Membina Hubungan Etnis Menuju Integrasi Bangsa

Oleh : Prof. H. Syamsuni Arman, Ph.D.

Pengantar
Bagi suatu bangsa yang memiliki kekayaan etnis, upaya yang terarah dan terencana perlu terus menerus dilaksanakan untuk menjamin keharmonisan hubungan sehingga proses integrasi nasional berjalan dengan lancar dan cepat. Cita-cita untuk memelihara keharmonisan itu tergambar secara simbolis pada lambang negara kita, Garuda yang dengan cakarnya yang kukuh dan kuat menggenggam semboyan persatuan ‘Bhineka Tunggal Ika’ sambil mengepakkan sayapnya mengantarkan bangsa Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.

Keragaman Etnis Dan Wawasan Nusantara
Keragaman etnis yang kita miliki akan merupakan kekayaan dan kekuatan selama kita tetap berpijak pada perwujudan wawasan nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan budaya. Dalam konteks budaya nasional (GBHN 1993 Bab II Sub E.3) diakui adanya corak ragam budaya yang dianut oleh masyarakat. Berbagai corak dan ragam budaya itu merupakan asset yang tidak ternilai harganya baik bagi pengembangan kepribadian kita maupun sebagai daya tarik bangsa kita dalam pergaulan internasional. Corak dan ragam budaya itu harus kita bina agar dapat membangun kehidupan yang serasi dan selaras. Perselisihan dan pertikaian betapapun kecilnya akan merugikan kita semua. Agaknya semboyan universal yang berbunyi united we stand and divided we fall tetap relevan untuk kita dengungkan terus dalam melaksanakan PJP II dan menyongsong era globalisasi sekarang ini.

Alam memberikan tamsil yang berharga bagi upaya kita membangun kerjasama etnis yang kompak dan padu. Taman yang indah adalah taman yang berisi aneka ragam bunga dan tumbuhan yang tertata secara harmonis. Demikian juga hutan yang asli dan perawan senantiasa mengandung keragaman jenis yang tinggi. Alam hewani dan nabati juga memberikan contoh hubungan simbiose yang bermacam-macam (lihat Pianka, 1983 : 243), seperti yang disebut parasitisme (hubungan +, -), amensalisme (hubungan -, 0), kommensalisme (hubungan +, 0), netralisme (hubungan 0, 0), dan mutualisme (hubungan +, +). Berbagai bentuk hubungan tersebut mempunyai akibat yang bermacam-macam, ada yang baik dan ada yang buruk. Kita tidak perlu mencoba sendiri tipe-tipe hubungan tersebut terhadap masyarakat manusia. Cukup kalau kita belajar dari alam dan mencoba menerapkannya secara selektif untuk menghindari dampak yang negatif dan meraih dampak yang positif.

Kita percaya dan yakin bahwa hubungan etnis pun berlaku dengan pola yang demikian. Keharmonisan hubungan yang bersifat mutualistis akan tercipta secara alamiah apabila kita dapat memberikan dorongan dan ajakan melalui berbagai pendekatan dan program pembangunan yang berdampak langsung kepada kesejahteraan masyarakat. Namun kita juga harus senantiasa waspada terhadap pengaruh-pengaruh eksternal yang dapat merobah dan mengganggu keserasian yang telah tercapai. Berlimpahnya informasi yang melanda masyarakat sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dapat menggoncangkan sendi-sendi sistem budaya yang telah kita bangun sejak berabad-abad. Namun sebaliknya, apabila seluruh masyarakat kita memiliki ketahanan budaya yang tinggi, informasi yang berlimpah-limpah itu akan merupakan masukan yang sangat berharga dalam upaya mendorong perkembangan.

Kecintaan Etnis Dan Etnosentrisme
Etnisitas adalah suatu ciri alamiah yang dimiliki manusia. Kita tidak bisa mengatur dan memilih pada suku mana kita dilahirkan, karena hal itu merupakan rahmat Allah semata-mata. Demikian juga kita tidak bisa mengikis kecintaan kita kepada etnis yang melahirkan kita, karena begitu banyak kesan dan kenangan yang membekas pada diri pribadi kita. Tanpa kita sadari kita mewarisi sistem nilai yang berasal dari budaya yang melahirkan dan membesarkan kita, dan perilaku kita secara otomatis dipengaruhi oleh sistem nilai tersebut.

