Petunjuk Baru Penelitian Khazanah Naskah Nusantara di Perpustakaan Leiden

Oleh : Oman Fathurahman

Edwin P. Wieringa, Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and Other Collections in the Netherlands, Volume Two, Leiden University Library, 2007, 512 hlm, soft cover.

Lagi, dunia keilmuan Melayu mendapat petunjuk berharga untuk menelusuri warisan budayanya yang berupa khazanah naskah-naskah kuno dengan terbitnya katalog naskah-naskah Melayu dan Minangkabau yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden serta beberapa koleksi lainnya di Negeri Belanda. Katalog ini merupakan volume kedua dari kategori katalog naskah yang sama, yang ditulis oleh Edwin P. Wieringa, menyusul volume pertama yang diterbitkan oleh Leiden University Library pada tahun 1998. Saya beruntung segera mendapatkan eksemplar katalog ini langsung dari penulisnya, dan segera merasakan manfaat darinya.

Katalog, yang diterbitkan oleh Penerbit yang sama, ini memerikan lebih dari 1000 buah naskah Melayu, Minangkabau, dan Sumatra Selatan, yang pernah menjadi koleksi Dr. Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894), dan kemudian dihibahkan ke Perpustakaan Universitas Leiden pada tahun 1896-1897, setelah ia wafat pada 17 Agustus 1894 di sebuah Rumah Sakit di Surabaya.

Pada masanya, ribuan koleksi ini sudah menjadi semacam “working library” yang membentuk pengetahuan luas Van der Tuuk, sarjana filologi nan jenius, eksentrik, serta tidak mengenal lelah, yang menguasai banyak ragam bahasa Austronesia. Saking mumpuni dan terkenalnya, surat yang ditujukan untuk Van der Tuuk saat itu cukup ditujukan ke alamat “kanjang toean doctor segala bahasa di Boeleleng” saja (h. 8), dan dijamin surat itu akan sampai.

Semasa hidupnya, Van der Tuuk memiliki kegemaran unik untuk “mengotori” naskah-naskah yang dibacanya dengan berbagai catatan pias berupa koreksi, penjelasan, alihan, atau ringkasan atas teks yang sedang dibacanya. Sarjana lain boleh saja tidak setuju dengan “hobi” Van der Tuuk semacam ini yang mungkin akan dianggap merusak sebuah naskah atau buku. Tapi, kenyataannya kini, berbagai catatan itu jelas menjadi petunjuk berharga (potential goldmine) bagi sarjana yang ingin menelitinya (h. 10).

Begitulah, “harta benda” Van der Tuuk itu kini akan lebih mudah kita telusuri melalui katalog yang memberikan perhatian khusus pada ratusan dokumen dan surat yang pernah menjadi koleksinya. Menurut Wieringa sendiri, para penyusun katalog sebelumnya, seperti H.H. Juynboll, tidak terlalu memberikan perhatian pada ratusan dokumen dan surat koleksi Van der Tuuk tersebut, sehingga deskripsi atas dokumen dan surat koleksi Van der Tuuk dalam katalog ini menjadi salah satu ciri penting yang membedakan dengan katalog-katalog sebelumya (h. 12).

Salah satu naskah yang memikat perhatian Wieringa adalah surat berbahasa Melayu tapi beraksara Jawa bertanggal 24 Juni 1878 dari seorang Cina bernama Ma Bing Swi di Banyuwangi Jawa Timur. Surat ini ditujukan untuk anaknya, Mah Ing Ki di Buleleng Bali, yang kecanduan mengkonsumsi obat (madat). Dalam surat ini, Ma Bing Swi meminta anaknya pulang. Sayang, meskipun ia mengirimkan surat keduanya dengan nada kecewa, Mah Ing Ki tidak kunjung pulang juga. Tidak jelas apa yang terjadi, tapi katalog ini juga menyertakan sebuah surat lain dari Haji Muhammad Amin tertanggal 14 April 1879 untuk Hoofd Djaksa Landraad di Buleleng yang melaporkan bahwa ada seseorang yang bernama Baba Ingkie berhutang 31 Rupiah kepadanya. Wieringa menduga bahwa Baba Ingki adalah orang yang disebut sebagai anak Ma Bing Swi dalam dua surat sebelumnya (h. 431).

Dalam bacaan saya, katalog ini juga tampaknya menggambarkan “pendekatan baru” penulisnya, yang memandang bahwa sebuah katalog naskah tidak lagi memadai, dan kurang membantu para peneliti, jika hanya berupa daftar judul naskah-naskah yang dikatalogkannya. Berkaitan dengan hal ini, Wieringa, yang sejak 2004 dikukuhkan sebagai full Professor bidang Indonesian Philology and Islamic Studies di Orientalisches Seminar, Universitas Cologne Jerman, memberikan ilustrasi percakapan pribadinya dengan pendahulunya, P. Voorhoeve (1899-1996), yang tidak menganggap penting adanya deskripsi terperinci dalam sebuah katalog naskah, melainkan cukup berupa “handlist” saja, seperti yang pernah ditulisnya untuk katalog naskah Arab ( Voorhoeve 1980) dan naskah Aceh (1994), juga koleksi Perpustakaan Universitas Leiden.

Berangkat dari “pendekatan baru” itu, dalam katalog ini Wieringa tidak saja mendeskripsikan secara terperinci gambaran fisik naskah-naskahnya, melainkan juga menyertakan semacam ringkasan isi teks, yang kadang-kadang cukup panjang, yang disertai dengan kutipan-kutipan dari teks tersebut. Hal yang juga akan banyak membantu para peneliti adalah adanya referensi yang dibuat oleh penulis dengan menunjukkan katalog-katalog atau sumber lain yang mencatat atau membahas sebuah naskah yang sedang dideskripsikan.

Lebih dari itu, Wieringa, warga Belanda yang beristrikan orang Solo, Jawa Tengah ini, juga seringkali mengemukakan hipotesis-hipotesis sebagai hasil bacaannya atas sebuah teks yang tidak jarang sulit dibaca. Keahliannya membaca naskah-naskah beraksara Jawa dan Jawa Kuno sangat membantu keluasan cakupan katalog ini, dan karenanya memberikan nilai tambah yang sangat berharga.

Tentang surat kedua Ma Bing Swi kepada anaknya itu misalnya, Wieringa menafsirkan bahwa pada saat menulis surat ini, emosi Ma Bing Swi dalam keadaan gundah, marah, dan kecewa, mungkin karena tidak ada respon sama sekali atas suratnya yang pertama. Wieringa menyimpulkan demikian setelah mengamati karakter tulisan yang digunakan, dan membandingkannya dengan karakter tulisan pada surat pertama.

Namun demikian, Wieringa sadar bahwa ia bisa saja salah dalam memahami naskah-naskah yang dibacanya itu, dan untuk itulah ia memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk memverifikasi hasil bacaannya itu dengan cara menyertakan foto halaman teks bersangkutan. Pada gilirannya, ilustrasi foto-foto tersebut juga tentunya menambah keindahan tampilan katalog ini.

Menurut informasi lisan dari penulisnya, sebagian besar naskah-naskah yang dideskripsikan dalam katalog volume kedua ini belum diteliti oleh para sarjana. Dengan demikian, hal ini membuka peluang bagi para peneliti kita untuk terus menggali berbagai kearifan lokal yang terdapat dalam khazanah naskah tersebut.

Sayangnya, harga katalog, yang dilengkapi dengan bibliografi dan indeks, ini pasti terlalu mahal untuk ukuran Indonesia; dengan jumlah halaman yang hampir sama, katalog volume pertama saja dijual seharga sekitar 90,- Euro-an, atau lebih dari Rp. 1000.000,-. Barangkali harus ada inisiativ dari lembaga atau penerbit buku di Indonesia untuk menjalin kerja sama penerbitan “versi Indonesia” katalog ini dengan Perpustakaan Universitas Leiden, supaya manfaatnya tetap bisa dinikmati khalayak luas, dan tidak terjadi pelanggaran hak cipta kepengarangan dengan tindakan memfoto kopi, yang memang murah tapi meriah itu.

Oman Fathurahman, adalah Penyusun Katalog Naskah Ali Hasjmy Aceh, 2007. Sekarang sebagai Research Fellow dari The Alexander von Humboldt-Stiftung di Department od Oriental Studies, University of Cologne, Jerman

email: omanwae@yahoo.com

WeBlog: Indonesian Islamic Philology