SIstem Religi dan Kepercayaan Masyarakat Pulau Bangka Sebelum Islam

Drs. Akhmad Elvian
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang

Sebagai suatu sistem religi, menurut Koentjaraningrat, kepercayaan masyarakat terdiri dari unsur/komponen, yaitu emosi yang menyebabkan manusia bersikap religius. Emosi adalah suatu getaran jiwa yang dapat menggerakkan jiwa manusia baik secara individu maupun kelompok, kemudian komponen kepercayaan masyarakat berikutnya adalah sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan manusia tentang supranatural, wujud alam gaib, nilai dan norma dari kepercayaan, selanjutnya sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan dewa-dewa, supranatural atau makhluk-makhluk yang mendiami alam gaib, selanjutnya ritus (upacara suci) ini menyangkut hal ibadat yang dilakukan dan ini dapat diamati, termasuk mantra, ucapan-ucapan tertentu, samadi, nyanyian, doa, pemujaan, melakukan kurban dan sebagainya. Fungsi upacara ini adalah selain untuk memperkuat keyakinannya, juga memperkuat sistem dan nilai sosial yang ada dalam masyarakat, dan komponen yang terakhir adalah umat dan kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut, seperti suku bangsa dan lain-lain. Kepercayaan masyarakat mempunyai fungsi antara lain, Produktif, termasuk semua praktek ilmu gaib yang menyangkut kegiatan produksi misalnya bercocok tanam, pembuatan alat, kegiatan dalam perdagangan dan lain-lain, kemudian protektif/penolak, termasuk segala praktek ilmu gaib untuk menghindari atau menolak bencana, baik bagi tumbuhan (tanaman) atau hewan dan praktek ilmu gaib untuk menyembuhkan penyakit manusia, seperti upacara tolak bala, tolak penyakit, kemudian fungsi berikutnya adala agressif, semua perbuatan ilmu gaib yang bertujuan merugikan, menyerang, menyakiti dan membunuh, dan funsi terakhir dari kepercayaan masyarakat adalah meramal, praktek meramal berdasarkan perhitungan ilmu perbintangan.

Masyarakat Bangka masa lalu percaya kepada dukon, yaitu orang yang memiliki kekuatan supranatural karena dianggap dapat mendatangkan dan mengusir roh dan makhluk halus yang berada di berbagai tempat seperti kampung, sungai, payak, lelap, hutan, bukit, gunung, tanah padang dan ume. Dukon yang mengamankan makhluk halus di kampung disebut dengan dukon kampung, sedangkan yang mengamankan makhluk halus di sungai disebut dukon sungai. Menurut kepercayaan, makhluk-makhluk halus tersebut berasal dari tanah Arab, berada di atas angin, berasal dari wali empat, duduk di Jabal Qubis dan Jabal Nur dari negeri meka’. Hulubalangnya berkedudukan di Sungai Aur, Sungai Udang dan Sungai Mayang. Makhluk-makhluk halus itu kemudian dari atas angin meniti awan, meniti angin, meniti guntur, meniti arus, turun ke Gunung Tajam di Pulau Belitung, turun ke Gunung Muntai. Dari Gunung Muntai turun ke kampung Bencah sebelah timur di daerah yang disebut dengan Lawang Puri. Setelah di Lawang Puri kampung Bencah sebelah timur makhluk-makhluk halus turun menjadi dewa di sungai Kepoh yang terletak di kampung Jeriji. Makhluk halus ini terdiri dari tiga bersaudara yaitu yang tertua bernama raja Jinggut berdiam di kuala, yang tengah bernama Raden Kesnen diam di bagian tengah sungai dan yang bungsu berkelamin perempuan bernama Ratu Jeria berdiam di tumbek (bagian dari sungai sebagai sumber dari mata air). Dewa sungai Kepoh yang tinggal di sepanjang sungai Kepoh bertugas memelihara buaya dan buyut (hantu dasar sungai). Buaya yang dipelihara adalah buaya siluman yang sering disebut masyarakat dengan sebutan baye puteh (buaya putih) sedangkan buyut sering menenggelamkan orang dengan cara dihisap hingga ke dasar sungai. Orang yang dihisap buyut karena terumpak yaitu melanggar pantangan misalnya mandi di sungai pada tengah hari. Eksistensi makhluk-makhluk supranatural tersebut di atas menjadi sesuatu yang nyata. Oleh karena itu pemahaman mengenai makhluk supranatural harus dikaitkan dengan sistem pengetahuan budaya (Steven, 1990;125), dalam hal ini sistem kosmologi pada suatu masyarakat.

