Sastera Da’wah Islam di Nusantara Sebagai Cikal Bakal Sastera Modern

Oleh Ajip Rosidi

Meskipun konon sejak zaman Sriwijaya bahasa Melayu telah dipergunakan sebagai lingua franca secara luas di wilayah Kepulauan Nusantara, namun sastera tertulisnya barulah dimulai sejak agama Islam dipeluk secara luas oleh berbagai sukubangsa yang menjadi penghuni kawasan ini, karena seluruh khazanah sastera Melayu mulai ditulis dengan huruf Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan keperluan bahasa Melayu. Karena itu dapat kita pahami bila Dr. Ismail Hussein pernah mengatakan bahwa mengadakan pembagian sastera Melayu ke dalam ”zaman pra-Islam” dan ”zaman Islam” adalah tidak relevan.

Memang di beberapa daerah di wilayah Kepulauan Nusantara ada suku-suku bangsa yang telah mempunyai sastera tertulis sebelum kedatangan Islam yang ditulis dalam berbagai huruf daerah yang berlainan satu sama lain, tetapi kecuali di Bali, bahasa-bahasa daerah tersebut akhirnya ditulis juga dengan huruf Jawi yang disesuaikan dengan keperluan bahasa tersebut – di samping dalam huruf daerahnya.

Naskah-naskah dari zaman pra-Islam yang ditulis dalam huruf-huruf daerah – misalnya dalam bahasa Kawi – umumnya ditulis oleh para pujangga-keraton atau berasal dari lingkungan keraton. Tetapi naskah-naskah yang ditulis dalam huruf Jawi, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa-bahasa daerah yang lain, banyak yang menunjukkan bahwa penulisnya atau asalnya bukanlah dari keraton, meskipun istana-istana para sultan tetaplah merupakan pemelihara atau pemroduksi utama naskah-naskah baik yang bersifat agama maupun bersifat sastera.

Kenyataan bahwa banyaknya naskah dalam huruf Jawi yang bukan berasal dari lingkungan keraton, memperlihatkan bahwa Islam mendorong meluasnya peradaban tulis-menulis dalam masyarakat. Rasulullah saw. sendiri memang – meskipun beliau seorang ummi (buta huruf) – sangat menghargai kepandaian tulis-menulis. Dalam sejarah tercatat bahwa beliau membebaskan tawanan-tawanan perang yang melek-huruf asal mereka mau mengajarkan kepandaiannya itu kepada para prajurit Islam paling tidak sepuluh orang. Adanya orang-orang yang secara suka rela mengajarkan agama seberapa yang dikuasainya kepada anak-anak atau orang-orang lain – yang banyak di antaranya kemudian berkembang menjadi surau-surau atau pesantren-pesantren besar – menjelaskan proses meluasnya penguasaan baca-tulis jauh ke luar batas-batas dinding keraton atau para pejabat yang memegang tampuk pemerintahan.

Pada mulanya tentu saja penguasaan baca-tulis dengan huruf Jawi itu hanyalah terbatas kepada hal-hal yang bertalian dengan (pengetahuan) agama saja, tetapi karena Islam seperti pernah dikatakan oleh H.A.R. Gibb bukanlah semata-mata agama dalam arti sempit, melainkan sebuah peradaban (civilization) yang lengkap, maka dapatlah dipahami apabila kemudian huruf Jawi itu diperluas pemakaiannya: bukan hanya untuk hal-hal yang bertalian dengan (pengetahuan) agama, melainkan juga untuk hal-hal lain, termasuk karya sastera. Cerita-cerita yang semula hanya dikenal secara lisan pun banyak dituliskan dengan huruf Jawi. Karya-karya demikianlah agaknya yang kemudian oleh sebagian ahli digolongkan kepada kelompok ”zaman pra-Islam” dalam sastera Melayu.

