Kegiatan Perdagangan Di Bandar Banten Dalam Lalu – Lintas Perdagangan Jalur Sutra

Oleh : Sonny Chr. Wibisono

1. Pendahuluan
Sejak zaman Romawi kontak dagang telah berlangsung antara Eropa bagian selatan, Timur Tengah, dan Cina. secara berantai produk tergolong mewah pada saat itu seperti sutra, kain, perkakas logam, dan keramik dibawa dari Cina dalam jumlah kecil melintas daratan tinggi yang dikenal dengan nama jalur sutra silk road ke Timur Tengah (Pijlketel 1988: 8). Akan tetapi Cina menghadapi kesulitan untuk tetap mendapatkan barang¬-barang mewah yang diinginkan dari barat melalui jalur lintas darat ini. Cina mulai tertarik pada wilayah Nanhai atau"tanah di laut selatan", julukan yang diberikan orang Cina pada wilayah Asia Tenggara. Lambat laun jalan perdagangan lintas darat itu menyurut, diganti jalur perdagangan taut. Jalur pelayaran di taut selatan kemudian menjadi jalur sutra yang kedua. demkian pula sejak abad ke-5 Persia mulai melihat jalur taut ini sebagai alternatif untuk mendapatkan sutra yang mereka inginkan.India kemudian muncul sebagai pasar untuk sutra Cina (Guy 1986 : 5).

Perubahan cara pandang terjadi di Cina. Pertama, secara bertahap mulai menyadari bahwa wilayah Nanhai menjanjikan masa depan yang lebih baik, wilayah Asia Tenggara ternyata merupakan tempat asal berbagai jenis komoditi mewah yang mereka cari. Kedua, meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Cina sendiri menjadi pasar dari produk perdagangan Nanhai. Penemuan jalur sutra melalui laut tersebut mengakibatkan munculnya satu demi satu bandar-bandar baru di wilayah yang dijuluki Nanhai termasuk Nusantara. Jalur utama pelayaran sutra lewat taut ini terus berkembang menghubungkan barat dan timur semakin meluas dengan bertambahnya cabang jalur baru.

Dalam kaitannya perkembangan jalur pelayaran itu, maka wajar bila timbul pertanyaan adakah keterkaitan antara munculnya bandar Banten dengan pembentukan jalur-jalur baru itu? kalau benar demikian pada perkembangan jaringan manakah bandar Banten berperan? dan kapan? komoditi apa saja yang dipertukarkan?. Makalah ini secara khusus akan berusaha menjawab pertanyaan ini dengan melalui penelusuran sumber tertulis yang berkaitan dengan Banten.

2. Pertumbuhan Kota dan Kegiatan Bandar Banten
Seperti apa yang termuat dalam sumber tertulis yang sampai kepada kita mengisyaratkan bahwa pusat kota Banten pada awal pertumbuhannya tidak dibangun di pesisir, tetapi pada tempat yang disebut sebagai Banten Girang, Ietaknya lebih kurang 10 kilometer ke arah pedalaman di tepian sungai Ci Banten. Sementara itu Banten pesisir sudah merupakan pelabuhan pada saat itu. Gambaran itu dapat disimpulkan dari sumber Portugis. Seperti yang dicatat Barros mengenai kedatangan Henrique Leme pada tahun 1522 menghadap raja Sunda untuk mengadakan perjanjian, dan peristiwa penguasaan Faletehan atas Banten Girang. Demikian pula catatan Couto mengenai kedatangan Francisco de Sa ke Sunda pada tahun 1527 untuk mendirikan benteng seperti yang dijanjikan raja Sunda sebelumnya. Kedua peristiwa ini ditafsirkan berlangsung di Banten pesisir (pelabuhan Sunda) dan Banten Girang (Bintam. atau Bata) (Guillot 1990:11-12; 1992). Atas dasar tafsiran ini dapat dikatakan bahwa sebelum Islam daerah pesisir Banten sudah merupakan bandar internasional.

Keterbatasan sumber sejarah yang tersedia menyebabkan gambaran lebih jauh mengenai masyarakat dan kota Banten awal ini masih belum memberikan keterangan yang memadai. Namun, dalam lima tahun terakhir hasil penelitian arkeologi Indonesia-Perancis di situs Banten Girang telah memberikan gambaran bahwa kota Banten awal mulai tumbuh sekitar abad ke-11-12. Ketika itu Banten diduga sudah menjadi pemukiman urban yang penting,- yang dilengkapi dengan parit dan benteng tanah. Masyarakat dalam pemukiman itu melakukan kegiatan kerajinan, dari pakaian sampai tembikar, peleburan besi dan perunggu, perhiasan emas, dan manik. Keramik yang ditemukan menunjukkan bahwa hubungan dengan Cina dan daerah di Asia Tenggara lainnya sudah terjalin.

Perkembangan selanjutnya dari kota Banten berlangsung di pesisir, ditandai dengan perubahan pemerintahan dan keagamaan Islam. Hal ini juga dilukiskan dalam babad Banten yang menuliskan bahwa setelah Hasanuddin wafat, Maulana Yusuf memegang pemerintahan dengan membangun kampung baru, sawah, ladang, dan terusan-terusan, dan bendungan. Tembok Pertanahan kota didirikan pula terbuat dari bata dan karang.

Gambaran mengenai kota Banten pada awal abad 16 dilukiskan oleh Couto. Dikatakan bahwa kota terletak dipertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya 3 mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut panjangnya 400 depa masuk ke dalam lebih panjang. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata yang lebarnya 7 telapak tangan laki-laki. Bangunan pertanahannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dilengkapi dengan persenjataan yang balk.

Ketika Belanda datang ke Banten pada tahun 1596 menuliskan bahwa kota Banten terletak pada dataran kosong pada kaki perbukitan kira-kira 25 mil berlayar antara Sumatera dan Jawa. Pada kedua sisi dari kota mengalir sungai dan yang ketiga melewati tengah kota. Besar kotanya dilukiskan sebesar Amsterdam kuno. Kota Banten dikatakan mem i I iki tembok-tembok yang ukurannya lebih tebal dari depa seorang laki-laki, terbuat dari bata. Di dalam kota hanya ada 3 jalan lurus, satu dari paseban kelaut, kedua kegerbang darat di sepanjang jalan ini tinggal pembantu raja dan budak, jalan ketiga menuju gerbang gunung.

Ketika Belanda datang ke Banten sudah menjadi bandar perdagangan yang penting. Dalam buku harian mendapat gambaran tentang situasi kota, pusat perdagangan, masyarakat, pasar, dan produk maupun harga, menuliskan dengan cermat apa yang di lihatnya di kota Banten menggambarkan situasi bandar. Dituliskan bahwa Kota Banten terdapat 3 pasar sehari-hari tempat mereka menjual semua barang. Pasar yang pertama dilukiskan pada sebuah alun-alun disebelah timur dari kota. Pada pagi hari salah satu pemandangan yang dapat dilihat disana adalah pedagang dari berbagai bangsa seperti Portugis, Arab, Turki, Cina, Quilin. Pegu, Melayu, Bengal, Gujarat, Malabar, Abesinia dan India, melakukan perdagangan. Pasar kedua, Pabean yang terletak di dan yang menjual segala kebutuhan, dan ketiga pasar di Pacinan, yang diadakan sebelum atau setelah pasar lain diselenggarakan (Rouffaer dan lfzerman 1915:110-13)

Mengenai kegiatan jual beli dituliskan bahwa seorang wanita duduk dengan beberapa wadah dan takaran yang mereka sebut sebagai gantang. beratnya sama dengan 3 pon lada menurut takaran Belanda. Wanita ini membeli lada yang dibawa petani dengan harga 58 atau 9 ratus caxa (kepeng). Bahkan digambarkan pula kegesitan orang Cina mendatangi petani, mereka pergi ke pedalaman menanyakan persediaan hasil bumi dan mereka membawa timbangan gantung. Dengan mendatangi dekat dengan perbentengan pada dua sisinya banyak wanita berjualan bermacam-macam seperti pala, semangka, nanas, diikuti dengan orang yang berjualan kue yang masill hangat, di sebelah kanannya laki-laki berjualan senjata keris, tombak besi, pisau dan senjata lain. Di situ juga dijual cendana putih dan kuning, gula, madu dan berbagai jenis manisan. Di samping itu juga ada pasar kacang putih, kuning, hitam, abu-abu dengan ukuran 3 ratus kepeng.

Di kota Banten juga terdapat pasar burung. disitu orang dapat membeli itik, merpati, dan jenis burung lainnya. Kios orang Cina menjual permata, dan kios orang Arab yang menjual batu rubi yang berkualitas rendah, dan batu setengah mulia. Pedagang Cina yang menjual kain sutra, berbagai macam kain yang berwarna-warni, bejana perunggu, satin, benang emas, kain abu-abu, porselin, dan keranjang indah lak, tembaga cor dan tempa. Kertas dengan berwarna-warni sebagai tempat untuk menuliskan almanak, dan buku kecil, cermin, sisir, seperangkat gelas, belerang, pedang cina.