Linton (1945 : 30) pernah berkata bahwa kebudayaan (baik dalam lingkup etnis maupun dalam lingkup yang lebih luas, pen.), tidak hanya terdiri atas hal-hal yang diagungkan atau dipuja-puja seperti bermain piano, tetapi juga termasuk hal-hal yang biasa seperti mencuci piring dan semacamnya. Ragam budaya yang kita miliki pun memiliki ciri-ciri yang demikian. Lebih dari itu kita juga dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang perlu dilestarikan dan mana yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sebagai pemangku budaya kita memikul kewajiban moril untuk mengembang budaya yang kita miliki sehingga pantas dijadikan wahana pergaulan dalam sistem budaya yang lebih luas baik regional, nasional, maupun internasional.

Kecintaan kita terhadap ragam budaya yang melahirkan kita terwujud dalam beberapa tindakan. Misalnya, dimana-mana kita melihat munculnya ikatan-ikatan etnis warga perantau. Ada yang berbentuk arisan, perkumpulan kematian, perkumpulan kesenian, yayasan yang memberikan beasiswa kepada sesama warga yang kurang mampu, dan sebagainya. Lahirnya ikatan-ikatan yang demikian adalah wajar karena diluar keluarga sendiri maka yang paling mengerti perilaku kita, harga diri dan kebanggaan kita adalah warga yang seetnis dengan kita. Tetapi ikatan-ikatan ini perlu kita aplikasikan secara konstruktif, karena apabila dibiarkan berkembang menjadi eksklusifisme dan etnosentrisme perilaku tersebut akan mengganggu keharmonisan pergaulan kita dengan etnis yang lain. Bahkan tidak jarang sentimen etnis yang berlebih-lebihan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan kita sebagai satu bangsa. Sikap yang eksklusif akan menghambat tumbuhnya kepedulian dan kesetiakawanan nasional.

Etnosentrisme cendrung menilai budaya orang lain dengan ukuran budaya sendiri. Padahal kita mengetahui aspek-aspek budaya suatu masyarakat atau etnis membentuk suatu sistem yang padu. Kita hanya dapat memahami perilaku suatu masyarakat apabila kita mampu menempatkan perilaku tersebut dalam konteks sistem nilai yang dianutnya. Kegagalan dalam menemukan konteks perilaku tersebut akan menimbulkan kesulitan bagi upaya membangun pergaulan yang harmonis dan saling menguntungkan.

Sebagai pemangku budaya kita mempunyai kewajiban moral untuk terus mengembangkan budaya sehingga dalam segala aspeknya dapat berhubungan secara harmonis dengan budaya-budaya lain yang kita temui. Dalam proses interaksi ini sudah barang tentu kita berupaya menghindari kesempitan wawasan dan keterbatasan sudut pandang kita.

Hubungan Etnis
Para antropolog (lihat Kottak, 1982: 8) pada umumnya menganut pandangan bahwa budaya berkembang secara unik pada setiap masyarakat, tetapi budaya juga memberi peluang untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungan, baik lingkungan alam, lingkungan manusia, maupun lingkungan moral spiritual. Masyarakat etnis yang hidup berdampingan dengan masyarakat etnis yang lain mengalami proses perkembangan dan adaptasinya masing-masing. Untuk mencapai titik integrasi yang diasumsikan sebagai tujuan semua proses budaya, masing-masing etnis menjalani pola yang berbeda. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila dalam proses menuju harmonisasi dan integrasi kita sering melihat kepincangan-kepincangan dan perbedaan-perbedaan.

Apakah yang terjadi apabila dua kelompok masyarakat yang mempunyai latar belakang ragam budaya yang berbeda melakukan kontak atau hubungan? Pertanyaan ini perlu kita renungkan karena kontak budaya sering melahirkan implikasi yang tidak terduga-duga. Untuk membahas hal ini marilah kita menoleh sejenak kepada apa yang dilakukan para ilmuwan Amerika serikat enam puluh tahun yang lalu.

Pada tahun 1930-an sejumlah antropolog di Amerika serikat dipelopori oleh Beals (1932), Mead (1932), dan Thurnwald (1932) mulai mengarahkan perhatian mereka kepada apa yang mereka sebut acculturation atau yang disebut culture contact oleh para antropolog Inggris pada waktu itu (dalam Bee, 1974: 94-108). Mereka sepakat menyusun sebuah kerangka yang dapat dipergunakan untuk mengkaji masalah akulturasi atas 4 facets atau langkah yaitu : (1) sistem budaya, (2) situasi kontak, (3) hubungan konjungtif, dan (4) proses budaya.

Roda Akulturasi Etnis (Memorandum 1954)
Suatu sistem budaya memiliki sifat-sifat yang menyebabkan budaya dapat berfungsi secara mandiri. Sifat-sifat itu terdiri atas : (1) mekanisme batas budaya, (2) fleksibilitas struktur internal, dan (3) mekanisme pemulihan budaya. Batas budaya merupakan ciri-ciri khas essensial yang menentukan identitas suatu budaya dan membedakannya dari budaya masyarakat lainnya. Ciri-ciri yang essensial tersebut biasanya akan dipertahankan dengan gigih oleh pemangku budaya, sedangkan ciri-ciri yang tidak essensial dapat berubah sesuai keperluan pergaulan hidup. Fleksibilitas struktur internal sangat berperan terhadap penerimaan unsur-unsur eksternal kedalam budaya. Semakin rigit struktur internal semakin sulit pula unsur-unsur budaya lain diterima oleh pemangku budaya, dan semakin lamban pula proses integrasi budaya. Mekanisme pemulihan budaya berfungsi memelihara harmoni dalam kehidupan dan menetralisir goncangan-goncangan yang terjadi karena pengaruh kontak budaya.

Situasi kontak yang dimaksud disini terutama terdiri atas variabel ekologi dan demografi. Kondisi lingkungan fisik sangat berperan atas keharmonisan hubungan silang budaya karena pada masyarakat tradisional yang sering terjadi objek studi akulturasi, kehidupan sangat tergantung kepada kondisi dan distribusi sumber daya alam yang menjadi arena kontak. Suatu kontak bisa saja menjadi gagal apabila timbul kompetisi yang berlebih-lebihan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang terbatas.

Faktor demografi juga merupakan variabel yang menentukan terhadap proses kontak budaya menuju integrasi budaya. Penduduk yang tersebar secara tidak merata menghambat berlakunya kontak secara intensif. Misalnya, sekarang informasi yang berlimpah-limpah telah dapat dinikmati oleh masyarakat yang jauh terpencil letaknya, tetapi untuk memanfaatkan informasi ini mereka juga memerlukan teknologi, referensi, dan contoh-contoh konkrit yang hanya dapat diperoleh melalui komunikasi, terutama komunikasi dengan masyarakat yang sudah maju.

Faset yang ketiga dalam proses akulturasi adalah adanya hubungan konjunktif diantara kelompok otnio yang melakukan kontak (lihat Bee, 1974: 102). Hubungan conjuntif berlaku antara 2 pihak atau lebih dimana masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang sama. Proses akulturasi itu sendiri terdiri atas tiga langkah yang terpisah yaitu diffusi, evaluasi, dan integrasi.

Pada hakekatnya hubungan etnis adalah hubungan individu-individu yang berasal dari etnis yang berbeda. Hubungan individu yang berlangsung dalam jumlah yang banyak dan berlangsung dalam waktu yang lama akan memberikan nuansa terhadap hubungan etnis secara keseluruhan. Dalam kenyataannya hubungan individu muncul karena adanya komunikasi dan interaksi di antara mereka.

Menurut Susanto ( 1977: 9-10) terjadinya komunikasi antar budaya bersumber dari inti pemikiran sebagai berikut : (a) Kelompok budaya menerima berbagai pesan mengenai kebudayaan, politik, ekonomi, dan sosial; (b) Kelompok budaya tidak terisolir dari kelompok budaya lain; (c) Pesan tidak sertamerta diterima, melainkan setelah melalui semacam filter.