Sedangkan karya-karya yang digolongkan kepada ”zaman Islam”, agaknya adalah karya-karya yang secara jelas memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran Islami. Dalam garis besarnya karya-karya itu dapat dibagi menjadi dua golongan: yang pertama ialah karya-karya yang bersifat sufistik seperti karya-karya Hamzah Fanzuri dari Aceh dalam bahasa Melayu (abad ke-17), karya-karya La Ode Muhammad Idrus Qaimuddin dalam bahasa Walio di Sulawesi Selatan, karya-karya Haji Hasan Mustapa dalam bahasa Sunda di Tanah Sunda (pertukaran abad ke 19 ke abad ke 20), dan lain-lain. Karya-karya demikian umumnya ditulis oleh para ulama yang mendalam pengetahuannya tentang Islam dan mempunyai kecendrungan terhadap sufisme. Sedangkan golongan yang kedua ialah karya-karya yang memperlihatkan pengaruh sastera Islam baik dari bahasa Arab maupun bahasa Persia atau lainnya, atau karya-karya ciptaan baru yang memperlihatkan pengaruh agama atau peradaban Islam terhadap penulisnya. Karya-karya yang memperlihatkan pengaruh sastera Islam secara langsung, ialah karya-karya saduran (terjemahan yang lebih akurat nampaknya baru mulai dilakukan pada abad ke-20) dari karya-karya klasik Arab atau Persia seperti petikan-petikan dari Kisah Seribu Satu Malam (Alf Layla wa Layla), Kisah-kisah Para Nabi dan Hikayat Amir Hamzah. Kisah Seribu Satu Malam, meskipun tidak dalam bentuknya yang lengkap, namun sempalan-sempalannya banyak disukai dan terdapat berbagai naskah yang diambil darinya yang ditulis dalam berbagai bahasa daerah di Nusantara. Sempalan-sempalan itu sangat populer pula dalam bentuk teater, karena sering dimainkan oleh berbagai macam bentuk teater, karena sering dimainkan oleh berbagai macam bentuk teater rakyat yang terdapat di seluruh Nusantara – dengan mempergunakan berbagai macam bahasa daerah. Juga Kisah-kisah Para Nabi sangat digemari dan terdapat dalam banyak bahasa daerah, misalnya dalam bahasa Melayu, Jawa dan Sunda, di samping ada juga sempalan-sempalannya yang ditulis secara khusus seperti kisah tentang Nabi Yusuf. Sedangkan cerita tentang Nabi Muhammad saw. terdapat dalam berbagai versi dalam berbagai bahasa daerah, di antaranya ada yang dipertautkan dengan alam pikiran salah satu sufi seperti naskah tentang Nur Muhammad. Cerita tentang nabi bercukur dan sekitar kelahirannya merupakan bahan yang amat populer hampir dalam setiap bahasa yang pemakainya memeluk agama Islam.

ooo

Salah satu hikayat yang disadur dari khazanah sastera Islam dan sangat populer di Kepulauan Nusantara ialah Hikayat Amir Hamzah. Menurut S.A. Dahlan yang menyusun naskah Hikayat Amir Hamzah yang dia tulis berdasarkan versi bahasa Arab, naskah-naskah yang sebelumnya terdapat dalam bahasa Melayu bukanlah diambil dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Persia, nampak dari kata-kata dan istilah-istilah bahasa Persia yang masih digunakan dalam naskah Melayunya. Salah satu bukti bahwa hikayat ini sangat populer dan digemari, ialah karena kepopulerannya telah disebut dan diakui dalam naskah Sejarah Melayu, konon telah populer sejak tahun 1500-an. Sedangkan penyair Indonesia terkemuka Amir Hamzah (1911-1946) dinamakan oleh orangtuanya demikian, konon karena sangat menggemari hikayat itu juga.

Di dalam bahasa Jawa, hikayat tersebut sangat digemari, walaupun nama tokoh utamanya Amir Hamzah bertukar menjadi Wong Agung Ambyah (= orang besar atau bangsawan Ambyah). Istilah ”Amir” memang dapat juga diterjemahkan sebagai ”orang besar” atau ”orang yang berkedudukan tinggi”. Sedangkan perubahan ”Hamzah” menjadi ”Ambyah” adalah semacam proses Jawanisasi belaka.

Mungkin karena kedudukan Ambyah atau Hamzah yang memang tergolong tinggi (dia anak raja Arab – di tempat lain kadang-kadang disebut ”Adipati” Mekah) atau kaum bangsawan atau kaum ningrat, maka cerita-cerita yang bertalian dengan Wong Agung Ambyah dalam sastera Jawa dikenal sebagai Serat Menak. Meskipun Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbatjaraka menyatakan bahwa cerita ini ”pandjang lebar dan jang amat membosankan”, namun diakuinya juga bahwa:

Dalam zaman Jawa-Islam Kitab Menak itu sangat digemari orang karena propagandanya agama Islam. Karena banyaknya orang yang gemar akan cerita Menak itu, timbullah cerita Menak-pang yang tidak sedikit jumlahnja; lagi pula cerita-cerita tersebut tersebar hingga sampai di tanah Sasak, Pulau Lombok, dan Palembang. Kitab Menak Palembang dan Sasak itu yang tua, bahasanya masih bahasa Jawa murni; adapun yang muda bahasanya sedikit banjak kemasukan kata-kata atau bentukan-bentukan bahasa Sasak.

Poerbatjaraka mengatakan bahwa Kitab Menak dalam bahasa Jawa itu bersumber dari versi Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu, jadi bukan dari bahasa Persia ataupun Arab. Tetapi kemudian lahir pula cerita-cerita lain dengan tokoh Wong Agung Ambyah dan saudara sepupunya Umar (maya) atau kaum keluarganya ciptaan para pujangga Jawa sendiri. Poerbatjaraka sendiri menunjukkan bahwa dalam bahasa Jawa, Kitab Menak yang paling terkenal dan yang paling banyak dipuji oleh para ahli ialah Serat Rengganis yang konon ditulis oleh Rangga Janur dari keraton Kartasura; tetapi yang dipujinya terutama hanyalah lukisan pertemuan antara Rengganis dengan Pangeran Kelan saja, yang dikatakannya ”meniru lukisan pertemuan antara Panji dengan Dewi Angreni”, yang menyebabkan beliau sampai pada kesimpulan, ”Di sini kelihatan dengan jelasnya bahwa kitab Panji itu amat besar pengaruhnya kepada kitab-kitab ceritera lain-lain yang lebih muda usianya.”

Kecuali Serat Rengganis yang terdapat juga dalam versi bahasa Sunda berjudul Wawacan Rengganis (dianggit oleh R.H. Abdussalam tahun 1885) yang mungkin merupakan kisah Menak terjemahan dari bahasa Jawa, dalam bahasa Jawa terdapat juga kisah-kisah Menak yang lain, misalnya Menak Lare karya R.Ng. Yasadipura I.

Berlainan dengan Serat Rengganis yang melukiskan percintaan para putra Wong Agung Ambyah, maka Serat Menak Lare melukiskan Ambyah dan Umarmaya tatkala masih kecil dan melakukan berbagai kenakalan yang membuktikan keberanian dan kesaktiannya.

Prof. Poerbatjaraka menjelaskan bahwa tatkala Kitab Menak karya Yasadipura ini diterbitkan oleh Balai Pustaka menjadi 46 jilid kecil-kecil, telah ”menimbulkan rasa kecewa, oleh karena sekalian bagian-bagian yang agak terang mempropagandakan agama Islam, semuanya dibuang.” Perasaan beliau yang kecewa itu sejalan dengan pernyataan beliau sendiri bahwa Kitab Menak itu ”digemari orang karena propagandanya agama Islam.”

