Kesenian Pantun


Seni pantun merupakan seni pertunjukan yang telah dikenal di Pasundan sejak abad ke-16. Seni ini tergolong seni pertunjukan yang telah mengalami kemunduran bahkan hampir punah, karena sudah jarang dipertunjukkan. Oleh karena itu generasi muda umumnya sudah tidak mengenalnya. Ada berbagai alasan tentang kemunduran ini, tetapi yang jelas umumya sudah berabad-abad.

Seni ini merupakan gabungan antara seni suara dan seni sastra. Melibatkan seni suara karena cara membawakan cerita dalam seni pantun dengan cara dinyanyikan (dikawihkan) dan melibatkan seni sastra karena cerita pantun berupa puisi ataupun prosa. Secara historis kata "pantun" dikenal pertama kali dalam sebuah naskah Sunda Kuno beijudul Sang Hyang Siksakanda Ng Karesian yang ditulis pada tahun 1518. Dalam naskah itu disebut-sebut tentang adanya cerita pantun dan juru pantun.

Menurut hash penelitian, dikenal 76 buah cerita pantun, antara lain : Ciung Wanara, Lutung Kasarung, Sulanjana, Jaka Susuruh, Munding Laya di Kusumah, Ngadegna Pajajaran, Ratu Pakuan, dan sebagainya.

Cerita pantun ini menurut beberapa ahli budaya Sunda adalah cerita Sunda Asli, warisan para leluhur yang belum terpengaruh kesusastraan dari daerah lain.

Cara membawakan cerita pantun -yang disebut sebagai mithologi Pajajaran oleh Iskandarwassid dan Henri Chambert loir, karena selalu mengagung¬agungkan Kerajaan Pajajaran- ada yang diceritakan biasa, ada yang disampaikan dalam bentuk dialog, adapula yang ditembangkan (dinyanyikan). Bagian yang diceritakan biasanya ketika menggambarkan tentang keadaan negara, keadaan tempat, atau perilaku seorang tokoh, misalnya ketika si tokoh menangis, marah, menghilang, dan sebagainya.

Bagian yang dinyanyikan yaitu ketika menggambarkan apa saja yang diterima oleh pancaindra: yang terlihat, terasa, terdengar. Misalnya waktu menggambarkan kecantikan seorang putri. Selain itu, bagian yang menggambarkan putri berdandan, atau tokoh Lengser bersiap-siap menjalankan perintah raja atau kecamuk perang, juga dinyanyikan. Pada pembukaan pertunjukan seni pantun, terlebih dahulu dibawakan rajah (permohonan izin kepada leluhur) yang dinyanyikan juga.

Pengertian Pantun
Arti kata pantun dalam Kesenian Pantun mempunyai dua pengertian. Pengertian yang pertama kata pantun itu berasal dari tiga bentukan yaitu:

Kata pantun berasal dan kata "part", dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata "parek" yang artinya dekat. Bentuk halus dan kata pan adalah pantun. Maksud dari pengertian kata tadi adalah di dalam konteks kalimat Cerita Pantun banyak kata-kata yang memiliki suara yang sama (purwakanti).

Di dalam kirata basa (dikira-kira tapi nyata) atau disebut pula sebagai etimologi rakyat, kata pantun merupakan akronim dari papan ditungtun tungtun, karena pada umumnya juru pantun (tukang pantun) tempo dulu biasanya tuna netra, jika betjalan memakai papan (tongkat) yang ditungtun.

Pantun yaitu bentuk alat kesenian serupa kecapi yang agak besar dan kecapi biasa, disebut juga kecapi perahu karena bentuknya seperti perahu. Dalam memainkan instrumen ini, pemainnya menggunakan jari-jemari kiri-kanan sekaligus. Jari-jari tangan kanan biasanya untuk melodi, sedangkan yang kin untuk bass-nya. Senar-senarnya disusun berurutan dan yang terpendek untuk nada-nada tinggi berangsur semakin panjang untuk nada-nada yang berangsur pula merendah. Ukuran senar, mulai dengan ukuran kecil untuk nada-nada tinggi dan berangsur semakin membesar untuk nada-nada yang semakin merendah. Kecapi ini bisa distel dalam susunan tangga nada salendro maupun pelog.

Pantun dalam pengertian yang kedua, yaitu suatu bentuk kesenian Sunda yang mencakup dua cabang kesenian sekaligus, yaitu seni suara dan seni sastra. Aspek seni suara dalam seni pantun ini ditunjukkan dengan adanya nyanyian (kawih) yang dibawakan oleh pemain pantun dengan diiringi instrumen pantun, suling, dan rebab besar. Sedangkan aspek seni sastra ditunjukkan dengan lakon pantun atau cerita pantun yang berbentuk prosa atau puisi dengan irama, pilihan kata, dan persajakan tertentu.

Juru Pantun
Sebelumnya telah dipaparkan bahwa di dalam kesenian pantun selain jenis instrumen musik juga terdiri atas cerita dan juru pantun. Juru pantun atau tukang pantun adalah orang yang membawakan cerita pantun. Umumnya pekerjaan ini hanya dilakukan oleh kaum pria. Karir sebagai juru pantun umumnya dimulai setelah lanjut usia, sekalipun masa berguru sudah dimulai pada usia muda. Hal ini bertalian erat dengan sistem kemasyarakatan tradisional, dimana si murid tidak selayaknya tampil selama gurunya masih mampu menjalankan tugas. Kadang¬kadang juru pantun mewariskan keahliannya kepada salah seorang anaknya.

Dalam mempelajari seni pantun, cerita dan lagu bertutur harus dihapal di luar kepala. Sejalan dengan fungsinya kadang-kadang calon juru pantun hares berpuasa ketika berguru. Bersamaan dengan itu dihapalkan pula berbagai mantra serta pengetahuan mengenai jenis-jenis sesajen, berbagai pantangan, cara memetik kecapi, dan sebagainya. Setiap juru pantun menjalankan tata cara mantun sebagaimana yang diajarkan gurunya.

Acapkali juru pantun dikaitkan dengan masalah kebutaan jasmaniah, karena banyak juru pantun yang tuna netra. Akan tetapi tidak semua juru pantun tuna netra. Yang jelas daya ingat yang dimililci oleh orang-orang tuna netra umumnya kuat, sehingga dapat membantu dalam menghapal kalimat-kalimat yang terikat oleh irama, pilihan kata, dan persajakan tertentu. Dewasa ini pekerjaan sebagai juru pantun kurang diminati orang, khususnya generasi muda.

Pertunjukan Kesenian Pantun
Dalam bentuknya yang utuh, cerita yang biasa dibawakan dalam pertunjukan Kesenian Pantun, merupakan cerita panjang, yang umumnya cukup untuk dituturkan semalam suntuk.

Pertunjukan seni pantun biasanya diadakan dalam rangka merayakan pesta perkawinan, khitanan, menyambut kelahiran bayi, upacara penyimpanan padi ke lumbung (ngidepkeun pare), dan upacara ruatan.

Penyelenggaraan pertunjukan biasanya semalam suntuk dari pukul 21.00 sampai pukul 05.00 dini hari, kecuali untuk acara khitanan, yang biasanya diadakan pada pagi hari.

Ada perbedaan antara pertunjukan untuk acara maim dan yang bukan ruatan. Dalam pertunjukan untuk ruatan cerita yang dibawakan biasanya dua buah, yaitu antara pukul 21.00 sampai dengan pukul 03.00 berupa cerita hiburan, dan sisanya cerita Batara Kala. Ruatan atau ngaruat dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk membersihkan atau menghilangkan segala dosa, dengan jalan menceritakan Batara Kala atau lahirnya kala, yang harus diruat di antaranya: ketika menempati rumah baru, memiliki anak tunggal, anak kembar laki-laki atau perempuan, nanggung bugang (seseorang yang ditingggal mati oleh kakaknya atau adiknya), pandawa (mempunyai lima anak laki-laki), pandawi (lima anak perempuan). Setelah acara pertunjukan pantun selesai, orang yang diruat dimandikan dengan air pengruatan.

Sebelum acara pertunjukan dimulai disediakan terlebih dahulu sesajen tertentu dan kemenyan. Untuk acara menyimpan padi ke lumbung, sesajen itu berupa macam-macam buah-buahan, pisang, ketupat lontong (leupeut), macam¬macam bumbu-bumbuan, macam-macam umbi, kacang-kacangan, dan makanan¬makanan lain. Selain itu ada dua ikat padi (dua geugeus pare) yang dihiasi dengan pakaian laid-laid dan wanita, diwujudkan seperti mempelai laki-laki dan wanita. Semua sesajen ini diletakkan di muka Juru Pantun. Kemudian kemenyan dibakar, asap kemenyan yang mengepul menciptakan suasana sakral dan khidmat.

Ki juru pantun mulai ngarajah, yaitu ngahaleuangkeun (menyanyikan) sejenis mantra yang disebut rajah pamuka (rajah pembuka), sambil menggerak¬gerakan instrumen pantun yang akan dimainkannya di atas pembakaran kemenyan. Ngarajah ini biasa disebut papantunan. Di samping sebagai acara pembuka, kadang-kadang terdapat pula rajah pamunah sebagai rajah penutup, tetapi jangka waktunya lebih pendek dan isinya agak berbeda.

Rajah pada awal penuturan (rajah pamuka) merupakan pengangkat cerita yang berisi berbagai permohonan juru pantun secara panjang lebar, permintaan perlindungan, permintaan maaf kepada leluhur yang kisahnya akan dibangkit bangkitkan lagi, jangan-jangan salah sebut nama atau pangkatnya. Rajah akhir penuturan (rajah pamunah) berisi permohonan pula, agar dengan selesainya penuturan cerita itu, semua leluhur yang semula diseru kembali ke tempat asalnya, serta memohon keselamatan bagi semua yang berada di lingkungan itu, khususnya keluarga yang mengadakan selamatan.

Setelah acara membawakan rajah, untuk acara menyimpan padi ke lumbung biasanya dilanjutkan dengan lagu Kidung atau Kembang Gadung sebagai lagu penghormatan. Setelah selesai barulah dibawakan cerita pantun. Sedangkan pada acara pernikahan atau khitanan sebelum dibawakan cerita pantun terlebih dahulu dilakukan saweran, yaitu acara yang berisi nasihat untuk pengantin atau orang yang disunat, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Ki Juru Pantun. Penyawer memegang sebuah bokor/bejana yang berisi beras, kunir yang diiris-iris panjang, daun hanjuang, uang logam, dan bungs melati. Setiap selesai satu pupuh dinyanyikan Ki Pantun mengambil sejumput isi bokor langsung ditaburkan kepada Sang Pengantin atau yang disunat yang duduk di depan Ki Pantun. Biasanya anak-anak kecil maupun orang tua ikut berkerumun untuk berebut uang logam yang ikut tertabur.

Setelah selesai acara pendahuluan di atas, maka dilanjutkan dengan acara sentral yaitu cerita pantun. Pada waktu membawakan ceritanya itu, Juru Pantun bertindak sebagai tukang dongeng atau tukang cerita. Ceritanya diselang-selang kawih dengan iringan kecapi, rebab, dan suling.

Pada waktu larut malam, ketika para penonton mulai mengantuk, diadakan adegan humor. Tokoh sentral biasanya adalah Lengser. Di dalam Cerita Pantun dan cerita-cerita klasik Sunda, tokoh ini selalu ditampilkan sebagai tokoh yang kadang-kadang berperan sebagai pengawal pribadi (dalam arti luas) baik fisik maupun spiritual. Jadi pada saat-saat yang mendesak Ki Lengser bisa menjadi penasihat. Dalam adegan Lengser ini penuh dengan gelak tawa, karena Lengser digambarkan sebagai tokoh komedius lucu dan ganjil. Kelucuan ini biasanya menghilangkan rasa kantuk para penonton. Sebagai contoh, biasanya digambarkan Lengser yang berdandan sangat lama, hingga empat puluh hari masih terus saja berdandan. Demikianlah karakter tokoh Lengser yang amat digemari oleh para penonton karena kelucuan, keganjilan, dan kecerdasannya.

Cerita pantun biasanya diakhiri dengan kemenangan pihak yang benar serta kehancuran pihak yang culas, tidak jujur, dan angkara murka.

Sumber : LP Edisi 16/Desember 1998 ISSN 0854-7475 Kesenian Daerah Di Jawa Barat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Photo : http://museumalatmusik.files.wordpress.com