Kawin Kontrak: Kini, Ramai Orang Arab Huni Kawasan Puncak

Kawasan Warung Kaleng atau Kampung Sampay di Puncak, Cisarua, yang merupakan perkampungan warga Timur Tengah (Arab, red), mulai bergeliat. Sejumlah tempat peristirahatan berupa vila dan bungalo sudah banyak terpesan. Padahal, musim kawin kontrak baru masuk pada Juni hingga Agustus mendatang.

Hingga awal pekan ketiga bulan ini, peningkatan pemesanan untuk pemakaian awal bulan depan diperkirakan mencapai lebih 50 persen.

Menurut salah seorang petugas resepsionis di vila Tjokro, Cisarua, pemesanan kamar umumnya dilakukan dengan cara si tamu menghubungi via telepon atau menugaskan seseorang (calo, red) untuk memesan kamar/bungalo.

Menurut perempuan yang diperkirakan usianya 28 tahun tersebut, pemesanan kamar rata-rata untuk lama pemakaian satu pekan hingga satu bulan, mulai awal Juni nanti. "Yang ada di lantai bawah dan area bawah ini sudah banyak yang dipesan. Ada yang untuk satu pekan dan ada yang untuk dua pekan. Bergantung, malah ada yang memperpanjang," kata dia.

Khusus di kawasan Warung Kaleng atau orang Arab menyebutnya dengan istilah "jabal" (gunung dalam bahasa Arab), selain sejuk, pria Arab memilih tempat tersebut karena memang terkenalnya sebagai tempat kawin kontrak dengan wanitanya yang juga terkenal cantik.

Pada Juni hingga Agustus, kawasan puncak yang kerap dijadikan tempat wisata itu berubah menjadi kawasan yang dipenuhi pria Arab.

Kawin kontrak dipilih para pria Arab karena persyaratannya lebih mudah dibanding dengan harus nikah resmi. Hanya dengan emas kawin Rp4 juta hingga Rp6 juta, mereka bisa memiliki wanita-wanita cantik dan menjadikan istri sementara waktu. Pelaksanaan kawin kontrak tersebut dilakukan tanpa penghulu. Melainkan hanya seorang saksi. Bahkan, saksi tidak jarang hanya seorang calo yang berprofesi sebagai tukang ojek. Para pelaku kawin kontrak umumnya bukanlah warga asli Cisarua. Mereka yang kawin kontrak itu berasal dari luar Bogor. Untuk wanitanya berasal dari Sukabumi, Cianjur serta Bandung. Sedangkan prianya berasal dari Timur Tengah.

Menariknya, dalam proses kawin kontrak tersebut, sang wanita tidak bisa menerima mahar sebesar itu secara utuh. Seperti keterangan dari Nisa (nama samaran), salah seorang pelaku kawin kontrak. Sebesar 50 persen dari mahar harus disetorkan kepada calo yang mempertemukannya dengan pria Arab tersebut. Tidak saja sampai di situ, terkadang sisa uang mahar yang diterima si wanita itu juga kembali terpotong, jika ada "petugas" yang akan melakukan penertiban.

Dari pengakuan sejumlah pelaku kawin kontrak, termasuk Nisa, faktor ekonomilah yang menjadikan mereka rela dikawin kontrak oleh para pria Arab. Itu faktor utama. Tapi faktor lain yang membumbui terjadinya kawin kontrak itu adalah karena kekecewaan (trauma, red).

Nisa contohnya. Dia mengaku menjadi pelaku kawin kontrak karena frustrasi setelah sempat menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab. Bukannya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tapi majikannya selalu menjadikan dia sebagai budak seks. Sementara itu, Shofia (nama lain), pelaku kawin kontrak lain, mengaku dia trauma dengan lelaki asal pribumi karena sempat gagal (cerai) dua kali. "Saya kapok berhubungan dengan pria asli Indonesia."

Para pria Arab karena merasa sudah membayar, mereka bisa menguasi para wanita yang dikawininya. Dan itu yang dialami Nisa, selama 5 bulan ia hidup bersama dengan pria Arab di sebuah vila. Namun, setiap hari ia tidak boleh keluar vila kecuali bersama suami kontraknya. Sialnya lagi, dari sang suami Arabnya itu dia tidak mendapatkan apa-apa lagi, selain mahar yang sudah terpotong untuk bayar penghulu/calo dan petugas untuk meloloskannya dari penertiban.

Lain dengan Nisa, Sofia malah mengaku menikmati kawin kontrak dengan pria Arab. Selama tujuh bulan ini, dia mengaku sudah dua kali melakukan kawin kontrak dengan pria Arab, yang masing-masing selama tiga bulan.

Kedatangan para wisatawan Arab itu pun kini sudah sangat terorganisasi. Turun dari Bandara Soekarno-Hatta, di hadapan para sopir taksi, mereka tinggal menyebut kata jabal (bahasa arab), dan sampailah mereka di Warung Kaleng. Kini hampir 90 persennya penghuni, Warung Kaleng adalah warga Arab. Begitu juga dengan bahasa sehari-hari di daerah itu. Bahkan seluruh fasilitas, baik vila, wartel, travel, toko di sana bertuliskan bahasa Arab (lampungpost.com)

Sumber : http://indonesia.faithfreedom.org