Makhluk-makhluk halus inilah yang diamankan dukon dari waktu ke waktu sepanjang masa agar tidak mengganggu manusia atau dalam istilah dukon disebut umat Nabi Muhammad. Menurut sebutannya orang Bangka yang telah memeluk agama Islam disebut umat Nabi Muhammad sedangkan yang belum memeluk agama Islam disebut dengan sebutan orang Lum yang berarti belum Islam. Ketika makhluk halus mulai menggangu penduduk kampung yang memanfaatkan dan menggunakan sungai sebagai salah satu sumber mata pencahariannya dengan gangguan-ganguan buaya nakal, buyut atau makhluk halus lainnya, maka sungai tersebut harus ditaber, begitu juga dengan kampung, hutan dan ume apabila diganggu oleh makhluk halus misalnya diganggu dengan wabah penyakit, seringnya orang sesat di hutan atau ume yang diserang hama, maka harus dilakukan upacara taber. Dalam kepercayaan masyarakat setelah selesainya pelaksanaan upacara taber diharapkan tidak ada lagi gangguan-gangguan makhluk halus terhadap manusia. Gangguan makhluk halus biasanya terjadi kalau manusia kehalen yaitu membuat banyak kesalahan terhadap makhluk-makhluk halus, seperti melanggar pantangan, menggangu daerah yang dianggap rit atau terlarang. Pantangan terdiri atas sesuatu yang dilarang untuk diucapkan, dilarang untuk diperbuat dan dilarang untuk dibawa. Orang yang diganggu oleh makhluk halus disebut tekene. Orang yang tekene memerlukan bantuan dukon untuk mengusir, menangkal atau mengobatinya. Menangkal biasanya dilakukan dukon dengan memberi orang yang tekene dengan jimat dan mengobati biasanya dilakukan dengan jampi dan mantera di air dan dengan menggunakan limau atau jeruk langir, misalnya untuk menawar orang yang tekene dengan jampi dan mantera: ”Segala’ gali name yang laki; segala galai name yang bini; segulang guleng sebungkang name raje ka; sembuh hane; sembuh hini; hini sembuh duluk; hane sembuh dudi; hak tawar tajam tumpul bise tawar berkat laila”. Gangguan kadangkala tidak hanya dilakukan terhadap orang yang berbuat kesalahan atau melanggar pantangan akan tetapi bisa juga menimpa orang lain, misalnya terhadap warga kampung yang mencari ikan di sungai diganggu bubunya, banjur atau rawainya, ikan-ikan dalam sangkar dirusak, perahunya dibalik atau bahkan orangnya disambar atau dimakan buaya. Setelah diobati dukon biasanya orang yang tekene memberikan upah sebagai sarat yang disebut pemasin. Bila gangguan sudah menyangkut kepentingan seluruh warga kampung yang memanfaatkan sungai, maka perlu diadakan upacara taber sungai.

