Memelayukan Seni Arab

Di mana warna Melayu pada Zapin? Jawabannya bisa dilacak pada perubahan Zapin asli Arab menjadi Zapin Melayu seperti sekarang ini.

Zapin berasal dari wilayah Hadramaut, Arab Selatan. Kata Zapin berakar dari kata Arab, zafan, yang berarti gerak atau langkah kaki.

Dalam pakem asli, Zapin ditarikan kaum ellaki dengan gerakan lebih cepat, seperti melayang-layang. Tarian dilakukan sendirian atau bersama-sama dengan iringan musik dari kendang dan gambus besar yang disebut ‘ud. Syair-syair Arab dilantunkan sebagai lagu pengiring.

Saat masuk ke pesisir Melayu, Zapin berangsur disusupi warna Melayu. Menurut Loni Jaya Putra, penata musik dan pimpinan sanggar Awang Sabang, Karimun, Riau, kemelayuan terlihat dri perubahan alat musik. Jika dulu Zapin menggunakan ‘ud yang bulat besar, Zapin Melayu memakai gambus yang lebihi pipih. Kendang besar pun dimungilkan jadi marwas.

Perubahan instrumen itu melembutkan bunyi yang dihasilkan. Gambus memberi warna nada turun-naik, sedangkan marwas menghasilkan tempo yang rancak. Cengkok Melayu mendayu-dayu selaras dengan bait-bait pantun yang dinyanyikan berulang-ulang.

“Irama Zapin itu seperti aliran sungai atau gelombang yang lembut dan berulang-ulang,” kata Loni.

Tarian yang asalnya lebih cepat dihaluskan. Penari mengenakan teluk belanga atau baju kurung yang dililit kain sarung di pinggang, sebagaimana tradisi Melayu. Zapin pun kini ditarikan laki dan perempuan. Syair Arab diubah menjadi bahasa Melayu.

Setelah melewati proses akulturasi, Zapin kini jadi salah satu ikon budaya Melayu. Pengajar Kajian Melayu di Universitas Negeri Riau, Yusmar Yusuf, mengungkapkan, Zapin mewakili seni yang penuh kehalusan, kelembutan, dengan lirik terpilih yang membincangkan kearifan. Gerakan yang mengulang harmonis bisa membangun kontemplasi.

“Kunci menikmati dan menari Zapin itu hati. Jadi, Zapin itu semacam taman hati nurani,” katanya.

Hanya saja, di tengah pencarian identitas dalam otonomi daerah sekarang, banyak pemerintah daerah yang mau ambil jalan pintas dengan mengklaim Zapin dari daerah itu. Padahal, seluruh pesisir pantai Nusantara yang pernah didatangi dakwah Islam sesungguhnya menjadi laman (halaman) bermain Zapin.

“Jangan menyebut diri sebagai pusat dunia Zapin. Itu menzinahi perjalan sejarah,” kata Yusmar menambahkan.

Sumber : Harian Kompas, Minggu, 16 September 2007