Pemikiran Tentang Sejarah Riau

Oleh : Prof. Dr. Ong Hok Ham

Tradisi kesultanan (kerajaan) yang merupakan salah satu pendukung utama kebudayaan Riau memiliki akar dalam tradisi-tradisi kerajaan di Indonesia. Lembaga kesultanan sendiri berperan penting dalam kehidupan dan tradisi budaya Riau. Kesultanan yang terdapat di Riau merupakan kesultanan maritim. Menurut penelitian, kerajaan-kerajaan di riau tidak memiliki tradisi pertanian, sehingga bila Belanda dan Inggris kemudian mendesaknya ke sektor tersebut, hal itu tentu tidak dapat dipahami tanpa memperhitungkan faktor-faktor di sekililingnya. Dalam percaturan politik internasional ada anggapan bahwa Riau tidak pernah menjadi pusat kekuasaan terpenting atau terbesar, kecuali sebagai pusat pelarian bagi dinasti di sekitarnya yang digulingkan. Anehnya, peneliti lain berpendapat bahwa Riau adalah pusat legitimasi dan merupakan sumber penting kebudayaan kesultanan di sekitarnya.

1. Pendahuluan
Berbicara mengenai sejarah Riau berarti berbicara mengenai kerajaan maritim.Kesultanan Riau muncul pada abad ke-15. Memang ada data dan legenda yang berhubungan dengan sejarah Riau sebelum abad ke-15, akan tetapi data tersebut masih samar dan bersifat dongeng. Data arkeologis masih harus digali untuk dapat membuktikannya. Dilihat dari lokasi Kepulauan Riau dan ramainya perairan di sekitarnya, besar sekali kemungkinannya bahwa Riau sudah kuno. Mungkin penemuan arkeologi berupa pecahan-pecahan porselin akan dapat menunjukkan bahwa kepulauan tersebut sejak dahulu sudah dikunjungi kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia. Kapal-kapal yang terdampar dan bermukim di kepulauan tersebut antara lain berasal dari Cina, Thailand, dan lain-lain.

Peninggalan Hindu berupa candi mungkin tidak akan ditemukan di Kepulauan Riau, sebab untuk mendirikan candi memerlukan banyak tenaga manusia seperti halnya di kerajaan pedalaman yang agraris. Peninggalan lain seperti patung, prasasti, dan lain-lain kemungkinan ada, sebab pengaruh Hindu terlihat pada dongeng bahwa yang melahirkan Raja-raja Riau adalah seorang Ibu (Ratu). Dongeng seperti ini merupakan pengaruh Hindu atau bahkan pengaruh kepercayaan pra-Hindu. Yang dimaksudkan Ratu adalah Putri Bintan yang dinikahkan dengan Pangeran Palembang (ENI, Vol. III: 605-626). Dalam sejarah Raja-raja Riau disebutkan bahwa orang tua Putri Bintan adalah Tun Sri Binai dan Raja dari Bukit Siguntang yang menjadi raja pertama Riau (Bintan) (Effendy, 1973; Wall, 1892). Tun Sri Binai ini menurunkan raja-raja di Johor; Singapura, Melaka, dan sekitarnya.

Hal yang menarik dari tradisi ini adalah adanya kemiripan dengan tradisi sejenis di Indonesia, misalnya mengenai Ken Dedes yang menurunkan Raja-raja Jawa Timur yang berakhir pada Kerajaan Majapahit. Di Sumenep juga dikisahkan bahwa ratu (raja) pertama adalah seorang putri yang menikah dengan anak gembala. Peran Nyai Loro Kidul sebagai pelindung dan garwa abstrak Raja Mataram (Jawa Tengah) Islam juga menunjukkan arah yang sama. Di Aceh ada tiga ratu yang pernah memerintah Kerajaan Aceh setelah wafatnya Iskandar Muda (1636). Sebenarnya istilah “ratu” dalam bahasa-bahasa di Kepulauan Indonesia berlaku bagi raja pria maupun wanita. Istilah “ratu” berasal dari kata “kraton” yang terdapat dalam berbagai bahasa di Indonesia yang menunjukkan kompleks istana.