Diantara berbagai bentuk komunikasi yang ada maka komunikasi sosial memegang peranan penting dalam proses hubungan antar etnis. Menurut Susanto (t.t. : 136) komunikasi sosial mempunyai kemampuan untuk mengubah masyarakat karena komunikasi sosial bersifat langsung antara komunikator dan komunikan. Komunikasi sosial juga berlaku dua arah dan mengakibatkan terjadinya interaksi sosial. Menurut Gillin dan Gillin (dalam Pratikto 1979: 39) interaksi sosial dapat terjadi apabila terdapat 2 syarat yaitu kontak sosial dan komunikasi.

Dalam prakteknya interaksi budaya dapat terjadi apabila satu individu melakukan suatu tindakan yang melibatkan individu dari etnis lain, dan kemudian pihak yang menerima akibat dari tindakan itu memberikan reaksi atau respons, baik respons positif atau respons negatif. Menurut pratikto (1979: 39) interaksi sosial dapat memperoleh salah satu atau kombinasi dari bentuk-bentuk yang berikut : kooperasi, kompetisi, dan konflik.

Respons yang positif akan mendorong berlakunya proses aksi-reaksi, sehingga melahirkan kooperasi atau paling tidak melahirkan kompetisi yang sehat. Sebaliknya respons yang negatif dapat melahirkan konflik. Akumulasi dari respons-respons yang positif akan mendorong tercapainya integrasi budaya. Menurut Spicer (dalam Bee, 1974: 104-108), terdapat berbagai pola yang berlaku untuk tercapainya integrasi budaya: (1) inkorporasi, (2) penggantian, (3) sinkretisme atau fusi, dan (4) kompartementasi atau isolasi.

Dalam proses inkorporasi atribut budaya dari etnik lain diambil alih tanpa menimbulkan kegoncangan-kegoncangan bagi etnik penerima. Sebaliknya inkorporasi akan memperkaya unsur-unsur budaya penerima, dan hubungan budaya akan berjalan dengan akrab. Dalam konteks budaya nasional kekayaan budaya yang tersebar diseluruh tanah air merupakan gudang besar yang berisi unsur-unsur budaya etnis yang dapat diambil alih oleh etnis lainnya tanpa harus membayar, cukup dengan melalui proses komunikasi sosial yang bersifat langsung, dua arah, dan sukarela.

Penggantian unsur-unsur budaya terjadi apabila masuknya unsur budaya lain akan mengganti unsur budaya yang sudah ada. Karena penggantian itu tidak bersifat menyeluruh maka budaya penerima akan menjadi compang-camping. Dalam sejarah kolonialisme baik di Barat maupun di Timur, penggantian unsur-unsur budaya dengan unsur budaya penjajah sering dilakukan melalui paksaan dengan kekuatan senjata, sehingga filter budaya dan mekanisme pemulihan yang semula dimiliki oleh budaya penerima sering tidak berfungsi untuk mengatasi dampak dari “penggantian” tersebut.

Sinkretisme atau fusi terjadi apabila dua budaya bertemu dan melahirkan suatu bentuk budaya yang sama sekali berbeda dengan budaya aslinya baik budaya penerima maupun budaya pemberi. Contoh klasik dari peristiwa ini adalah agama Katholik yang tumbuh di Amerika Selatan yang berbeda dari agama Katholik asli tetapi juga berbeda dari kepercayaan asli orang Indian. Contoh yang lain menurut Bee (1965; 1966) adalah “agama peyote” suku-suku Indian Utara yang biasa menyebut Our Father, The Sun disamping Jesus Christ and the Virgin Mary.

Kompartementasi atau isolasi adalah gejala dimana unsur yang dipaksakan oleh budaya donor secara resmi diterima oleh budaya penerima tetapi dalam kenyataannya tetap meneruskan budaya asli mereka.

Dari uraian singkat yang penulis utarakan diatas kita dapat memperoleh sedikit gambaran betapa rumitnya mekanisme dan proses yang dilalui oleh hubungan etnis mulai dari kontak pertama sampai kepada pengintegrasian budaya secara utuh. Dengan gambaran tersebut kita dapat mengkaji dan memahami proses sosial yang sedang terjadi disekeliling kita dengan pendekatan yang bijak dan manusiawi.

Upaya Untuk Meningkatkan Hubungan Etnis
Kita sebagai bangsa yang multi-etnis perlu melihat apa yang pernah dialami oleh bangsa-bangsa lain sebagai modal untuk menata kehidupan kita sendiri, dan untuk menghindari pengalaman buruk yang pernah mereka alami.

Hubungan etnis adalah suatu proses yang sangat kompleks, karena dalam hal ini kita berbicara mengenai dua subsistem budaya atau lebih. Kita mengetahui bahwa masing-masing subsistem mempunyai kompleksitas dan struktur yang berbeda-beda. Namun kita berada pada jalan of no return, karena persatuan dan kesatuan bangsa adalah mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Apakah yang dapat kita sarankan agar hubungan etnis dimasa yang akan datang dapat berjalan lebih mulus dan harmonis? Pertanyaan ini teramat sulit untuk dijawab oleh seorang individu, kendatipun individu itu seorang ilmuwan atau cendikiawan. Seluruh individu yang mengaku “berbangsa Indonesia” wajib mencari jawabannya, dan kemudian menerapkannya dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Tetapi tidak salahnya apabila kita mencoba mencari beberapa alternatif untuk diterapkan secara terarah dan terencana.

Sebenarnya kita sudah mempunyai alat yang ampuh untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, dan sekaligus membangun hubungan etnis yang harmonis, yaitu Pancasila. Pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan sikap mental yang mutlak diperlukan dalam membina hubungan etnis yang harmonis dan dinamis. Lebih lanjut sikap mental ini perlu diterjemahkan dalam tindakan dan perilaku yang sesuai dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila harus mendasari kontak, komunikasi, dan interaksi etnis yang kita lakukan, agar berjalan sesuai dengan cita-cita perjuangan kita menuju masyarakat adil dan makmur.

Pemahaman yang tepat tentang agama dan moral, terutama yang menyangkut hubungan pribadi dan hubungan kelompok, akan sangat besar peranannya dalam upaya menyatukan masyarakat. Semua agama menganjurkan manusia untuk saling bantu menbantu agar tercapai keselamatan dan kesejahteraan bersama baik lahiriah maupun rohaniah. Ajaran agama yang menganjurkan persaudaraan, kesetiaan, dan cinta kasih perlu ditonjolkan di kalangan generasi muda, karena merekalah yang akan bertanggung jawab tentang keselamatan dan persatuan bangsa di kemudian hari.

Kontak etnis dinegara kita telah berlangsung sejak berabad-abad, dan kemudian menjadi lebih intensif dengan kebijakan pemerataan penyebaran penduduk dan pembangunan melalui program transmigrasi. Selain dari itu perpindahan penduduk secara sukarela, berdasarkan berbagai alasan pribadi, juga telah berjalan sejak lama. Selama ini kontak dan komunikasi telah berjalan dengan baik, namun komunikasi yang baik tidak secara otomatis membuahkan hubungan etnis yang baik. Komunikasi yang lancar memang merupakan permulaan yang baik, tetapi yang lebih menentukan adalah bagaimana komunikasi itu dapat membuahkan keharmonisan dalam proses interaksi.

Dalam proses hubungan etnis komunikasi dan interaksi merupakan dua tahap yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai contoh, marilah kita lihat dua buah tim sepakbola yang bertanding memperebutkan kejuaraan. Sebelum bertanding kedua tim duduk secara bersahabat dalam rapat-rapat dan semua perbedaan dapat diselesaikan dengan penuh saling pengertian. Namun, sesudah turun ke lapangan dalam interaksi memperebutkan bola sifat bersahabat itu bisa luntur bahkan bisa berubah menjadi sifat permusuhan. Interaksi etnis jauh lebih kompleks dari interaksi bola, tetapi dengan contoh tersebut saya ingin menekankan bahwa kewaspadaan harus tetap di pertahankan bahkan ditingkatkan dalam proses interaksi itu sendiri.