Memang dalam Kitab Menak itu, seperti juga dalam Hikayat Amir Hamzah, walaupun di dalamnya terdapat percintaan-percintaan, baik yang berbalas maupun yang hanya bertepuk sebelah tangan belaka, namun yang utama ialah peperangan yang tidak henti-hentinya di antara Amir Hamzah beserta pasukannya dari Negeri Arab dengan balatentara negeri lain yang umumnya masih kafir. Pokok pangkal peperangan ialah karena Raja Medayin yang menjadi (calon) mertua Amir Hamzah, selalu terbujuk oleh patihnya yang masih memeluk agama Majusi (menyembah api) agar jangan menyerah setiap kali pasukannya dapat ditumpas oleh pasukan Arab (Islam) yang memeluk agama tauhid. Dan biasanya setiap kali pasukan tentara kafir itu kalah dan menyatakan dirinya takluk sambil memeluk agama tauhid yang dianut Amir Hamzah, datang pula atau ketemu pula raja lain yang lebih sakti yang bersedia menolong raja Medayin itu untuk mengalahkan Amir Hamzah; walau pada akhirnya dia pun akan menyerah dan menyatakan diri masuk agama tauhid. Adapun raja-raja yang menolong Medayin itu bukanlah hanya manusia saja, melainkan juga raja-raja jin atau makhluk-makhluk halus lainnya! Ternyata tak satu pun yang dapat melawan keunggulan Amir Hamzah dan Umar (maya) yang memeluk agama tauhid.

Tema ini jelas merupakan ”propaganda agama Islam” seperti kata Prof. Poerbatjaraka yang sudah dikutip tadi. Dengan kata lain, kisah-kisah Amir Hamzah ini merupakan karya sastera Da’wah Islamiyah yang populer dan digemari. Keunggulan yang selalu diperoleh oleh Amir Hamzah dan pasukannya yang memeluk agama tauhid, niscaya menanamkan atau mempertebal keyakinan para pembaca atau pendengar hikayat tersebut akan keunggulan agama yang dipeluknya.

Di Jawa, kisah-kisah tentang Wong Agung Ambyah ini, tidaklah hanya populer dalam bentuk tulisan atau babad saja. Kisah-kisah ini pun dipergelarkan dalam bentuk wayang Menak, yaitu wayang golek (atau kulit) yang mengambil repertoarnya dari kisah-kisah Menak – berlainan dari wayang Purwa yang mengambil repertoar kisahnya dari cerita-cerita Ramayana atau Mahabrata yang berasal dari India, atau wayang Gedhog yang mengambil repertoarnya dari kisah-kisah Panji. Dalam hubungan ini leluri yang mengatakan bahwa para Wali di Jawa menarik penduduk untuk memeluk agama Islam dengan mempergunakan media da’wah berupa wayang, ada kemungkinan mempergunakan wayang Menak dan bukan wayang Purwa.

Kenyataan bahwa para pujangga keraton di Jawa dan para penulis naskah-naskah di daerah-daerah lain di Kepulauan Nusantara banyak menciptakan atau menyadur hikayat Amir Hamzah yang nyata-nyata bersifat da’wah Islamiyah itu, dan ternyata pula bahwa buah tangan mereka itu digemari oleh para pembacanya, membuktikan bahwa selama berabad-abad jenis sastera demikian diterima, hidup dan berkembang di Nusantara. Kalau benar apa yang diberitakan dalam Sejarah Melayu bahwa Hikayat Amir Hamzah sudah dikenal sejak awal abad ke-16 (1511), sedangkan pencetakannya berupa buku banyak dilakukan pada awal abad ke-20 ini, dan segera pula habis dibeli orang, maka paling tidak terentang waktu kurang lebih empat abad. Perlu pula kita ingat, bahwa di samping kisah-kisah Hikayat Amir Hamzah ini, terdapat pula Kisah-kisah Para Nabi dan cerita-cerita tentang nabi Muhammad saw.

Hal itu menunjukkan bahwa selama kira-kira empat abad (atau lebih), sastera yang bersifat da’wah Islamiyah hidup sehat-sehat saja dalam masyarakat Kepulauan Nusantara. Baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Jawa, Sunda atau bahasa-bahasa daerah yang lain. Karya-karya sastera itu ditulis dan digemari baik di lingkungan istana (keraton), maupun dalam lingkungan orang kebanyakan, karena yang mendengarkan orang membacakan kisah-kisah demikian atau menonton pertunjukkan wayang Menak, tidaklah hanya terbatas kepada orang-orang dari kalangan ”menak” saja.

ooo

Tetapi pada zaman sastera di Nusantara memasuki era moderen, ternyata sastera da’wah itu melenyap, paling tidak bukan lagi merupakan arus dominan di dalamnya. Hal itu nampak terutama dalam kehidupan sastera di Indonesia, baik yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah. Islam baik sebagai agama maupun sebagai peradaban, seakan-akan tersisihkan dari alam pikiran dan kehidupan para literati moderen. Tatkala dalam tahun 1930-an di Indonesia terjadi apa yang kemudian dikenal sebagai ”polemik kebudayaan”, Islam tidaklah timbul sebagai salah satu alternatif. Dr. Soetomo memang memandang penting pesantren, tetapi hanya sebagai lembaga pendidikan, dan bukan sebagai manifestasi agama Islam. S. Takdir Alisjahbana dikenal sebagai seorang yang sangat pro-Barat, sedangkan orang yang dianggap sebagai lawannya, ialah Sanoesi Pane yang dianggap pro-Timur, bukanlah pembela Islam. Yang dianggap ”Timur” oleh Sanoesi Pane dan kawan-kawan pada waktu itu ialah India, kebudayaan India dan hal-hal yang bersifat Jawa-Hindu.

Tidak seorang pun dari tokoh Islam yang tulisannya dimuatkan dalam buku Polemik Kebudayaan (1948) yang disunting Achdiat K. Mihardja; mungkin karena memang tidak ada tokoh Islam yang terlibat dalam polemik itu, tetapi mungkin juga karena penyunting tidak menganggap perlu meneliti majalah atau surat kabar yang membawakan suara Islam, padahal mungkin di dalamnya terdapat karangan yang membicarakan hal tersebut.

Sangatlah menarik kalau di sini dikemukakan bahwa seorang penulis Islam yang sangat produktif pada masa itu (walaupun selalu mempergunakan nama samaran), di samping pendidikan dan organisator yang sangat aktif, pada tahun 1934, jadi beberapa saat menjelang dimulainya gelombang ”polemik kebudayaan” yang bermula pada tahun 1935, yaitu M. Natsir (1908-1993) yang pada waktu itu memimpin sekolah Pendidikan Islam di Bandung, menulis satu karangan berjudul ”Ideologi Pendidikan Islam” yang dimuat dalam majalah Pembela Islam dan kemudian diterbitkan sebagai brosur. Di dalamnya, Natsir menyatakan dengan tegas:

Apakah jang sematjam itu sematjam didikan ke-”barat”-an atau ke-”timur”-an namanja, tidak mendjadi soal. Timur kepunjaan Allah, Baratpun kepunjaan Allah djua. Sebagai machluk jang bersifat ”hadist” (baharu), kedua-keduanja, Barat dan Timur mempunjai hal jang kurang baik dan jang baik, mengandung beberapa kelebihan dan beberapa keburukan.

Seorang pendidik Islam tidak usah memperdalam-dalam dan memperbesar-besarkan antagonisme (pertentangan) antara Barat dengan Timur itu. Islam hanja mengenal antagonisme antara hak dan batil. Semua jang hak akan ia terima, biarpun datangnya dari ”Barat”, semua jang batil akan ia singkirkan, walaupun datangnja dari ”Timur”.

Sistem pendidikan seperti jang diberikan di Barat jang bersemangat efficiency supaja dapat kemenangan dalam perlumbaan hidup tidak ia akan tolak sama sekali, kalau semata-mata lantaran sifat ke-”Barat”-annja. Sebab, seorang Islam, seorang hamba Allah, dilarang ”melupakan nasibnja di dunia ini”, dan dituntut mentjemplungkan diri dalam perdjuangan hidup dengan tjara jang halal.

Suatu sistem Timur jang memberi didikan, terpisah dari gelombang pergaulan dan perdjuangan manusia biasa, meluhurkan dan menjutjikan kebatinan, tidak akan kita terima semuanja pula, kalau hanja lantaran sifat ke-”Timur”-annja itu. Sebab, buat seorang hamba Allah, djasmani dan ruhani, dunia dan achirat, bukanlah dua barang jang bertentangan jang harus dipisahkan, melainkan dua serangkai jang harus lengkap-melengkapi dan dilebur mendjadi satu susunan jang harmonis dan seimbang.

Tetapi sayang bahwa pernyataan yang tegas dan penting itu, tidak mendapat perhatian dari penyunting buku Polemik Kebudayaan, sehingga dapat menimbulkan kesan seakan-akan pada waktu itu di Indonesia tidak ada seorang pun dari golongan Islam yang memikirkan masalah tersebut. Padahal kalau melihat titi mangsa terbitnya pun akan segera menjadi jelas bahwa Natsir membahas persoalan yang penting dan kemudian menjadi pokok polemik itu, setahun lebih dahulu daripada yang lain-lainnya.

Memang dapat juga dikemukakan alasan bahwa tulisan Natsir itu yang semula merupakan ceramahnya dalam Rapat Persatuan Islam (berhubung dengan usaha yang dirintisnya mendirikan perguruan Pendidikan Islam di Bandung itu), tidaklah secara langsung terlibat dalam ”polemik kebudayaan”. Tetapi karena masalah yang diperbincangkan itu menyangkut suatu bidang yang sangat luas, maka sepatutnya suara-suara yang bersangkutan dengan masalah tersebut, apalagi yang menggambarkan sikap suatu golongan masyarakat yang jumlahnya merupakan mayoritas, dimasukkan juga di dalamnya. Tidak mustahil, kalau dicari dalam lembaran majalah-majalah atau surat-surat kabar Islam yang terbit pada masa itu, akan dijumpai karangan-karangan lain yang bertalian dengan itu.

Tetapi bahkan pada masa penyuntingnya mengerjakan naskahnya itu (sekitar 1948 atau sebelumnya) juga, pemikiran golongan Islam masihlah belum dianggap penting oleh para literati Indonesia terkemuka. Kalau pada masa itu orang berbicara tentang ”sastera Islam di dalam sastera Indonesia moderen”, maka yang diingatnya hanya Amir Hamzah, Hamka (1908-1982) dan barangkali Bahrum Rangkuti (1919-1977). Amir Hamzah karena terlibat dalam kelompok majalah Poedjangga Baroe, sehingga dikenal secara pribadi oleh para tokoh sastera Indonesia yang penting-penting di Jakarta pada masa itu dan karya-karyanya pun terutama diterbitkan dalam majalah tersebut atau oleh Penerbit Pustaka Rakyat yang menerbitkan majalah itu pula. Hamka karena roman-romannya ada yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Sedangkan Bahrum Rangkuti karena juga masuk ke dalam lingkungan ”Angkatan ’45” – dia pernah juga memimpin majalah Gema yang semula dipimpin oleh Chairil Anwar dan kawan-kawan. Sedangkan para pengarang Islam yang lebih penting seperti Samadi (Anwar Rasjid) (1919-1958) dan Rifa’i Ali (1.1909) yang masing-masing telah menerbitkan sebuah kumpulan sajak yang kentara sekali keislamannya, dan nilainya tidak berada dibawah kumpulan sajak Rindu Dendam karya J.E. Tatengkeng (1907-1968) yang menyebabkan dia diterima di kalangan majalah PB – boleh dikatakan tidak dikenal dan tidak dianggap penting.

Dominasi kelompok PB dalam dunia kesusasteraan dan kebudayaan Indonesia – yang kemudian dilanjutkan oleh kelompok yang dikenal dengan nama Angkatan ’45 – timbul karena para pendukung kesusasteraan, kesenian dan kebudayaan Indonesia moderen adalah terutama mereka yang pernah mendapat pendidikan melalui bangku sekolah cara Barat yang didirikan oleh atau meniru-niru sekolah yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Orientasi pendidikannya jelas Eropa, atau lebih tepat: Belanda. Cita-cita yang berada di belakang usaha pendidikan kaum pribumi itu terkenal dengan sebutan ”politik etis” yang berkelindan dengan gagasan tentang ”asosiasi” yang dipelopori antara lain oleh Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936) – seorang pegawai Pemerintah Belanda yang bercita-cita hendak menyokong berlangsung terusnya pemerintahan (= penjajahan ) Belanda atas Indonesia (= Hindia Belanda) dengan memberikan nasihat-nasihat yang bersifat rahasia tentang cara bagaimana menjinakkan para pemimpin Islam yang selama berabad-abad selalu merupakan ancaman yang laten bagi kesejahteraan penjajahan Belanda di Indonesia. Snouck dapat memberikan nasihat-nasihat yang jitu, karena ia dikenal dan diakui sebagai seorang muslim hingga sering disebut sebagai ”Mufti” oleh para ulama Islam Indonesia sendiri, padahal ia hanya pura-pura saja memeluk agama Islam. Karena ia mendapat kepercayaan dari sesama muslim Indonesia, terutama kaum ulamanya, sebagai orang seagama, maka ia dengan mudah memperoleh rahasia-rahasia yang sangat bermanfaat bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk menghadapi perlawanan golongan Islam.

Karya-karya sastera yang mereka baca pun umumnya yang berasal dari atau diperoleh melalui pintu (bahasa) Belanda. Maka cita-cita kesusasteraan yang memperlihatkan pengaruhnya pun adalah cita-cita sastera yang berkembang di Barat, walaupun sering sangat terlambat sampainya ke Indonesia. Sebagai akibat dari kebangkitan kembali (renaisans) di Eropa yang diikuti oleh berkembangnya paham rasionalisme, maka kesusasteraan Indonesia moderen yang awal pun sangatlah dipengaruhi oleh paham demikian. Tema-tema keagamaan, apalagi yang berbau da’wah Islamiyah dianggap tidak cocok untuk zaman moderen. Jangankan karya yang terang-terangan merupakan da’wah Islamiyah, bahkan yang jelas-jelas memperlihatkan tendensi pun ditolak.

Aliran realisme yang berasal dari paro kedua abad ke-19 di Eropa, menjadi paham yang sangat berpengaruh dalam sastera Indonesia moderen. Sastera tradisional daerah ataupun yang berkembang sebagai pengaruh Islam, dianggap ketinggalan zaman dan omong kosong. Orang cenderung untuk menulis segala sesuatu yang nyata dan rasional. Dan menghindarkan hal-hal yang irrasional atau supernatural. Maka jin dan makhluk-makhluk halus lain yang banyak sekali macamnya dalam kehidupan rohaniah suku-suku bangsa Nusantara, menjadi tabu muncul dalam sastera, walaupun sastera-sastera lama dalam bahasa-bahasa daerah, juga dalam bahasa Melayu, penuh dengan kisah tentang makhluk-makhluk halus, baik yang asli pribumi (seperti hantu, kuntilanak, kelong, siluman, dan lain-lain), maupun yang baru dikenal setelah pengaruh Islam (seperti malaikat, jin – ada yang Islam ada yang kafir –, setan, iblis, Idajil, dan lain-lain).

Tema-tema yang menjadi pusat perhatian dan kegemaran para pengarang moderen pun adalah hal-hal yang bertalian dengan masyarakat nyata: perjuangan kemerdekaan, ketidakadilan sosial, perjuangan individu dalam masyarakat, pengalaman semasa revolusi atau masa-masa lain sebelum atau sesudahnya, dan semacamnya. Apalagi pada sekitar tahun 1960, tatkala Presiden Soekarno melaksanakan sistem ”Demokrasi Terpimpin”-nya yang memberi kesempatan kepada golongan kiri untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil oleh bangsa Indonesia, maka paham realisme saja tidak cukup. Mereka ingin agar kesenian Indonesia menganut paham realisme sosialis, yaitu paham resmi kesenian kaum komunis di seluruh dunia. Para pelukis abstrak dan para seniman lain yang ciptaannya dianggap kebarat-baratan, mengalami masa-masa yang paling menekan pada masa itu.

Ajip Rosidi, budayawan, pendiri Yayasan Kebudayaan Rancage. Tinggal di Pabelan, Magelang, Jawa Tengah.

Dimuat di BUKU PANDUAN ”Bandung Islamic Book Fair 2009”

Sumber : http://galuh-purba.com