Cik Puan. Pada masa pemerintahan Sultan Siak V, yaitu Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784– 1810), Kerajaan Siak terkenal mempunyai dua belas daerah jajahan, bahkan masih mengadakan penyerangan ke Kerajaan Sambas di Kalimantan Barat. Dalam penyerangan ini, peran Srikandi Siak yang bernama Cik Puan juga besar (Lutfi, 1977: 253).
Tengku Agung. Tengku Agung adalah Permaisuri Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II. Perannya dalam memajukan kaumnya ialah mendirikan sekolah perempuan yang bernama Latifah School, pada tahun 1926. Masa pendidikan di sekolah itu ditempuh selama 3 tahun, dengan beberapa guru, yaitu 1) Halimah Batang Taris dari Pematang Siantar yang mengajar vak bahasa Belanda; 2) Encik Saejah, istri Encik Muhayan dari Siak, mengajar vak jahit-menjahit; dan 3) Zaidar dari Payakumbuh, mengajar vak masak-memasak (Jamil, 1985: 1).
Di samping sekolah umum, sekolah agama pun telah maju, baik untuk kaum perempuan maupun untuk kaum lakilaki. Sekolah untuk kaum perempuan bernama Madrasatun Nisak yang terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat Ibtidaiyah, selama 5 tahun dan tingkat Tsanawiyah, selama 2 tahun.
Para guru sekolah agama tinggal di Istana Kesultanan (Istana Melintang) bersama dayang-dayang. Guru-guru tersebut antara lain Raudha, Misbah Thaib, Fatimah, Rohana, Rohani, dan lainnya. Murid yang tamat dari Madrasatun Nisak kemudian melanjutkan ke Kuliatul Mualimat Islamiah (KMI) di Padang Panjang, karena Sultan Siak berhubungan baik dengan pemimpin Diniyah Putri Padang Panjang. Sultan dan permaisuri selalu berkunjung ke sana, baik untuk istirahat ke Bukittinggi maupun meninjau murid-murid dari Kerajaan Siak yang mendapat beasiswa dari kerajaan, seperti Misbah Thaib, Tengku Aisyah, dan lainnya.
Pelajaran dilaksanakan pada pagi hari, sedangkan sore hari belajar di sekolah agama. Dengan demikian, mereka telah membina perempuan-perempuan lain agar nantinya dapat membina keluarga dan anak-anaknya menjadi manusia berguna.
Pada tahun 1926 pemerintah Belanda juga mendirikan sekolah umum, seperti Volk School (Sekolah Desa) dan HIS.
Periode Setelah Tahun 1945
Tengku Maharatu. Tengku Maharatu adalah permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang kedua, setelah permaisuri pertama, Tengku Agung meninggal dunia. Dia melanjutkan perjuangan kakaknya dalam meningkatkan kedudukan kaum perempuan di Siak dan sekitarnya, yaitu dengan mengajarkan cara bertenun yang kemudian dikenal dengan nama tenun Siak. Tenun Siak yang merupakan hasil karya kaum perempuan telah menjadi pakaian adat Melayu Riau yang dipergunakan dalam pakaian adat pernikahan dan upacara lainnya. Berkat perjuangan permaisuri pertama yang dilanjutkan oleh permaisuri kedua, perempuan yang tamat dari sekolah Madrasatun Nisak dapat menjadi mubalighat dan memberi dakwah, terutama kepada kaum perempuan.
Raja Khodijah binti Raja H. Usman. Ia adalah salah seorang tokoh perempuan dari Kepulauan Riau yang berkecimpung dalam masyarakat sebagai pemimpin organisasi, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Dia Lahir di Daik Lingga pada 21 Februari 1919. Pendidikannya adalah Inlandsche School (5 tahun) di Daik dan tamat tahun 1932. Pendidikan terakhir Kweek School Nieuwe Stijl (Gaya Baru) di Tanjungpinang tahun 1950. Sejak tahun 1937, dia menjabat sebagai pemimpin Aisyiyah, kemudian pada zaman Jepang ikut aktif dalam organisasi wanita (Fujinkai).
Pada masa Agresi Belanda kedua, dia aktif dalam organisasi BKIR (Badan Kebangsaan Indonesia Riau) dan KRIR (Kaimoyapan Rakyat Indonesia Riau). Tahun 1951, ia mulai ikut berpolitik dan memasuki Partai Islam. Tahun 1985, ia menjadi anggota DPRD Tk. II Kepulauan Riau mewakili Partai Persatuan Pembangunan. Dari pendidikan dan kegiatan atau pengabdiannya, dia telah mempunyai keinginan besar untuk memajukan perempuan Melayu Riau seperti perempuan lainnya.
Syahawa H. B. Syahawa H. B. adalah seorang perempuan Melayu Riau yang telah ikut berjuang untuk memajukan kaumnya di Riau. Pendidikannya adalah HIS di Siak Sri Indrapura dan Kweek School di Bukit Tinggi (Sekolah Pendidikan Guru). Pada zaman Jepang, dia dikirim ke Padang untuk mengikuti kursus pertenunan.
Sampai tahun 1940 dapat dikatakan bahwa dia adalah sedikit contoh di antara wanita terpelajar di Melayu. Selama di Siak dia selalu mengadakan kegiatan bagi kaum perempuan, terutama jahit-menjahit dan tenunan Siak. Pada tanggal 16 Juli 1945 dia menikah dengan Hasan Basri (Perwira Peta). Pada tanggal 22 Oktober 1945 Hasan Basri diangkat sebagai pemimpin TKR/TNI di Riau. Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, Syahawa menjabat sebagai ketua organisasi ibu-ibu TNI yang bertugas memberikan informasi pada masyarakat umum dan kaum ibu tentang makna dan tujuan perjuangan, agar mendapat dukungan dari masyarakat dan sekaligus mengumpulkan bahan makanan dan sumbangan untuk dikirim ke garis depan (Effendy dan Effendy, t.t.: 41). Dia bekerja di dapur umum dengan Khadijah Ali, pemimpin Muslimat Riau, Rajiah Rahim dari Palang Merah, dan Fatimah Soldir dari Putri Kesatria.
Pada tanggal 16 September 1949 Syahawa H. B. disergap oleh Belanda (KNIL) saat dia bersembunyi di sekitar Siak Sri Indrapura untuk menunggu kelahiran bayinya yang ketiga. Oleh karena pandai berbahasa Belanda, maka dia dapat menghadap Perwira Distrik KNIL. Sejak itu dia menjadi tawanan Belanda dan baru bebas setelah pemulihan kedaulatan RI.
Setelah Indonesia merdeka, dia bersama suaminya, Letkol Hasan Basri, pindah ke Jakarta di awal tahun 1950. Di Jakarta Letkol Hasan Basri mengundurkan diri dari dinas militer, sementara Syahawa H. B. aktif di berbagai organisasi seperti Kerukunan Wanita Riau, Koperasi Wanita, dan lain-lain. Syahawa H. B. sampai akhir hayatnya terkenal sebagai perias pengantin Melayu Riau, khususnya pakaian adat Siak. Di rumahnya terdapat alat tenun Siak tradisional yang masih dimanfaatkan sampai sekarang. Syahawa-Basri pun pernah diundang ke Singapura dan Malaysia untuk merias pengantin dengan adat Melayu Riau. Oleh karena mahir dan serasinya beliau menggunakan adat Melayu Riau khususnya Melayu Siak, maka apabila ada pesta atau acara resmi dengan menggunakan adat Melayu tanpa Syahawa H. B. rasanya kurang sempurnalah adat Melayu Siak yang akan ditampilkan itu.