Kalau kita perhatikan dengan seksama maka proses interaksi yang paling sensitif selalu terkait dengan mata pencaharian atau sumber daya alam yang mendukungnya. Bagi suatu keluarga mata pencaharian adalah sumber energi; apabila mata pencaharian terganggu maka seluruh aspek kehidupan keluarga akan terganggu pula. Apabila kontak subsistem budaya menimbulkan kompetisi yang tidak sehat bertalian dengan mata pencaharian maka proses interaksi akan terhambat. Oleh sebab itu kita perlu berupaya menciptakan lapangan kerja yang cukup sehingga setiap orang, dari etnis manapun asalnya dapat memperoleh pekerjaan untuk menjamin kehidupan yang layak bagi keluarganya.

Pengangguran adalah penyakit masyarakat yang dapat mendorong orang untuk melakukan tindakan melanggar hukum atau merugikan hak orang lain. Demikian juga pekerjaan yang memberikan penghasilan yang minim akan membuat masyarakat menjadi rentan dan lemah kemampuannya untuk menghindari tindak melanggar hukum. Oleh sebab itu kita perlu mendorong terciptanya tingkat upah yang memadai. Interaksi etnis hendaknya tidak menghambat terciptanya kesempatan kerja, bahkan sebaliknya dapat meningkatkan penghasilan bagi masyarakat. Dengan demikian interaksi etnis akan berlangsung secara positif dan akan mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai integrasi budaya.

Sumber daya alam yang mendukung mata pencaharian penduduk dapat menjadi sumber pertikaian, misalnya berkenaan dengan akses terhadap lahan pertanian, lahan pertambangan, kawasan laut tempat penangkapan ikan dan sebagainya. Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat dan untuk menjamin kepastian hukum maka kita perlu mengatur secara jelas akses masyarakat terhadap sumber daya alam secara adil dan merata.

Masyarakat tradisional di Kalimantan pada umumnya tidak memiliki konsep terpisah antara tanah, hutan, dan bahan galian yang ada di dalamnya. Bagi mereka tanah dan segala isinya itu merupakan asset sosial suatu masyarakat. Anggota masyarakat secara individu dapat memiliki sebidang tanah, namun apabila tidak dipergunakan dapat dipergunakan oleh anggota masyarakat yang lain dengan cara meminjam. Ketentuan ini tidak berlaku bagi individu yang bukan anggota masyarakat tradisional tersebut. Penggunaan tanah oleh orang luar hanya diperbolehkan melalui suatu upacara adat.

Ada kalanya pengguna tanah dari luar tidak memahami seluk beluk adat masyarakat lokal sehingga merasa cukup apabila sudah mengantongi surat rekomendasi dari instansi pemerintah. Pengalaman di lapangan menunjukkan masalah yang terjadi menyangkut tanah di daerah banyak yang bersumber dari miskomunikasi, mungkin kesalahan dalam memilih cara pendekatan, kesalahan dalam memilih komunikan, atau karena tidak mengadakan pendekatan sama sekali.

Barangkali dalam hal ini perlu dimanfaatkan jasa para antropolog yang memang terdidik dan terlatih dalam berkomunikasi dengan masyarakat lokal. Mereka dapat diminta bantuan untuk melicinkan jalan bagi pembukaan lahan-lahan baru untuk kepentingan pembangunan baik yang diprakarsai oleh pihak pemerintah maupun pihak swasta, sehingga pembangunan itu tidak saja mempunyai nilai ekonomis yang tinggi tetapi juga menentramkan bagi kehidupan warga disekitarnya. Hal semacam itu telah dilakukan secara rutin di negara Uncle Sam, misalnya dalam pembangunan yang memerlukan penggalian seperti pembangunan gedung pencakar langit, bendungan, pelabuhan dan sebagainya, selalu didahului dengan penerjunan tim arkeolog yang bertugas melacak apakah disitu ada peninggalan purbakala yang harus diselamatkan. Para antropolog kita dapat diminta untuk melacak apakah disitu ada masyarakat dan budaya yang perlu kita kembangkan demi keharuman bangsa.

Beberapa Kesimpulan
Upaya untuk memahami mekanisme dan proses kontak etnis dapat kita mulai dengan melihat kepada pengalaman bangsa-bangsa lain, misalnya pengalaman bangsa Amerika sekitar 60 tahun yang lalu. Dari pengalaman mereka kita dapat memahami berbagai konsep ilmiah dan aplikasinya seperti sistem budaya, kontak budaya, hubungan konjunktif, proses budaya dan lain sebagainya. Pemahaman atas konsep-konsep tersebut dapat membantu kita untuk memahami kontak budaya yang berlangsung di sekitar kita, dan selanjutnya berupaya menemukan pemecahan berbagai masalah yang timbul.

Kecintaan warga terhadap etnis yang melahirkannya dapat kita hargai karena kecintaan itu dapat membantu individu dalam proses memasyarakat dan menyesuaikan diri dalam lingkup budaya yang lebih luas. Tetapi individu wajib mengaplikasikannya secara konstruktif serta mencegah munculnya etnosentrisme yang cendrung mengagungkan budaya sendiri dan memandang rendah budaya etnis lain.

Kita perlu memasyarakatkan pemahaman yang benar mengenai hubungan konjunktif yang berlaku antara berbagai etnis di negara kita. Dalam hubungan ini etnis-etnis yang melakukan kontak berkedudukan setara, dan mereka bersama-sama bernaung dibawah satu payung besar yaitu bangsa Indonesia. Dibawah payung ini kita harus menggali lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Selain itu kita juga perlu memandang berbagai corak dan ragam budaya sebagai potensi yang justru menambah kejayaan bangsa ini.

Kita juga mempunyai semboyan yang kita ciptakan dengan kesadaran penuh akan adanya multietnisitas di tanah air, dan dibalik kesadaran itu kita juga mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesungguhan kita untuk menggalang persatuan sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika atau Unity in Diversity.

Untuk mencapai proses integrasi bangsa, kelompok etnis sebagai subsistem perlu meningkatkan fleksibilitas struktur internalnya, karena fleksibilitas yang tinggi akan mampu mengakomodir masuknya unsur-unsur budaya lain yang menguntungkan bagi perkembangan moral dan peradaban.

Unsur-unsur budaya asli yang dapat mengantarkan warganya untuk bergaul secara harmonis dalam lingkup budaya yang lebih luas perlu tetap dipertahankan, tetapi sebaliknya unsur-unsur budaya yang dapat mengakibatkan tertinggalnya warga dalam era persaingan global dan terganggunya keharmonisan pergaulan hidup perlu direvisi dan disesuaikan.

Agar proses integrasi bangsa bisa berjalan secara adil dan manusiawi kita perlu meningkatkan pemahaman kita tentang ajaran agama dan moral melalui berbagai forum komunikasi yang bersifat multi etnis.

Referensi
Beals, R.L., 1932. “Aboriginal Survival in Mayo Culture. “American Anthropologist 34 : 28 – 39.

Bee, Robert L., 1965. “Peyotism in North American Indian.” Transaction of the Kansas Academy of Science 68 (1) : 13 – 61.

-----------------, 1966. “Patowatomi Peyotism: The influence of Traditional Pattern.” Southwestern Journal of Anthropology 22 (2) : 194 -205.

-----------------, 1974. Patterns and Processes. The Free Press, New York.

Gillin and Gillin, 1934. Culture Sociology, revision of introduction to Sociology. The Mac Millan Company, New York.

Kottak, Conrad Phillip, 1982. Anthropology: The Exploration of Human Diversity. Random House, New York.

Linton, Ralph, 1945. The Cultural Background of Personity, Appelton-Century-Croft, New York.

Mead, M., 1932. The Changing Culture of an Indian Tribe. Columbia University Press, New York.

Pianka, Eric R., 1983. Evolutionary Ecology. Harper & Row Publishers, New York.

Pratikto, Riyono, Drs., 1979. Komunikasi Pembangunan. Penerbit Alumni, Bandung.

Susanto, Astrid S., Dr. Phil., 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Binacipta, Bandung.

-----------------------------------, t. t., Filsafat Komunikasi. Binacipta, Bandung.

Thurnwald, R.C., 1932. The Psychology of Acculturation.” American Anthropologist, 34 : 557 – 569.
__________

Prof. H. Syamsuni Arman, Ph.D., adalah guru besar dan peneliti pada Magister Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat.

Makalah ini disampaikan dalam Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan dan Kongres Antropologi Indonesia di Jakarta pada tanggal 25—28 Agustus 1997.