Pada tiap-tiap lubuk atau bagian sungai yang lebar dan dalam biasanya dihuni oleh seekor buaya besar yang disebut puaka, bila buaya-buaya puaka tadi berpindah ke salah satu lubuk, maka sang buaya harus bertarung melawan puaka lubuk tersebut, bila menang buaya tersebut menelan satu butir batu sungai dan andai kata menang dalam bertarung pada tujuh lubuk, maka dalam perutnya akan ditemukan tujuh butir batu sungai. Buaya-buaya yang kalah bertarung inilah yang biasanya membuat onar terhadap manusia yang kehalen tadi. Untuk meredam dan mengatasi kondisi yang meresahkan masyarakat, peran dukon sungai sangat penting. Bila kondisi dianggap genting dan gawat maka upacara taber dilakukan sekali setahun atau setelah terjadi peristiwa besar misalnya ada orang yang disambar dan dimakan buaya. Dukon beserta pembantunya memberitahukan kepada penduduk agar jangan dulu turun ke sungai selama lebih kurang tujuh hari, karena dukon sedang ngerage dengan cara memancing buaya-buaya nakal. Pancing dan umpan disediakan menggunakan ayam dan kera yang masih hidup. Kera-kera sengaja ditangkap dengan perangkap yang disebut anteb yaitu kerangkeng dari kayu yang diberi umpan buah-buahan. Menurut kepercayaan masyarakat orang yang tekene hingga disambar dan di makan buaya karena kepunen dan lupa nyalet (lupa makan atau mencicipi sedikit makanan yang telah terhidang) sebelum berangkat ke sungai sehingga di makan buaya, dalam penglihatan buaya, orang yang dimakan rupanya seperti kera. Setelah pancing beserta umpannya dipasang selanjutnya dukon menyiapkan sesajian serba enam belas yang diletakkan pada tempat atau lokasi yang merupakan lubuk yang paling dalam di sungai, setelah siap sesajian tersebut segera diteratapkan (dibacakan) mantra-mantra. Pancing-pancing lalu ditebar pada tiap lubuk. Seekor demi seekor buayapun kemudian tertangkap. Buaya yang tertangkap pancing kemudian moncongnya diikat dengan kokoh menggunakan tali pancing dari rotan peledas, selanjutnya diarak dengan bunyi-bunyian seperti gendang dan tawak-tawak (gong) untuk dikumpulkan dilokasi pemukiman penduduk kampung. Setelah beberapa hari buaya-buaya nakal yang tertangkap sebanyak tujuh ekor dan telah terpasung moncong, kaki, tangan dan ekornya itu hanya dapat pasrah sambil mengedip-ngedipkan matanya dan melelehkan air mata mohon belas kasihan. Dukon kemudian membacakan lagi mantra dan satu persatu buaya tersebut kemudian ditamparnya pada bagian rundek (kuduk) sebanyak tiga kali sebagai hukuman bagi yang berbuat jahat terhadap anak dan umat Nabi Muhammad, buaya-buaya tadi menggelepar-gelepar sambil mengeluarkan darah segar dari moncongnya dan langsung mati kemudian dikuburkan seekor demi seekor. Selanjutnya dukon melakukan taber sungai dengan ancak (sesajian) serba delapan belas. Selesai membaca mantra atau jampi-jampi dukon kembali ke rumah untuk menemui penduduk kampung yang sudah berkumpul. Setelah penduduk berkumpul baru dilaksanakan acara berlari beramai-ramai dari rumah dukon menuju kepuang (bagian tepi sungai sebelum menuju alur sungai yang dalam) terus menuju alur dalam di sungai untuk kemudian melakukan mandi bersama.

Taber sungai bukan hanya dilakukan untuk mengatasi masalah yang insidental sifatnya akan tetapi dilakukan sebagai upaya pencegahan biasanya dilakukan setahun sekali atau dua tahun sekali. Naber dua tahun sekali dilaksanakan bila kondisi normal tak banyak gangguan. Dukon mempersiapkan barang-barang sebagai ancak (jenis makanan) yang akan diberikan kepada wakil buaya disalah satu lubuk dalam sebuah perahu. Ancak yang diberikan serba empat yaitu ketupat empat buah, pisang empat buah, nasi empat piring, pinang empat butir, rokok empat batang, lepet empat buah, telur ayam empat butir. Sambil membaca mantra atau jampi, dukon dalam perahu menjuntaikan kakinya di samping perahu ke dalam air. Buaya puaka di lubuk itu muncul ke permukaan di samping kaki dukon dengan membuka mulutnya siap menerima sesajian yang disebut ancak. Selesai menerima sesajian, buaya lalu menenggelamkan dirinya ke dasar sungai dan kemudian seluruh aliran sungai sudah dianggap aman. Dukon sungai lalu memberitahukan kepada penduduk, dengan meniupkan potongan bambu sehingga terdengar sejauh radius 2-3 km. Kegembiraan penduduk disambut dengan mandi bersembur-semburan air, lempar-lemparan ganggang air, main balik membalikkan perahu, berenang disamping buaya-buaya yang dihadirkan oleh dukon ke permukaan. Setelah merasa puas dengan permainan tersebut lalu naik ke darat lalu menyantap makanan yang dibawa dari masing-masing rumah. Setelah sekitar tahun 1953 tak pernah lagi diadakan upacara taber besar-besaran, buayapun sudah berkurang karena terus-menerus diburu oleh pendatang dari sungai Lumpur dan sungai Jeruju di pulau Sumatera, kemudian rerumputan serta kayu Kayan tempat buaya biasa bersarang sudah rusak terbakar atau ditebang manusia, akan tetapi para penangkap ikan harus selalu waspada dan menjaga pantang-pantangan, seperti jangan menyebut Trenggiling (manis javanica), terlalu gurak (bersenda gurau yang berlebihan), menyebut makanan-makanan yang enak seperti panggang ayam, bubur cacak, dodol, lemang, membawa pisang dan telur ke sungai dan lain-lain karena buaya puaka sekali-sekali sering muncul di permukaan air.

Taber juga dilakukan masyarakat terhadap hutan, kampung, bukit, gunung maupun ume. Dalam pelaksanaannya peran dukon sangat dominan sebagai orang yang memiliki kekuatan supranatural. Pada pelaksanaan taber kampung dilakukan untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu masyarakat. Roh-roh tersebut dianggap jahat atau mengganggu, menyebabkan munculnya berbagai macam wabah penyakit serta timbulnya berbagai bencana. Upacara dilakukan pada malam hari biasanya setelah maghrib, dipimpin oleh seorang Pawang atau dukon kampung. Setelah dilaksanakan upacara khusus di balai desa, Pawang atau dukon berjalan dari ujung keujung desa berikutnya dengan membawa mayang pinang dan menaberkan air yang telah dijampi atau dimantera ke kanan dan ke kiri jalan. Setelah upacara naber kampung biasanya masyarakat berpantang untuk bersiul di malam hari.

Taber dilakukan juga terhadap manusia yang disebut dengan mandi tepung tawar, semuanya bertujuan untuk menawar dari segala bala dan musibah. Manusia selalu ingin menampakkan dan menampilkan identitas atau jatidirinya dalam realitas kehidupan baik dalam kehidupan kelompok maupun dalam kehidupan yang lebih luas yaitu masyarakat, tampilan identitas atau jatidiri tersebut tampak dalam peristiwa-peristiwa budaya yang melingkupi kehidupan manusia baik dalam tataran linear maupun dalam tataran siklus. Dalam menjalankan keteraturan atau ketidakteraturan dan tingkatan-tingkatan dalam kehidupan, dijumpai tahapan-tahapan krisis dalam kehidupan (crisis rate), biasanya masa-masa krisis tersebut dilalui oleh manusia dengan melakukan upacara-upacara tertentu baik yang dapat diterima secara rasional atau juga melalui upacara yang tidak rasional yang sifatnya sacral, pseudo sacral dan supranatural, semua upacara itu dilakukan agar tahapan-tahapan krisis kehidupan tersebut dapat dilalui dengan selamat, misalnya upacara tujuh bulanan bayi dalam kandungan, upacara perkawinan atau pernikahan, mengalami musibah yang terus meneruspun perlu diadakan upacara seperti diruwat atau ditaber (purification), bahkan kematianpun diupacarakan.

Upacara tradisional itu tidak saja merupakan tingkah laku resmi yang dibakukan untuk peristiwa-peristiwa yang tidak ditujukan kepada kegiatan sehari-hari, akan tetapi juga mempunyai kaitan dengan kepercayaan di luar kekuasaan manusia (supernatural power) (Yunus, 1992;4). Kekuatan supernatural itu berupa roh-roh dan makhluk halus yang diyakini keberadaannya oleh manusia. Manusia demi keselamatannya mengadakan hubungan dengan kekuatan supernatural tersebut dalam bentuk upacara. Dengan demikian, upacara tradisional sesungguhnya tidak saja sebagai referensi sosial budaya, tetapi juga sebagai stimoli of emotion dan petunjuk tentang kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. Pada masa dahulu, penyelenggaraan upacara tradisional sangat dominan mewarnai kehidupan suatu masyarakat.

Keberadaan upacara tradisional dapat dikatakan menjadi bagian yang membentuk jatidiri masyarakat pengembannya, sehingga upacara tradisional menjadi salah satu aktivitas yang harus dilakukan. Agar maksud dan makna yang terkandung dalam penyelenggaraannya memberikan legitimasi kepada mereka sebagai warga dari masyarakat. Upacara tersebut diselenggarakan sesuai dengan kebiasaan yang mereka lakukan secara turun temurun. Pada masa sekarang, penyelenggaraan upacara tradisional dapat dikatakan tidak seperti dulu lagi, artinya telah banyak perubahan atau pergeseran yang terjadi, menyangkut tata cara dan hakekat yang dikandungnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari perkembangan zaman yang cenderung lebih memperhatikan hal-hal yang baru dan modern. Kebiasaan-kebiasaan tradisional, seperti penyelenggaraan upacara tradisional, mulai dilupakan dan tidak dijadikan suatu keharusan untuk melaksanakannya. Situasi tersebut apabila tidak segera ditanggulangi akan mengakibatkan upacara tradisional, sebagai sarana sosialisasi, sedikit demi sedikit akan kehilangan fungsi, transformasi sosial budaya kepada generasi berikutnya akan mengalami hambatan dan tentunya akan semakin dilupakan. Padahal dalam penyelenggaraan upacara tradisional tersebut terkandung nilai-nilai budaya yang patut dilestarikan dan diwarisi oleh generasi muda.

Sumber : http://tampukpinang.info