Perang Bangka (1812-1851)

Oleh : Drs. Akhmad Elvian
(Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pangkalpinang)

“ Setiap sejarah yang benar adalah sejarah masa kini “ (B. Croce)

Pengantar
Pulau Bangka merupakan bagian dari Kesultanan Palembang Darussalam, pulau ini terletak di pantai timur Pulau Sumatera dipisahkan oleh Selat Bangka. Sebagai bagian dari kekuasaan Palembang Darussalam, Pulau Bangka memiliki arti yang penting karena menghasilkan Lada Putih dan Timah. Pulau ini juga berada pada posisi strategis di jalur perdagangan (Jejaring Asia) dan strategis dari segi militer sebagai batu loncatan untuk memasuki Kesultanan Palembang Darussalam karena muara Sungai Musi yang berhadapan langsung dengan Pulau Bangka. Sebagai Wakil Sultan Palembang Darussalam di Bangka diangkatlah seorang Tumenggung yang berkedudukan di Mentok. Untuk daerah-daerah yang besar dan banyak penduduknya seperti Pulau Bangka dan Pulau Belitung diangkatlah Depati sebagai Kepala rakyat dengan membawahi beberapa orang Batin. Pembagian kekuasaan ini sebenarnya lebih didasarkan atas upaya penguasaan dan pengaturan penambangan Timah yang tersebar di seluruh Pelosok Pulau Bangka dan Belitung.

Sejak Kesultanan Palembang Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adikesumo (tahun 1758-1776), rakyat Bangka mengalami masa kemakmuran karena rakyat diberi kebebasan untuk menambang timah secara tradisional dan kemudian menjualnya kepada Sultan Palembang. Untuk mengikat rakyat yang menambang timah dibuat aturan yaitu setiap penambang harus membayar konsesi berupa Timah Tiban setiap tahunnya kepada Sultan Palembang sebagai pajak (seberat sekitar 31 kg), kemudian sebagai balas jasa pembayaran Timah Tiban, Sultan Palembang memberikan selembar baju hitam dan cukin kepada masyarakat. Dari hasil pajak yang disebut Tiban-Tukon dan adat perdagangan serah yaitu hak monopoli dagang yang dimiliki Sultan Palembang atas penjualan beberapa jenis barang dengan harga yang telah ditentukan seperti besi, bahan pakaian kasar dan garam, Kesultanan Palembang Darussalam memperoleh sumber keuangannya di samping diperoleh juga dari monopoli terhadap perdagangan lada dan timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Pada tahun 1770 Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Badaruddin (memerintah pada tahun 1776-1803), mulai mendatangkan pekerja-pekerja dari Cina untuk menambang timah guna meningkatkan produksi timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung, sejak itu mulailah berdatangan orang-orang Cina dari Siam, Malaka, Malaysia dan dari Cina Selatan ke Pulau Bangka. Kebanyakan mereka berasal dari suku Hakka (Khek) dari Propinsi Guang Xi. Pekerja atau kuli tambang yang berasal dari Cina banyak yang berbaur dengan penduduk setempat atau masyarakat Melayu dan kemudian mereka menikah. Jadi pada dasarnya orang-orang Cina Bangka sekarang adalah keturunan dari perempuan Melayu (pekerja Cina yang datang umumnya laki-laki dan tidak membawa istri). Pekerja-pekerja Cina yang miskin ini sengaja di kontrak untuk menjadi kuli di tambang-tambang timah (parit) di Pulau Bangka untuk jangka waktu tertentu, (mereka oleh orang Bangka sering disebut Singkek Parit). Pada tahun 1803 J. Van Den Bogaart seorang pegawai Pemerintah Kolonial Belanda mengunjungi Bangka dan mendiskripsikan bahwa ada empat kelompok atau group masyarakat yang mendiami Pulau Bangka pada waktu itu yaitu, orang-orang Cina, orang Melayu termasuk di dalamnya etnis lain dari berbagai pulau di Nusantara, Hill People sering disebut orang gunung, atau orang darat sekarang masih tersisa disekitar Gunung Maras yang disebut komunitas adat masyarakat Mapur dan Sea Dwellers disebut orang laut seperti komunitas masyarakat Sekak yang masih tersisa di Kedimpel, Tanjunggunung dan Jebu. Perkembangan dan populasi pekerja tambang timah dari Cina berkembang dengan pesat, hal ini terbukti bahwa pada tahun 1816 terdapat 2.528 orang pekerja timah di Pulau Bangka.

Masa Penjajahan Ingris Dan Belanda

Sejarah Pulau Bangka dan Belitung secara mendasar tidak dapat dipisahkan dari perebutan, penguasaan atau eksploitasi terhadap biji timah oleh berbagai bangsa. Pemerintah Kolonial Belanda melalui kongsi dagangnya VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), menguasai Pulau Bangka karena ingin merebut dan menguasai langsung jalur perniagaan timah dan lada serta ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari komoditas perniagaan tersebut. Kongsi dagang Belanda, VOC sebelumnya hanya memperoleh hak monopoli pembelian terhadap timah dan lada dari Sultan Palembang (antara Palembang dan Batavia terjadi ikatan perjanjian perdagangan lada pada tahun 1642 kemudian ikatan tersebut mengalami perluasan di bidang perdagangan timah pada tahun 1710). Inggris pun menguasai Pulau Bangka pada tahun 1812 karena ingin menguasai biji timah dan jalur perniagaannya, bahkan Inggris sempat merubah nama Pulau Bangka dengan sebutan Duke of Yorks Island (pada tanggal 20 Mei 1812 oleh Rollo Gillespie). Ketika Inggris berkuasa, Gubernur Jenderal Raffles meminta Sultan Mahmud Badaruddin II menyerahkan loji Sungai Aur dan penguasaan sepenuhnya atas penambangan timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung, akan tetapi permintaan ini ditolak oleh Sultan Palembang Mahmud Badaruddin II dengan alasan bahwa daerah-daerah tersebut telah dikuasai oleh Kesultanan Palembang sebelum kedatangan Inggris. Gubernur Jenderal Raffles kemudian mengirim Kolonel Rollo Gillespie ke Palembang yang berangkat dari Batavia pada tanggal 20 Maret 1812. Sebulan kemudian pasukan ini mendarat di muara Sungai Musi dan kemudian berhasil menaklukkan Palembang pada akhir bulan April tahun 1812, selanjutnya pasukan Inggris menguasai Mentok pada tanggal 18 Mei 1812. Sultan Palembang Mahmud Badaruddin II kemudian oleh Inggris digantikan dengan Ahmad Najamuddin, pada tanggal 14 Mei 1812. Kemudian untuk menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II yang lari ke Bailangu, pemerintah Inggris mengangkat Meares sebagai Residen di Palembang. Akan tetapi dalam upaya menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II, Residen Meares tertembak di Bailangu dan meninggal di Mentok pada tanggal 16 September 1812. Ketika Inggris berkuasa di Pulau Bangka, Inggris (dalam hal ini kongsi dagangnya East India Company) menjadikan Pulau Bangka atas tujuh distrik eksplorasi dan penghasil timah yang produktif yaitu Distrik Pangkalpinang, Distrik Jebus, Distrik Klabat, Distrik Sungailiat, Distrik Merawang, Distrik Toboali dan Distrik Belinyu.

Pemerintah kerajaan Belanda pada tahun 1814 kembali menguasai Pulau Bangka dan daerah-daerah yang pernah dikuasai Inggris didasari atas Traktat (konvensi) London, pada tanggal 13 Agustus 1814. Seluruh proses serah terima daerah kekuasaan antara Inggris dan Belanda berdasarkan perjanjian atau Traktat London dilakukan antara M. H. Court sebagai perwakilan Inggris dengan K. Heynes yang mewakili kerajaan Belanda. Serah terima dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 1816 di Mentok. Serah terima ini jelas sekali menunjukkan bahwa Mentok dan Pulau Bangka pada waktu itu merupakan Bandar dan tempat yang strategis bagi Inggris dan Belanda di kawasan Pulau Sumatera. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengangkat K. Heynes sebagai Residen Bangka yang pertama, Residen K. Heynes kemudian karena bermasalah dan dipandang tidak cakap dalam pengelolaan keuangan pertimahan, jabatannya langsung dicopot dan kekuasaannya sebagai residen diambil alih langsung oleh Edelher Herman Warner Muntinghe, Comissaris General Belanda. Edelher Herman Warner Muntinghe mendarat di Mentok pada tanggal 20 April 1818. Edelher Herman Warner Muntinghe adalah orang yang menyulut Perang Menteng atau Perang Palembang pada tahun 1819 dan kemudian beliau menghapuskan Kesultanan Palembang Darussalam (Menteng adalah penamaan rakyat Palembang pada Edelher Herman Warner Muntinghe, Komisaris Kerajaan Belanda, namanya pula yang dipakai sebagai simbol kemenangan rakyat Palembang dan Sumatera Selatan, pada perang Palembang tahun 1819).

Pada tahun 1818 diangkatlah M.A.P Smissaert sebagai Residen Bangka menggantikan Edelher Herman Warner Muntinghe, tidak lama kemudian M.A.P Smissaert terbunuh pada tanggal 14 November 1819 di Sungai Buku perbatasan antara Desa Zed dengan Desa Puding, pada waktu perjalanan pulang (inspeksi) dari Pangkalpinang menuju Mentok. Kepala M.A.P Smissaert dipenggal dan dikeringkan kemudian dikirim kepada Sultan Palembang sebagai tanda bukti kesungguhan masyarakat Pulau Bangka berperang melawan Belanda dan dengan harapan Sultan Palembang memberikan bantuan kepada rakyat Pulau Bangka. Akan tetapi Sultan Palembang tidak dapat memberikan bantuan karena pada saat yang bersamaan juga sedang berperang melawan Pemerintah Kolonial Belanda. Jabatan Residen Bangka setelah kematian M.A.P Smissaert kemudian dirangkap oleh komandan militer pasukan Belanda Letkol Keer. Sejak berkuasa kembali di Pulau Bangka, Pemerintah Hindia Belanda yang oleh Pemerintah Kerajaan Belanda diberi Hak Oktroi, yaitu hak untuk menggunakan kekuatan militer dalam kegiatan perdagangan, melakukan eksploitasi terhadap rakyat dan hasil Pulau Bangka. Dengan menggunakan berbagai dalih serta alasan terutama penghapusan terhadap sistem Timah Tiban (hal yang sama seperti dilakukan oleh Belanda dalam menguasai Pulau Bali dengan dalih penghapusan Hak Tawan Karang). Belanda kemudian berangsur-angsur menguasai dan memonopoli perdagangan timah dan lada serta komoditas lainnya.

Perang Bangka
Penindasan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa pada rakyat di Pulau Bangka, sehingga terjadi perlawanan-perlawanan rakyat. Sebetulnya sejak kedatangan Inggris di Pulau Bangka pada tahun 1812 telah terjadi beberapa perlawanan rakyat Bangka seperti perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Raden Kling di Distrik Toboali, perlawanan rakyat dipimpin Depati Bahrin di Jeruk, perlawanan rakyat dipimpin Demang Singayudha di Kotaberingin dan perlawanan rakyat dipimpin oleh Batin Tikal di Gudang. Terjadi perlawanan-perlawanan rakyat Bangka seperti di Bangkakota, Puding, Zet, Kota Waringin dan di kampung-kampung sepanjang jalan Pangkalpinang menuju Mentok. Perlawanan besar dan terorganisir dengan baik dipimpin oleh Depati Bahrin (tahun 1820-1828). Depati Bahrin adalah putera Depati Karim atau Depati Anggur. Depati Bahrin diangkat oleh Sultan Palembang Mahmud Badaruddin II (memerintah pada tahun 1804-1821 dan meninggal di Ternate 26 November 1852) sebagai Depati di Pulau Bangka. Karena kecerdikan dan kepandaiannya mengatur siasat dan strategi perang ia digelari oleh pasukan Belanda sebagai Napoleon dari Pulau Bangka. Dengan heroisme perlawanannya, rakyat Bangka telah berhasil memenggal dan mengeringkan Kepala Residen Belanda M.A.P Smissaert pada tanggal 14 November 1819. Untuk mengatasi perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Depati Bahrin, Pemerintah Hindia Belanda harus mendatangkan kesatuan Kaveleri dari legiun Perang Wedono dan kesatuan infanteri di bawah pimpinan Kapten Du Perron, kemudian Belanda terpaksa harus melakukan berbagai perundingan dengan Depati Bahrin dan memberikan beberapa kompensasi untuk berkonsentrasi menghadapi perlawanan pangeran Diponegoro di Pulau Jawa pada tahun 1825-1830.

Untuk menumpas perlawanan-perlawanan tersebut Belanda menjadikan Pangkalpinang sebagai basis pertahanan dan pusat kekuatan pasukannya. Dijadikannya Pangkalpinang sebagai pusat kekuatan militer Belanda untuk menumpas perlawanan-perlawanan rakyat Bangka, karena letak Pangkalpinang yang strategis di tengah Pulau Bangka sehingga memudahkan Belanda menggerakkan pasukannya ke daerah-daerah pusat perlawanan rakyat. Sebagai bukti bahwa Pangkalpinang sebagai pusat atau basis pertahanan pasukan Belanda adalah pada waktu terjadinya pertempuran besar-besaran di Bangkakota pada bulan September tahun 1819. Untuk kedua kalinya pada waktu itu Bangkakota diserang oleh pasukan Belanda dari darat yang dipimpin oleh Kapten Laemlin yang membawa pasukannya dari Pangkalpinang dan memulai serangan pada tanggal 14 September 1819 (serangan pertama Belanda terhadap Bangkakota pada tanggal 17 Agustus 1819 dilakukan melalui laut dipimpin oleh Kapten Ege), sedangkan serangan dari laut dilakukan oleh pasukan Belanda dengan empat buah kapal perang di bawah pimpinan Kapten Baker. Kemudian untuk menumpas perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Depati Bahrin pada tahun 1820-1828 dan untuk mempertahankan Pulau Bangka, pada tahun 1819 Admiral Constantinjn Johan Walterbeek mengirim 100 orang infanteri ke Pangkalpinang di bawah pimpinan Kapten Ege. Pasukan ini juga difungsikan sebagai cadangan karena pada waktu itu sedang berlangsung Perang Palembang, kemudian selanjutnya pada bulan Maret tahun 1820 Letnan Reisz melancarkan serangan dengan membawa pasukan dari Pangkalpinang untuk menaklukkan Kota Beringin. Bukti lainnya bahwa Pangkalpinang adalah pusat kekuatan militer Belanda adalah ketika pasukan Belanda menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dan saudaranya Hamzah pada tahun 1848-1851.

Perlawanan terbesar dan terkoordinasi serta meliputi seluruh Pulau Bangka dipimpin oleh putra Depati Bahrin yaitu Amir dan Hamzah. Amir adalah putera sulung Depati Bahrin (Wafat tahun 1848), sedangkan Hamzah adalah adik atau saudara kandung Amir. Sebagai putera sulung, Amir menjadi Depati diangkat oleh Belanda (tahun 1830) karena ketakutan Belanda akan pengaruhnya yang besar di hati rakyat Bangka. Jabatan Depati yang diberikan Belanda kepada Amir atas daerah Mendara dan Mentadai kemudian ditolaknya, akan tetapi gelar Depati tersebut kemudian tetap melekat pada diri Amir dan kemudian kepada Hamzah karena kecintaan rakyat kepada keduanya, di samping kehendak kuat rakyat Bangka yang membutuhkan pigur Pemimpin. Sejak perlawanan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828), Amir dan Hamzah sebagai putera Bahrin, sudah menjadi panglima perang dan menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik, yaitu sifat yang tegas, berani, cerdas dan cakap. Perjuangan Depati Amir dan Hamzah (1848-1851) hingga meninggal di pembuangan di desa Airmata Kupang (NTT) tahun 1885 dan tahun 1900, adalah gerakan perwujudan mencapai Eschaton (tujuan akhir), merupakan upaya untuk memaknai dan menumbuhkan harapan-harapan masa depan, fakta-fakta historis menunjukkan bahwa perlawanan Depati Amir dan Hamzah merupakan suatu kekuatan sosial dan moral serta digerakkan secara rasional untuk merubah situasi yang penuh dengan penderitaan, kesengsaraan, kelaliman, ketidakadilan serta ketidakpastian. Keadaan seperti ini akan memunculkan gerakan bersama atau kolektif yang bertendensi nasionalis dan anti kolonialis. Sebab-sebab umum perlawanan yang dipimpin oleh Depati Amir dan saudaranya Hamzah terhadap Belanda adalah:
  1. Penindasan Belanda terhadap rakyat Bangka menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa bagi rakyat, peraturan tentang monopoli perdagangan timah, enyebabkan terjadinya penyimpangan, kecurangan dalam tata niaga timah, penyelundupan dan perampokan serta penjarahan terhadap parit parit oleh perompak, menyebabkan kekacauan di pelosok Bangka. Penderitaan rakyat Bangka tersebut digambarkan oleh oleh A.A Bakar dalam bukunya “ Barin, Amir, Tikal Pahlawan-pahlawan Nasional Yang Tak Boleh Dilupakan : “ …Sudah sekian puluh tahun Belanda berkuasa, namun nasib rakyat tidak pernah mendapat perhatian, tanah Pulau Bangka yang tidak subur tidak banyak memberi hasil bagi rakyat untuk penghidupan sehari-hari. Padi hasil ladang tidak cukup dimakan setahun bagi keluarga peladang itu sendiri. Penyakit-penyakit terutama Beri-beri, menambah kesengsaraan rakyat. Rakyat di kampung-kampung berpakaian kulit kayu, diam di gubuk-gubuk kecil, selalu kekurangan makanan, kadang-kadang berebutan buah-buahan hutan dengan Lutung dan Kalong, berebutan pucuk kayu dengan Kijang dan Rusa… “.
  2. Kerja paksa yang diwajibkan Belanda terhadap rakyat sangat memberatkan dan tanpa dibayar, rakyat dipaksa untuk membuat dan merawat jalan, memperbaiki dan membuat jembatan, memikul tandu pejabat Belanda, mengangkut logistik tentara, kerja paksa tersebut menyebabkan perladangan terlantar dan kelaparan terjadi dimana-mana.
  3. Sejak penguasaan timah oleh Belanda, salah satu mata pencaharian rakyat Bangka menjadi hilang, sebab sebelumnya rakyat cukup sejahtera ketika Sultan Palembang menetapkan sistem Timah Tiban.
  4. Belanda tidak mengakui system adat dan hukum adat yang berlaku di masyarakat pada waktu itu.
sedangkan sebab-sebab khusus perlawanan adalah:
  1. Pemerintah Belanda bersedia membayar hutang kongsi di distrik Sungailiat kepada Ayahnya Bahrin sebesar 150 gulden dan gaji atau tunjangan sebesar 600 gulden setahun dengan syarat Amir tidak melakukan perlawanan kepada Belanda, akan tetapi keinginan Belanda ditolak oleh Amir dan Hamzah.
  2. Belanda memfitnah Amir dan Hamzah sebagai dalang perampokan terhadap parit-parit penambangan timah dan tuan-tuan kongsi.
  3. Belanda berusaha menangkap Amir dan Hamzah dengan tipu muslihat yang licik tetapi gagal, cara-cara yang licik dan keji seperti upaya penangkapan yang gagal oleh militer Belanda dipimpin oleh Letnan Campbell, Administratur Pangkalpinang De Bley dibantu oleh Jaksa Arifin di rumah Demang Abdurrasyid yang terletak di Jalan Ahmad Yani, berdekatan dengan Sungai Rangkui (di depan rumah Haji Aziz Mahmud sekarang), akan tetapi ibunya Dakim, puteranya Baudin dan saudaranya Ipah dan 4 orang pengikutnya berhasil ditangkap. Upaya penangkapan yang gagal inilah yang memicu perlawanan rakyat.
Sebab umum di atas merupakan penyebab utama perlawanan dan sebab khusus merupakan faktor pemicu perlawanan rakyat Bangka. Perlawanan besar ini dipimpin oleh Amir, dengan panglima perangnya Hamzah (Cing) dan dibantu oleh Awang, Bujang Singkip, Bujang Enggak, Dahan, Kai Sam, Ubin, Bangul, Tata, dan Darip. Perlawanan ini juga dibantu para Batin, Kepala-kepala Parit, orang-orang Cina yaitu Ko Su Sui, para lanun dari Lanoa Mindanau, kerajaan Lingga dan Kesultanan Palembang serta seluruh rakyat Bangka. Perlawanan semakin gigih dan meluas dengan bergabungnya Haji Abubakar, wujud perjuangan dan perlawananpun diubah dalam skala yang luas meliputi seluruh Bangka, timbul energi baru bahwa perjuangan yang dilakukan adalah suatu kewajiban (mission sacre atau misi suci). Perlawanan Rakyat Bangka yang dipimpin Amir berlangsung antara tahun 1848-1851, dihampir seluruh pelosok Pulau Bangka terjadi perlawanan, sedangkan pertempuran terbesar terjadi di daerah Mendara, Cepurak, Bakam, Tajau Belah dan Ketiping. Dalam pertempuran di Cepurak dan Bakam, dua orang perwira militer Belanda tewas yaitu Kapten Casembroot dan Doorschot akan tetapi Belanda tidak pernah menyebutkan secara resmi berapa prajurit dan perwiranya yang tewas dalam pertempuran yang jelas untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Amir, Belanda harus beberapa kali mendatangkan bala bantuan dan peralatan perang dari Palembang dan Batavia antara lain:
  1. Tanggal 26 April 1850 dengan kekuatan 4 perwira, 143 Bintara beserta anak buahnya dipimpin kapten J.H. Doorschot.
  2. Bulan April 1850 datang Kolonel Buschkens komisaris dari Palembang, untuk memberi masukan-masukan tentang upaya penumpasan perlawanan Amir dan Hamzah.
  3. Gubernur Hindia Belanda mengirim Komisaris H.J. Severijn Haesebroek untuk menjajaki perundingan dengan Depati Amir dan Hamzah.
  4. Pada tanggal 26 September 1850 datang bala bantuan dipimpin Kapten Buys dengan kapal perang Bromo dan Cipanas.
  5. Mendatangkan Kompi Afrikaansche Flank-kompagnie dari Batalion ke 12 di bawah pimpinan Kapten Blommenstein.
  6. Belanda mengerahkan sekitar 245 Perwira dan Bintara bangsa Eropa serta 339 Bintara orang Indonesia beserta anak buahnya di samping Polisi.
  7. Amir beserta pasukannya membangun markas besar di daerah Tampui dan Belah serta di kaki Gunung Maras, namun secara pasti pasukannya terus berpindah dan bergerak di seluruh pelosok belantara Pulau Bangka. Dalam pertempuran strategi yang digunakan adalah perang gerilya dengan ciri :
  • Di samping pasukan utama dibentuk pasukan-pasukan kecil di masing-masing distrik yang dipimpin oleh seorang Panglima Perang.
  • Tugas pasukan kecil ini adalah menyerang pos-pos militer Belanda dan parit-parit sebagai pusat kekayaan dan keuangan Belanda, serta membumihanguskan Batin-Batin untuk menaikkan moral perjuangan dan menghancurkan sumber logistik musuh.
  • Melemahkan mental dan moral musuh dengan menyerang kemudian menghilang dengan cepat, mengelabui dan menjebak musuh dengan memanfaatkan kondisi geografis alam Pulau Bangka.
  • Menghindari pertempuran terbuka dan frontal.
  • Memasang rintangan dan ranjau sepanjang jalan Pangkalpinang-Mentok.
  • Mengadakan gerakan kontra mata-mata.
  • Mendatangkan senjata dan amunisi bekerjasama dengan orang-orang Cina.
Untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir dan Hamzah, Belanda mengalami kebingungan dan kesulitan, sehingga bermacam strategi dilakukan antara lain:
  1. Parit-parit dijaga oleh militer dan di kampung-kampung didirikan pos militer.
  2. Mendatangkan orang Indonesia dari daerah lain untuk berperang melawan Amir dan Hamzah.
  3. Memberi hadiah bagi yang dapat memberikan informasi keberadaan Amir dan Hamzah atau yang berhasil menangkapnya. Hadiah tertinggi yang dijanjikan kepada siapa yang berhasil menangkap Amir sebesar 1000 ringgit (bandingkan dengan harga timah pada waktu itu 1 pikul sebesar 8 ringgit)
  4. Melakukan gerakan-gerakan militer, benteng stelsel, memperkuat balatentara dan mendatangkan kapal perang untuk mempercepat gerak pasukan guna mendesak dan menumpas perlawanan.
  5. Menawarkan perundingan dengan memberi gaji dan tunjangan kepada Amir dan Hamzah, kepada para Batin dan Mandor kampung untuk mengikat supaya tidak melakukan perlawanan.
  6. Menjanjikan melepas keluarga Amir dan Hamzah yang ditahan.
  7. Melaksanakan perundingan di Kampung Layang dipimpin oleh Kapten Dekker.
Kekurangan akan logistik dan kondisi pasukannya yang keletihan karena harus bergerak terus menerus dalam rimba Pulau Bangka yang sangat luas yang menjadi pemikiran Amir dan Hamzah, sehingga ketika pasukannya kembai ke kampung-kampung untuk menggarap ladang ume justru menjadi hal yang dianjurkan, karena mengingat kepentingan yang lebih besar yaitu menghindari rakyat Bangka dari kelaparan. Di samping kekurangan pangan dan logistik perang ditambah iklim yang kurang mendukung, menyebabkan dalam peperangan digunakan peralatan tradisional yang disebut Pidung dan Sumpitan sebagai senjata. Keletihan, kekurangan pangan, dan kondisi alam yang ganas, pertempuran demi pertempuran yang berlangsung hampir tiga tahun tanpa henti disertai penyergapan-penyergapan dan pengepungan menyebabkan pasukan semakin lemah, dalam dua kali penyergapan dipimpin oleh Lettu Dekker di Cepurak pada tanggal 27 Nopember 1850 dan pada bulan Desember 1850 Amir dan Hamzah beserta pengikutnya berhasil meloloskan diri. Dalam kondisi kurus, lemah dan sakit Amir dan Hamzah berhasil ditangkap pada tanggal 7 Januari 1851 lalu dibawa ke markas militer Belanda di Bakam, kemudian dibawa ke Belinyu pada tanggal 16 Januari 1851, selanjutnya dibawa ke Mentok. Pada tanggal 28 Februari 1851 berangkatlah Amir dan Hamzah kepengasingan di Desa Airmata Kupang Pulau Timor.

Perjuangan tidak berhenti dan terus dilanjutkan di Pulau Timor Propinsi NTT dalam bentuk memberikan petuah dan mengatur siasat dan strategi perang bagi pejuang di Pulau Timor dalam melawan Belanda, melakukan dakwah menyebarkan agama Islam (komunitas muslim yang ada di Pulau Timor adalah keturunan Bahrin dan mereka mendirikan masjid di Bonipoi yang bernama masjid Al-Ikhlas), serta memberikan pengetahuan tentang sistem pengobatan tradisional bagi masyarakat setempat. Sejarah perjalanan pembuangan yang dramatis ke Pulau Timor selama 6 (enam) bulan di atas Kapal Uap Unrust dengan terus menerus dirantai dan dikerangkeng serta penderitaan di pembuangan (desa tempat pembuangannya dinamai dengan Desa Airmata) tidak kalah dengan kisah pembuangan Imam Bonjol, Diponegoro, dan Pahlawan Nasional lainnya. Kalau dilihat dari fakta sejarah di atas sangat jelas bahwa Depati Amir dan Hamzah adalah salah seorang pejuang bangsa dan sebagai salah satu simpul dari sekian banyak simpul perekat keindonesiaan. Setelah 34 tahun kemudian Amir wafat pada tahun 1885 dan Hamzah wafat pada tahun 1900. Keduanya di makamkan di Pemakaman Batu Kadera Kupang. Pengasingan dan Pembuangan adalah cara yang dilakukan oleh Belanda untuk mengakhiri perlawanan dan menjauhkan pengaruh pemimpin terhadap rakyatnya, hak istimewa untuk mengasingkan dan membuang para pejuang disebut dengan exorbitante rechten. Cara kolonial ini ternyata sangat efektif untuk menumpas perlawanan rakyat di berbagai kerajaan-kerajaan tradisional di daerah. Setelah tertangkapnya Amir dan Hamzah perjuangan rakyat tidak berhenti dan dilanjutkan oleh pejuang-pejuang lainnya seperti Batin Tikal, dan bekas panglima- panglima perang lainnya.

Pengaruh perlawanan yang dipimpin oleh Depati Amir sangat besar bagi perkembangan Pulau Bangka selanjutnya. Pengaruh tersebut antara lain dengan terbentuknya jalan-jalan baru, desa-desa dan pemukiman baru penduduk yang terkonsentrasi di sepanjang jalan. Pola ini merubah pola pemukiman tradisional masyarakat Bangka dalam kelompok dengan konsep bubung dan arah mata angin (pemukiman masyarakat yang terdiri atas 10-40 bubung rumah atau pondok hume). Pengelompokan penduduk dalam satuan kelompok rumah yang berbentuk kampung yang terkonsentrasi di pinggir jalan merupakan suatu cara efektif bagi Pemerintah Kolonial Belanda agar dapat mengontrol dan mengawasi jalur gerak dan distribusi logistik perlawanan rakyat pada masa itu. Pengelompokan rumah-rumah yang berbentuk kampung tersebut dilakukan dengan cara yang sederhana, namun efektif. Penduduk yang dulunya tersebar dalam kelompok pemukiman ladang yang berpindah-pindah pada masa itu dipaksa untuk menempati rumah-rumah yang ditempatkan pada sisi kiri dan kanan jalan-jalan yang baru dibangun di Pulau Bangka. Pemerintah Kolonial Belanda banyak sekali membangun ruas-ruas jalan yang tersebar di Pulau Bangka yang bertujuan untuk mengelompokkan penyebaran penduduk. Pemukiman penduduk lalu ditempatkan dengan cara berderet dan berbaris mengikuti ruas jalan. Rumah-rumah tersebut selanjutnya disatukan oleh sebuah balai, biasanya tipe kampung yang dibentuk selalu mencari wilayah yang ada sumber mata air, ladang rumbia dan dipertengahan kampung dibangun surau atau masjid serta dibagian ujung kampung dibangun kuburan. Balai yang dibangun tersebut selain dipergunakan untuk mengawasi kondisi kampung-kampung, juga dipergunakan untuk pos-pos titik henti pegawai-pegawai dan Opas Pemerintah Belanda serta para pekerja yang mengangkut dan mendistribusikan barang-barang komoditi masa itu. Pada periode perlawanan yang dipimpin oleh Depati Amir, terjadi peningkatan pembentukan kampung-kampung baru. Jika catatan sejarah pada tahun 1850 menunjukkan sedikit dan jarang terdapatnya kampung di Pulau Bangka, maka pada tahun 1851 tercatat pembentukan kampung hingga mencapai jumlah 232 kampung di sepanjang jalan baru. Jumlah rumah pada setiap kampung berkisar antara 10 sampai dengan 40 bubung. Pada tahun 1896 tercatat sekitar 2.000 rumah terbangun pada perkampungan yang tersebar di Pulau Bangka termasuk di Pangkalpinang dan salah satu contoh protipe perkampungan yang masih bertahan dengan konsep kolonial tersebut adalah rumah penduduk di Kelurahan Tuatunu Pangkalpinang. Pertumbuhan kampung-kampung yang diorganisir oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini pada akhirnya turut berperan dalam meredam dan membatasi perlawanan rakyat yang berlangsung masa itu. Laporan-laporan pejabat Kolonial Belanda yang dimuat di dalam kolonial verslag tahun 1851 dan 1852 misalnya memberikan bukti betapa perlawanan Depati Amir dan kawan-kawannya di Pulau Bangka menjadi isu yang tak kalah pentingnya dengan berbagai bentuk perlawanan lain di Nusantara. Yang menarik dan mungkin menjadi ciri khas Pulau Bangka adalah perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang multi etnik dan diperlihatkan dengan bantuan-bantuan tenaga dan senjata dari kuli-kuli parit Cina. Bantuan-bantuan militer Belanda yang didatangkan baik dari Palembang dan dari Batavia sesungguhnya menginsyaratkan bahwa betapa lemahnya kekuatan militer Belanda menghadapi perlawanan rakyat Bangka. Pasukan-pasukan yang didatangkan baik dari Palembang maupun dari Batavia tidak memperlihatkan keberhasilan, malah justru menemui jalan buntu atau menjadi korban-korban yang bergelimpangan akibat berbagai penyakit seperti disentri, sakit perut, disambar buaya, atau termakan racun yang sengaja dibuat oleh pasukan Depati Amir.

Penutup
Tulisan Sejarah adalah tulisan peristiwa masa lampau tentang kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Tulisan masa lampau tersebut biasanya berisi peristiwa, tindakan dan perilaku manusia pelaku sejarah atau orang yang membuat sejarah (man makes history). Jika peristiwa masa lampau atau peristiwa sejarah hanya berupa catatan saja atau hanya berupa cerita lisan (tradisi lisan) saja, maka sejarah tidak akan memiliki arti, makna dan fungsi sama sekali, peristiwa masa lampau hanyalah catatan bisu tentang kronologis kejadian atau peristiwa, oleh sebab itu peristiwa sejarah harus dipelajari dengan benar sehingga bermakna, berarti dan berfungsi. Peristiwa sejarah di atas akan menjadi pengalaman sejarah dan menjadi guru bagi tindakan manusia untuk tidak mengulangi sejarah apalagi sejarah masa lampau yang kelam, sehingga dapat bertindak lebih bijaksana. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung perlu memiliki tokoh dan peristiwa sejarah yang dapat melahirkan angan-angan moral, menjadi sumber inspirasi dan edukasi sebagai pedoman perilaku, yang dapat dijadikan sebagai faktor pemicu semangat (switch match) mentalitas dan moralitas untuk membangun negeri. Istilah lainnya negeri ini memerlukan tokoh dan peristiwa panutan sebagai simbolik yang dapat menjadi guru dan monument hidup (living monument), terutama sebagai modal dasar untuk membangun jiwa masyarakat sebelum membangun raganya.

Masa lalu telah terjadi dan berlalu meninggalkan kita, masa kini sedang terjadi dan begitu cepat berlalu dan masa yang akan datang sulit untuk diprediksi apa yang akan terjadi, sejarah akan bermakna dan berfungsi bila peristiwa masa lalu dijadikan pengalaman untuk bertindak lebih baik dimasa kini dan merencanakan tindakan yang bijaksana bagi masa yang akan datang. Sejarah akan lebih bermakna lagi bila peristiwa masa lampau ditinjau dengan pandangan ke masa depan atau bagaimana harapan-harapan akan perwujudan masa depan yang akan dihadapi. Sejarah adalah catatan peristiwa masa lampau tentang kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Catatan masa lampau tersebut biasanya berisi peristiwa, tindakan dan perilaku manusia pelaku sejarah atau orang yang membuat sejarah. Pelaku sejarah adalah orang-orang besar yang setiap tindakannya sangat berpengaruh terhadap perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Orang besar tersebut lahir sebagai produk lingkungan pada zamannya, kelahiran mereka pada ruang dan waktu tertentu, lingkungan, didikan dan pengalaman yang diterimanya merupakan mata rantai sejarah zamannya. Sebagai contoh Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol, Sisingamangaraja, Depati Amir, Hamzah dan Patimura adalah orang-orang besar yang membuat sejarah, orang dengan pribadi-pribadi yang tangguh, kokoh dan kuat, memiliki jiwa dan semangat yang gigih yang mampu menggerakkan rakyatnya kearah perubahan, tidaklah berlebihan bila bangsa ini mau dikatakan bangsa yang besar maka harus dapat menghargai jasa orang-orang besar atau jasa para pahlawannya antara lain dengan menganugrahi gelar pahlawan, mengenang namanya melalui pemberian nama kepada sarana prasarana umum seperti stadion, nama jalan, yayasan, bandara, rumah sakit, sekolah dan fasilitas umum masyarakat lainnya, sehingga kita akan selalu ingat dan dibawa kepada kesadaran sejarah yaitu suatu bentuk perasaan yang tinggi soal rasa hati (gemoed), soal daya dan tanggapan (verbeeldingskracht) dari budi dan kita dibawa kepada Pesona Perlawatan.

Sumber : http://tampukpinang.info