Berdasarkan pelukisan keadaan kota dan kegiatannya, maka ciri heteroginitas memang tampak pada bandar ini.

3. Komoditi Pokok
Pembentukan bandar Banten tidak terlepas dari berjalannya mekanisme perniagaan yang disebabkan karena berlangsungnya hubungan penawaran dan perm intaan komoditi dalam bentuk baik eksport maupun import. Sebelum menjadi Kesultanan Banten sudah menjadi penghasil lada yang penting. Hal itu terungkap dari isi perjanjian yang dilakukan antara raja Sunda dengan Henrique Lem utusan raja Portugis. Sebagai imbalan bantuan Portugis melawan musuhnya orang Islam, maka Portugis diperbolehkan mendirikan benteng dan diberi jam inan diantaranya menuju Banten pertama dari Pulau Aur ke Banten, tempat yang dilalui pelayaran ini antara lain Chang-yao shu (P.Mapor), Lung¬ya-ta-shait (G.Daik di P. Lingga), Man-t'ouhsu (P.Rot i?), Chi-shu (tujuh pulau) dan Peng-chia shan (G.Bangka, G.Menumbing), sampai di mulut Sungai Palembang perahu bisa masuk ke hulu ke Chiii-chiang (surga Palembang). Perjalanan dilanjutkan ke arah selatan memasuki Selat Bangka melalui selat yang sempit antara Tanjung Tapa dan Tanjung Berarti, San-mai shu (P.Maspari), Kuala Tu-ma-heng (Wai Tulang Bawang), dan Lin-ma to (Wai Seputih). Dilanjutkan melalui Kao-Ta¬lan-pang (Wai Sekampung), Nu-sha la (Ketapang), Shih-tan (P.Sumur). Dari sini arah diubah ke tenggara dan setelah 7 jam kemudian sampai di Shun-t'a (Sunda) (Mills 1984:127). Berarti pelayaran ini dilakukan dengan menelusuri pantai Timur Sumatera.

Cabang pelayan yang kedua dari Krueng Aceh ke Banten merupakan pelayaran menyusuri pantai barat Sumatera perjalanan dari Aceh (A¬ch'i) ke Banten (Wan-tan) dibagi menjadi 3 tahap, yaitu dari Aceh ke Barus, dari Barus ke Pariaman, dan dari Pariaman ke Banten.

Di samping 2 cabang pelayaran dari jalur utama tersebut Banten dicatat pula adanya pelayaran didalam wilayah nusantara adalah pertama Banten ke Banjarmasin. Tempat yang dilewati adalah Cirebon, Gunung Muria, Kepulauan Karimunjawa, Sampit, P.Damar, Batu Mandi, Tanjung Cimantan, Sungai Kapuas, Keramaian, masuk sungai Barito. Cabang pelayaran kedua adalah dari Banten ke Demak dengan menyusuri pantai utara Jawa, melalui Chiao-lu-pa atau Kelapa Tanjung Indramayu., Cirebon, Pulau Wu-Chen (Pekalongan), dan akhirnya tiba di Tan-mu (Demak). Cabang ketiga pelayaran cukup panjang antara Banten ke Timor melalui pantai utara Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba (Mills 1984:133-134).

Keanekaragaman bangsa seperti terekam dalam catatan Lodewijk menunjukkan bahwa jaringan pelayaran yang terlibat dengan bandar Banten meliput jalur perdagangan jarak jauh yang luas. Jalur tidak hanya terbatas pada apa yang sudah digunakan dan dikembangkan orang Cina, tetapi juga dikenalnya jalur-jalur yang dilalui pedagang Eropah seperti Portugis, Belanda, pada awal abad ke- 16.

4. Penutup
Dalam sejarah pertumbuhan perdagangan antara Cina dan Nanhai melalui jalur perdagangan sutra laut terlihat adanya pola perkembangan yang dicirikan baik dari segi volume perdagangan maupun jangkauan rute persebarannya maupun ragam komoditi yang diperdagangkan.

Pertama adalah periode permulaan kontak, antara abad ke-3-4. Sifat perdagangan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan jenis komoditi yang, langka atau barang-barang yang tergolong aneh, dan mewah. Seperti cula badak, gading, penyu, dan mutiara. Barang itu dipertukarkan dengan emas dan sutra Cina. Kebutuhan akan komoditi ini hanya untuk kalangan terbatas kerajaan dan istana. Jangkauan dari jelajah dari jenis perdagangan ini hanya sebatas wilayah bagian barat semenanjung Melayu dan Sri langka.

Kedua adalah periode munculnya bandar di Nanhai, berlangsung cukup panjang antara abad ke-3-10. Diawali dengan terbukanya rute menghubungkan Cina, India, dan Timur Tengah. Mulai dari Teluk Per¬sia, Laut Merah ke laut India, Srilangka, Teluk Benggala dan Semenanjung Melayu. Perkembangan navigasi juga membuka jalur perdagangan dari Selat Malaka ke sebelah barat Laut Jawa dan kemudian ke Cina utara. Ciri komoditi berubah dari masa sebelumnya terutama dengan semakin meluasnya pengaruh agama Budis, yang menyebabkan munculnya permintaan barang-barang asing yang berkaitan dengan pemujaan seperti wangi-wangian, relik Budis.

Ketiga adalah periode perluasan perdagangan dengan Nanhai. Berlangsung dari abad ke 10 yang ditandai dengan partisipasi langsung pemerintah Cina dalam perdagangan maritim. Peranan pemerintah masa Song mendorong pedagang asing untuk berdagang dengan Cina, memberikan fasilitas berupa pembangunan pelabuhan di Cina. Bukan hanya volume perdagangan meningkat tetapi perubahan dasar perdagangan. Pemerintah mengalami defisit karena banyaknya permintaan barang dari Timur Tengah dan Asia Tenggara di Cina, menyebabkan kurangnya mata uang kepeng. Promosi dagang keluar dilakukan, dengan mengurangi pajak. Hal ini menyebabkan produksi keramik menjadi bergairah.

Keempat adalah periode Mongol, mulai pertengahan abad ke-13 ditandai dengan pelanjutan kebijakan perdagangan dinasti Song Kubilai Khan mengirim utusan mengundang pedagang datang ke Cina untuk berdagang dan mengadakan penyeragaman pajak. Pada masa ini terjadi penambahan rute pelayaran baru jalan dagang ke Nanhai dipecah melalui barat dan timur. Rute barat sama dengan sebelumnya, ditambah rute timur dari Cina ke Philippina, pantai utara Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Timor.

Kelima periode politik Ming awal, mulai pertengahan abad ke-14. Pada masa ini dilakukan perbaikan dan menghidupkan sistem perdagangan upeti. Oleh karena itu perdagangan hanya terjadi bila misi pengiriman upeti berlangsung. Hal ini dilakukan karena terjadinya penyelundupan. Pada masa akhir Ming larangan berdagang dicabut oleh Raja Wan-li. Memasuki abad ke-16 dan permulaan abad ke- 17 ditandai dengan masuknya orang Eropa seperti Belanda dan Inggris, ditandai dengan berdirinya VOC tahun 1602 yang memberikan babak baru.

Apabila diamati perkembangan perdagangan jalur perdagangan laut ini maka ciri perdagangan bandar Banten mulai berpartisipasi pada jalur laut ini dalam periode keempat sebagai bandar Banten awal yang berlanjut pada bandar Banten akhir periode kelima. Masing-masing menunjukkan adanya perbedaan ciri yang kontras sekaligus memberikan isyarat perubahan yang terjadi seperti terlihat dari segi keagamaannya yang boleti jadi diikuti perbedaan sosial masyarakat dan cara hidupnya.

Daftar Pustaka
Guillot, G;
1991 The Sultanate of Banten, Jakarta : Gramedia Book Pub

lishing Division
1992 "Perjanjian dan Masalah Perjanjian anlara Portugis dan Sunda tahun 1522", Aspek-aspek Arkeologi Indonesia, No.13. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Guy, John.S
1986 Oriental Trade Ceramics in South-East Asia Ninth to Six teenth Centuries, New York Oxford University Press.

Mills,J.V.
1984 "Chinese Navigators in Insulinde About A.D. 1500", Selected Reading from Archipel 18 for Spafa Consultatif Workshop on Research on Maritime Shaping and Trade Networks in Southeast Asia: Cisarua.

Pij-Ketel van der C.L
1988 The Ceramic Load of the Witte Leew 1613, Amsterdam : Rijkmuseum
Rouffaer, G.P dan ljzernan

1915 De Eerste Schicvaart der Nederlanders naar Oost Indie Onder Cornelis de Housman 1595-1597, 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff

Sumber :
Sri Sutjatingsih, 1997. Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra : Kumpulan Makalah Diskusi Jakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan