Mencari Tuhan Lewat Beduk

Beduk, tabuhan besar dari kulit kerbau itu, semakin jadi ikon penting dalam menyambut bulan Ramadhan. Jika dulu hanya ditabuh di masjid atau surau di kampung, kini beduk merambah pusat keramaian di kota-kota besar atau dimainkan dalam ajang lomba dan parade yang meriah. Masih kentalkah makna spiritual dalam kemeriahan "beduk-beduk-an" itu?

"Dung-dung-dung…. Dung-dung-dung…! "

Bunyi tabuhan beduk yang bertalu-talu itu memecah kesunyian Kota Cirebon, Jawa Barat, saat malam semakin dingin, pukul 24.00. Di serambi Masjid Agung Keraton Kasepuhan, tempat suara beduk berasal, sejumlah orang tengah beritikaf mencari berkah Ramadhan. Penabuh beduk itu, Khairuddin (50), duduk beristirahat di bawah beduk.

"Menabuh beduk menjelang tengah malam ini disebut drugdak. Ini tradisi lama setiap bulan puasa, sejak masjid ini dibangun tahun 1478 Masehi. Ini dirintis Wali Sanga," paparnya. Wali Sanga adalah sembilan ulama masyhur yang menyebarkan Islam di tanah Jawa sekitar abad ke-15 sampai ke-16 Masehi.

Beduk di masjid itu tak dipukul sembarangan, tetapi mengikuti langgam khusus. Antara pukul 23.00-24.00, beduk ditabuh dalam empat langgam dengan ketukan yang berbeda. Tabuhan pertama dan kedua terdiri dari tujuh ketukan yang diulang, sedangkan tabuhan ketiga sebanyak 16 ketukan. Tabuhan keempat berupa bunyi "dung-dung" panjang yang menjadi penutup.

Di Masjid Keraton Kanoman, tak jauh dari lokasi masjid Kasepuhan, tradisi tabuh beduk juga berlangsung. Hanya saja, pemukulan dilakukan setelah salat tarawih, menjelang tadarus atau mengaji Al Quran.

Masyarakat setempat menandai suara beduk itu sebagai duk liwet dendeng gudel, kependekan dari ngaduk liwet dendeng gudel. Artinya kira-kira, mari mengaduk nasi liwet dengan lauk-pauk dendeng daging kerbau. Ketika ditabuh pada waktu sahur, langgam itu segera mengingatkan masyarakat untuk makan nasi yang enak agar bisa berpuasa dengan nyaman esok harinya.

Masih di Cirebon dan merambah ke Indramayu, masyarakat biasa memukuli beduk dan tetabuhan lain saat sahur, yang disebut obrokan. Kalangan remaja menabuh obrokan sambil berkeliling kampung, sekitar pukul 02.00-03.00. Biar lebih menarik, sebagian anak muda itu memasukkan alat musik lain, seperti kentongan, kentongan besi, organ, atau gitar.

"Biar tidak ngantuk, kami menyanyikan lagi dangdut yang lagi populer, seperti Kucing Garong atau Warung Pojok," kata Sunadi (31), pemain obrokan di Desa Klayan, Kecamatan Gunung Djati, Cirebon.

Masih banyak tradisi menabuh beduk di tempat lain selama bulan puasa ini. Sebutlah beberapa di antaranya, tradisi dukderan di Semarang, dhandang di Kudus, nganggung di Bangka-Belitung, atau klotekan di sebagian Jawa Timur. Meski berbeda cara menabuh, waktu, dan gayanya, tetapi kegiatan rakyat itu sama-sama dimaksudkan untuk menyemangati masyarakat dalam beribadah puasa.

Masuk kota
Kini, gairah menabuh beduk saat Ramadhan juga memasuki kehidupan masyarakat urban di kota-kota besar. Semakin mendekati Lebaran, bermunculan ajang lomba atau parade tabuh beduk yang meriah. Setiap penyelenggara berusaha memoles ajang itu dengan berbagai atraksi yang menarik sehingga memikat publik.

Sampoerna Hijau, misalnya, menggelar parade beduk untuk kesepuluh kalinya tahun 2007. Program yang berlangsung 15 hari di 18 kota itu bahkan merasa perlu mengusung beduk raksasa berdiameter 2,02 meter dan panjang 4 meter yang dibuat Trimanto atau Empu Triwiguno.

"Lewat acara itu, kami mengajak masyarakat menikmati bulan Ramadhan dalam kebersamaan," kata Brand Manager Sampoerna Hijau Suminto Alexander Hermawanto.

Tak hanya bunyi, bentuk asli beduk atau gambarnya saja juga banyak dipajang di pusat keramaian, mal, pusat perbelanjaan, atau hotel. Belakangan, beduk malah sudah mulai masuk dalam paket iklan demi meraih pasar, yang kebetulan mayoritas beragama Islam. Begitu bersemangatnya, kini banyak kalangan yang berusaha membuat beduk raksasa yang kemudian dicatatkan pada Museum Rekor Indonesia (Muri).

Perjalanan spiritual
Bagaimanapun orang memperlakukan beduk, perubahan fungsi tabuhan ini mencerminkan perjalanan budaya yang menarik.
Masyarakat tradisional mengenal beduk sebagai alat musik yang dipukul untuk kepentingan pertunjukan atau upacara adat. Fungsi ini bergeser ketika Wali Sanga membawa beduk ke masjid dan memukulnya menjelang azan sebagai penanda waktu salat.

Bagi kaum Muslim yang taat, suara beduk menjadi semacam undangan untuk rehat sejenak dari urusan duniawi demi merajut hubungan spiritual dengan Tuhan. "Dulu, waktu masih belum ramai, katanya bunyi beduk di masjid terdengar sampai radius 6 kilometer. Saat ditabuh, masyarakat segera berdatangan untuk shalat," kata Ketua Dewan Keluarga Masjid Kasepuhan Cirebon Kiai Azhari.

Fungsi alat itu semakin meluas saat digunakan sebagai sarana membangunkan sahur, lantas sekarang jadi ikon perayaan Ramadhan di kota-kota besar. Alih fungsi beduk itu menggambarkan perjalanan panjang. Begitulah, sebagai alat musik yang ditabuh, bunyi beduk sebenarnya netral. Tetapi, ketika ditempatkan dalam konteks agama, muncul nuansa spiritual.

Bagi etnomusikolog Rizaldi Siagian, suara beduk yang rendah memiliki vibrasi yang menggetarkan, yang semakin terasa indah saat didengar dari jauh. Jika diselami dengan khidmat, bunyi dan gema beduk itu menyiratkan sifat ilahiah (ketuhanan) karena merangsang orang untuk memikirkan sesuatu yang "Maha Besar". Ketika masuk dalam komposisi musik pun, sifat ilahiah itu tetap menemukan perwujudannya.

"Dalam sebuah siklus irama musik, tabuhan beduk bisa menjadi penanda awal dan akhir sekaligus. Itu bisa ditarik dalam tafsir lebih dalam. Kehadiran beduk dalam komposisi musik bisa dibayangkan sebagai metafora citra Tuhan yang merupakan awal sekaligus akhir," katanya.

Sumber: www.kompas.com (30 september 2007)