Hasan Basri dan Syahawa H. B. pernah diundang oleh Gubernur Riau, Haji Imam Munandar, untuk mengisi acara kunjungan Presiden Pakistan Zia Ul Haq ke anjungan Riau Taman Mini Indonesia Indah. Pada waktu itu, Hasan Basri bersama istri sempat ditepungtawari oleh Presiden Pakistan dan Presiden Suharto. Adapun kegiatan Syahawa H.B. yang terakhir ialah mempersiapkan pakaian Melayu Riau dari tiap kabupaten seluruh Provinsi Riau atas permintaan pengurus Sanggar Putih Melati Jakarta. Dalam penampilan pakaian tersebut, Syahawa H. B. meninggal dunia, sehingga penampilan busana Riau baru dapat disiarkan TVRI pada tanggal 18 November 1985 dalam Berita Nasional pukul 19.00 WIB. Kini Syahawa H. B. telah tiada. Dia sangat dikenal masyarakat Jakarta, khususnya daerah Menteng, karena selalu mempopulerkan adat-istiadat Melayu Riau, khususnya Melayu Siak Sri Indrapura.
Khadijah Ali. Beliau adalah seorang tokoh pemuka masyarakat yang berasal dari Pekanbaru. Dia lahir di Pekanbaru, pada tanggal 25 Oktober 1925. Pendidikan terakhir adalah Diniyah Putri tahun 1938 di Padang Panjang. Tahun 1944 (zaman Jepang) dia bekerja di bidang organisasi wanita (Fujinkai) bagian Hahanokai (penerangan). Kegiatan pada zaman Jepang adalah jahit-menjahit dan belajar memasak. Tahun 1946–1947, dia menjabat sebagai Ketua Panitia Pemberantasan Buta Huruf (membaca menulis) atas nama organisasi Aisyiah. Oleh karena aktivitasnya ini, ia mendapat surat penghargaan dari Menteri Pengajaran dan Pendidikan Mr. Ali Sastroamijoyo. Beliau pernah menjadi Ketua Kursus Pendidikan Umum Bahagian Atas (KPUA) selama 3 bulan dengan matapelajaran jahit-menjahit, masakmemasak, dan pengetahuan umum. Khadijah Ali merupakan tokoh perempuan Melayu Riau, namun tetap menjalankan fungsi sebagai istri, ibu rumah tangga, dan pemuka masyarakat yang telah berperan aktif di bidang pendidikan formal dan nonformal. Ia juga aktif di bidang pemerintahan, karena posisinya sebagai penasihat ahli di kantor BP4 sejak tahun 1963.
Fatimah binti Suhil. Beliau adalah seorang perempuan Melayu Riau yang telah mendapat pendidikan Kuliatul Mualimat lslamiah di Padang Panjang. Dia lahir di Bagan Siapi-api pada tanggal 11 November 1925. Pendidikan Kuliatul Mualimat Islamiah tidak diselesaikan karena pada tahun 1943, ia harus kembali ke Siak Sri Indrapura karena Jepang memasuki Singapura, sehingga tidak memungkinkan untuk menyelesaikan pendidikannya. Di Siak ia aktif di redaksi Riau Koho (surat kabar Jepang) yang beranggotakan Fatimah, Rohani, Misbah Taib, dan lain-lain. Tahun 1944–1946 menjadi anggota Palang Merah bersama Rohani, Misbah Thaib, dan lainnya dengan tugas memberi makan pasukan gerilya, menjahit pakaian dan alat perlengkapan tentara lainnya yang didatangkan dari Singapura. Kegiatan lain yang berhubungan dengan agama ialah memberi wirid pengajian kepada kaum ibu dan Barzanzi marhaban yang merupakan kegiatan kaum perempuan yang dilaksanakan pada waktu upacara pesta pernikahan, khitan, dan waktu mencukur rambut bayi saat berumur 40 hari (Aziz, 1976: 29).
c. Peran Perempuan Melayu dalam Adat Pernikahan
Dalam adat pernikahan, perempuan Melayu Riau berperan antara lain sebagai: penghias, mak Andam, penenun kain.
Penghias. Perempuan Melayu berperan sebagai penghias tepak, yaitu mengukir atau membentuk daun sirih. Tepak (tempat sirih, pinang, kapur, gambir, dan tembakau) merupakan inti dari segala kegiatan. Tanpa tepak, upacara pernikahan dianggap tidak beradat. Sebelum dipersembahkan, tepak harus dihias dengan membentuk daun sirih dan pinang dengan ukiran tertentu. Bagian luar/tutup tepak dihias dengan kain tenun Siak berbentuk bunga sesuai dengan bunga yang terdapat dalam seni hias tenun Siak. Fungsi tepak adalah sebagai pembuka kata dalam pertemuan adat. Selanjutnya beberapa tangkai sirih yang telah diukir dibawa oleh pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Beberapa tangkai sirih yang telah diukir disebut “bunga genggam” atau “bunga lelat”.
Selain menghias tepak, perempuan Melayu juga berperan mengukir kertas bunga atau ulur-ulur atau bendera hias pada tabak atau kepuk. Menurut upacara adat daerah Bengkalis, tabak atau kepuk merupakan tempat nasi kunyit dan telur yang diletakkan di hadapan pelamin. Tabak berwarna merah dan terdiri dari beberapa tingkat sesuai stratifikasi sosial masyarakat di Riau, khususnya yang berada di bawah naungan Kerajaan Siak. Jika keturunan raja, tabak terdiri dari tujuh tingkat; keturunan tengku atau bangsawan, terdiri dari lima tingkat; dan orang kebanyakan terdiri dari tiga tingkat. Nasi kunyit dan telur juga berfungsi dalam upacara Khatam Al Quran yang dilengkapi dengan Barzanzi dan marhaban.
Mak Andam. Peran Mak Andam selain mengandam dan merias pengantin juga sebagai penjaga pintu masuk rumah pengantin perempuan. Sebelum pemimpin rombongan pengantin laki-laki membayar pajak untuk melewati pintu rumah pengantin perempuan, pintunya akan ditutup oleh Mak Andam dan kawan-kawannya dengan kain panjang. Apabila pajak telah dibayar dan lolos dalam membalas pantun, pintu akan terbuka dan pengantin laki-laki masuk, kemudian duduk di singgasana. Setelah bersanding, tugas Mak Andam ialah memutar-mutar “bunga genggam” atau “bunga lelat” yang dibawa oleh pengantin laki-laki di atas kepala kedua pengantin sebanyak tujuh kali, lalu “bunga/sirih lelat” tersebut diletakkan di tengah gerai (Suwondo dkk., 1977/1978: 130) atau tangga pelamin sebagai lambang penyataan cinta kasih antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Tanpa Mak Andam, adat-istiadat pernikahan tidak dapat dilaksanakan, walaupun pernikahan itu sah melalui kadhi. Pernikahan baru resmi disebut beradat apabila tata-cara adat diikuti seperti yang telah diatur oleh Mak Andam.
Penenun Kain Tenun Siak. Kain tenun Siak adalah hasil teknologi tradisional yang diusahakan oleh perempuan Melayu Riau, khususnya di daerah Siak Sri Indrapura. Kain tenun Siak merupakan salah satu identitas hasil kebudayaan Melayu Riau. Kain tenun Siak yang diperuntukkan bagi perempuan berupa kain dan baju kurung, sedangkan bagi laki-laki berupa teluk belanga dan kain sarung. Setiap orang dapat memilikinya sesuai dengan kemampuannya. Pada waktu Kesultanan Siak masih berkuasa, tenun Siak yang berwarna kuning hanya boleh dipakai oleh keturunan raja. Seni hias/gambar pada kain tenun berupa pucuk rebung, tampuk manggis, bunga melati, daun paku gajah, dan sebagainya.
Dari beberapa contoh yang penulis kemukakan terbukti bahwa perempuan Melayu Riau telah berperan dalam melestarikan kebudayaan daerah Riau khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
4. Peran Perempuan Melayu Riau Tahun 1950–1985
Peran perempuan Melayu Riau sejak tahun 1950 sangat bervariasi, mulai sebagai istri, ibu rumah tangga, pemuka masyarakat, hingga pegawai negeri. Secara umum, peran tersebut meliputi berbagai bidang, antara lain bidang; (a) pendidikan, (b) masyarakat.
Bidang Pendidikan. Pendidikan formal dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas sudah merata sejak tahun 1950, sedangkan pendidikan tinggi baru berkembang di tahun 1966 dengan jumlah sarjana yang masih terbatas. Peran perempuan Melayu Riau meningkat sejalan dengan berkembangnya sektor pendidikan, baik sebagai guru, pemimpin organisasi, maupun sebagai pengusaha. Biasanya semakin tinggi pendidikan, semakin mantap pula perhatian perempuan terhadap keluarga dalam mencetak manusia-manusia cerdas dan terampil. Tokoh-tokoh perempuan Melayu Riau yang penulis hubungi sebagian besar berperan sebagai guru, baik guru sekolah umum maupun sekolah agama, serta sebagai da‘i.
Dalam pendidikan nonformal, kegiatan kaum perempuan berbentuk kursus-kursus, antara lain Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, kursus masalah gizi, kursus masalah Keluarga Berencana (KB), kursus menjahit, kursus memasak, dan sebagainya.
Kursus-kursus itu biasanya dilaksanakan tiga kali seminggu. Hasil keterampilan itu sangat berguna bagi ibu-ibu rumah tangga atau para remaja perempuan sebagai modal dasar untuk membina rumah tangga yang sejahtera.
Bidang Masyarakat (Organisasi). Beberapa perempuan Melayu Riau berperan aktif dalam organisasi kemasyarakatan seperti Organisasi Sosial Aisyiyah di Pekanbaru yang dipimpin oleh Khadijah Ali dan Organisasi Aljamiatul Washliyah yang dipimpin oleh Hj. Faridah. Kegiatan mereka lebih banyak dalam bidang agama dengan memberi dakwah, memimpin wirid Yasin, Barzanzi, dan marhaban yang disertai dengan kumpulan “Rebana”. Kegiatan perempuan Melayu Riau yang banyak pada saat ini adalah Barzanzi dan marhaban yang boleh dikatakan sebagai salah satu identitas kebudayaan Melayu Riau. Keanggotaan dan kepemimpinan perempuan dalam kegiatan ini telah mengalami perkembangan.
Selanjutnya peran perempuan Melayu Riau telah meningkat dengan adanya anggota DPRD perempuan, seperti R. Hatijah dari Tanjungpinang; Khadijah Ali, Maimanah Umar, dan lainnya dari Pekanbaru. Adapun Fatimah binti Suhil duduk di organisasi wanita Al Hidayah di bawah naungan Golkar. Hal ini berarti bahwa tugas kaum perempuan Melayu sekarang telah bertambah, yakni di samping sebagai istri pendamping suami, sebagai istri pembina rumah tangga sejahtera, juga sebagai anggota masyarakat dan pemimpin organisasi masyarakat. Sebagian besar perempuan Melayu juga telah bekerja dalam lembaga pemerintah maupun swasta. Dalam berbagai bidang, peran perempuan sudah mulai mengimbangi laki-laki. Kaum perempuan dituntut seperti yang ditetapkan dalam Panca Dharma Wanita berikut, yakni (a) wanita sebagai pendamping suami yang setia; (b) wanita sebagai penerus keturunan bangsa; (c) wanita sebagai pendidik dan pendamping anak; (d) wanita sebagai pengatur rumah tangga; (e) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna.
Berdasarkan isi Panca Dharma Wanita, tampak peran ganda perempuan untuk membaktikan diri dalam rumah tangga, bangsa, dan negara, demi tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
5. Kesimpulan
Peran perempuan Melayu Riau sebelum tahun 1950 lebih banyak dalam keluarga, baik sebagai istri, ibu, maupun berwiraswasta (home industry). Walaupun demikian, perempuan Melayu Riau tetap ikut berjuang seperti, Cik Puan yang telah ikut berjuang pada masa pemerintahan Sultan Siak V, Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784– 1810) dalam usaha pengembangan wilayah kekuasaan Kerajaan Siak.
Beberapa perempuan Melayu Riau telah memajukan pendidikan di awal abad ke-20 dengan berjuang melalui peningkatan pendidikan formal dan nonformal kaum perempuan. Kaum perempuan Melayu Riau juga telah memajukan bidang kesenian, meliputi seni suara, seperti Barzanzi dan marhaban. Seni menghias dan mengukir alatalat perlengkapan pernikahan yang bernafaskan Kemelayuan Riau, seperti membuat kain tenun Siak, juga dilakukan perempuan.
Peran perempuan Melayu Riau meningkat sesuai dengan perkembangan zaman, terutama sesudah tahun 1950. Sebagian besar perempuan Melayu Riau bekerja di jawatan pemerintah, bahkan telah duduk menjadi anggota DPRD. Dengan demikian mereka telah menunjukkan kemampuan kaum perempuan Melayu Riau dalam berjuang mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Berdasarkan observasi, wawancara, dan pembahasan, penulis menyarankan beberapa hal berikut, yakni (a) upacara adat seni Melayu yang bernafaskan agama Islam sebaiknya dilestarikan, karena agama Islam merupakan salah satu ciri kebudayaan Melayu; (b) tepak dan kepuk perlu dibudayakan kembali, karena tepak dan kepuk yang terletak pada bagian tertentu dari tingkatan tabak merupakan lambang kemakmuran dan kesuburan; (c) pembuatan kain tenun Siak sebagai salah satu unsur teknologi tradisional Melayu Riau yang dapat dijadikan atraksi pariwisata perlu dilestarikan. Pembuatan kain tenun Siak merupakan salah satu kegiatan yang dapat menambah penghasilan rumah tangga masyarakat Melayu Riau.
Daftar Pustaka
Ahmad, M. 1985. Orientasi Nilai Masyarakat Melayu: Perubahan dan Perkembangannya. Makalah Pertemuan Budaya Melayu, 31 Januari–2 Februari 1985.
Aziz, M. M. 1976. Peranan Sultan Syarif Kasim II dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Siak Sri Indrapura. Tesis, Pekanbaru.
Effendy, T. dan N. Effendy. Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pekanbaru: Badan Pembina Kesenian Daerah Provinsi Riau.
Haji, R. A. 1965. Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu dan Bugis. Singapura: Malaysia Publication.
Hall, D. G. E. 1981. Sejarah Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hamka. T.t. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Jamil, M. 1985. Mengenang Seorang Pejuang Wanita Riau dalam Revolusi Kemerdekaan. Pekanbaru: Sukabina.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar llmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Krom, N. J. 1950. Zaman Hindu. Jakarta: Pembangunan.
Lutfi, M. dkk. 1977. Sejarah Riau. Pekanbaru.
Ryan, N. J. 1962. Sejarah Semenanjung Tanah Melayu. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Suwondo, dkk. 1977/1978. Adat-istiadat Daerah Riau. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penyusun Kabupaten Dati II Indragiri Hilir. 1985. Kebudayaan Melayu Riau Sepintas Kilas. Makalah Pertemuan Budaya Melayu, 31 Januari–2 Februari 1985, Pekanbaru.
____________________
Dra. Maleha Azis, lahir di Bengkalis, 13 Mei 1945. Lulus Sarjana Pendidikan Jurusan Sejarah FKIP UNRI pada tahun 1977. Tokoh Melayu Riau ini juga menjadi dosen FKIP UNRI yang aktif mengikuti seminar, antara lain Seminar Sejarah Riau, 1975; Seminar Kebudayaan Melayu di Pekanbaru, 1985; Seminar Kebudayaan Nasional Melayu di Tanjung Pinang, 1985; dan Pertemuan Bahasa dan Sastra Wilayah Indonesia Bagian Barat di Pekanbaru, 1986.
Hasil karyanya adalah Latar Belakang Pembangunan Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura 1983–1984; Pembinaan Generasi Muda Putus Sekolah dalam Usaha Berwiraswasta di Kotamadya Pekanbaru 1983/1984; dan Pola Penguasaan, Pemilikan, dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Riau 1984.
____________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau
Penulis mengemukakan berbagai peran perempuan Melayu di Riau pada periode sebelum dan sesudah tahun 1950. Setiap periode diklasifikasikan menurut peran dan tokoh-tokohnya. Di Riau sebelum tahun 1950, seorang perempuan berperan sebagai istri, ibu, dan memegang peran dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. Tokoh perempuan periode ini adalah Cik Puan. Sesudah tahun 1950, perempuan berperan sebagai pendidik (formal dan nonformal) dan aktif dalam organisasi kemasyarakatan (Aisyiyah dan sebagainya). Tokoh periode ini antara lain R. Hadijah, Khadijah Ali, dan Fatimah binti Suhil.
1. Pendahuluan
Tulisan ini memaparkan peran perempuan Melayu Riau dalam kebudayaan Melayu Riau dan memperkenalkan tokoh-tokoh perempuan Melayu Riau yang telah berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara umumnya, dan kebudayaan daerah Riau khususnya. Informasi diperoleh dari observasi, wawancara terhadap tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai andil dalam meningkatkan peran perempuan Melayu Riau, dan melalui studi pustaka yang ten-tang perempuan Melayu Riau.
Perempuan Melayu Riau telah memajukan kebudayaan daerahnya bersama kaum laki-laki, namun perannya belum banyak diketahui. Berbagai tulisan tentang tokoh laki-laki Melayu Riau relatif lebih banyak dibandingkan dengan tokoh perempuan. Keadaan itu mendorong penulis untuk mempelajari peran perempuan Melayu Riau dan tokohnya, yang telah berperan dalam kebudayaan Melayu Riau. Informasi yang disajikan dalam tulisan ini sebagian besar berasal dari kebudayaan Melayu yang terdapat di Bengkalis dan Siak.
2. Kebudayaan Melayu Riau
Kebudayaan adalah milik manusia, karena manusia merupakan makhluk tertinggi yang memiliki kemampuan untuk mengubah serta memberikan bentuk dan susunan baru terhadap pemberian alam sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohani. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, sehingga kesatuan hidup manusia terwujud dalam bentuk masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia membutuhkan beberapa hal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan hal ini menimbulkan kebudayaan.
Koentjaraningrat membagi pengertian kebudayaan dalam tiga wujud, yakni (a) wujud kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks berupa ide-ide gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; (b) wujud kebudayaan sebagai rangkaian aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat; (c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Masing-masing kebudayaan akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga terjadi pergeseran dan perubahan nilai budaya masyarakat itu sendiri. Perubahan yang terjadi disebabkan oleh faktor intern dan faktor ekstern. Masyarakat manusia berkembang, pindah ke daerah lain, kemudian saling berhubungan (Koentjaraningrat, 1980: 200–201).
Pengertian Melayu sangat luas, namun Melayu yang dimaksud di sini menunjukkan Melayu sekarang. Kata Melayu pertama kali diketahui dari berita Cina tahun 644 yang menunjukkan adanya Kerajaan Melayu Nusantara. “Pada waktu itu Kerajaan Mo lo yeu menghadiahkan hasil negerinya dan dalam pada itu dikenal Melayu” (Krom, 1950: 48). Nama Melayu dapat dihubungkan dengan negeri Melayu yang terletak di pantai timur Sumatera yang berpusat di sekitar Jambi.
Pada tahun 629 It Sing membuat pernyataan yang menarik mengenai pengertian Melayu setelah singgah di Melayu atau Jambi. Dia mengatakan bahwa setelah dua bulan dia meninggalkan Sriwijaya ke India, Melayu atau Jambi kemudian menjadi bagian dari Sriwijaya (Hall, 1981: 57).
a. Melayu Riau : Sebuah Pengertian
Pengertian Melayu Riau selanjutnya diawali dari Kerajaan Melayu Melaka. Pada tahun 1511 setelah Melayu Melaka direbut Portugis, maka pusat Melayu pindah ke Johor. Di Johor Sultan Mahmud Syah juga mendapat serangan dari Portugis. Pada tahun 1513 dia memutuskan untuk pindah ke Bintan yang terletak di sebelah selatan Singapura (Ryan, 1962: 49). Setelah pusat kekuasaan pindah ke Bintan, “Bintan pun kalah, maka lari pula ke Kampar. Di Kampar inilah mangkatnya Sultan Mahmud laki istri” (Haji, 1965: 7–8). Dia meninggal dunia pada tahun 1528.
Pada tahun 1818, daerah kekuasaan Kerajaan Riau meliputi Riau-Johor, Pahang, Riau-Lingga, serta rantau jajahan taklukannya, tetapi Traktat London 1824 yang dibuat oleh Belanda dan Inggris menegaskan bahwa Kerajaan Riau dan Lingga langsung di bawah kekuasaan Belanda, sedangkan Johor dan Pahang diserahkan kepada kekuasaan Inggris (Lutfi dkk., 1977: 379). Dalam perjanjian itu wilayah kerajaan terbagi dua, yaitu 1) Kerajaan Melayu Johor, Pahang, dan Singapura; dan 2) Kerajaan Riau yang meliputi Riau-Lingga yang dikenal dengan nama Melayu Riau.
Daerah Riau dahulunya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Tengah, namun pada tanggal 27 Februari 1958 daerah Riau menjadi provinsi tersendiri. Kata Riau berasal dari bahasa Melayu yang berarti ‘riuh‘, selanjutnya dikenal dengan kata ‘riuh rendah‘, ‘hiruk-pikuk‘, dan ‘sibuk‘. Hal tersebut sesuai dengan keadaan geografis Riau yang terdiri dari pulau-pulau yang terletak di tengah-tengah jalur lalu lintas perdagangan yang menghubungkan dunia Barat dengan Timur. Keadaan itu menimbulkan suasana hiruk-pikuk dan riuh rendah. Jadi, dari kata “riuh” yang berarti ‘ramai‘, ‘sibuk‘, ‘hiruk-pikuk‘ tersebut nama Riau timbul.
Kebudayaan Melayu yang kita bicarakan sekarang adalah kebudayaan Melayu Riau. Kebudayaan Melayu Riau dipengaruhi oleh kebudayaan animisme dan Hinduisme. Setelah masuknya agama Islam, corak kebudayaan Melayu Riau mengalami perubahan. Nilai Islam dipandang sebagai tolok ukur dan berperan dalam menyaring nilai-nilai lain, karena nilai-nilai Islam dipandang lebih tinggi daripada nilai-nilai lain (Ahmad, 1985: 6). Menurut wilayahnya, kebudayaan Melayu Riau dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Riau Daratan yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, dan Riau Kepulauan yang berbatasan dengan Malaysia.
Kebudayaan dari daerah yang berbatasan dengan Riau sedikit banyak telah mempengaruhi kebudayaan Riau, sehingga kebudayaan Melayu Riau beragam. Keragaman kebudayaan ini disebabkan terutama oleh hubungan manusia dengan Khalik, hubungan manusia dengan penguasa, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Keragaman kebudayaan Melayu diseragamkan oleh adanya unsur agama Islam. Pengaruh agama Islam dalam kebudayaan Melayu memberikan corak khusus dan menentukan perkembangan kebudayaan secara material maupun moral.
b. Sistem Kekerabatan
Secara geografis Provinsi Riau terbagi atas dua bagian, demikian juga sistem kekerabatannya. Penduduk Riau yang hidup sebagai nelayan (pelaut) memiliki sistem kekerabatan patrilineal. Karena kaitan keluarga didasarkan pada pihak bapak sesuai dengan ketentuan dalam agama. Dalam susunan keluarga bilateral, hubungan keluarga seseorang diperhitungkan dengan mengikuti garis keturunan pihak ibu dan bapak. Walaupun garis keturunan keluarga mengikuti pihak bapak, tetapi dalam tata pergaulan dan kewajiban sosial, pihak bapak dan ibu sama kuat, sehingga kewajiban anak terhadap keluarga bapak maupun keluarga ibu sama beratnya (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Riau, 1977/1978). Dalam hal pernikahan dan pemilihan jodoh dibebaskan bagi yang menjalani, asal orang tua atau keturunannya jelas. Menurut adat Riau Kepulauan atau patrilineal, seseorang boleh menikah asal bukan dengan muhrimnya.
Di daerah Riau Daratan sistem kekerabatan adalah matrilineal, yaitu menurut garis keturunan ibu dengan kesukuannya yang masih kuat, yang dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Menikah dengan orang yang masih satu suku dilarang, karena dianggap masih mempunyai pertalian darah (klan). Mereka yang melanggar adat akan mendapat hukuman sesuai dengan ketentuan adat dan sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Sesuai dengan perkembangan zaman, seorang ayah tidak lagi bertanggung jawab atas kemenakan, tetapi bertanggung jawab sepenuhnya atas anaknya.
3. Peran Perempuan Melayu Riau Sebelum Tahun 1950
Kebudayaan Melayu Riau diwarnai oleh unsur-unsur Islam. Oleh karena itu tingkah-laku masyarakat Melayu selalu berpedoman pada norma-norma Islam, terutama kaum perempuannya. Dalam hadist disebutkan bahwa “Wanita adalah tiang agama. Apabila ia baik, maka negara akan baik. Dan apabila ia rusak, maka negara akan rusak”. Hadist tersebut hendaknya selalu dijadikan pedoman setiap insan agar setiap perempuan menjadi pedoman dalam segala tindak-tanduk untuk mencapai suatu negara yang baik.
Pada tahun 1950-an peran perempuan pada umumnya masih banyak berkisar dalam urusan keluarga atau rumah tangga, karena adat masih mengikat perempuan, sehingga dapat dikatakan perempuan Melayu Riau pada periode sebelum 1950 lebih berperan dalam keluarga. Namun perannya dalam masyarakat juga sudah ada, walaupun belum menonjol.
a. Peran Perempuan Melayu dalam Keluarga
Peran perempuan Melayu Riau dalam keluarga selanjutnya diuraikan sebagai berikut.
Sebagai Istri. Istri adalah pendamping suami yang sangat berperan dalam rumah tangga. Apabila si istri pandai mengatur rumah tangga, keharmonisan rumah tangga akan terwujud, sehingga rumah tangga akan berfungsi sebagai tempat yang paling nyaman bagi keluarganya. Pada umumnya, perempuan Melayu Riau masih dapat melaksanakan fungsinya sebagai seorang istri, seperti yang ditentukan oleh ajaran Islam, sehingga perempuan Melayu Riau jarang berbuat curang kepada suami. Hal itu membuat sebagian besar laki-laki Melayu Riau tidak beristri lebih dari satu. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan Melayu tidak ada yang dimadu. Bagaimanapun sebagian besar responden yang diwawancarai (60–70 orang) tetap beristri satu (monogami).
Sebagai Ibu. Ibu adalah tumpuan dalam rumah tangga. Begitu besar dan pentingnya peran ibu. Nabi Muhammad saw. bersabda “Surga terletak di bawah telapak kaki ibu”. Hadis ini mengingatkan agar setiap orang menghormati kedua orang tuanya. Di samping itu, kaum laki-laki harus pandai menjaga “surga” tersebut. Apabila kaum laki-laki dan kaum perempuan sama-sama menjaganya, maka keselamatan hidup di dunia dan akhirat akan terjamin.
Selanjutnya timbul pertanyaan, “Siapakah yang diutamakan dalam berbakti terhadap kedua orang tua kita?” Rasulullah Muhammad saw. menjawab, “Ibumu, sesudah itu ayah” (Hamka, 1973: 41). Hadis itu menekankan besarnya peran perempuan sebagai seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan pembinaan dan kasih sayang. Suasana rumah tangga yang tenang dan bahagia merupakan modal yang baik dalam pembentukan pribadi anak. Hal yang dapat dilakukan perempuan dalam pembentukan pribadi anak antara lain pertama, dengan menyanyikan lagu untuk anak yang berumur 2 tahun, saat anak tersebut akan tidur. Nyanyian lagu yang dipilih adalah yang mengandung makna pendidikan, seperti lagu salawat Nabi dan mengagungkan nama Allah. Dengan begitu, perempuan telah mengajarkan agama, sehingga anak dapat mengenal kata-kata Laa ilaahaillallah, Muhammadurrasulullah, dan kata lain yang bernafaskan agama.
Kedua, dengan bercerita, ketika anak berumur 3–10 tahun. Dalam hal ini orang tua (nenek, makcik, dan sebagainya) harus sering bercerita saat anak atau cucunya hendak tidur. Cerita yang disajikan misalnya cerita Anak Durhaka, Si Miskin, Anak Yang Sombong, Kancil Yang Cerdik, Bato Belah Bato Bertangkup, dan sebagainya yang berhubungan dengan pendidikan. Secara tidak langsung cerita ini dapat membentuk sikap dan watak anak, sehingga anak dapat membedakan hal baik dan buruk, hal yang berdosa dan hal yang berpahala. Diharapkan nilai-nilai positif yang terkandung dalam cerita itu akan menjadi pedoman bagi anak.
Ketiga, dengan membawa anak-anak salat berjamaah, setidak-tidaknya waktu maghrib, karena hal ini akan membiasakan anak melakukan ibadah. Keempat, menyekolahkan anak, minimal sekolah di daerahnya (sekolah agama dan sekolah umum), dan jika mampu disekolahkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan demikian ibu telah membentuk moral, sikap, dan memberi “ajar” untuk memelihara nilai-nilai sejak dini, serta telah mengawali proses sosialisasi dalam mengenal dan memelihara kebudayaan. Peran ibu dalam keluarga sangat besar dalam membina masa depan anak.
b. Peran Perempuan Melayu dalam Masyarakat
Pada umumnya, perempuan Melayu Riau baru berkecimpung dalam masyarakat setelah berkembangnya pendidikan, baik yang bersifat formal maupun nonformal. Dalam hal ini penulis akan menguraikan beberapa tokoh perempuan Melayu Riau yang diketahui, terutama yang pernah menyumbangkan tenaga maupun pemikirannya dalam meningkatkan peran perempuan Melayu, baik dalam organisasi masyarakat maupun dalam pendidikan. Uraian peran perempuan dalam masyarakat Melayu akan dibagi atas dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1945 dan periode setelah tahun 1945.
Periode Sebelum Tahun 1945
Dang Merdu. Ia adalah tokoh perempuan Melayu Riau yang telah berhasil mendidik anaknya menjadi seorang laksamana, yaitu Laksamana Hang Tuah. Hang Tuah terkenal dengan perjuangannya di sekitar Selat Melaka, walaupun dia berasal dari rakyat biasa.
Cik Puan. Pada masa pemerintahan Sultan Siak V, yaitu Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784– 1810), Kerajaan Siak terkenal mempunyai dua belas daerah jajahan, bahkan masih mengadakan penyerangan ke Kerajaan Sambas di Kalimantan Barat. Dalam penyerangan ini, peran Srikandi Siak yang bernama Cik Puan juga besar (Lutfi, 1977: 253).
Tengku Agung. Tengku Agung adalah Permaisuri Sultan Siak, Sultan Syarif Kasim II. Perannya dalam memajukan kaumnya ialah mendirikan sekolah perempuan yang bernama Latifah School, pada tahun 1926. Masa pendidikan di sekolah itu ditempuh selama 3 tahun, dengan beberapa guru, yaitu 1) Halimah Batang Taris dari Pematang Siantar yang mengajar vak bahasa Belanda; 2) Encik Saejah, istri Encik Muhayan dari Siak, mengajar vak jahit-menjahit; dan 3) Zaidar dari Payakumbuh, mengajar vak masak-memasak (Jamil, 1985: 1).
Di samping sekolah umum, sekolah agama pun telah maju, baik untuk kaum perempuan maupun untuk kaum lakilaki. Sekolah untuk kaum perempuan bernama Madrasatun Nisak yang terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat Ibtidaiyah, selama 5 tahun dan tingkat Tsanawiyah, selama 2 tahun.
Para guru sekolah agama tinggal di Istana Kesultanan (Istana Melintang) bersama dayang-dayang. Guru-guru tersebut antara lain Raudha, Misbah Thaib, Fatimah, Rohana, Rohani, dan lainnya. Murid yang tamat dari Madrasatun Nisak kemudian melanjutkan ke Kuliatul Mualimat Islamiah (KMI) di Padang Panjang, karena Sultan Siak berhubungan baik dengan pemimpin Diniyah Putri Padang Panjang. Sultan dan permaisuri selalu berkunjung ke sana, baik untuk istirahat ke Bukittinggi maupun meninjau murid-murid dari Kerajaan Siak yang mendapat beasiswa dari kerajaan, seperti Misbah Thaib, Tengku Aisyah, dan lainnya.
Pelajaran dilaksanakan pada pagi hari, sedangkan sore hari belajar di sekolah agama. Dengan demikian, mereka telah membina perempuan-perempuan lain agar nantinya dapat membina keluarga dan anak-anaknya menjadi manusia berguna.
Pada tahun 1926 pemerintah Belanda juga mendirikan sekolah umum, seperti Volk School (Sekolah Desa) dan HIS.
Periode Setelah Tahun 1945
Tengku Maharatu. Tengku Maharatu adalah permaisuri Sultan Syarif Kasim II yang kedua, setelah permaisuri pertama, Tengku Agung meninggal dunia. Dia melanjutkan perjuangan kakaknya dalam meningkatkan kedudukan kaum perempuan di Siak dan sekitarnya, yaitu dengan mengajarkan cara bertenun yang kemudian dikenal dengan nama tenun Siak. Tenun Siak yang merupakan hasil karya kaum perempuan telah menjadi pakaian adat Melayu Riau yang dipergunakan dalam pakaian adat pernikahan dan upacara lainnya. Berkat perjuangan permaisuri pertama yang dilanjutkan oleh permaisuri kedua, perempuan yang tamat dari sekolah Madrasatun Nisak dapat menjadi mubalighat dan memberi dakwah, terutama kepada kaum perempuan.
Raja Khodijah binti Raja H. Usman. Ia adalah salah seorang tokoh perempuan dari Kepulauan Riau yang berkecimpung dalam masyarakat sebagai pemimpin organisasi, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Dia Lahir di Daik Lingga pada 21 Februari 1919. Pendidikannya adalah Inlandsche School (5 tahun) di Daik dan tamat tahun 1932. Pendidikan terakhir Kweek School Nieuwe Stijl (Gaya Baru) di Tanjungpinang tahun 1950. Sejak tahun 1937, dia menjabat sebagai pemimpin Aisyiyah, kemudian pada zaman Jepang ikut aktif dalam organisasi wanita (Fujinkai).
Pada masa Agresi Belanda kedua, dia aktif dalam organisasi BKIR (Badan Kebangsaan Indonesia Riau) dan KRIR (Kaimoyapan Rakyat Indonesia Riau). Tahun 1951, ia mulai ikut berpolitik dan memasuki Partai Islam. Tahun 1985, ia menjadi anggota DPRD Tk. II Kepulauan Riau mewakili Partai Persatuan Pembangunan. Dari pendidikan dan kegiatan atau pengabdiannya, dia telah mempunyai keinginan besar untuk memajukan perempuan Melayu Riau seperti perempuan lainnya.
Syahawa H. B. Syahawa H. B. adalah seorang perempuan Melayu Riau yang telah ikut berjuang untuk memajukan kaumnya di Riau. Pendidikannya adalah HIS di Siak Sri Indrapura dan Kweek School di Bukit Tinggi (Sekolah Pendidikan Guru). Pada zaman Jepang, dia dikirim ke Padang untuk mengikuti kursus pertenunan.
Sampai tahun 1940 dapat dikatakan bahwa dia adalah sedikit contoh di antara wanita terpelajar di Melayu. Selama di Siak dia selalu mengadakan kegiatan bagi kaum perempuan, terutama jahit-menjahit dan tenunan Siak. Pada tanggal 16 Juli 1945 dia menikah dengan Hasan Basri (Perwira Peta). Pada tanggal 22 Oktober 1945 Hasan Basri diangkat sebagai pemimpin TKR/TNI di Riau. Dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, Syahawa menjabat sebagai ketua organisasi ibu-ibu TNI yang bertugas memberikan informasi pada masyarakat umum dan kaum ibu tentang makna dan tujuan perjuangan, agar mendapat dukungan dari masyarakat dan sekaligus mengumpulkan bahan makanan dan sumbangan untuk dikirim ke garis depan (Effendy dan Effendy, t.t.: 41). Dia bekerja di dapur umum dengan Khadijah Ali, pemimpin Muslimat Riau, Rajiah Rahim dari Palang Merah, dan Fatimah Soldir dari Putri Kesatria.
Pada tanggal 16 September 1949 Syahawa H. B. disergap oleh Belanda (KNIL) saat dia bersembunyi di sekitar Siak Sri Indrapura untuk menunggu kelahiran bayinya yang ketiga. Oleh karena pandai berbahasa Belanda, maka dia dapat menghadap Perwira Distrik KNIL. Sejak itu dia menjadi tawanan Belanda dan baru bebas setelah pemulihan kedaulatan RI.
Setelah Indonesia merdeka, dia bersama suaminya, Letkol Hasan Basri, pindah ke Jakarta di awal tahun 1950. Di Jakarta Letkol Hasan Basri mengundurkan diri dari dinas militer, sementara Syahawa H. B. aktif di berbagai organisasi seperti Kerukunan Wanita Riau, Koperasi Wanita, dan lain-lain. Syahawa H. B. sampai akhir hayatnya terkenal sebagai perias pengantin Melayu Riau, khususnya pakaian adat Siak. Di rumahnya terdapat alat tenun Siak tradisional yang masih dimanfaatkan sampai sekarang. Syahawa-Basri pun pernah diundang ke Singapura dan Malaysia untuk merias pengantin dengan adat Melayu Riau. Oleh karena mahir dan serasinya beliau menggunakan adat Melayu Riau khususnya Melayu Siak, maka apabila ada pesta atau acara resmi dengan menggunakan adat Melayu tanpa Syahawa H. B. rasanya kurang sempurnalah adat Melayu Siak yang akan ditampilkan itu.
Hasan Basri dan Syahawa H. B. pernah diundang oleh Gubernur Riau, Haji Imam Munandar, untuk mengisi acara kunjungan Presiden Pakistan Zia Ul Haq ke anjungan Riau Taman Mini Indonesia Indah. Pada waktu itu, Hasan Basri bersama istri sempat ditepungtawari oleh Presiden Pakistan dan Presiden Suharto. Adapun kegiatan Syahawa H.B. yang terakhir ialah mempersiapkan pakaian Melayu Riau dari tiap kabupaten seluruh Provinsi Riau atas permintaan pengurus Sanggar Putih Melati Jakarta. Dalam penampilan pakaian tersebut, Syahawa H. B. meninggal dunia, sehingga penampilan busana Riau baru dapat disiarkan TVRI pada tanggal 18 November 1985 dalam Berita Nasional pukul 19.00 WIB. Kini Syahawa H. B. telah tiada. Dia sangat dikenal masyarakat Jakarta, khususnya daerah Menteng, karena selalu mempopulerkan adat-istiadat Melayu Riau, khususnya Melayu Siak Sri Indrapura.
Khadijah Ali. Beliau adalah seorang tokoh pemuka masyarakat yang berasal dari Pekanbaru. Dia lahir di Pekanbaru, pada tanggal 25 Oktober 1925. Pendidikan terakhir adalah Diniyah Putri tahun 1938 di Padang Panjang. Tahun 1944 (zaman Jepang) dia bekerja di bidang organisasi wanita (Fujinkai) bagian Hahanokai (penerangan). Kegiatan pada zaman Jepang adalah jahit-menjahit dan belajar memasak. Tahun 1946–1947, dia menjabat sebagai Ketua Panitia Pemberantasan Buta Huruf (membaca menulis) atas nama organisasi Aisyiah. Oleh karena aktivitasnya ini, ia mendapat surat penghargaan dari Menteri Pengajaran dan Pendidikan Mr. Ali Sastroamijoyo. Beliau pernah menjadi Ketua Kursus Pendidikan Umum Bahagian Atas (KPUA) selama 3 bulan dengan matapelajaran jahit-menjahit, masakmemasak, dan pengetahuan umum. Khadijah Ali merupakan tokoh perempuan Melayu Riau, namun tetap menjalankan fungsi sebagai istri, ibu rumah tangga, dan pemuka masyarakat yang telah berperan aktif di bidang pendidikan formal dan nonformal. Ia juga aktif di bidang pemerintahan, karena posisinya sebagai penasihat ahli di kantor BP4 sejak tahun 1963.
Fatimah binti Suhil. Beliau adalah seorang perempuan Melayu Riau yang telah mendapat pendidikan Kuliatul Mualimat lslamiah di Padang Panjang. Dia lahir di Bagan Siapi-api pada tanggal 11 November 1925. Pendidikan Kuliatul Mualimat Islamiah tidak diselesaikan karena pada tahun 1943, ia harus kembali ke Siak Sri Indrapura karena Jepang memasuki Singapura, sehingga tidak memungkinkan untuk menyelesaikan pendidikannya. Di Siak ia aktif di redaksi Riau Koho (surat kabar Jepang) yang beranggotakan Fatimah, Rohani, Misbah Taib, dan lain-lain. Tahun 1944–1946 menjadi anggota Palang Merah bersama Rohani, Misbah Thaib, dan lainnya dengan tugas memberi makan pasukan gerilya, menjahit pakaian dan alat perlengkapan tentara lainnya yang didatangkan dari Singapura. Kegiatan lain yang berhubungan dengan agama ialah memberi wirid pengajian kepada kaum ibu dan Barzanzi marhaban yang merupakan kegiatan kaum perempuan yang dilaksanakan pada waktu upacara pesta pernikahan, khitan, dan waktu mencukur rambut bayi saat berumur 40 hari (Aziz, 1976: 29).
c. Peran Perempuan Melayu dalam Adat Pernikahan
Dalam adat pernikahan, perempuan Melayu Riau berperan antara lain sebagai: penghias, mak Andam, penenun kain.
Penghias. Perempuan Melayu berperan sebagai penghias tepak, yaitu mengukir atau membentuk daun sirih. Tepak (tempat sirih, pinang, kapur, gambir, dan tembakau) merupakan inti dari segala kegiatan. Tanpa tepak, upacara pernikahan dianggap tidak beradat. Sebelum dipersembahkan, tepak harus dihias dengan membentuk daun sirih dan pinang dengan ukiran tertentu. Bagian luar/tutup tepak dihias dengan kain tenun Siak berbentuk bunga sesuai dengan bunga yang terdapat dalam seni hias tenun Siak. Fungsi tepak adalah sebagai pembuka kata dalam pertemuan adat. Selanjutnya beberapa tangkai sirih yang telah diukir dibawa oleh pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan. Beberapa tangkai sirih yang telah diukir disebut “bunga genggam” atau “bunga lelat”.
Selain menghias tepak, perempuan Melayu juga berperan mengukir kertas bunga atau ulur-ulur atau bendera hias pada tabak atau kepuk. Menurut upacara adat daerah Bengkalis, tabak atau kepuk merupakan tempat nasi kunyit dan telur yang diletakkan di hadapan pelamin. Tabak berwarna merah dan terdiri dari beberapa tingkat sesuai stratifikasi sosial masyarakat di Riau, khususnya yang berada di bawah naungan Kerajaan Siak. Jika keturunan raja, tabak terdiri dari tujuh tingkat; keturunan tengku atau bangsawan, terdiri dari lima tingkat; dan orang kebanyakan terdiri dari tiga tingkat. Nasi kunyit dan telur juga berfungsi dalam upacara Khatam Al Quran yang dilengkapi dengan Barzanzi dan marhaban.
Mak Andam. Peran Mak Andam selain mengandam dan merias pengantin juga sebagai penjaga pintu masuk rumah pengantin perempuan. Sebelum pemimpin rombongan pengantin laki-laki membayar pajak untuk melewati pintu rumah pengantin perempuan, pintunya akan ditutup oleh Mak Andam dan kawan-kawannya dengan kain panjang. Apabila pajak telah dibayar dan lolos dalam membalas pantun, pintu akan terbuka dan pengantin laki-laki masuk, kemudian duduk di singgasana. Setelah bersanding, tugas Mak Andam ialah memutar-mutar “bunga genggam” atau “bunga lelat” yang dibawa oleh pengantin laki-laki di atas kepala kedua pengantin sebanyak tujuh kali, lalu “bunga/sirih lelat” tersebut diletakkan di tengah gerai (Suwondo dkk., 1977/1978: 130) atau tangga pelamin sebagai lambang penyataan cinta kasih antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan. Tanpa Mak Andam, adat-istiadat pernikahan tidak dapat dilaksanakan, walaupun pernikahan itu sah melalui kadhi. Pernikahan baru resmi disebut beradat apabila tata-cara adat diikuti seperti yang telah diatur oleh Mak Andam.
Penenun Kain Tenun Siak. Kain tenun Siak adalah hasil teknologi tradisional yang diusahakan oleh perempuan Melayu Riau, khususnya di daerah Siak Sri Indrapura. Kain tenun Siak merupakan salah satu identitas hasil kebudayaan Melayu Riau. Kain tenun Siak yang diperuntukkan bagi perempuan berupa kain dan baju kurung, sedangkan bagi laki-laki berupa teluk belanga dan kain sarung. Setiap orang dapat memilikinya sesuai dengan kemampuannya. Pada waktu Kesultanan Siak masih berkuasa, tenun Siak yang berwarna kuning hanya boleh dipakai oleh keturunan raja. Seni hias/gambar pada kain tenun berupa pucuk rebung, tampuk manggis, bunga melati, daun paku gajah, dan sebagainya.
Dari beberapa contoh yang penulis kemukakan terbukti bahwa perempuan Melayu Riau telah berperan dalam melestarikan kebudayaan daerah Riau khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
4. Peran Perempuan Melayu Riau Tahun 1950–1985
Peran perempuan Melayu Riau sejak tahun 1950 sangat bervariasi, mulai sebagai istri, ibu rumah tangga, pemuka masyarakat, hingga pegawai negeri. Secara umum, peran tersebut meliputi berbagai bidang, antara lain bidang; (a) pendidikan, (b) masyarakat.
Bidang Pendidikan. Pendidikan formal dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas sudah merata sejak tahun 1950, sedangkan pendidikan tinggi baru berkembang di tahun 1966 dengan jumlah sarjana yang masih terbatas. Peran perempuan Melayu Riau meningkat sejalan dengan berkembangnya sektor pendidikan, baik sebagai guru, pemimpin organisasi, maupun sebagai pengusaha. Biasanya semakin tinggi pendidikan, semakin mantap pula perhatian perempuan terhadap keluarga dalam mencetak manusia-manusia cerdas dan terampil. Tokoh-tokoh perempuan Melayu Riau yang penulis hubungi sebagian besar berperan sebagai guru, baik guru sekolah umum maupun sekolah agama, serta sebagai da‘i.
Dalam pendidikan nonformal, kegiatan kaum perempuan berbentuk kursus-kursus, antara lain Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang merupakan usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, kursus masalah gizi, kursus masalah Keluarga Berencana (KB), kursus menjahit, kursus memasak, dan sebagainya.
Kursus-kursus itu biasanya dilaksanakan tiga kali seminggu. Hasil keterampilan itu sangat berguna bagi ibu-ibu rumah tangga atau para remaja perempuan sebagai modal dasar untuk membina rumah tangga yang sejahtera.
Bidang Masyarakat (Organisasi). Beberapa perempuan Melayu Riau berperan aktif dalam organisasi kemasyarakatan seperti Organisasi Sosial Aisyiyah di Pekanbaru yang dipimpin oleh Khadijah Ali dan Organisasi Aljamiatul Washliyah yang dipimpin oleh Hj. Faridah. Kegiatan mereka lebih banyak dalam bidang agama dengan memberi dakwah, memimpin wirid Yasin, Barzanzi, dan marhaban yang disertai dengan kumpulan “Rebana”. Kegiatan perempuan Melayu Riau yang banyak pada saat ini adalah Barzanzi dan marhaban yang boleh dikatakan sebagai salah satu identitas kebudayaan Melayu Riau. Keanggotaan dan kepemimpinan perempuan dalam kegiatan ini telah mengalami perkembangan.
Selanjutnya peran perempuan Melayu Riau telah meningkat dengan adanya anggota DPRD perempuan, seperti R. Hatijah dari Tanjungpinang; Khadijah Ali, Maimanah Umar, dan lainnya dari Pekanbaru. Adapun Fatimah binti Suhil duduk di organisasi wanita Al Hidayah di bawah naungan Golkar. Hal ini berarti bahwa tugas kaum perempuan Melayu sekarang telah bertambah, yakni di samping sebagai istri pendamping suami, sebagai istri pembina rumah tangga sejahtera, juga sebagai anggota masyarakat dan pemimpin organisasi masyarakat. Sebagian besar perempuan Melayu juga telah bekerja dalam lembaga pemerintah maupun swasta. Dalam berbagai bidang, peran perempuan sudah mulai mengimbangi laki-laki. Kaum perempuan dituntut seperti yang ditetapkan dalam Panca Dharma Wanita berikut, yakni (a) wanita sebagai pendamping suami yang setia; (b) wanita sebagai penerus keturunan bangsa; (c) wanita sebagai pendidik dan pendamping anak; (d) wanita sebagai pengatur rumah tangga; (e) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna.
Berdasarkan isi Panca Dharma Wanita, tampak peran ganda perempuan untuk membaktikan diri dalam rumah tangga, bangsa, dan negara, demi tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
5. Kesimpulan
Peran perempuan Melayu Riau sebelum tahun 1950 lebih banyak dalam keluarga, baik sebagai istri, ibu, maupun berwiraswasta (home industry). Walaupun demikian, perempuan Melayu Riau tetap ikut berjuang seperti, Cik Puan yang telah ikut berjuang pada masa pemerintahan Sultan Siak V, Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784– 1810) dalam usaha pengembangan wilayah kekuasaan Kerajaan Siak.
Beberapa perempuan Melayu Riau telah memajukan pendidikan di awal abad ke-20 dengan berjuang melalui peningkatan pendidikan formal dan nonformal kaum perempuan. Kaum perempuan Melayu Riau juga telah memajukan bidang kesenian, meliputi seni suara, seperti Barzanzi dan marhaban. Seni menghias dan mengukir alatalat perlengkapan pernikahan yang bernafaskan Kemelayuan Riau, seperti membuat kain tenun Siak, juga dilakukan perempuan.
Peran perempuan Melayu Riau meningkat sesuai dengan perkembangan zaman, terutama sesudah tahun 1950. Sebagian besar perempuan Melayu Riau bekerja di jawatan pemerintah, bahkan telah duduk menjadi anggota DPRD. Dengan demikian mereka telah menunjukkan kemampuan kaum perempuan Melayu Riau dalam berjuang mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Berdasarkan observasi, wawancara, dan pembahasan, penulis menyarankan beberapa hal berikut, yakni (a) upacara adat seni Melayu yang bernafaskan agama Islam sebaiknya dilestarikan, karena agama Islam merupakan salah satu ciri kebudayaan Melayu; (b) tepak dan kepuk perlu dibudayakan kembali, karena tepak dan kepuk yang terletak pada bagian tertentu dari tingkatan tabak merupakan lambang kemakmuran dan kesuburan; (c) pembuatan kain tenun Siak sebagai salah satu unsur teknologi tradisional Melayu Riau yang dapat dijadikan atraksi pariwisata perlu dilestarikan. Pembuatan kain tenun Siak merupakan salah satu kegiatan yang dapat menambah penghasilan rumah tangga masyarakat Melayu Riau.
Daftar Pustaka
Ahmad, M. 1985. Orientasi Nilai Masyarakat Melayu: Perubahan dan Perkembangannya. Makalah Pertemuan Budaya Melayu, 31 Januari–2 Februari 1985.
Aziz, M. M. 1976. Peranan Sultan Syarif Kasim II dalam Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Siak Sri Indrapura. Tesis, Pekanbaru.
Effendy, T. dan N. Effendy. Lintasan Sejarah Kerajaan Siak Sri Indrapura. Pekanbaru: Badan Pembina Kesenian Daerah Provinsi Riau.
Haji, R. A. 1965. Tuhfat Al-Nafis Sejarah Melayu dan Bugis. Singapura: Malaysia Publication.
Hall, D. G. E. 1981. Sejarah Asia Tenggara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hamka. T.t. Kedudukan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Jamil, M. 1985. Mengenang Seorang Pejuang Wanita Riau dalam Revolusi Kemerdekaan. Pekanbaru: Sukabina.
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar llmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Krom, N. J. 1950. Zaman Hindu. Jakarta: Pembangunan.
Lutfi, M. dkk. 1977. Sejarah Riau. Pekanbaru.
Ryan, N. J. 1962. Sejarah Semenanjung Tanah Melayu. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Suwondo, dkk. 1977/1978. Adat-istiadat Daerah Riau. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim Penyusun Kabupaten Dati II Indragiri Hilir. 1985. Kebudayaan Melayu Riau Sepintas Kilas. Makalah Pertemuan Budaya Melayu, 31 Januari–2 Februari 1985, Pekanbaru.
____________________
Dra. Maleha Azis, lahir di Bengkalis, 13 Mei 1945. Lulus Sarjana Pendidikan Jurusan Sejarah FKIP UNRI pada tahun 1977. Tokoh Melayu Riau ini juga menjadi dosen FKIP UNRI yang aktif mengikuti seminar, antara lain Seminar Sejarah Riau, 1975; Seminar Kebudayaan Melayu di Pekanbaru, 1985; Seminar Kebudayaan Nasional Melayu di Tanjung Pinang, 1985; dan Pertemuan Bahasa dan Sastra Wilayah Indonesia Bagian Barat di Pekanbaru, 1986.
Hasil karyanya adalah Latar Belakang Pembangunan Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura 1983–1984; Pembinaan Generasi Muda Putus Sekolah dalam Usaha Berwiraswasta di Kotamadya Pekanbaru 1983/1984; dan Pola Penguasaan, Pemilikan, dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah Riau 1984.
____________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau