Oleh : Reinhard Nainggolan
Tidak usah membandingkan Indonesia dengan negara tujuan wisata dunia seperti China, Italia, Perancis, atau negara lain di Eropa sana. Di ASEAN saja, seperti dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand, Indonesia sudah kalah bersaing.
Alat ukurnya bisa dilihat dari tingkat kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Data menunjukkan, wisman yang berkunjung ke Malaysia, Singapura, dan Thailand jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang datang ke Indonesia.
Tahun 2005, wisman yang melancong ke Malaysia ada 16,4 juta, ke Singapura 8,9 juta, dan ke Thailand 11,5 juta, sedangkan ke Indonesia hanya 5 juta orang.
Jika tahun 2006 kunjungan wisman ke ketiga negara itu meningkat, yang dialami Indonesia justru sebaliknya. Pada tahun itu wisman yang mengunjungi Malaysia tercatat 17,5, juta, Singapura 9,5 juta, dan Thailand 12,4 juta, sedangkan ke Indonesia menyusut empat persen menjadi 4,8 juta orang.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, penurunan itu terkait dengan rentetan musibah di Indonesia, mulai dari flu burung, gempa bumi di Yogyakarta, dan tsunami di Pangandaran, Jawa Barat.
Sepuluh tahun terakhir tingkat kunjungan wisman ke Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda, berkisar 4,5 juta-5 juta orang. Artinya, pengaruh rentetan musibah—termasuk Bom Bali I dan II—terhadap perubahan kunjungan wisman ke Indonesia tidak lebih dari 10 persen, tidak sebesar yang kita bayangkan selama ini.
Promosi
"Mengapa pariwisata Indonesia tetap terpuruk?"
"Industri pariwisata Indonesia sangat pasif," kata Glenn de Souza, Vice President International Operation Asia-Best Western International (BWI) Inc, saat Kompas menanyakan hal itu dalam sebuah kesempatan wawancara di Bangkok, pertengahan Agustus lalu.
Menurut De Souza, sektor pariwisata Indonesia masih terbuka untuk berkembang karena potensinya cukup besar, bahkan terbesar dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Karena itu, BWI—jaringan yang mengoperasikan sekitar 4.200 hotel di 88 negara—akan membuka 20 hotel berbintang di Indonesia dalam kurun waktu 2008 sampai 2010. Sebagai langkah awal, 17 Agustus lalu, BWI telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan sejumlah pengusaha pariwisata Indonesia.
Chief Area Development Indonesia-BWI Jusuf Sawirin menambahkan, untuk memacu pariwisata,
Dibanding
Sesungguhnya, Indonesia juga memiliki branding untuk memasarkan pariwisatanya, tetapi hampir setiap tahun berubah. Tahun 2001 diperkenalkan
Mengenali wisata
Mantan Kepala Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata (BP Budpar) Setyanto P Santosa dalam "Mengenali Daya Saing Pariwisata Indonesia" mengatakan, perubahan-perubahan branding itu tidak saja membingungkan pasar internasional, tetapi juga para pelaku pariwisata Indonesia. Perubahan itu sekaligus menunjukkan betapa tidak konsistennya kebijakan pariwisata
Adapun
Bersama pengusaha, tambah Nazrin, Pemerintah Malaysia juga gencar melakukan promosi ke berbagai negara.
Lemahnya promosi pariwisata Indonesia mungkin bisa dimaklumi karena minimnya anggaran, yaitu hanya sekitar 6 juta dollar AS per tahun. Kalah jauh dibandingkan dengan dana promosi pariwisata Malaysia sebesar 60 juta AS per tahun.
Meski demikian, tahun 2006 sektor pariwisata Indonesia menghasilkan devisa sebesar Rp 45 triliun. Selama promosi dilakukan dengan efisien dan tepat sasaran, penambahan anggaran promosi tentu dapat menambah kunjungan wisman dan devisa ke Indonesia.
Dalam bukunya Global Paradox (1994) yang terkenal itu, John Naisbitt meramalkan, pariwisata akan menjadi industri terbesar di dunia. Data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mendukung ramalan itu, di mana tahun 2000 wisman internasional berjumlah 698 juta orang dan menciptakan pendapatan 476 miliar dollar AS.
Pada tahun 2010 WTO memperkirakan jumlah wisman internasional mencapai 1,046 miliar orang dan tahun 2020 meloncat menjadi 1,602 miliar orang dengan pendapatan sebesar 2 triliun dollar AS. Sungguh angka yang fantastis!
Akankah pariwisata Indonesia menangkap peluang itu, atau tetap bagaikan tikus mati di lumbung padi?
Kita perlu mengingat kembali apa yang disampaikan John Naisbitt: jika pariwisata merupakan penyumbang besar bagi ekonomi dunia, mengapa para pembuat kebijakan dalam negeri hanya memberikan sedikit perhatian terhadap sektor pariwisatanya?
Sumber : www.kompas.com