Dengan demikian, penulis ingin menunjukkan bahwa tradisi kesultanan (kerajaan) yang merupakan salah satu pendukung utama kebudayaan Riau memiliki akar dalam tradisi-tradisi kerajaan di Indonesia. Tradisi Ken Dedes dari dinasti raja-raja Hindu Jawa Timur juga terdapat pada dinasti Mataram Islam (abad ke–16), tradisi Kerajaan Sumenep di Madura, tradisi Islam, dan seterusnya. Lembaga kesultanan sangat penting dalam kehidupan dan tradisi budaya Riau. Oleh karena itu, penulis mencoba menyorotinya lebih lanjut dan mencoba mengambil unsur-unsur yang membentuk jati diri Riau.

2. Abad Maritim Indonesia (Abad Xvi-Xvii)
Hasil penelitian terakhir seorang sejarawan Australia dari Australian National University di Canberra menunjukkan bahwa di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada abad ke-16 terdapat suatu kehidupan maritim dan perkotaan. Asia Tenggara (termasuk Indonesia), dalam abad ke-16 didominasi oleh kesultanan maritim (Reid, 1979). Kesultanan agraris yang berada di pedalaman hanya ada beberapa, seperti Mataram di Jawa Tengah, Ayuthia di Thailand, dan Pagan di Burma/Myanmar. Pusat-pusat kekuasaan yang lain seperti kerajaan-kerajaan di pesisir utara Pantai Jawa, yaitu Banten, Demak, Kudus, Surabaya, Pamekasan, Sumenep; di Sumatera, yaitu Aceh, Siak, Indragiri, Pagaruyung (Minangkabau); di Sulawesi, yaitu Makassar, Goa, Bone, Ternate, Tidore; atau di Semenanjung Malaysia (Malaka); dan lainnya adalah kerajaan maritim. Bintan (Tanjungpinang atau Riau) juga merupakan kerajaan maritim.

Penduduk kerajaan maritim adalah pelaut, nelayan, atau tukang. Mereka bersifat urban, penduduk kota. Berbeda dengan kerajaan agraris di pedalaman yang memiliki cukup dana dan tenaga manusia yang menetap, dengan waktu luang untuk dapat mendirikan candi-candi atau peradaban kraton lainnya, kerajaan maritim tidak cukup memiliki peradaban kraton. Hal ini karena kerajaan maritim selalu berhubungan dengan luar negeri untuk berdagang, sehinggga dana dan tenaga dipakai untuk menjalin hubungan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli antropologi Singapura, Dr. Vibien Wee, juga menunjukkan bahwa orang Bintan (Riau) dan Semenanjung Malaysia atau Sumatera tidak bertradisi pertanian. Hal yang sama dibuktikan oleh A. Reid (1979) bagi Banten, Tuban, Gresik dan lain-lain di pesisir utara Jawa. Orang Belanda dan Inggris menanamkan tradisi pertanian bagi orang Riau dan memaksanya masuk ke sektor tersebut. Sebelumnya, sejarawan India, Rajaratnam, mengemukakan bahwa peran kolonial dalam membentuk pola mata pencaharian rakyat di Asia Tenggara sangat penting. Sejarah Kepulauan Riau tentu tidak dapat dilihat tanpa memperhitungkan faktor-faktor di sekelilingnya dan faktor internasional lainnya.

Dalam bacaan sejarah lokal seperti Sejarah Melayu dan berbagai silsilah, terlihat bahwa sejarah Hindu terikat dengan kekuasaan-kekuasaan di sekitar perairannya. Malaka (kerajaan terbesar abad ke-15 sampai awal abad ke-16), Jawa, Minangkabau, Sumatera Timur, Semenanjung Melayu lainnya, Portugis, VOC, English East India Company (EEIC), dan Bugis (sejak abad ke-17 dan ke-18) juga berperan. Dalam percaturan politik internasional, Riau tidak pernah menjadi pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Riau hanya sebagai tempat pemukiman Orang Laut dan tempat pelarian raja-raja yang sah. Artinya, Riau merupakan pusat pelarian bagi dinasti atau wangsa sah di sekitarnya yang digulingkan. Dengan demikian Bintan merupakan pusat legitimasi, sehingga menjadi sumber penting dari kebudayaan kesultanan di sekitarnya, namun hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Sementara orang berpendapat bahwa di kesultanan maritim konsep turunan sah lebih penting daripada di kerajaan agraris, dimana legitimasi raja adalah atas dasar konsep titisan. Hal ini tentu bersifat relatif di kedua sistem politik tersebut.

Kalau sebelumnya dikatakan bahwa sejarah Riau berhubungan erat dengan keadaan di sekitarnya, maka dalam abad ke-15 kekuasaan terbesar di perairan Selat Malaka dipegang oleh Kesultanan Maritim Malaka. Kesultanan maritim ini merupakan pelabuhan terbesar di Asia Tenggara yang dihuni oleh lebih dari seratus ribu penduduk. Menurut Thomas Pire, Malaka mengalahkan kota Venesia pada masa kejayaannya, padahal Venesia merupakan pelabuhan dengan kekuatan maritim terbesar di Laut Mediterania. Malaka merupakan pelabuhan transit, sekaligus sebagai gudang dan pasar bagi semua hasil bumi dari Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Cina. Para sejarawan menyebutnya sebagai imperium maritim terbesar sejak Sriwijaya. Kebesaran Malaka disebabkan oleh kesetiaan dan dukungan Orang Laut dan para pengembara (gypsi laut) yang memakai Riau sebagai salah satu pusat tempat berteduh.

Pengaruh politik imperium ini tidak diketahui secara pasti. Ada dugaan bahwa Riau berada di bawah pengaruh politik Malaka, dalam arti Imperium Tradisional Asia Tenggara (Reid, 1979). Dengan porosnya yang berada di bawah pengaruh kekuasaan Malaka atau Imperium Tradisional Asia Tenggara, bukan berarti Riau diduduki oleh tentara Malaka atau pejabat, karena untuk mengadakan ekspansi teritorial semacam itu Malaka maupun kerajaan lainnya tidak mampu. Menurut konsep tradisional yang berkembang saat itu, yang dimaksud dengan di bawah pengaruh imperium adalah raja setempat diangkat oleh Sultan Melaka atau seorang Pangeran Melaka dan pengikutnya menduduki salah satu pulau di Riau dan berkuasa di sana sebagai raja dengan pengakuan Sultan Melaka.

Bila seorang raja tidak diangkat secara langsung oleh Sultan Melaka, maka raja setempat dinikahkan dengan seorang Putri Melaka. Melalui perkawinan tersebut, unsur kesetiaan dapat ditekankan. Dalam konsep politik dan etika kerajaan, unsur kesetiaan menjadi hal yang sangat penting, sehingga kesetiaan kadang-kadang bersifat buta, seperti dalam kisah Hang Tuah dan Hang Jebat. Filsafat dan konsep politik dengan unsur kesetiaan tersebut menjadikan konsep politik hanya sebagai konsep etika, yakni saling berhubungan. Unsur kesetiaan yang diperkuat dengan kekeluargaan konkret sangat penting dalam struktur kesultanan zaman lampau, karena pada waktu itu tidak ada alat pengawasan yang ketat maupun pengawasan yang lebih konkret dari kerajaan.

3. Krisis Legitimasi
Kerajaan tradisional sangat lemah dalam hal struktur politik karena kurang didukung oleh kekuatan-kekuatan nyata seperti angkatan perang (angkatan laut) dan pejabat. Ini terbukti dengan jatuhnya Melaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Kerajaan Melaka yang jaya dan besar dengan mudah jatuh ke tangan Alfonso d‘Albuquerque, panglima Portugis, karena dalam kesultanan terjadi perpecahan. Para Sultan Melaka terpaksa menyingkir ke Riau-Bintan dan sebagian ke Lingga. Mereka berdiam di Bintan atau di Kepulauan Riau hanya sebentar, karena tidak lama kemudian mereka memindahkan ibukota kerajaan di Semenanjung Melayu ke Johor. Bintan hanya dipakai dalam waktu singkat sebagai tempat pengungsian sultan-sultan Melaka. Namun peristiwa tersebut cukup berkesan bagi raja-raja dari dinasti-dinasti sah Kerajaan Johor (bekas Melaka), sebab Bintan berkali-kali menjadi tempat pengungsian raja-raja yang digulingkan.

Peran Kepulauan Riau pada tahun-tahun setelah 1511 adalah sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut atau menghimpun kekuatan guna menguasai kembali wilayah yang diduduki musuh. Pada abad ke-16 sampai abad ke-17 Kepulauan Riau menjadi tempat mengatur serangan yang dilancarkan kepada Malaka-Portugis, dan agaknya karena hal itu pula sultan-sultan Johor sering pindah ke Bintan. Menurut Portugis dan sumber-sumber lain, Bintan sering disebut sebagai “Sarang Bajak Laut”. Hal ini mungkin ada benarnya, akan tetapi kita harus ingat bahwa pada zaman itu perang politik, perdagangan, dan pembajakan di laut tidak banyak bedanya. Aksi Portugis dalam merebut Melaka pada tahun 1511 merupakan aksi blokade VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie-Kompeni Belanda) terhadap Makassar. Serangan-serangan VOC terhadap Banten pada abad ke-17 sebenarnya merupakan tindakan yang mempunyai maksud sama.

Serangan yang dilakukan oleh bajak laut maupun musuh dari laut lainnya merupakan ancaman terbesar bagi kerajaan maritim, sehingga semua pertahanan dikerahkan ke laut. Pertahanan darat hampir tidak ada, sebab musuh tidak pernah diperkirakan datang dari darat. Sistem pertahanan maritim tersebut masih dipertahankan sampai Perang Dunia II. Pada Perang Dunia II, pertahanan Singapura dikerahkan menghadap ke laut, sehingga meriam Inggris tidak ada yang diarahkan ke darat. Ketika Jepang menyerangnya dari Semenanjung Malaysia pada tahun 1942, Singapura jatuh tanpa banyak memberikan perlawanan. Kesultanan maritim pada masa itu juga tidak pernah memperhitungkan perpecahan dan ancaman dari dalam istana dan kutub dinasti atau elit kerajaan.

Meskipun Kepulauan Riau, khususnya Bintan, menjadi tempat dan pusat Raja Johor (bekas Malaka) serta sebagai tempat raja-raja yang menjadi nenek moyang berbagai dinasti kesultanan di Malaka, Semenanjung Melayu, dan Sumatera, tetapi Kepulauan Riau tidak pernah menjadi pusat kekuasaan atau pusat imperium, karena keadaan geografis Kepulauan Riau sendiri. Kepulauan tersebut mudah dijadikan sarang bajak laut, rival, dan kekuasaan. Raja-raja Melayu di daratan Sumatera atau Semenanjung Melayu lebih senang melihat kekuatan-kekuatan di Riau terpecah daripada menjadi pusat imperium, dan secara geografis Kepulauan Riau memang menunjang keadaan tersebut.

Dalam abad ke-16 dan ke-17 ada dua kekuasaan Indonesia baru yang berpengaruh di Riau, yakni Aceh (abad ke-16 sampai pertengahan pertama abad ke-17) dan Bugis (pertengahan abad ke-17 sampai abad ke-18). Peperangan atau persekutuan dengan Aceh jika disebut satu-persatu terlalu banyak. Campur tangan orang Bugis pertama terjadi pada tahun 1679. Orang Bugis diundang Sultan Ibrahim yang diusir dari Johor dan lari ke Riau. Sejak itu sejarah Riau dan sekitarnya terikat dengan kekuatan Bugis yang muncul dengan pesat di perairan Melaka. Dominasi kekuatan Bugis terlihat saat krisis monarkhi Melayu (Johor). Pada tahun 1699 Raja Johor, Sultan Mahmud (pengganti Sultan Ibrahim), dibunuh dan diganti oleh dinasti Bendahara. Hal ini memberi peluang Raja Kecil untuk merebut tahta Johor yang diperintahnya dari Riau.

Raja Kecil akhirnya digulingkan oleh orang Bugis pada tahun 1722 dengan menempatkan anak Bendahara Johor yang membunuh Sultan Mahmud. Sultan Mahmud merupakan raja terakhir dari dinasti Melaka dan Johor yang berasal dari Parameswari, cikal bakal dinasti ini. Namun demikian, dinasti Bendahara ini menjadi dinasti sah dari raja-raja beberapa kesultanan di Sumatera, Semenanjung Melayu, dan akhirnya Singapura (Andaya, 1975). Dengan demikian dinasti Kesultanan Riau (Pulau Bintan) sebenarnya merupakan cikal bakal raja-raja Melayu di berbagai tempat.

Namun, kekuasaan sebenarnya berada di tangan orang Bugis, kemudian Belanda, dan Inggris. Sejak tahun 1722 orang Bugis di perairan Selat Melaka sudah memakai raja-raja Melayu yang sah (keturunan Bendahara) untuk memperkokoh kekuasaan mereka dalam jabatan raja muda, patih, laksamana, dan lainnya. Kemudian Inggris dan Belanda menggunakan cara yang sama. Inggris merebut Singapura dengan mengangkat salah seorang pangeran dari dinasti Riau menjadi Sultan Singapura untuk memperkuat klaim mereka atas pulau tersebut. Di pulau tersebut kemudian didirikan pelabuhan Imperium Inggris yang terbesar di Asia Tenggara. Sebaliknya, Belanda mencoba mengalahkan klaim ini dengan mengatakan bahwa hak-hak Sultan Riau lebih tua atas Singapura daripada Pangeran Riau. Secara legal Belanda mungkin benar, namun kekuatan politik mereka lebih kecil dari Inggris, sehingga Inggris tetap bercokol di Singapura. Usaha-usaha Belanda untuk menjadikan Pulau Bintan sebagai pelabuhan bebas yang dapat menyaingi kebesaran Singapura gagal. Pada tahun 1820, Bintan juga gagal menjadi penguasa terbesar di belahan selatan Melaka, meskipun Bintan merupakan tempat kediaman dinasti sah dari garis keturunan raja-raja (Hall, 1977).

Walaupun Kepulauan Riau (Bintan) kalah dalam kekuatan politik dan ekonomi, namun dalam soal budaya, kepulauan ini unggul dari daerah sekitarnya. Beberapa sejarawan menduga, pada abad ke-19 Kepulauan Riau dan istana Sultan Bintan (Pulau Penyengat) merupakan pusat kebudayaan Melayu. Banyak naskah sejarah dan kesusastraan yang bagus lahir di kepulauan ini.

4. Kesimpulan
Kalau di atas kita membicarakan unsur kesetiaan yang buta dan masalah keturunan sebagai unsur penting dalam konsep politik Riau, sehingga unsur tersebut seolah-olah dapat menunjang sifat otoriter dan absolutisme kerajaan, dalam struktur kerajaan maritim hal ini justru sebaliknya. Kesetiaan dan keturunan merupakan pembatasan kekuasaan raja (Sultan) oleh elit politik yang turun-temurun (Wall, 1892: 298–324).

Dalam naskah-naskah Riau Melayu, batasan kekuasaan raja dan pejabat yang diangkat turun-temurun dari laksamana, patih, bendahara, dan seterusnya diterangkan secara jelas. Masalah-masalah struktur politik Riau juga dibedakan antara Kerajaan-kerajaan Malaysia dan Sumatera. Adat-adat yang tercantum dalam naskah-naskah merupakan unsur terpenting dalam pembentukan pribadi orang Riau. Namun demikian, setiap penelitian sejarah Riau tidak dapat hanya melihat Riau sebagai fenomena setempat, melainkan harus juga melihat latar belakang Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia. Sejarah setempat saja hanya akan menghasilkan sebuah ironik dan daftar antik.

Daftar Pustaka
Andaya, L. Y. 1975. The Kingdom of Johor, 1641-1728. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Effendy, N. 1973. Lintasan Sejarah Siak Sri Indrapura. BPKD Provinsi Riau.

Hall, D. G. E. 1977. A History of Southeast Asia. Third edition, Macmillan.

Reid, A. 1979. Trade & State Power in 16 & 17th Century Southeast Asia dalam Proceeding 7th IAHA Conference, 2226 Agustus 1977, Bangkok.

Wall, S. F. von de. 1892. “Beknopte Geshiedenis van het Vorstenhuis en de Rijksinstellingen van Lingga en Rijau”. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur. VI. 1-61.
___________________

Prof. Dr. Ong Hok Ham, lahir 1 Mei 1933. Merupakan seorang sejarawan ternama Indonesia. Beliau sering menulis kolom sejarah di majalah Tempo. Tulisan yang diterbitkan Tempo pada tahun 2002, Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang merupakan kumpulan artikel dari tahun 1976–2001.

Selain itu beliau juga mantan seorang dosen di Universitas Indonesia. Disertasinya selesai ditulis tahun 1975 dengan judul The Residency of Madiun, Priyayi and Peasant in the Nineteenth Century dan gelar doktor diraihnya dari Universitas Yale, Amerika Serikat. Ong Hok Ham pensiun dari Universitas Indonesia tahun 1989 pada usia 56 tahun.
___________________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau