Manetek Kayu, Mengukur Kekuatan dan Kegagahan Pria Dayak

Keterampilan memotong dan membelah kayu manetek kayu dilombakan dalam Festival Budaya Isen Mulang di Lapangan Sanaman Mantikei, Palangkaraya, pertengahan Mei 2007, dalam rangkaian peringatan 50 tahun Provinsi Kalimantan Tengah.

Oleh : C Anto Saptowalyono dan M Syaifullah

Tiga pemuda Dayak berpakaian kulit kayu dari Kabupaten Gunung Mas tampak begitu gagah saat tampil di Lapangan Sanaman Mantekei, Palangkaraya, Kalimantan Tengah Kalteng, pertengahan Mei 2007 lalu.

Mereka adalah peserta pertama yang mengikuti lomba manetek (memotong) kayu dalam Festival Budaya Isen Mulang. Mengenakan sepatu bot, ketiga pria yang masing-masing membawa sebilah kapak tersebut kemudian memasuki arena.

Kapak khas itu disebut pahera, yakni kapak bertangkai kayu dengan mata beliung. Di arena sudah berdiri tegak belasan batang pohon pulut setinggi dua meter dengan diameter seukuran paha orang dewasa.

Ketiganya menuju satu batang kayu. Hari itu mereka ingin membuktikan kembali sebagai pria-pria terkuat dan mempertahankan kemenangan yang diraih pada tahun lalu.

Sebelum masuk arena, mereka sudah membagi tugas. Penebangan pun tidak dilakukan secara keroyokan.

Seorang di antara mereka meneweng (menebang) batang pohon sendirian. Begitu bagian yang ditebang roboh, rekan yang kedua melanjutkan kegiatan berikutnya, yakni menetek (memotong) kayu menjadi dua bagian. Sementara itu, peserta terakhir dari tim itu bertugas menyila (membelah) dan menyusun kayu-kayu yang sudah dipotong kecil-kecil seukuran kayu bakar. Pekerjaan mereka dinyatakan tuntas setelah menancapkan bendera merah putih kecil di tengah kayu-kayu yang tersusun seperti menara.

Kepala Dinas Pariwisata dan Seni Budaya (Kalteng) Harun Al Rasyid menjelaskan, tradisi manetek kayu memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Dayak yang masih menyatu dengan alam. Tradisi ini memperlihatkan kemampuan, keterampilan, dan kekuatan pria Dayak dalam menggunakan pahera untuk bisa bertahan hidup. "Ini sama nilainya dengan kemampuan menyumpit, memainkan mandau, maupun tradisi lainnya," katanya.

Sekretaris Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalteng Sidik R Usop menambahkan, kegiatan ini juga terkait dengan tradisi pantan. Tradisi ini merupakan ritual dalam penyambutan tamu khas Dayak Kalteng.

Ritual ini disebut potong pantan atau pantan bahalai. Setiap tamu yang datang untuk kali pertama ke perkampungan Dayak terlebih dahulu menemui tetua adat setempat, yakni basir apu sebagai pimpinan dan diapit empat pendampingnya.

Sebelum dipersilakan masuk rumah, biasanya antara tamu dan tetua adat dipasang sebatang kayu yang melintang di pagar masuk. Kepada tamu pertama-tama diajukan beberapa pertanyaan, seperti siapa nama Anda, dari mana, dan apa tujuan datang ke daerah ini. Semua pertanyaan itu harus dijawab. Dalam proses itu, setiap selesai
menjawab satu pertanyaan, pantan pun dipotong sebagian. Tamu baru boleh masuk setelah pantan putus.

"Tradisi ini melambangkan orang Dayak memiliki prinsip keterbukaan, menerima siapa pun yang datang ke wilayahnya asal dengan itikad baik. Tradisi ini ada juga yang hanya melilitkan kain sepanjang kayu pantan," ucap Harun.

Menurut Tundan Tasin, ketua rombongan Festival Budaya Isen Mulang dari Kabupaten Gunung Mas, meskipun tradisi manetek kayu ataupun tradisi Dayak lainnya terus diperlombakan, kegiatan ini mestinya juga masuk dalam mata pelajaran muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah di Kalteng.

"Faktanya, seperti tradisi manetek kayu, selain perlombaannya tidak banyak diikuti peserta muda, mereka juga sudah tidak banyak mengenal teknik dan peralatan menebang dan memotong kayu," tuturnya.

Sumber : www.kompas.co.id