Menelusuri Jejak Arkeologi di Pulau Bintan

Pendapat ahli-ahli arkeologi di dalam, dan luar negeri mencatat bahwa situs Bukit Kerang, yang di dalam bahasa pengetahuan disebut dengan Kjokken Moddinger (berasal dari Bahasa Denmark) atau sampah dapur di Indonesia hanya ada di pesisir timur Sumatera, patut dimentahkan.

Sebab, jejak manusia purba yang juga terdapat di Hoa Binh, Vietnam, ternyata juga ditemukan oleh sejarahwan Kepulauan Riau (Kepri), Aswandi Syahri di Bintan. Tepatnya di Kelurahan Kawal Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan.

Nama atau istilah Bukit Kerang diambil dari gundukan tanah yang sebagian besar materialnya berasal dari cangkang kerang-kerangan. Kerang-kerangan ini merupakan sisa makanan manusia purba yang hidup pada masa mesolitikum atau masa perubahan antara zaman batu ke zaman perunggu sekitar 3000 tahun – 5000 tahun sebelum masehi.

Penemuan kjokken moddinger membuktikan bahwa jauh sebelum tercatatnya kebudayaan Melayu di Bintan sekitar tahun 1500-an, sudah ada kebudayaan lain di Pulau Bintan yang sudah sangat tua. Temuan ini sekaligus menantang ahli-ahli arkeologi, untuk mencari missing link antara kebudayaan manusia purba dengan kebudayaan baru yang berkembang di Pulau Bintan.

Sekaligus, mengungkapkan bagaimana wujud kebudayaan manusia purba itu di Pulau Bin “Dalam ilmu arkeologi situs kjokken moddinger atau shell midden atau “sampah dapur” manusia purba, berada di tepi laut. Mereka menetap di tepi laut atau pantau, dan menjadikan kerang-kerangan sebagai menu utamanya karena mudah diperoleh. Jadi, situs ini awalnya berada di tepi laut,” kata Aswandi Syahri, Kamis (18/10) dalam perjalanan mencari wujud jejak manusia purba di Kawal, Bintan.

Berawal dari rasa penasaran yang begitu mendalam, Batam Pos “membujuk” Aswandi bersama pengurus Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Tanjungpinang, Ibrahim Rahman untuk menunjukkan di mana bukti peninggalan manusia purba. Dia sendiri awalnya ragu-ragu karena letaknya terpencil, dan dia sudah agak lupa di mana letak situ tersebut. Setelah secara tidak sengaja menemukan untuk pertama kalinya tahun 2005. Penemuan itu berawal ketika dia sedang melakukan penelitian tentang cerita rakyat di Kepulauan Riau (Kepri).

Dalam penelitiannya itulah dia berjumpa dengan lurah Kawal, dan mendengar cerita tentang Benteng Ulubatak. Keingintahuannya muncul ketika disampaikan bahwa bekas Benteng Ulubatak itu masih ada.

Bersama dua pemandu warga setempat, dia diantarkan ke lokasi, dan langsung terperanjat karena mengetahui bahwa yang disebut bekas benteng itu sebenarnya tercatat dalam ilmu arkeologi sebagai Kjokken Moddinger atau sampah dapur manusia purba, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan Suku Batak. Namun, dia tetap menyimpan temuannya itu hingga menceritakanya ke koran ini, karena khawatir situs yang sangat berharga itu akan dirusak orang.

Setelah dibujuk-bujuk, Aswandi akhirnya menyerah, dan bersedia untuk kembali mencari di mana letak jejak manusia purba itu bertiga bersama Ibrahim Rahman. Dengan mobil pinjaman kamipun meluncur ke arah Kawal, Kec Gunung Kijang. Tempat yang pertama dituju adalah kediaman orang yang pernah mengantarkan Aswandi ke lokasi jejak manusia purba itu di sekitar Jembatan Kawal. Namun, yang bersangkutan sedang tidak berada di tempat, dan ketika dihubungi ternyata sudah lupa lokasinya.

Setelah bertanya ke sana ke mari, akhirnya kami diarahkan ke rumah Ketua RT yang letaknya cukup jauh dari jalan aspal atau di tengah perkebunan kelapa. Saat mencari-cari kediaman Ketua RT itu secara tak sengaja bertemu dengan seorang warga Tionghoa, A Lim (41) warga setempat yang punya hobi berburu babi. Dalam perbincangan dengannya tentang maksud, dan tujuan mencari rumah Ketua RT, ternyata dia tahu lokasi Benteng Ulubatak yang mereka sebut dengan Bataksia.

Dia tahu pasti lokasinya, karena berada di sekitar dia biasa berburu babi, bujuk membujukpun akhirnya terjadi, dan dia bersedia mengantarkan setelah koran ini menunjukkan bukti kartu pers Batam Pos. Dia juga minta untuk mengantarkan sekarung jagung kering ke kebun temannya, untuk makanan ternak ayam kampungnya. Sebab, letak kebun temannya itu tak jauh dari situs yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan tersebut.

Sambil merentasi pekatnya perkebunan sawit Tirta Madu atau ke arah utara jembatan Sei Kawal, Aswandi terus beruaha meraba-raba perjalanan yang pernah ditempuhnya.

Namun, dia tetap kesulitan mengingatnya karena nyaris semua jalan, dan persimpangan di perkebunan sawit itu sama bentuknya. Hampir sekitar lima kilometer dari jembatan Sei Kawal atau ketika berada sekitar 100 meter dari situs itu, barulah dia bisa mengingat jalan tersebut.

Secara fisik situs itu hanya berwujud gundukan dengan tinggi sekitar empat meteran, dan luas sekitar 100 meter persegi serta terletak di tengah perkebunan kelapa rakyat (bukan kelapa sawit).

Bahkan, di puncak gundukan tersebut terdapat pohon kelapa yang tingginya sudah sekitar empat meteran, sekilas pandang nyaris tidak berharga sama sekali. Padahal, inilah fakta yang secara ilmiah merupakan bukti bahwa manusia purba pernah hidup di Pulau Bintan sekitar 3000-5000 tahun sebelum masehi.

Sumber : Batam Pos