Berkurangnya Peranan Penyeimbang Pada Masyarakat Tradisional Lampung (1)

Oleh : Drs. T. Dibyo Harsono, M.Hum

Pendahuluan
Bagi masyarakat adat yang masih kuat menganut hukum adat daerah setempat, segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan adapt tidak boleh diselesaikan atas kemauan sendiri, melainkan harus dengan cara musyawarah melalui institusi tradisional setempat, dan dari musyawarah itu akan diperoleh keputusan bersama.

Pada setiap kegiatan kemasyarakatan selalu didasarkan pada norma-norma sosial yang bersangkut paut dengan tatacara pergaulan menurut tradisi daerah yang berlaku. Begitu juga dengan kegiatan yang berhubungan dengan usaha tertentu yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan ekonomi sosial dan keluarga, tidak terlepas dari keterlibatan nilai-nilai budaya tradisional yang berlaku.

Pada masyarakat Lampung, institusi tradisional dipimpin oleh tokoh adat yang berhak menyandang gelar adat. Gelar-gelar adat tersebut menunjukkan hirarki kedudukan dan pembagian peranannya dalam struktur keadatannya seperti Pengiran, Dalom, Keriya, Temunggu, Radin, Batin, Minak dan raja. Pengiran berstatus sebagai penyimbang (pemimpin) dat tertinggi dalam struktur institusi adat yang membawahai para penyimbang adat lainnya yang ada dalam lingkungan kelompokmasyarakat adat didesa atau pada lingkungan kebuwaian (suatu keturunan darah). Peranannya adalah memimpin segala acara, urusan dan masalah adat serta kegiatan kemasyarakat yang dbantu oleh penyimbang-penyimbang adat lainnya.

Menurut Hilman Hadikesuma (1989), bahwa penyimbang adat adalah anak laki laki tertua dari keturunan tertua yang sebagai waris pengganti ayahnya dan berkedudukan menggantikan tanggung jawab bapak sebagai kepala keluarga atau kerabat. Gejala demikian berfungsi positif oleh karena dengan adanya penyimbang ada tempat pemusatan berkumpulnya kerabat yang berasal dari satu pertalian darah (buwai), dan satu pertalian adat.

Namun dalam prakteknya tidak sedikit kenyataan yang menunjukkan bahwa implikasi institusi tradisional masyarakat Lampung dalam pelaksaan sudah banyak mangalami perubahan, hal tersebut tidak terlepas dari adanya berbagai kontak kebudayaan dengan suku bangsa lain yang ada didaerah Lampung. Sehingga ada kecenderungan semakin memudarnya masyarakat tradisional didaerah Lampung.

Kerangka teori
Secara umum institusi adat masyarakat Lampung yang mengacu pada hukum adat dari Kuntara raja Niti (1975), dimana didalam prakteknya masih menjadi pedoman dan berlaku dalam setiap tatakrama pergaulan, berbagai aktivitas ekonomi dan jamianan stabilitas kaemanan masyarakat. Dalam hukum adat ini seorang penyimbang adat merupakan sosok impian yang harus memiliki kepandaian dan mampu menyelesaikan dan memtukskan setiap perkara secara adl dan bijaksana.

Penyimbang adat mempunyai peranan penting dalam menentukan tata cara dan haluan yang sebaiknya ditempuh menurut ketentuan adat yang berlaku dalam setiap perilaku dalam usaha peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi keluarga. Pentingnya peranan penyimbang adat dalam institusi masyarakat adat lampung antara lain adalah untuk menyelenggarakan musyawarah dalam setiap langkah awal pelaksanaan kegiatan dalam usaha pemenuhan berbagai kebutuhan keluarga dan kemasyarakatan.

Pada praktek pergaulan dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat lampung pada umumnya, aspek status dan peranan senantiasa dipertahankan dengan berpedoman pada adat istiadat yang khas. Ada berapa elemn budaya yang khas bagi masyarakat Lampung yang turut memperkokoh dan membimbing kearah jalan terhormat, kebenaran, dan kebaikan, sebagaimana tertuang dalam prinsip pi’il pesenggiri merupakan elemen institusi budaya yang mengandung nilai positif, karena didalamnya mengandung keuamaan kedudukan terhormat dalam kehidupan bemasyarakat. Masyarakat lampung dalam berbagai aktivitas kehidupannya selalu berpedoman pada standar perilaku agar kehormatannya tetap dapat dipertahankan. Ini berarti masyarakat Lampung mempunyai sumber daya yang besar untuk berbuat jujur, patuh terhada hukum yang berlaku, dapat berkerjaama dengan pihak manapun.

Harga diri juga memegang peranan penting dalam lapangan pekerjaan. Tiap orang yang mempunyai pekerjaan ingin mendapatkan suatu penghargaan atas pekerjaannya. Melukai perasaan harga diri in mungkin dapat mngekibatkan rasa rendah dalam masyarakat, tidak hanya merugikan orang yang bersangkutan, melainkan juga seluruh masyarakat.

Sosok individu dalam pergaulannya ditengah-tengah masyarakat harus mampu memerankan kedudukannya, berbuat ramah dan terbuka terhadap kawan atau orang lain, dapat bergaul dan berbaur ditengah-tengah masyarakat, serta dapat mewujudkan kebersamaan dalam kegiatan gotong royong. Menurut Koentjaraningrat (1984), bahwa suatu sifat yang positif dalam mentalitas kita adalah konsep yang merupakan salah satu unsur dalam nilai gotong royong. Gotong oyong merupakan cerminan bahwa manusia itutidak bisa hidup sendiri didunia ini, tetap dikellingi oleh sistem sosial dan komunitas yang saling terikat. Namun seiring dengan pekembnagan zaman , nilai-nilai tersebut juga mengalami perubahan, seperti kegiatan yang bersifat gotong royong semakin berkurang digantikan dengan kegiatan yang lebih mengedepankan nilai nilai ekonomis.

Budhy Prasadja (1980), mengatakan bahwa rencana pembangunan antara lain bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu keterlatarbelakangan, kemiskinan, dan kepicikan berfikir tradisional. Itulah sebabnya maka faktor manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembangunan. Potensi manusia merupakan modal dasar yang perlu digali karena dengan begitu berarti mempermudah kita dalam menggerakkan pembangunan, yakni dengan melibatkan secara total sumber daya manusia. Begitu pula peranan tokoh tokoh atau pimpinan adat sangat berperanan dalam bermasyarakat, namun nampaknya peranan mereka semakin lama juga semakin berkuran.

Tujuan
Masyarakat tradisional lampung mewarisi sifat an perilaku serta pandangan hidup yang disebut Pi’il Pesenggiri yang berunsurkan pesenggiri, bejuluk baedek, nemui nyimah, nengah nayappur, dan Sakai sambayan. Apakah pandangan hidup tersebut pada saat ini masih dipegang teguh sebagai pegangan hidup dikalangan kerabat Penyimbang dilingkungan masyarakat beradat pepadun, serta untuk mengetahui bagaimana peranan penyimbang adat sekarang ini.

Ruang Lingkup
Batasan materi pada penelitian ini adalah perihal yang berkaitan dengan peranan penyimbang adat pada masyarakat tradisional didaerah Lampung.bagaimana peranan mereka saat ini, apakah para penyimbang adat tersebut masih banyak berperanan dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat, apakah peranan mereka semakin berkurang dan semaki memudar, atau malahan sudah tidak banyak berperanan dalam kehidupan di masyarakat. Sedangkan batasan wilayah penelitian kali ini adalah difokuskan didaerah Negara nabung, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Sukadana, Propinsi Lampung. Karena didaerah ini masyarakatnya masih belum tercampur dengan para pendatang, meskipun lokasi perkampungngan para pendatang jaraknya relatif dekat.

Metode Penelitian
Penelitian ini lebih bersifat kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan dan lapangan melaluio wawancara mendalami (depthinterview), dan pengamatan (observasi). Wawancara mendalam dilakukan terhadap para informan yang dianggap mengetahui permaalahan, seperti tokoh masyarakat, ulama, tokoh adat, pemimpin formal maupun nonformal. Khususnya informan yang dianggap mengetahui kebudayaan masyarakat setempat, khususnya yang berkaitan dengan peranan penyimbang adat dalam masyarakat). Sebagai pelengkap data, dilakukan juga studi kepustakaan (library research), yaki mencari buku buku acuan atau literatur yang berkaitan dengan tema penelitian.

Gambaran Umum Daerah Penelitian
Lokasi dan Lingkungan Alam

Semenjak kemerdekaan negara Republik Indonesia, karesidenan Lampung terdiri dari tiga kabupaten yakni Kabupaten Lampung Utara dengan ibukota di Kotabumi, Kabupaten Lampung Tengah dengan ibukota di Sukadana, namun semenjak tahun 1949 dipindahkan ke Metro sampai sekarang ini, Kabupaten Lampung Selatan dengan ibukota di Tanjungkarang, semenjak tahun 1982 dipindahkan ke Kalianda. Kotapraja Tanjungkarang – Telukbetung baru berdiri semenjak tahun 1952, yang saat ini berganti dengan Kotamadya Bandar Lampung yakni Tanjungkarang – Telukbetung ditambah 50% Kecamatan Kedaton dan 70% Kecamatan Panjang yang sebelum tahun 1982 merupakan daerah/wilayah Lampung Selatan. Semula pemerintah marga yang ada berjumlah 84 marga di Lampung, ingin dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan negeri yakni yang terdiri dari beberapa marga. Daerah negeri ini semula dipersiapkan untuk pemerintahan daerah tingkat III. Perjalanan pemerintahan negeri ini membawa akibat positif maupun negatif, karena daerahnya ternyata berada di beberapa kecamatan atau terdiri dari dua atau tiga kecamatan. Sehingga menimbulkan persaingan wibawa atau pengaruh antara Kepala Negeri dan Asisten Wedana (camat), siapa yang lebih aktif dan berwibawa maka ia akan lebih menonjol, dan lebih berpengaruh. Pada umumnya Kantor-kantor Kepala Negeri mempunyai gedung yang besar dan bertingkat, meskipun merupakan bangunan semi permanen, ada Dewan Negeri yakni semacam atau setingkat dengan DPRD Tingkat III. Pada akhirnya tahun 1970 kenegerian dihapuskan, segala inventaris dan staf digabungkan pada Kantor Kecamatan yang terdekat, Dewan Negeri dengan sendirinya juga ikut dibubarkan. Satu hal yang agak ironis sampai saat ini adalah kedudukan Kepala Kampung dan Kepala Desa, pada kampung penduduk asli disebut Kepala Kampung/Kepala/Perantin/Kriyo atau ada juga yang menyebutnya Jarok (daerah Kalianda dan sekitarnya). Kepala Kampung tidak memiliki perangkat pemerintahan seperti kantor, sekretaris, dan pembantu lainnya. Ia bekerja sendiri, mulai dari membuat amplop, mengantar surat, rapat dinas di kecamatan maupun kabupaten. Kedudukan kepala kampung sejajar dengan kepala desa, wilayahnya biasanya kecil, bahkan ada yang hanya berjumlah 40 kepala keluarga (KK). Untuk menduduki dan memenangkan jabatan kepala kampung, diadakan pemilihan, namun pada hakekatnya adalah atas perintah serta tunjukan/pilihan/persetujuan kepala adat. Sebab untuk menduduki jabatan ini jarang yang mau atau berkeinginan untuk itu, sehingga harus ditunjuk atau diberi mandat oleh kepala adat. Untuk kepala desa yang ada umumnya di daerah-daerah yang terdiri dari masyarakat Lampung asal Pulau Jawa, mereka mempunyai kantor dan perangkat desa secara utuh seperti halnya desa-desa di Pulau Jawa. Memiliki wilayah yang cukup luas, bahkan bisa terdiri dari beberapa kampung pedukuhan. Mereka mempunyai tanah bengkok dan dana khusus dari warga desa yang disebut janggolan. Inilah yang sering menjadi motivasi mengapa orang enggan menjadi kepala kampung di daerah-daerah yang didiami oleh masyarakat Lampung asal Sumatera Selatan dan masyarakat Lampung asli/setempat, karena mereka tidak mempunyai dana khusus untuk administrasi, transportasi bahkan fasilitas untuk menerima dan melayani tamu. Pelayanan kedinasan sangat banyak sehingga mereka tidak sempat membuka sawah dan ladang serta membenahi kebunnya. Secara berangsur-angsur kepala kampung ini diberikan bantuan oleh pemerintah daerah (pemda) tingkat II untuk beaya administrasi, sedangkan subsidi desa banyak menimbulkan adanya swadaya masyarakat, sehingga hasilnya cukup menggembirakan.

Kabupaten Lampung Timur membentang pada posisi 105º15¹ BT sampai dengan 106º20¹ BT dan 4º37¹ LS sampai dengan 5º37¹ LS. Kabupaten Lampung Timur memiliki luas wilayah kuranglebih 5.325,03 km² atau sekitar 15% dari total wilayah Propinsi Lampung (total wilayah Lampung sebesar 35.376 km²). Wilayah Kabupaten Lampung Timur sebelumnya merupakan wilayah Pembantu Bupati Lampung Tengah Wilayah Sukadana. Ibukota Kabupaten Lampung Timur berkedudukan di Sukadana.

Kabupaten Lampung Timur secara topografis dapat dibagi menjadi lima daerah: pertama, daerah berbukit sampai bergunung, terdapat di Kecamatan Jabung, Sukadana, Sekampung Udik, dan Labuhan Maringgai. Kedua, daerah berombak sampai bergelombang yang dicirikan oleh bukit-bukit sempit, dengan kemiringan antara 8% hingga 15%, dan ketinggian antara 50 meter sampai dengan 200 meter di atas permukaan laut (dpl). Ketiga, daerah dataran alluvial, mencakup kawasan yang cukup luas meliputi kawasan pantai pada bagian timur Kabupaten Lampung Timur dan daerah-daerah pada sepanjang sungai di bagian hilir dari Way Seputih dan Way Pengubuan. Ketinggian kawasan ini berkisar antara 25 sampai dengan 75 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan kemiringan 0% sampai dengan 3%. Keempat, daerah rawa pasang surut di sepanjang pantai timur dengan ketinggian 0,5 meter sampai dengan 1 meter di atas permukaan laut (dpl). Kelima, daerah aliran sungai di sepanjang sungai Seputih, sungai Sekampung, dan Way Jepara. Alam hewan (fauna) di daerah Lampung masih ditemui binatang buas seperti gajah, badak, harimau, ular, terutama terdapat di daerah-daerah yang masih banyak hutannya (daerah Bukit Barisan), sedangkan di dataran rendah jenis-jenis hewan tersebut sudah banyak berkurang. Sebagian besar binatang-binatang buas tersebut terdapat di daerah Lampung Utara, di daerah Lampung Tengah dan Lampung Selatan binatang-binatang tersebut sudah tidak ada lagi, yang ada ialah jenis kera, lutung, babi, rusa, kijang. Sementara itu alam tumbuh-tumbuhan (flora) yang paling lengkap juga terdapat di daerah Lampung Utara seperti jenis kayu bungur, mengerawan, tembesu, manteru, merbau, dan jati yang sampai sekarang masih dikelola serta dibudidayakan.

Iklim di daerah Kabupaten Lampung Timur termasuk dalam kategori iklim B (menurut Smith dan Ferguson), yang dicirikan dengan adanya bulan basah selama 6 bulan yakni pada bulan Desember sampai dengan bulan Juni, dengan temperature rata-rata 24ºC sampai dengan 34ºC. Curah hujan merata di semua wilayah, curah hujan tahunan sebesar 2000 sampai dengan 2500 mm. jenis tanah yang ada di daerah Kabupaten Lampung Timur umumnya didominasi oleh jenis tanah podsolik merah kuning, podsolik kekuning-kuningan, latosol coklat kemerahan, latosol merah, hidromorf kelabu, alluvial hidromorf, regosol coklat kekuningan, latosol merah kekuningan, alluvial coklat kelabu, dan latosol merah.

Sukadana terletak 25 meter di atas permukaan laut (dpl), dengan luas wilayah 5.325,03 km². Sedangkan luas wilayah Kecamatan Sukadana 75.675,50 hektar atau 14,21% dari luas keseluruhan Kabupaten Lampung Timur. Sementara itu terdapat beberapa gunung yang ada di wilayah ini antara lain: Gunung Tiga dengan ketinggian 147 meter terletak di Kecamatan Bumi Agung, Gunung Kemuning dengan ketinggian 170 meter terletak di Kecamatan Jabung, Bukit Salupa dengan ketinggian 100 meter terletak di Kecamatan Marga Tiga, Gunung Mirah dengan ketinggian 250 meter terletak di Kecamatan Marga Tiga, Gunung Tamiang dengan ketinggian 160 meter terletak di Kecamatan Sukadana, Gunung Pawiki dengan ketinggian 231 meter terletak di Kecamatan Marga Tiga. Pulau-pulau yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Timur antara lain: Pulau Segama Besar terletak diantara 05º10´01".8 LS dan 106º06´21".0 BT, Pulau Segama Kecil terletak diantara 05º11´00".7 LS dan 106º06´31".9 BT, Pulau Basa terletak diantara 05º12´01".8 LS dan 106º12´54".5 BT, Pulau Gosong Serdang terletak diantara 05º07´23".7 LS dan 106º15´27".9 BT, Pulau Gosong Layang-layang terletak diantara 05º20´21".7 LS dan 106º07´36".9 BT, dan Pulau Karang Pematang 05º23´55".8 LS dan 106º16´30".5 BT. Adapun sungai-sungai yang ada antara lain: Way Ngisen (panjang 7,43 km), Way Capang (panjang 6,85 km), Way Carup (panjang 8,61 km), Way Nibung (panjang 5,70 km), Way Buyut (panjang 8,33 km), Way Sipin (panjang 7,64 km), Way Nakau (panjang 8,25 km), Way Hui (panjang 3,75 km), Way Kandis Besar (panjang 4,33 km), Way Ulan (panjang 5,30 km), Way Bakung (panjang 4,86 km), Way Rupuyuh (panjang 2,35 km), Way Samping (panjang 2,52 km), Way Kenali (panjang 8,35 km), Way Rilau (panjang 3,31 km), Way Sulan (panjang 7,81 km), Way Blincung (panjang 22,52 km), Way Rantau Panjang (panjang 14,93 km), Way Rasau (panjang 10,20 km), Way Kambas (panjang 8,56 km), dan lain-lain.

Orang Lampung menyebut kampung sebagai tiyuh, anek, atau pekon. Sebelum tahun 1952 beberapa kampung tergabung menjadi satu marga yang berada di bawah kecamatan, atau di zaman sebelum perang dunia kedua disebut dengan istilah onderdistrik yang dikepalai oleh Asisten Demang (camat). Saat ini demang atau wedana sudah bukan merupakan kepala distrik atau kawedanan. Setelah tahun 1952 satu marga atau beberapa marga digabung menjadi negeri dibawah seorang kepala negeri, yang sekarang sudah tidak aktif lagi. Pemerintah desa sekarang, baik di lingkungan penduduk asli maupun penduduk transmigran (pendatang), terdiri dari kampung-kampung dengan dikepalai oleh seorang kepala kampung (lurah/kepala desa). Pejabat di tingkat desa tersebut berada di bawah kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat, yang merupakan bagian dari pemerintahan kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati (selaku Kepala Daerah Tingkat II). Kampung-kampung penduduk asli (tiyuh) pada dasarnya belum berubah, masih menurut polanya yang lama yakni satu kampung dibagi dalam beberapa bagian yang disebut bilik, tempat kediaman suku yaitu tempat kediaman bagian klen yang disebut buway atau juga kadang-kadang gabungan buway seperti terdapat pada tiyuh-tiyuh masyarakat adat Pubiyan. Di setiap bilik terdapat rumah besar yang disebut nuwou balak atau nuwou menyanak atau rumah besar, rumah kerabat. Kemudian ada lagi beberapa rumah keluarga lainnya yang menurut adat masih merupakan dalam satu hubungan rumah besar tadi. Maka dalam perkembangannya di dalam satu tiyuh akan terdapat rumah kerabat yang tertua tadi. Kadang-kadang terjadi nowou menyanak dari bagian klen yang lain datang kemudian masuk menjadi warga kampung dengan jalan mewari (diangkat sebagai saudara) pada kerabat tertua pendiri kampung. Baik kerabat yang berasal dari nowou menyanak semula maupun yang datang belakangan, mengakui bahwa kepala kerabat yang tertua itu adalah pemimpin mereka. Oleh sebab itu kepala kerabat semula yang tadinya adalah penyimbang suku tertua menjadi penyimbang bumi atau sebagai penyimbang marga. Untuk mengatur jalannya pemerintahan kampung maka penyimbang bumi membentuk dewan kampung, yang merupakan suatu kerapatan adat dimana anggota-anggotanya terdiri dari para penyimbang-penyimbang suku (bilik) masing-masing. Kerapatan adat dipimpin oleh penyimbang bumi (penyimbang tiyuh) sebagai orang pertama diantara yang sama. Penyimbang bumi dapat bertindak mewakili kampung terhadap dunia luar (masyarakat luar), namum kedalam tidak berwenang mengatur kerabat suku lainnya, kecuali sukunya sendiri, suku-suku lain dipimpin sendiri oleh masing-masing kepala sukunya. Sebelum tahun 1928 pemerintah Belanda menganggap para penyimbang bumi sebagai kepala kampung, setelah tahun 1928 dengan dibentuknya pemerintahan marga teritorial, maka kepala kampung diangkat atas dasar calon yang didukung oleh kepala-kepala kerabat (penyimbang) di dalam tiyuh yang bersangkutan dengan memperhatikan keturunan kepenyimbangannya serta kecakapan dan kemampuannya untuk menjadi kepala kampung. Beberapa kampung yang merupakan kesatuan berasal dari satu marga asal (buway asal) digabungkan menjadi satu ke dalam suatu ikatan marga yang dikepalai oleh kepala marga yang diangkat Belanda berdasarkan calon-calon yang diajukan oleh penyimbang dari keturunan marga yang bersangkutan. Demikianlah semenjak tahun 1928 yang dinamakan sebagai marga adalah kesatuan dari beberapa kampung, dan satu kampung meliputi tempat kediaman kecil di daerah pertanian sekitarnya yang disebut dengan umbul. Suatu umbul dikepalai oleh kepala keluarga yang tertua dari umbul bersangkutan. Penduduk Kabupaten Lampung Timur sampai dengan tahun 2002 berjumlah 896.500 orang, di bawah ini akan ditampilkan tabel penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur.

TABEL 1
Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Dan Kelompok Umur

Kelompok umur

Laki-laki

Perempuan

Jumlah

Sex Ratio

0 4

5 9

10 – 14

15 – 19

20 – 24

25 – 29

30 – 34

35 – 39

40 – 44

45 – 49

50 – 54

55 – 59

60 – 64

65 – 69

70 – 74

75 ke atas

36.744

43.488

47.775

47.761

38.987

42.402

37.069

32.087

26.583

23.369

24.533

14.005

14.314

9.243

6.779

6.686

40.197

47.575

52.266

45.305

36.983

40.221

35.163

30.437

25.216

22.167

23.272

13.285

13.578

7.737

5.674

5.597

76.941

91.063

100.043

93.066

75.970

82.623

72.232

62.524

51.799

45.536

47.805

27.290

27.892

16.980

12.453

12.283

91,41

91,41

91,41

105,42

105,42

105,42

105,42

105,42

105,42

105,42

105,42

105,42

105,42

119,47

119,47

119,47

Jumlah

451.825

444.675

896.500

101,61

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah penduduk terbesar pada kelompok umur 10 tahun sampai dengan 14 tahun (100.043 orang), sedangkan jumlah penduduk terkecil ada pada kelompok umur 75 tahun ke atas (12.283 orang). Sementara itu apabila dilihat dari jenis kelamin ternyata lebih banyak penduduk laki-lakinya dibandingkan dengan penduduk perempuan (laki-laki berjumlah 451.825 orang, sedangkan perempuan 444.675 orang). Untuk daerah Sukadana sendiri penduduk laki-lakinya berjumlah 30.215 orang, sedangkan penduduk perempuan berjumlah 29.504 orang (jumlah penduduk ada 59.719 orang, dengan sex ratio 102,41).

Sejarah singkat Lampung Timur
Wilayah Kabupaten Lampung Timur yang sekarang ini, pada zaman pemerintahan Belanda merupakan onder afdeling Sukadana yang dikepalai oleh seorang controleur berkebangsaan Belanda dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh seorang demang bangsa pribumi (Indonesia). Onder afdeling Sukadana terbagi menjadi tiga distrik yakni: Onder Distrik Sukadana, Onder Distrik Labuhan Maringgai, Onder Distrik Gunung Sugih. Masing-masing onder distrik dikepalai oleh seorang asisten demang yang berkedudukan sebagai pembantu demang untuk mengkoordinir pesirah. Adapun pembagian Onder Distrik Sukadana terdiri dari: Marga Sukadana, Marga Tiga, Marga Nuban, dan Marga Unyai Way Seputih. Onder Distrik Labuhan Maringgai terdiri dari: Marga Melinting, Marga Sekampung Ilir, Marga Sekampung Udik, dan Marga Subing Labuhan. Onder Distrik Gunung Sugih terdiri dari: Marga Unyi, Marga Subing, Marga Anak Tuha, dan Marga Pubian.

Pada masa zaman Jepang (tahun 1942 sampai dengan tahun 1945), wilayah Kabupaten Lampung Tengah merupakan wilayah Bun Shu Metro, yang terbagi dalam beberapa Gun Shu, marga-marga dan kampung-kampung. Bun Shu dikepalai oleh seorang Bun Shu Cho dan Gun Shu dikepalai seorang Gun Shu Cho, marga dikepalai oleh marga cho, dan kampung dikepalai oleh seorang kepala kampung. Sementara itu di masa kemerdekaan dan dengan berlakunya Peraturan Peralihan pasal 2 UUD 1945, maka Bun Shu Metro berubah menjadi Kabupaten Lampung Tengah yang dikepalai oleh seorang bupati. Bupati pertama Kabupaten Lampung Tengah adalah Burhanuddin dengan masa jabatan dari tahun 1945 sampai dengan tahun 1948. itulah sebabnya apabila ditinjau dari perkembangan organisasi pemerintahan, maka pembagian wilayah Lampung atas kabupaten-kabupaten dianggap terjadi zaman pemerintahan Jepang. Adapun peristiwa yang dianggap penting yang terjadi di masa itu antara lain tahun 1946 sampai dengan tahun 1947 jumlah marga bertambah dua yakni Marga Terusan Unyai dan Marga Selagai Lingga. Tambahan marga ini terjadi karena adanya perubahan batas wilayah ataupun karena terjadinya perpindahan dan perkembangan penduduk. Pada masa Pemerintahan Negeri (tahun 1953 sampai dengan tahun 1975), setelah dibubarkannya Pemerintahan Marga maka sebagai gantinya dibentuk Pemerintahan Negeri yang terdiri dari Kepala Negeri dan Dewan Negeri. Kepala Negeri dipilih oleh Dewan Negeri dan para kepala kampung. Pada masa ini di Kabupaten Lampung Tengah terdapat lima Negeri yaitu: Negeri Pekalongan dengan pusat pemerintahan di Pekalongan, Negeri Tribawono dengan pusat pemerintahan di Banar Joyo, Negeri Sekampung dengan pusat pemerintahan di Sumbergede, Negeri Sukadana dengan pusat pemerintahan di Sukadana, dan Negeri Labuhan Maringgai dengan pusat pemerintahan di Labuhan Maringgai. Dalam prakteknya sistem pemerintahan negeri tersebut dirasakan adanya kurang keserasian dengan pemerintahan kecamatan dan keadaan ini menyulitkan tugas pemerintah. Oleh sebab itu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung, mulai tahun 1972 mengambil kebijaksanaan secara bertahap untuk menghapus pemerintahan negeri, dengan jalan tidak mengangkat lagi kepala negeri yang telah habis masa jabatannya dan dengan demikian secara bertahap Pemerintahan Negeri beralih kepada pemerintahan Kecamatan setempat. Untuk membantu tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Tengah di bagian timur, maka dibentuk wilayah kerja Pembantu Bupati Lampung Tengah Wilayah Timur di Sukadana yang meliputi sepuluh kecamatan yakni Kecamatan Metro Kibang, Batanghari, Sekampung, Jabung, Labuhan Maringgai, Way Jepara, Sukadana, Pekalongan, Raman Utara, dan Purbolinggo. Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat, serta untuk lebih meningkatkan peran aktif masyarakat maka dipandang perlu wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Tengah ditata kembali menjadi tiga daerah tingkat dua. Pada tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1999, wilayah Pembantu Bupati Kabupaten Lampung Tengah wilayah Sukadana dibentuk menjadi Kabupaten Lampung Timur yang meliputi sepuluh kecamatan definitif dan tigabelas kecamatan pembantu.

Administrasi Pemerintahan
Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Timur dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999, diresmikan pada tanggal 27 April 1999 dengan pusat pemerintahan di Kota Sukadana. Pemda Kabupaten Lampung Timur meliputi 10 kecamatan definitif, 13 kecamatan pembantu, dan 232 desa. Selanjutnya dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1999, 2 (dua) kecamatan pembantu yakni Kecamatan Pembantu Marga Tiga dan Sekampung Udik, statusnya ditingkatkan menjadi Kecamatan Definitif. Dengan demikian wilayah Kabupaten Lampung Timur bertambah dua kecamatan menjadi 12 kecamatan definitif dan 11 kecamatan pembantu, serta 232 desa. Sementara itu setelah ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 01 tahun 2001 dan Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 13 Tahun 2001 tentang pembentukan 11 kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung Timur, sehingga kecamatan di Kabupaten Lampung Timur sekarang berjumlah 23 kecamatan definitif dan 232 desa. Berdasarkan Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 19 tahun 2001 dan Nomor 6 tahun 2002, maka jumlah desa di Kabupaten Lampung Timur berjumlah 232 desa definitif dan 3 desa persiapan. Adapun kecamatan yang ada sebagai berikut: Metro Kibang, Batanghari, Sekampung, Jabung, Labuhan Maringgai, Way Jepara, Sukadana, Pekalongan, Raman Utara, Purbolinggo, Margatiga, Sekampung Udik, Waway Karya, Pasir Sakti, Gunung Pelindung, Melinting, Mataram Baru, Bandar Sribawono, Braja Selebah, Labuhan Ratu, Bumi Agung, Batanghari Nuban, dan Way Bungur. Secara administratif Kabupaten Lampung Timur berbatasan dengan Kecamatan Rumbia, Kecamatan Seputih Surabaya, dan Kecamatan Seputih Banyak Kabupaten Lampung Tengah, di sebelah utara. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa, Propinsi Banten, dan DKI Jakarta. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang, Kecamatan Ketibung, Kecamatan Palas, dan Kecamatan Sidomulyo Kabupaten Lampung Selatan. Sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bantul dan Kecamatan Metro Raya, Kota Metro dan Kecamatan Punggur serta Kecamatan Seputih Raman Kabupaten Lampung Tengah.

Semenjak berdirinya Kabupaten Lampung Timur tahun 1999 sampai sekarang, daerah ini dipimpin oleh tiga orang bupati yakni: H. Muhammad Nurdin, SH masa jabatan dari April 1999 sampai dengan April 2000. Ir. Hi. Irfan N. Djafar, CES masa jabatan semenjak tahun 2000 sampai dengan Desember 2002. H. Bahusin MS masa jabatan dari Desember 2002 sampai dengan sekarang. Kabupaten Lampung Timur membawahi 23 kecamatan dan 238 desa, sebagai berikut:

Kecamatan Metro Kibang dengan ibukota Margototo, membawahi 6 desa.
Kecamatan Batang Hari dengan ibukota Banar Joyo, membawahi 16 desa.
Kecamatan Sekampung dengan ibukota Sumber Gede, membawahi 14 desa.
Kecamatan Marga Tiga dengan ibukota Tanjung Harapan, membawahi 13 desa.
Kecamatan Sekampung Udik dengan ibukota Pugung Raharjo, membawahi 14 desa.
Kecamatan Jabung dengan ibukota Negara Batin, membawahi 19 desa.
Kecamatan Waway Karya dengan ibukota Sumberrejo, membawahi 9 desa.
Kecamatan Pasir Sakti dengan ibukota Mulyo Sari, membawahi 8 desa.
Kecamatan Labuhan Maringgai dengan ibukota Labuhan Maringgai, membawahi 11 desa.
Kecamatan Gunung Pelindung dengan ibukota Negeri Agung, membawahi 5 desa.
Kecamatan Melinting dengan ibukota Wana, membawahi 6 desa.
Kecamatan Mataram Baru dengan ibukota Mataram Baru, membawahi 7 desa.
Kecamatan Bandar Sribhawono dengan ibukota Sribhawono, membawahi 6 desa.
Kecamatan Way Jepara dengan ibukota Braja Sakti, membawahi 13 desa.
Kecamatan Braja Selebah dengan ibukota Braja Harjosari, membawahi 6 desa.
Kecamatan Labuhanratu dengan ibukota Labuhan Ratu, membawahi 9 desa.
Kecamatan Sukadana dengan ibukota Sukadana, membawahi 16 desa.
Kecamatan Bumi Agung dengan ibukota Donomulyo, membawahi 6 desa.
Kecamatan Batanghari Nuban dengan ibukota Sukaraja Nuban, membawahi 13 desa.
Kecamatan Pekalongan dengan ibukota Pekalongan, membawahi 10 desa.
Kecamatan Raman Utara dengan ibukota Kota Raman, membawahi 11 desa.
Kecamatan Purbolinggo dengan ibukota Taman Fajar, membawahi 12 desa.
Kecamatan Way Bungur dengan ibukota Tambah Subur, membawahi 8 desa.

Adapun Kabupaten lampung Timur setelah berdiri, memiliki lambang daerah berdasarkan Perda Nomor 01 tahun 2000. Lambang daerah tersebut terdiri dari:

1. Perisai bersegi lima, mengandung arti keberanian dan ketangguhan/kokoh mempertahankan nilai prinsip/filosofi, citra, identitas, dan kehormatan.

2. Warna putih, warna putih diantara garis hitam membentuk batas pinggir perisai mempunyai makna dua sisi kehidupan, dunia dan akhirat yang sejajar.

3. Tulisan LAMPUNG TIMUR, warna putih dengan warna dasar merah, mengandung makna bahwa masyarakat Lampung Timur selalu berani membela kebenaran, guna tercapainya kehidupan yang suci. Warna hijau terang mengandung makna kemakmuran. Warna kuning mengandung makna keagungan. Warna hitam mengandung makna tanah yang subur dan kokoh. Apabila makna-makna tersebut disatukan akan menggambarkan bahwa daerah Lampung Timur memiliki tanah yang subur untuk ditanami bebagai tanaman yang dapat menciptakan kemakmuran demi tercapainya perekonomian yang agung.

4. Payung Agung, payung agung warna putih menancap hingga ke atas permukaan laut mengandung makna bahwa seluruh kehidupan selalu dipayungi, diayomi, dan dilindungi dari segala macam bentuk kezaliman dan kebathilan. Perisai 5, merupakan lima sila dari Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Lima nilai/filosofi adat masyarakat Lampung Timur yakni piil pasenggiri, sakai sambayan, nemui nyimah, nengah nyappur, bejuluk beadek. Tujuhbelas (17) jurai, 17 merupakan tanggal Proklamasi Kemerdekaan RI.

5. Kopiah Emas, merupakan pakaian kebesaran anak-anak raja di Lampung Timur. Ornamen kalpataru melambangkan pelestarian lingkungan hidup, keseimbangan antara manusia dengan alam sekitarnya.

6. Dua (2) Senjata Punduk, 2 senjata punduk bersarung warna coklat yang berada di belakang kopiah emas dengan posisi bersilang dan gagang punduk berada di atas merupakan senjata pusaka masyarakat Lampung Timur yang cinta perdamaian.

7. Pepadun 2 (dua) tatah, pepadun warna coklat 2 tatah dengan kaki berbentuk seni kaki harimau merupakan tempat duduk raja untuk bermusyawarah.

8. Air berwarna biru laut, air biru laut dengan 5 gelombang, air biru laut melambangkan wilayah laut yang luas dan kaya sebagai sumber kesejahteraan bersama, 5 gelombang melambangkan lima aliran sungai besar yang mengaliri wilayah Lampung Timur yaitu Way Sekampung, Way Batanghari, Way Pegadungan, Way Curup, dan Way Jepara.

9. Roda Besi 5 Gerigi, mengandung makna bahwa masyarakat Lampung Timur selalu siap membangun daerahnya dengan ilmu, teknologi, dan industri yang tetap dalam koridor-koridor Pancasila.

10. Aksara Lampung Timur, berbunyi Bumei Tuah Bepadan ditonjolkan sebagai lambang kekayaan budaya Lampung sekaligus tekad untuk terus melestarikannya dan mengembangkan.

11. Setangkai Padi, setangkai padi kuning emas berjumlah 45 butir merupakan lambang tahun Proklamasi RI.

12. Setangkai Lada, dengan 9 tangkai lada merah matang masing-masing tangkai dengan 9 butir lada serta 27 daun yang terbagi dalam 4 kelompok daun, melambangkan kelahiran Kabupaten Lampung Timur tanggal 27 April 1999.

13. Tali delapan ikat, jumlah delapan merupakan lambang bulan Agustus sebagai bulan Proklamasi Kemerdekaan RI.

Pita Putih bertuliskan huruf latin: BUMEI TUWAH BEPADAN, mengandung arti bahwa daerah Lampung Timur merupakan daerah yang selalu memberikan kemakmuran bagi masyarakat apabila segala keputusan diambil melalui cara musyawarah untuk mufakat. Apabila nomor 11, 12, dan 13 digabungkan akan mendapatkan makna bahwa daerah Lampung Timur merupakan daerah lumbung pangan sekaligus daerah penghasil lada hitam yang dikenal dengan istilah Lampung Black Pepper, sedangkan ikatannya menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat pribumi maupun pendatang hidup dalam suatu ikatan untuk mencapai kemakmuran dan kedamaian.

Pemerintah Kabupaten Lampung Timur dalam rangka menjalankan roda pemerintahan serta dalam rangka pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat, sumber daya manusia (SDM) dengan status pegawai negeri sipil (PNS) yang ada sampai dengan tahun 2002 berjumlah 8.636 orang. Adapun perincian berdasarkan pendidikan adalah sebagai berikut: pendidikan SD (246 orang), SLTP (199 orang), SLTA (3.112 orang), D1/Akta I (121 orang), D2/Akta II (2.796 orang), D3/Akta III (351 orang), S1/D4 (1.779 orang), S2 (32 orang).

Karakteristik Ekonomi
Kabupaten Lampung Timur yang mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian di sektor pertanian dan perkebunan karena memang tanah di daerah ini sangat mendukung (subur) untuk berbagai jenis tanaman. Belum lagi dari sektor kehutanan yang memberikan kontribusi sngat besar dalam kehidupan perekonomian daerah ini. Luas lahan sawah yang ada di daerah Kabupaten Lampung Timur berdasarkan jenis pengairan sampai dengan tahun 2002. Lahan dengan pengairan teknis ditanami padi dalam satu tahun sekali ada 4.008 hektar, sedangkan yang ditanami dua kali atau lebih ada 22.924 hektar. Pengairan setengah teknis ditanami setahun sekali ada 213 hektar, sedangkan yang ditanami dua kali atau lebih ada 1.004 hektar. Pengairan sederhana PU yang ditanami sekali dalam setahun ada 1.539 hektar, sedangkan yang ditanami dua kali atau lebih ada 2.012 hektar. Pengairan non PU yang ditanami sekali dalam setahun ada 152 hektar, sedangkan yang ditanami dua kali atau lebih dalam setahun ada1.072 hektar. Sawah tadah hujan yang ditanami sekali dalam setahun ada 10.148 hektar, sedangkan yang ditanami dua kali atau lebih ada 3.919 hektar. Sawah pasang surut yang ditanami setahun sekali ada 60 hektar, sedangkan yang ditanami dua kali atau lebih dalam setahun ada 130 hektar. Lebak, folder, dan lainnya yang ditanami setahun sekali ada 1.346 hektar, sedangkan yang ditanami dua kali dalam setahun ada 2.460 hektar. Sementara itu luas panen padi dan palawija pada tahun 2002 adalah sebagai berikut: padi sawah (73.932 hektar dengan hasil 325.523 ton), padi ladang (5.510 hektar dengan hasil 15.169 ton), padi sawah dan ladang (79.442 hektar dengan hasil 340.692 ton), jagung (105.016 hektar dengan hasil 323.407 ton), kedelai (478 hektar dengan hasil 485 ton), kacang tanah (920 hektar dengan hasil 1.042 ton), ubi kayu (32.353 hektar dengan hasil 378.401 ton), ketela rambat (530 hektar dengan hasil 5.134 ton), kacang hijau (960 hektar dengan hasil 846 ton). Sementara itu untuk jenis sayuran terdapat beberapa jenis sayuran sebagai berikut: bawang merah (2 hektar dengan hasil 60 ton), petsai/sawi (24 hektar dengan hasil 206 ton), kacang panjang (536 hektar dengan hasil 11.787 ton), cabe (276 hektar dengan hasil 4.460 ton), tomat (159 hektar dengan hasil 3.481 ton), terung (463 hektar dengan hasil 15.729 ton), buncis (20 hektar dengan hasil 381 ton), ketimun (277 hektar dengan hasil 6.442 ton), kangkung (143 hektar dengan hasil 1.895 ton), bayam (277 hektar dengan hasil 4.589 ton), semangka (125 hektar dengan hasil 24.370 ton). Kemudian perihal peralatan pertanian yang dipergunakan antara lain traktor roda 2 (590 buah/unit), traktor roda 4 (27 buah/unit), mesin pemberantas hama antara lain head sprayer (18.236 buah/unit), knap sock motor (620 buah/unit), power sprayer (5 buah/unit), emposan tikus (1.299 buah/unit). Sedangkan peralatan pengolahan pasca panen antara lain: perontok padi (3.076 buah/unit), pengering padi (11 buah/unit), pembersih gabah (56 buah/unit), penyosoh beras (10 buah/unit), penggiling padi besar (10 buah/unit), penggiling padi kecil (196 buah/unit), rice milling unit (361 buah/unit), pompa air (397 buah/unit). Kemudian untuk jenis tanaman perkebunan terdapat beberapa jenis antara lain: aren (6 hektar dengan hasil 1,62 ton), cabe Jawa (613 hektar dengan hasil 153,56 ton), cengkeh (129 hektar dengan hasil 9,40 ton), kakao (5.679 hektar dengan hasil 3.621 ton), kapuk (195 hektar dengan hasil 24,65 ton), karet (249 hektar dengan hasil 4 ton), kelapa dalam (26.355 hektar dengan hasil 34.981,07 ton), kelapa hibrida (286 hektar dengan hasil 191,50 ton), kelapa sawit (602 hektar dengan hasil 205,40 ton), kopi robusta (1.468 hektar dengan hasil 1.228,85 ton), lada (9.325 hektar dengan hasil 5.772,83 ton), pinang (4 hektar dengan hasil 0,87 ton), vanili (150 hektar dengan hasil 21,67 ton), jahe (48 hektar dengan hasil 166,10 ton), kencur (28 hektar dengan hasil 144,93 ton), kunyit (86 hektar dengan hasil 258,05 ton), lengkuas (107 hektar dengan hasil 515,80 ton).

Kawasan hutan yang ada di wilayah Kabupaten Lampung Timur ada lima lokasi yakni: Gunung Balak dengan luas lahan sebagai kawasan hutan lindung 22.292,50 hektar, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 72/KPTS-II/2000, nomor register 38. Way Kambas sebagai kawasan hutan suaka margasatwa dengan luas lahan 125.621,30 hektar, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 670/KPTS-II/1999, nomor register 9. Muara Sekampung sebagai kawasan hutan produksi dengan luas 1.488,36 hektar, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 256/KPTS-II/2000, nomor register 15. Way Kibang sebagai kawasan hutan produksi dengan luas 6.538,00 hektar, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 256/KPTS-II/2000, nomor register 37. Gedung Wani sebagai kawasan hutan produksi dengan luas 6.637,00 hektar, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 256/KPTS-II/2000, nomor register 40. Sementara itu hasil produksi kayu rakyat sampai dengan tahun 2002 adalah sebagai berikut: bulan Januari untuk jenis kayu Bayur sebanyak 647,93 m³, kayu Jati 1.296,78 m³. Bulan Pebruari, kayu Bayur (149,89 m³), kayu Jati (897,25 m³). Bulan Maret, kayu Jati (747,42 m³). Bulan April, kayu Damar (49,91 m³), kayu Jati (941,97 m³). Bulan Mei, kayu Damar (70,19 m³), kayu Jati (704,34 m³). Bulan Juni, kayu Bayur (383,73 m³), kayu Jati (1.001,87 m³). Bulan Juli, kayu Bayur (29,06 m³), kayu Jati (646,45 m³). Bulan Agustus, kayu Bayur (65,42 m³), kayu Jati (751,91 m³). Bulan September, kayu Bayur (50,36 m³), kayu Jati (862,36 m³). Bulan Oktober, kayu Bayur (26,55 m³), kayu Jati (706,88 m³). Bulan Nopember, kayu Bayur (46,89 m³), kayu Jati (635,64 m³). Bulan Desember, kayu Bayur (24,08 m³), kayu Jati 405,14 m³). Semua potensi alam tersebut belum sepenuhnya bisa dinikmati masyarakat di daerah ini, hal ini terlihat dari banyaknya orang luar yang mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) yang ada tanpa memperdulikan masyarakat setempat. Apabila dilihat dari potensi SDA yang begitu melimpah, maka secara logika masyarakat setempat akan hidup sejahtera, namun kenyataan bicara lain.

Sebagian besar penduduk di wilayah Kabupaten Lampung Timur menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan perkebunan (lebih dari 80%), sisanya bekerja di sektor jasa, pemerintahan, industri, TNI/Polri, dan perdagangan. Apabila dilihat secara jeli prospek perkembangan di dunia usaha sangat menjanjikan, namun sayangnya investor masih banyak yang ragu-ragu untuk menanamkan modalnya di sini. Hal ini juga dikarenakan karena Kabupaten Lampung Timur masih berusia sangat muda, baru berdiri sekitar empat tahun yang lalu, sehingga masih diperlukan perjuangan yang sangat keras, perlu kerja keras guna terus meningkatkan pembangunan.

Karakteristik Sosial/Budaya
Terbentuknya kesatuan hidup masyarakat Lampung di daerah Sukadana pada umumnya didasarkan pada kesamaan sumber mata pencaharian, baik dalam mengusahakan ladang, kebun maupun menangkap ikan. Oleh karena adanya ikatan kekerabatan adat kampung, maka lambat laun mereka mempertahankan ikatan adat, baik karena hubungan ikatan pertalian darah maupun karena perkawinan.

Secara umum masyarakat adat Lampung Timur adalah masyarakat adat pepadun, yang terkenal dengan istilah Abung Siwo Mego dan Pubian Telu Suku, kalaupun ada masyarakat adat peminggir hanya beberapa desa/kampung saja. Upacara-upacara adat pada umumnya nampak atau terlihat pada acara-acara perkawinan atau pernikahan, di mana perkawinan/pernikahan tersebut dilakukan menurut tata cara adat tradisional disamping kewajiban memenuhi hukum Agama Islam.

Tata cara dan upacara perkawinan adat pepadun pada umumnya menurut garis keturunan patrilineal dari adanya jujur yakni berupa pemberian sejumlah uang dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak mempelai wanita, dan adanya sesan yakni berupa alat-alat rumah tangga komplit sebagai bawaan mempelai perempuan untuk menuju hidup baru bersama suaminya. Sesan tersebut akan diserahkan pihak keluarga mempelai wanita kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada saat upacara perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan formal (secara adat) mempelai wanita dari keluarganya kepada pihak keluarga mempelai pria. Dengan demikian secara hukum adat maka putus pula hubungan secara adat (bukan secara kekeluargaan) antara mempelai wanita dari adat keluarganya. Upacara perkawinan adat pepadun bisa berupa upacara adat besar (gawei besar ibal serbou, bumbang aji, intar wawai, dan sebumbang, bisa pula berupa gawei kecil. Prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan suatu corak keaslian yang khas dalam hubungan sosial antarmasyarakat Lampung yang disimpulkan dalam 5 prinsip yakni:

1. Piil Pesenggiri, berasal dari bahasa Arab fiil yang berarti perilaku, dan pesenggiri maksudnya keharusan bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, serta tahu kewajiban. Pada filsafat piil tampak nilai-nilai yang tersirat begitu luhur seperti tercantum dalam kitab hukum adat Kuntara Abung dan Kuntara Raja Niti, kedua kitab tersebut banyak berisi aturan perikelakuan seseorang, cara berpakaian, aturan perkawinan, serta hukum pidana adat dan hukum perdata adat.

2. Sakai Sambayan, mengandung makna dan pengertian yang luas, termasuk diantaranya tolong menolong, bahu membahu, dan saling memberikan sesuatu kepada pihak lain yang memerlukan dalam hal ini tidak terbatas pada sesuatu yang sifatnya materi saja, tetapi juga dalam arti moral termasuk sumbangan tenaga, pemikiran, dan lain sebagainya.

3. Nemui Nyimah, berarti bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak baik terhadap orang dalam satu klan maupun di luar klan dan juga terhadap siapa saja yang berhubungan dengan mereka. Jadi selain bermurah hati dengan memberikan sesuatu yang ada padanya kepada pihak lain, juga sopan santun dalam bertutur kata terhadap tamu mereka.

4. Nengah Nyappur, adalah tata cara pergaulan masyarakat Lampung dengan sikap membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum, agar berpengetahuan luas dan ikut berpartisipasi terhadap segala sesuatu yang sifatnya baik dalam pergaulan dan kegiatan masyarakat yang dapat membawa kemajuan dan selalu bisa menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman.

5. Bejuluk Beadek, adalah didasarkan kepada titei gemattei yang diwarisi secara turun temurun secara adat dari zaman nenek moyang dahulu, tata cara ketentuan pokok yang selalu dipakai diikuti (titei gemattei) diantaranya adalah ketentuan seseorang selain mempunyai nama juga diberi gelar sebagai panggilan terhadapnya dan bagi seseorang baik pria maupun wanita jika sudah menikah diberi adek (beadek) yang biasanya pemberian adek ini dilakukan atau dilaksanakan didalam rangkaian upacara atau waktu pelaksanaan perkawinan/pernikahan.

Bentuk kesatuan hidup (community) yang berdasarkan hidup bertetangga di kampung-kampung penduduk setempat (asli) pada umumnya didasarkan pada hubungan teritorial dan genealogis. Kerukunan kampung dibagi dalam beberapa bilik, mengikuti aliran sungai atau jalan lalu lintas umum. Beberapa bilik dapat merupakan penerus perintah kepala kampung. Kepala suku hanya merupakan penerus perintah kepala kampung, dan tidak berhak untuk mengatur hubungan kekerabatan seorang penduduk atau somah. Terbentuknya kesatuan hidup sekampung atau hidup mengelompok disebabkan karena sumber mata pencaharian yang pada mulanya sama, misalnya dalam mengusahakan ladang, kebun atau menangkap ikan. Pada mulanya mereka berbeda dalam asal-usul keturunan, tetapi kemudian bersatu karena adanya ikatan kekerabatan adat kampung. Lambat laun mereka mempertahankan ikatan adat (pepadun) itu baik karena hubungan ikatan pertalian darah maupun karena perkawinan dan adat mewari (saling mengangkat menjadi saudara).

Pimpinan kesatuan hidup tersebut terbentuk melalui proses musyawarah dan mufakat yang diketahui oleh seorang kepala keluarga dari keturunan kerabat utama, atau keturunan orang yang pertama kali mendirikan kampung (mendirikan pepadun bagi masyarakat adat pepadun). Dewan musyawarah dan mufakat tidak selamanya harus dipimpin oleh seorang ketua tetapi boleh juga dilakukan oleh juru bicara (pelaksana acara) yang bertindak atas nama ketua. Pimpinan demikian itu berlaku tidak saja di dalam musyawarah orang tua-tua kepala-kepala keluarga, tetapi juga berlaku dalam kesatuan mulei menganai (bujang gadis) dalam acara. Hubungan kemasyarakatan antara anggota yang satu dan anggota yang lain didasarkan atas kerukunan kekeluargaan, tolong menolong, dan persaudaraan. Kunjung mengunjungi, saling memperhatikan, saling memberi serta harga menghargai, merupakan inti keakraban diantara mereka. Keakraban ini akan bertambah kuat apabila mereka terikat pula oleh sesuatu tujuan mata pencaharian yang sama, baik dalam pembukaan ladang bersama, atau dalam membuka kebun untuk tanaman keras secara bersama-sama, dalam pembuatan kolam ikan dan penangkapan ikan secara bersama, serta kegiatan lainnya.

Agama

Secara umum dan sebagian besar masyarakat Lampung menganut agama Islam, namun sisa-sisa kepercayaan kepada dewa-dewa pada generasi masa lalu yang dikatakan sebagai zaman tumi, masih bisa dilihat sampai sekarang ini. Misalnya saja kepercayaan kepada Sang Hiang Sakti yang dianggap sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga ilmu-ilmu kedukunan, mantera-mantera (tetangguh), baik di darat, di laut, dan di sungai, selalu dialah yang menjadi tumpuan harapan untuk bisa memberikan berkah dan memberikan bantuan pada saat itu. Sebagai contoh mantera untuk meminta izin berburu rusa: huuuuuh (kaki kanan diangkat ke lutut kaki kiri), assalamualaikum Shang Hiang Sakti raja sang raja diwa, sakinduajipun, kilu titeh, kili gimbar, mahap seribu mahap, ampun seribu ampun, lainki sambarana, ................... dst. (huuuuh, assalamualaikum Shang Hiang Sakti, raja sang raja dewa, hamba ini, minta bantuan, minta jaya, maaf seribu kali maaf, ampun seribu ampun, bukan berarti lancang, ..................dst.). Contoh mantera tersebut di atas memperlihatkan campur baurnya antara agama Islam dengan kepercayaan kepada dewa-dewa, yakni dewa pencipta alam. Dwi (Dewi Wanita) di Lampung disebut Muli Putri atau bidadari, apabila orang menemui atau mendapatkan sumur yang jernih atau kolam yang rapi serta terurus dengan baik di dalam hutan belantara, maka sumur/kolam tersebut dikatakan sebagai Pangkalan Muli Putri, atau pemandian bidadari yang turun dari kahyangan. Demikian halnya pada waktu pagi hari di hari raya Idul Fitri, orang-orang kampung akan saling mendahului mandi di pangkalan mandi di waktu pagi-pagi buta, karena ada anggapan bahwa orang yang pertama kali tiba di pangkalan tersebut akan mencium bau wangi-wangian, sebagai pertanda para bidadari baru saja pergi setelah mandi di tempat itu. Kemudian dalam talibun (lagu-lagu) pawang sewaktu mengambil madu lebah (ngedatu) terdapat pula bait-bait talibun yang menyebut Muli Puteri (bidadari), yakni Dewi Kecantikan/Wanita.

Kepercayaan lama masih banyak mempengaruhi dan berbaur dengan agama Islam, hal ini nampak pada pelaksanaan upacara-upacara pembukaan hutan, mendiami rumah baru, upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia, dan penggunaan berbagai sesajen untuk perlengkapan upacara. Doa menurut agama Islam, namun masih saja dilengkapi dengan berbagai sesajen, dengan membakar kemenyan, dan kata pengantar untuk nenek moyang sebagai cikal bakal kampung. Juga masih adanya kepercayaan kepada Hyang Batara, Dewi Seri, Dewa-dewa masih disebut berbaur dengan doa dalam agama Islam. Pada bubungan rumah masih digantungi benda-benda yang tujuannya untuk memohon perdamaian dengan segala roh jahat, meskipun pada awal pemasangannya diawali dengan azan dan ditutup dengan doa bernafaskan Islam. Masih dipercayai adanya bantuan makhluk halus yang disebut angingonan yakni arwah nenek moyang yang menjelma menjadi macan, buaya, dan burung elang.

Masyarakat Lampung di daerah Sukadana adalah pemeluk agama Islam, disini juga ada anggapan bahwa orang Lampung identik dengan Islam, jadi menurut mereka orang Lampung pasti beragama Islam. Meskipun mereka juga tidak semuanya melaksanakan sholat lima waktu, namun hal tersebut juga banyak berlaku pada masyarakat Indonesia lainnya.

Apabila kita lihat sejarah masuknya agama Islam di daerah Lampung, dimulai di daerah pesisir dengan kedatangan Fatahilah di Keratuan Pugung (Muara Sekampung, yang sekarang menjadi salah satu kecamatan di Sukadana) pada pertengahan abad ke 15. Kemudian penyebaran agama Islam dimulai dari Keratuan Darah Putih, mulai dari pesisir Rajabasa (Kalianda) sampai pesisir Semangka (Kota Agung). Bersamaan dengan itu nampaknya di Tulangbawang sudah ada yang beragama Islam, terutama para pedagang yang masuk di pelabuhan Tulangbawang (Menggala). Ada kemungkinan agama Islam dibawa masuk di Menggala oleh Minak Sengaji dari Buwei Bulan dalam abad 16, sezaman dengan penyebaran agama Islam oleh Maulana Hasanudin (tahun 1550 sampai dengan tahun 1570). Sedangkan masuknya agama Islam secara intensif di pedalaman Abung baru terjadi pada awal abad 16 di masa kekuasaan Sultan Abdulkadir (tahun 1596 sampai dengan tahun 1651), setelah untuk pertama kalinya orang Belanda (Cornelis de Houtman) berlabuh di pelabuhan Banten (tahun 1596).

Menurut ceritera rakyat Abung Minak Trio Disou (Unyai) anak penyimbang dari Minak Paduka Baginda (Minak Padukou Begeduh) beristri dua, yakni Minak Majeu Lemaweng dari Keratuan Pugung dan Minak Munggah di Abung dari Selebu (Selebar) Pagaruyung (yang dimaksud adalah Bengkulu). Oleh karena istri yang pertama tidak mempunyai keturunan, maka keturunan unyai digantikan (tegak tegi) anak istri kedua yakni Minak Penatih Tuhou. Adiknya adalah Minak Semelasen menurunkan Minak Paduka, sedangkan Minak Ghuti Selangu menurunkan Pangeran Makdum dan Tuan Makdum. Sebagaimana diceriterakan bahwa Minak Semelasen melakukan seba (menghadap) ke Banten pada umur 90 tahun, selain untuk berobat karena sudah tua tidak mempunyai anak, ia juga belajar agama Islam. Kemudian ia kembali ke Lampung, dikarenakan istrinya telah disemalang (dikawini) adiknya, maka ia singgah di Karta (Buwai Bulan) dan kawin dengan puteri dari Minak Suttan. Dari perkawinan ini lahir puteranya bernama Tunggal Minak Paduka, yang kemudian mendirikan Kampung Bumi Agung Marga. Namun ketika wafatnya ia dimakamkan di kampung ibunya di Karta. Sesuai dengan anjuran ayahnya Minak Paduka melakukan seba ke Banten dengan Minak Kemala Bumi alias Minak Patih Pejurit dari Tegamoan Pagerdewa Menggala.

Sepulangnya Patih Pejurit ke Tulangbawang ia membawa beberapa teman dari Banten yang pandai agama untuk mengajarkan agama Islam di daerah Tulangbawang. Sehingga di sekitar Pagardewa menjadi tempat pendidikan Agama Islam, dengan demikian dapat dikatakan bahwa masuknya agama Islam secara intensif di daerah Lampung terjadi di masa kekuasaan Sultan Banten Abdul Kadir (tahun 1596 sampai dengan tahun 1651). Pada waktu itu daerah Lampung memiliki pemerintahan yang masing-masing dipegang oleh kepala adat kekerabatan, baik yang telah diangkat menjadi punggawa dari Banten maupun yang belum. Minak Paduka sepulang dari Banten segera bertemu dengan para anggota kerabatnya dari Bumiagung sampai Ulok Tigo Ngawan (di pusat kedudukan Keratuan di Puncak) untuk menyusun pemerintahan adat dan mempersatukan kembali kerabat yang sudah terpisah-pisah tempat kediamannya. Ketika itu kerabat keturunan Minak Paduka Bagindo sudah tersebar berjauhan tempat tinggalnya antara yang satu dengan yang lainnya. Kerabat Buwai Nunyai berada di daerah Way Abung dan Way Rarem, kerabat Buwai Unyi berada di daerah Way Seputih, kerabat Buwai Nuban berada di daerah Way Batanghari, kerabat Buwai Subing berada di daerah Way Pengubuwan.

Masing-masing pemimpin buwai sudah bergabung dengan buwai lain, yang dijadikan saudara angkat (mewarei), seperti Buwai Selagai dan Buwai Kunang dengan Buwai Nunyai, Buwai Anak Tuhou dan Buwai Nyerupa dengan Buwai Unyi, Buwai Beliyuk dengan Buwai Subing. Semua penyimbang dari buwai-buwai tersebut dikumpulkan Minak Paduka di Bujung Penagan (sebelah hilir Way Kunang), dan disitulah diadakan begawei (upacara adat) mepadun (membentuk musyawarah adat pepadun), yang kemudian hari disebut Abung Siwou Migou (abung sembilan marga). Ketika begawei itu hadir beberapa sumbai (wakil-wakil dari kebuwaian tetangga) diantaranya terutama dari Buwai Tegamo’an Menggala.

Musyawarah adat membentuk kesatuan adat pepadun Abung tersebut lengkap dihadiri semua pemuka adat Abung dan berbagai sumbai, seperti dikatakan dalam panggeh Abung yang berbunyi: ngemulan batin sebuwai Nunyai, mergou siwou tanjar semapuw, wuttuw gawei nguppulken sumbai, serbou cukup jeneng ratuw yang maksudnya permulaan kepemimpinan seketurunan Nunyai, sembilan marga sejajar berdampingan, ketika upacara menghimpun sumbai, serba lengkap berkedudukan ratu. Dengan demikian sejak terbentuknya kesatuan adat pepadun Abung yang bersandar pada agama Islam, maka semua penyimbang pemimpin kebuwaian duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam kerapatan adat. Tidak ada perbedaan antara saudara kandung dan saudara angkat, masing-masing berhak mengatur dan bertanggungjawab atas kesejahteraan anggota kerabat Buwai masing-masing. Mengenai hubungan keluar dengan pemerintahan Banten hubungannya dikoordinir oleh Minak Paduka selaku punggawa dari Banten. Segala sesuatunya diatur berdasarkan musyawarah, dan musyawarah penyimbang itu memegang kekuasaan tertinggi.

Terbentuknya adat pepadun ini tidak berarti bahwa unsur adat budaya Hindu dan Budha atau animisme telah hilang seluruhnya, hal ini karena struktur masyarakat, sistem kekerabatan, alat perlengkapan adat masih bercorak Hindu maupun Budha dari masa berkuasanya kerajaan Sriwijaya. Namun ajaran agama Islam sudah diterapkan, hal tersebut terlihat bahwa setiap anggota masyarakat adat harus beragama Islam, harus pandai mengucapkan dua kalimat sahadat serta diajarkan mengaji dan belajar Al Qur’an. Bahkan agama Islam tersebut dinyatakan sebagai agama masyarakat adat, dan barang siapa tidak memeluk agama Islam maka ia dapat dikeluarkan dari kemasyarakatan adat pepadun. Demikianlah berdirinya adat pepadun yang bersandarkan kepada agama Islam, atas jasa Minak Paduka pada masa abad ke 17, dan masa tersebut dapat dianggap bahwa seluruh daerah di Lampung telah menganut agama Islam. Meskipun dalam menganut agama Islam tersebut belum bisa dianggap mendalam dalam melaksanakan perintah agama, dan sampai saat ini pun hal tersebut juga masih banyak kita temui dalam kehidupan masyarakat.

Berkurangnya Peranan Penyimbang pada Masyarakat Tradisional Lampung
3.1 Gambaran Umum Kebudayaan Orang/Masyarakat Lampung
Menurut ceritera rakyat yang ada dan hidup dalam masyarakat Lampung, mereka mempunyai asal-usul dari lereng selatan Gunung Pesagi (yang mempunyai ketinggian 2.262 meter dpl), yang oleh orang juga disebut sebagai daerah Sekala Begrak, yang saat ini merupakan daerah kecamatan Belalau (kenali) di daerah tingkat II atau Kabupaten Lampung Utara bagian barat. Diperkirakan diantara nenek moyang mereka meninggalkan daerah asalnya sekitar akhir abad 14 dan permulaan abad 15. ketika untuk pertama kalinya Fatahilah (Sunan Gunung Jati) mendirikan pemerintahan Islam di Banten (tahun 1530), dan memasuki daerah Lampung di Pugung (Kecamatan Jabung sekarang) serta menundukkan Ratu Pugung agar meninggalkan agama Hindu dan memeluk agama Islam. Daerah Lampung pada waktu itu sudah terbagi dalam beberapa wilayah keratuan (persekutuan hukum adat) yang terdiri dari:

Keratuan di Puncak yang menguasai tanah Abung dan Tulangbawang.
Keratuan Pemanggilan yang menguasai wilayah tanah Krui, Ranau, dan Komering.
Keratuan di Pugung yang menguasai wilayah tanah Pugung dan Pubiyan.
Keratuan di Balau yang menguasai wilayah tanah di sekitar Telukbetung. Kemudian di zaman kekuasaan Islam Banten, keratuan Pugung terbagi lagi wilayahnya sehingga berdiri Keratuan Maringgai (Melinting).

Keratuan Darah Putih yang menguasai wilayah tanah di sekitar pegunungan Rajabasa (Kalianda). Dari kelima keratuan adat tersebut di zaman memuncaknya pengaruh kekuasaan Islam Banten (abad 17 sampai dengan abad 18), kemudian terbentuklah susunan pemerintahan persekutuan adat berdasarkan buwai (keturunan) yang disebut paksi (kesatuan dari beberapa buwai inti) dan marga (kesatuan dari bagian buwai atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku). Kesatuan-kesatuan marga tersebut dapat dibedakan dalam beberapa perserikatan (masyarakat adat), sebagai berikut:

Marga-marga yang beradat pepadun, Abung Siwow Migou (Abung sembilan marga) yang meliputi tanah sekitar Wai Abung, Wai Rarem, Wai Terusan, Wai Pengubuwan, dan Wai Seputih. Tulangbawang Megow Pak (Tulangbawang marga empat) meliputi wilayah tanah di Wai Tulangbawang Ilir. Kedua golongan masyarakat adat ini menggunakan bahasa Lampung berdialek “nyo”

Wai Kanan Buwai Lima (lima keturunan) dan Sungkai meliputi wilayah tanah di daerah Wai Kanan (Tulangbawang Ulu), Wai Umpu, Wai Sungkal, dan Wai Besai. Pubiyan Telu Suku (Pubiyan tiga suku) meliputi wilayah tanah di daerah Wai Sekampung Tengah dan Wai Sekampung Ulu. Kedua golongan masyarakat adat ini menggunakan bahasa Lampung berdialek “api”.

Masyarakat adat setidak-tidaknya didukung oleh adanya kesatuan anggota, pimpinan kesatuan, tata tertib adat, dan harta kekayaan adat. Masyarakat adat Lampung pada umumnya tersusun berdasarkan azas kekerabatan yang ditarik menurut garis keturunan lelaki (genealogis patrilineal), dimana anak tertua laki-laki (anak penyimbang) berkedudukan sebagai anak yang bertanggungjawab meneruskan keturunan menggantikan kedudukan ayahnya. Anak laki-laki tertua merupakan kepala rumah tangga dan sekaligus sebagai kepala kerabat keturunan ayahnya. Kesatuan masyarakat adat tersebut terikat pada satu rumah tua atau rumah asal (nowou tuhou, nuwou asal) atau pada satu rumah kerabat atau rumah besar (nuwou balak) di bawah pimpinan anak penyimbang selaku penyimbang nuwou. Adapun gambaran susunan masyarakat adat adalah sebagai berikut:

Perserikatan marga prowatin gabungan

Marga prowatin penyimbang marga

Tiyuh/pekon/kampung prowatin penyimbang tiyuh

Suku (bagian kampung) prowatin penyimbang suku

Nuwou/lamban (rumah) penyimbang nuwou/balak

Dengan demikian dalam kehidupan adat orang Lampung yang penting adalah adanya rumah dan dalam setiap bangunan rumah itu harus ada anak laki-laki tertua (anak laki-laki yang dituakan atau penggantinya) yang berkedudukan sebagai penyimbang/punyimbang (pun=yang dihormati, nyimbang=yang meneruskan). Penyimbang nuwou ini berkedudukan sebagai kepala keluarganya sendiri dan sekaligus sebagai kepala kerabat seketurunan lelaki dari bapaknya. Apabila ia juga adalah anak tertua lelaki dari satu nenek moyang asal berarti ia adalah kepala rumah asal dan kepala kerabat serta kepala adat dari satu kesatuan kerabat yang berasal dari poyang (nenek moyang) asal tersebut. Betapa pentingnya bangunan rumah bagi orang Lampung, lebih-lebih bagi anak tertua laki-laki, karena rumah bukan saja berfungsi sebagai tempat berteduh atau bertempat tinggal, tempat lahir, hidup, dan mati, namun rumah adalah juga tempat para anggota keluarga/kerabat berkumpul, bermusyawarah, tempat melaksanakan upacara-upacara adat dan peradilan adat. Rumah itu merupakan piil (rasa harga diri) bagi orang Lampung, belum memiliki rumah bagi orang Lampung di masa lampau dapat dianggap belum dewasa, belum dapat bergaul dalam masyarakat adat. Oleh sebab itu setidak-tidaknya bagi satu kesatuan kerabat harus ada satu rumah sebagai tempat kesatuan kerabat tersebut.

Susunan kedudukan kepenyimbangan adat pada masyarakat adat pepadun adalah: keturunan kepenyimbangan bumi/marga, berlambang warna putih, dan bernilai 24. keturunan kepenyimbangan ratu/tiyuh, berlambang warna kuning, bernilai 12. keturunan kepenyimbangan batin/suku, berlambang warna merah, bernilai 6. keturunan beduwa (orang rendah, orang biasa) berlambangkan warna hitam, bernilai tidak tertentu atau tanpa nilai. Susunan kedudukan adat tersebut merupakan ukuran nilai untuk menentukan siapa yang berhak menjadi raja adat, menjabat jabatan di pemerintahan (di zaman Belanda) dan siapa penggantinya dan siapa pula yang belum atau tidak berhak sama sekali. Seorang pemuda yang bisa mengawini gadis yang mempunyai nilai 24, sedangkan ia sendiri bernilai 12 akan merasa bangga dan jika terjadi sebaliknya, maka hal tersebut akan membuat malu, merasa terhina.

Setelah zaman Jepang lebih-lebih setelah kemerdekaan, terjadi perubahan nilai yang cukup pesat. Kehidupan masyarakat tidak lagi diukur dengan nilai kedudukan kebangsawanan, namun mulai beralih kepada nilai-nilai kebutuhan hidup, kebutuhan sosial ekonomi yang sesuai dengan perubahan zaman. Kehidupan yang semakin sulit dewasa ini, mendorong orang untuk lebih giat berusaha, melengkapi diri dengan berbagai ketrampilan, keahlian, menuntut pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga pada akhirnya akan membuahkan hasil, baik sebagai seorang pengusaha, pedagang, pegawai di pemerintahan, wiraswastawan, dan di sektor-sektor yang lain.

Orang Lampung atau masyarakat dari suku bangsa Lampung memiliki pandangan hidup yang selain dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Islam, juga dipengaruhi oleh rasa harga diri yang dikenal dengan istilah piil pesenggiri, dengan bentuk unsur-unsurnya yang lain yakni juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan. Sehingga bisa dikatakan bahwa piil pesenggiri menunjukkan sikap watak orang Lampung yang keras kemauan dan pantang mundur dari cita-cita perjuangan yang berkaitan dengan harga diri. Piil artinya rasa malu atau rasa harga diri, sementara itu pesenggiri bermakna pantang mundur. Sikap watak piil pesenggiri ini menonjol sekali di lingkungan masyarakat Lampung beradat pepadun, sedangkan pada masyarakat pesisir sikap watak ini tidak begitu nampak, jika memang ada hal tersebut sangat terbatas di kalangan saibatin, para tua-tua adatnya. Orang Lampung yang berbudaya Lampung atau suku bangsa Lampung yang berdomisili menetap di daerah lampung, baik di kota-kota kabupaten/kotamadya, kecamatan maupun di kampung halamannya, saat ini sudah kalah banyak populasinya dengan warga pendatang (khususnya dari masyarakat Jawa). Daerah Lampung tersebut apabila dilihat berdasarkan kebudayaannya meliputi daerah Propinsi Lampung, termasuk daerah Komering sampai Kayu Agung di Sumatera Selatan, dan Desa Cikoneng di Anyer selatan Banten. Di daerah-daerah tersebut terdapat perkampungan-perkampungan orang-orang Lampung yang sebagian besar telah dikelilingi atau berdampingan dengan desa-desa transmigran. Suku bangsa Lampung mempergunakan bahasa daerah, bahkan mempunyai aksara sendiri yang pemakaiannya terbatas pada lingkungan kekerabatan orang Lampung. Bahasa Lampung dapat dibedakan dalam dua dialek pokok yakni dialek “a” atau “api” dan dialek “ow” atau “nyow”. Menurut bahasanya Orang Lampung itu dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni kelompok yang berbicara dengan dialek “api”, dan kelompok yang berbicara dengan dialek “nya”. Dari kelompok tersebut masih dapat dibagi lagi dalam berbagai dialek. Pada kelompok pertama adalah orang-orang Belalau, Peminggir di sepanjang Teluk Semangka dan Teluk Lampung, orang-orang Tulangbawang hulu, orang-orang Komering (Palembang), orang-orang Krui (Bengkulu), kelompok Melinting dan Pubiyan. Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok bahasa Pubiyan. Sedangkan pada kelompok kedua adalah orang-orang Abung dan orang-orang Tulangbawang yang masuk dalam kelompok bahasa Abung.

Apabila dilihat dari segi adat istiadatnya, orang Lampung dapat dibedakan dalam dua lingkungan adat, yaitu kelompok masyarakat yang beradat Peminggir (Saibatin) atau Pesisir dan mereka yang beradat Abung (Pepadun). Mereka yang tergolong beradat Peminggir (Saibatin) menggunakan bahasa dialek “api”, sedangkan kelompok yang beradat Abung (Pepadun) sebagian mempergunakan dialek “api” dan sebagian memakai dialek bahasa “nyow”. Agar lebih jelasnya bisa dilihat dalam diagram berikut ini:

Belalau - Krui

Semangka

Telukbetung/Kalianda Beradat Peminggir/

Melinting/Maringgai Saibatin/Pesisir




Berbahasa “api” Ranau

Komering/Kayuagung

Waykanan

Sungkai

Pubiyan Beradat Pepadun

(Abung)




Berbahasa “nyow” Abung

Tulangbawang

Diantara kedua golongan adat tersebut bisa dilihat dengan memperhatikan kekhususan atau ciri-ciri antara lain,

Masyarakat yang beradat Peminggir/Pesisir/Saibatin:

Martabat kedudukan adat tetap, tidak ada upacara peralihan adat. Jenjang kedudukan saibatin tanpa nilai, tanpa tahta pepadun. Bentuk dan sistem perkawinan dengan jujur dan semanda. Pakaian adat hanya dimiliki dan dikuasai saibatin, siger (mahkota) sebelah. Kebanggaan keturunan terbatas hanya pada kerabat saibatin. Hubungan kekerabatan kurang akrab. Belum diketahui kitab pegangan hukum adatnya. Pengaruh agama Islam lebih kuat. Peradilan adat mulai melemah (berkurang).

Masyarakat beradat Pepadun:
Martabat kedudukan adat dapat dialihkan dengan upacara cakak pepadun. Jenjang kedudukan penyimbang bernilai, menurut kedudukan pepadun. Bentuk perkawinan hanya dengan jujur, setelah perkawinan isteri ikut suami. Pakaian adat dapat dikuasai dan dimiliki oleh mereka yang telah bermartabat adat siger (mahkota) tarub. Selalu merasa bangga atas keturunan yang baik. Hubungan kekerabatan sangat akrab (usut mengusut). Kitab-kitab hukum adatnya ialah Kuntara Raja Niti, Kutara Sempurna Jaya, Kuntara Raja Asa, dan Kutara Tulanhbawang. Pengaruh adat lebih kuat dari pengaruh agama Islam. Peradilan adat masih kuat. Untuk tata pemerintahan adat masyarakat yang beradat pepadun berpedoman kepada: Kuntara Raja Niti yakni kitab undang-undang tentang tata pemerintahan dan cara memerintah. Kuntara Raja Asa yakni kitab tuntunan tentang ketekunan, kerelaan/keikhlasan dan keyakinan kepada Yang Maha Pencipta (Tuhan). Cempala Ruabalos yakni tentang hukum pidana dan pelanggaran adat. Ila-ila Pak Balos yaitu ketentuan mengenai adanya sanksi adat, yang menjatuhkan denda berlipat dua, dan berlipat empat.

Pandangan orang Lampung yang masih berpedoman pada adat, yang sekarang kadang-kadang masih nampak dalam sikap perilaku dalam pergulan sehari-hari, khususnya pada masyarakat beradat pepadun di desa-desa. Piil pesenggiri pada umumnya mempunyai kcenderungan dalam hal mempertahankan harga diri, piil ini didampingi oleh empat unsur yang lain yaitu juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambayan. Istilah piil kemungkinan berasal dari kata fiil, yang dalam bahasa Arab berarti perbuatan atau perangai, dan kata pesenggiri mungkin berasal dari Pasunggiri yang merupakan pahlawan perlawanan rakyat Bali Utara terhadap serangan pasukan Majapahit yang dipimpin Arya Damar. Sehingga kata piil pesenggiri mempunyai makna perangai yang keras, tidak gampang menyerah atau mundur terhadap tindakan yang bersifat kekerasan, terlebih-lebih berkenaan dengan tersinggungnya nama baik keturunan, kehormatan pribadi dan kerabat. Juluk adek, bagi orang Lampung baik pria ataupun wanita semenjak kecil tidak hanya diberikan nama yang baik saja, namun juga diberikan juluk yakni nama panggilan (gelar kecil) oleh atau dari kakeknya. Apabila anak tersebut sudah menjadi dewasa serta telah berumahtangga, maka dia akan mempergunakan adek atau gelar tua yang diresmikan atau disahkan dengan upacara di hadapan para pemuka adat (penyimbang/tua-tua adat). Pada umumnya ketika upacara pemberian gelar tersebut diumumkan juga amai (panggilan kerabat bagi pria) dan inai (panggilan kerabat bagi wanita), disamping gelar-gelar dari pihak mertua sehingga satu orang memiliki berbagai nama serta panggilan. Gelar atau panggilan tersebut ada hubungannya dengan posisi/kedudukan serta pembagian kerja dalam kekerabatan. Sebagai contoh seorang bernama Sarbini, mempunyai juluk Ratu Gusti, memiliki adek Pangeran Ratu Gusti, dan mempunyai amai bernama Amai Pangeran, untuk untuk kaum pria. Sedangkan untuk kaum wanitanya sebagai contoh seorang bernama Syarifah, mempunyai juluk Ratu Pengatur, mempunyai adek Minak Ratu Pengatur, dan memiliki inai bernama Inai Ratu. Bagi mereka yang berkedudukan tinggi (sebagai bangsawan), untuk meresmikan nama atau gelar tersebut tidak banyak diperlukan beaya, lain halnya dengan mereka yang ingin mendapatkan legitimasi atau pengakuan (pengesahan) agar memiliki kedudukan yang sama dan bergelar tinggi namun kedudukannya sebagai rakyat biasa (rendah), mereka ini harus mengeluarkan beaya yang sangat tinggi (besar) untuk keperluan upacara adat. Memiliki suatu gelar yang tinggi dan berkedudukan adat yang tinggi serta sama dengan kedudukan adat yang lain, mereka akan merasakan suatu kebanggaan, bangga terhadap kemampuna keturunan dan kerabatnya. Mereka tidak ingin mendapatkan suatu cemoohan, dicela karena memiliki keturunan yang dikatakan sebagai keturunan beduwou (budak). Nemui nyimah, orang Lampung suka nemui yakni menerima kedatangan tamu atau bertamu pada orang lain, juga suka nyimah yakni memberi sesuatu (bingkisan) pada tamunya atau anggota kerabat-kerabatnya, sebagai tanda keakraban, sebagai teman baik. Mereka juga cepat percaya kepada pihak lain, meskipun tamu tersebut baru saja dikenalnya. Telah menjadi suatu kebiasaan bagi orang Lampung yang suka memberikan bantuan, layanan semenjak bujang atau gadis, suka memberi atau mengirim (saling kirim) setelah dewasa dan telah berumahtangga. Nengah nyappur, kelanjutan dari orang Lampung yang suka memberi dan menerima tersebut, maka ia juga terbiasa nengah yakni ke tengah dalam arti bergaul, dan terbiasa nyappur yakni bercampur, berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang dianggapnya sejajar dengan kedudukan adatnya atau yang lebih tinggi. Sesakai sesambayan, adalah suatu kegiatan atau aktivitas sosial, kerjasama antara satu orang dengan yang lainnya, sesakai adalah tolong menolong dan sesambayan adalah bergotong-royong beramai-ramai dalam mengerjakan suatu pekerjaan (membangun rumah, mengerjakan/membuka kebun (ladang), memperbaiki jalan desa, dan sebagainya. Bantuan dapat berupa tenaga, pikiran, maupun dana (materi). Kegiatan sesakai sesambayan (sakai sambayan) biasanya dilakukan dalam usaha beladang (berkebun), dalam acara perkawinan, memperbaiki kedudukan adat, membangun rumah bersama (balai adat), memperbaiki masjid, dan lain-lain. Sifat watak yang dikemukakan di atas merupakan kunci dalam menghadapi pribadi dan masyarakat Lampung, orang Lampung mengatakan ulah piil jadei wawai, ulah piil menguwai jahel (karena piil menjadi baik, karena piil membuat jahat). Apabila sesuatu hal dilaksanakan dengan baik, melalui jalan yang baik, maka pendatang yang meminta tanah pun akan diberikan dengan mudah serta penuh keikhlasan. Namun kalau caranya tidak secara baik-baik, maka demi sejengkal tanah mereka akan mempertahankan mati-matian, tidak akan menyerah begitu saja. Adapun yang dikatakan sebagai penyelesaian yang baik adalah cara penyelesaian yang diterima oleh semua pemuka adat kampung, baik dari kepenyimbangan suku, tiyuh atau bumi, dan tua-tua masyarakat yang berpengaruh dan berasal dari persekutuan hukum adat yang bersangkutan.

Perihal lingkungan masyarakat Lampung agaknya lebih sesuai dipergunakan istilah pengelompokan berdasarkan adat, daripada dipergunakan istilah perkumpulan. Hal ini disebabkan karena baik menurut adat istiadat Peminggir maupun Pepadun, pengelompokan yang merupakan perkumpulan bersifat tradisional, dilihat dari kedudukan tugas serta kewajiban mereka masing-masing. Dasar-dasar pengelompokan terletak pada kedudukan seseorang di dalam adat, dalam hal ini dapat dibedakan antara kerabat wanita, juga antara yang sudah berkeluarga dan yang belum berkeluarga. Adapun pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut:

Tuha Raja (Tohou Rajau), adalah pihak-pihak yang berhak dan berkewajiban mengatur serta melaksanakan adat atas dasar musyawarah dan mufakat tersebut antara lain adalah kelompok tua-tua penyimbang, para pemuka adat, marga, tiyuh, suku. Kelompok ini disebut Tuha Raja (Tohou Rajau) atau kelompok perwatin. Anggota-anggota tua-tua adat harus terdiri dari orang yang berkedudukan di dalam adat, menurut tingkat kekerabatannya masing-masing dan sekurang-kurangnya sudah menjadi kepala keluarga.

Bebai Mirul, adalah kelompok para istri penyimbang dan kaum ibu yang berhak dan berkewajiban mengatur kaum wanita menurut jenjang kedudukan suami masing-masing. Dalam upacara adat, para mirul adalah semua wanita yang telah bersuami dengan perkawinan pembayaran jujur, berkewajiban bekerja di dapur untuk mempersiapkan makanan. Pada pekerjaan yang berat ia dibantu oleh suami-suami yang disebut mengiyan. Batas kedudukan antara para ibu/isteri penyimbang dengan ibu-ibu mirul di dalam rumah besar adalah ruang tengah. Para ibu penyimbang duduk dan berbicara di ruang tengah, sedangkan para mirul di belakang sampai ke dapur.

Lakau Mengiyan, lakau adalah ipar laki-laki (saudara isteri), sedangkan mengiyan adalah para suami dan saudara wanita. Kelompok ini berkewajiban mempersiapkan alat-alat perlengkapan adat, mengatur undangan dan membantu pekerjaan berat di dapur seperti menimba air, membelah kayu, memasak, dan kegiatan lainnya. Di tempat mertua lebih besar tanggungjawabnya daripada lakau, karena lakau hanya sekedar membantu dan harus dihormati. Mengiyan harus mendampingi mempelai pria, sedangkan lakau tidak diwajibkan. Sebaliknya mempelai wanita harus didampingi oleh mirul, selama mereka ikut serta melaksanakan upacara adat.

Adik Warei, kelompok ini adalah adik-adik kandung yang dihitung menurut garis laki-laki merupakan kelompok yang bertanggungjawab penuh terhadap anak kemenakan. Dalam pelaksanaan upacara adat untuk kepentingan anak kemenakan (peningkatan kedudukan, perkawinan, dan lain-lain), kelompok ini disamping kelompok apak kemaman, berhak serta berkewajiban mengurus dan membela kepentingan anak kemenakan mereka dari pihak lain. Anggota adik warei dapat menjadi pengganti atau penerus keturunan saudaranya yang seketurunan (mupus). Selain itu jika saudara laki-laki meninggal, maka jandanya dapat dikawini (disemalang/kawin anggau) oleh adik warei ini.

Apak Kemaman, kelompok ini merupakan suatu kelompok bapak dan paman yang dihitung berdasarkan garis hubungan kekerabatan dengan ayah, yakni kelompok yang bertanggungjawab atas baik buruknya kehidupan anak kemenakan, disamping adik warei. Selama apak kemaman masih ada, maka adik warei harus menjadi pembantu pelaksana dari tugas yang dibebankan oleh apak kemaman. Kelompok ini merupakan kelompok pemuka adat yang diutamakan, disamping kelompok adik warei.

Labuw Kelamou, kelompok ini sering disebut sebagai lebu kelama, yakni kelompok saudara-saudara laki-laki dari ibu ayah (lebuw) dan sudara-saudara laki-laki ibu (kelampou). Dalam upacara adat, kelompok ini merupakan badan penasehat yang mempunyai kedudukan terhormat, namun tidak mempunyai hak suara yang menentukan untuk pengambilan suatu keputusan.

Kenubi (nubei) Benulung, yang masuk dalam kenubi (nubei) ini adalah anak-anak baik pria maupun wanita yang ibunya saudara (bersaudara), sedangkan binulung atau menulung adalah anak-anak, baik pria maupun wanita dari saudara perempuan ayah. Mereka merupakan kelompok pembantu yang tidak mempunyai hak mengatur dalam upacara adat. Mereka hanya boleh bertindak sebagai pendamping dalam melaksanakan upacara adat dan setiap sikap atau tindakan mereka berdasarkan izin dari pihak apak kemaman dan atau adik warei. Peran serta mereka dalam aktivitas yang bersifat gotong-royong, menolong diantara kerabat, tergantung pada jauh dekatnya hubungan sehari-hari diantara mereka. Menurut garis adat sesungguhnya adalah menjadi kewajiban binulung untuk membela kelama dan bukan sebaliknya.

Muli Mekhanai (muli meranai), terdiri dari anggota-anggota yang masih bujangan dan gadis, dimana peranan mereka di dalam upacara adat mempunyai bidang tersendiri. Mereka adalah pembantu-pembantu umum dan berkewajiban memeriahkan upacara adat menurut tatacara tradisional. Sebagai contoh adalah melaksanakan jaga damar, yakni pertemuan antara bujang dan gadis beramai-ramai di malam hari, melaksanakan seni tari dan seni suara serta kegiatan yang lain., disamping melaksanakan tugas-tugas membantu mempersiapkan peralatan dan alat-alat lainnya.

Bebai Sanak, terdiri dari para wanita yang telah bersuami dan anak-anak. Termasuk dalam pengertian anak-anak adalah juga mulei menganai. Anggota-anggota kerabat yang berkedudukan bebai sanak dimaksudkan untuk membedakan dengan kedudukan tuha raja, oleh karena itu kelompok yang tergolong bebai sanak tidak mempunyai hak suara dalam mengambil sesuatu keputusan adat. Pendapat dan nasehat mereka dapat didengar, namun tidak dapat dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan yang dianggap sangat menentukan. Tempat kedudukan mereka dalam tata tertib adat istiadat adalah di dalam rumah, di ruang dapur dan halaman. Mereka tidak dapat duduk dalam sidang perwatin, lebih-lebih dalam sesat (balai adat).

Kelompok-kelompok kekerabatan berdasarkan adat tersebut semuanya tunduk pada pimpinan penyimbangnya masing-masing. Adanya kelompok-kelompok ini merupakan bagian yang tetap yang berpengaruh pada kelancaran pelaksanaan upacara adat. Sementara itu apabila dilihat dari stratifikasi sosial masyarakat tradisional Lampung, dapat dibedkan atas dasar prinsip umur, kepenyimbangan, dan keaslian, disamping kedudukan di dalam kerabat. Adapun hal tersebut adalah sebagai berikut:

Kriteria umur, ini nampak dalam pergaulan sehari-hari dan dalam pelaksanaan upacara adat. Kelompok orang tua-tua bertindak sebagai pemikir, perencana, pengatur, penimbang, dan pemutus suatu masalah. Kelompok yang muda terdiri dari kepala-kepala keluarga yang masih muda merupakan pendamping atau pembantu kelompok para orang tua tadi. Mereka adalah pelaksana atau juru bicara didalam acara perundingan adat dan sebagai pelaksana dari permusyawaratan. Selanjutnya menyusul kelompok para pemuda (menganai) yang bertugas sebagai tenaga kerja dalam memulai serta mengakhiri perhelatan adat. Didalam permusyawaratan adat kelompok pemuda ini pada dasarnya belum masuk dalm hitungan.

Kriteria Kepenyimbangan, hal ini menunjuk kepada kedudukan seseorang sebagai pemuka adat disamping laki-laki anak tertua menurut urutan ukuran tingkat garis keturunan masing-masing atau dapat pula diukur dari kedudukan seseorang dalam pepadun (kepemimpinan adat musyawarah kkerabatan masing-masing). Dalam lingkungan masyarakat eppadun hingga saat ini masih nampak pengaruh kepenyimbangan yang dapat dibedakan sebagai berikut: kedudukan pepadun marga dimana penyimbangnya berhak memakai nilai 24 berlambang warna putih, kedudukan pepadun tiyuh dimana penyimbangnya berhak memakai nilai 12 berlambang warna kuning, kedudukan pepadun suku dimana penyimbangnya berhak memakai nilai 6 berlambang warna merah. Diluar golongan penyimbang (golongan bangsawan) terdapat orang-orang yang tidak termasuk didalamnya, yakni orang-orang nuppang di luar pepadun (menumpang). Mereka berkedudukan sebagai golongan atau keturunan para pengabdi (beduwou, beduwa), yang tidak mempunyai hak-hak adat dan kewajiban adat serta disebut tidak mempunyai nilai adat, karena tidak tentu asal-usul keturunannya.

Prinsip Keaslian, ini menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong buway (keturunan inti), pendiri kampung asal atau juga sebagai pendiri pepadun asal. Golongan ini merupakan golongan bangsawan asal yang mempunyai hak utama secara turun temurun dari leluhur mereka. Hal ini biasanya ditandai dengan adanya kepemilikan atas barang-barang pusaka tua dan tanah kerabat. Disamping mereka terdapat pula golongan asal pendatang, yang kemudian karena kemampuannya dapat mendirikan pepadun dan dasar pengakuan golongan asli dan para para penyimbang sumbay (tetangga) dari kampung-kampung lainnya. Hubungan antara yang asal dan asal pendatang demikian akrab karena adanya adat mewari dan adat perkawinan diantara mereka.

Pada masyarakat adat pepadun golongan yang lebih rendah nilainya ataupun yang tidak bernilai sama sekali, dapat saja meningkatkan diri dan kerabatnya menjadi bernilai, dengan syarat telah mendapat persetujuan dari golongan yang lebih tinggi dan memenuhi pembayaran serta upacara adat. Dengan demikian secara berangsur-angsur setiap kerabat yang beradat pepadun yang mampu menyelenggarakan upacara adat, dapat menjadikan dirinya bernilai 24 dengan mempunyai perlengkapan serta kehormatan adat sendiri, tidak lagi tergantung pada kerabat asalnya. Sedangkan untuk saat ini nampaknya stratifikasi sosial pada masyarakat Lampung khususnya yang berkaitan dengan kedudukan adat, profesi serta prinsip keaslian sudah mengalami perubahan. Golongan-golongan dalam masyarakat di Lampung sekarang ini lebih memiliki kecenderungan berdasarkan pada wibawa, penyimbang, orang kaya, kaum cendekiawan, tabib (orang-orang profesional), kaum perantau dan pendatang. Apabila dilihat dari sudut kewibawaan, pada hakekatnya kelompok ini (para ulama) mempunyai kewibawaan, karena merupakan pemimpin agama, pemimpin madrasah/masjid, sebagai imam, khatib. Kegiatan mereka cukup dapat memberikan bantuan dalam kelancaran tata kehidupan pada masyarakat di kampung. Fatwa mereka sangat dijunjung tinggi, bahkan sering dijadikan sebagai argumen dalam suatu musyawarah adat/kampung. Sedangkan kelompok penyimbang dalam masyarakat adat dalam kegiatan yang berkaitan dengan masalah keadatan, dihargai setaraf dengan para ulama dan dihormati dalam majelis adat, yang dalam hal tertentu memang memerlukan kepenyimbangan ini, seperti untuk mengurus status pembagian tanah yang diselenggarakan dan hal yang berkaitan dengan hak waris yang telah lewat beberapa generasi, dan sebagainya.

Dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini, penyimbang yang kurang tekun bekerja dan tidak memiliki penghasilan atau tidak memiliki pekerjaan sampingan, serta jarang menjamu warga kampung akan kehilangan wibawa dan nilai pribadi. Ternyata sekarang ini banyak penyimbang yang menjadi pekerja yang dianggap kurang terpandang atau tidak sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Hal ini kemungkinan juga karena disebabkan ketertinggalan mereka dari segi pendidikan. Sebagai contoh seorang camat bisa saja diangkat dari rakyat biasa (karena pendidikannya mendukung), padahal dia adalah anak buah penyimbang di daerah tersebut, sementara itu penyimbangnya sendiri menjadi pesuruh di kantor kecamatan tersebut. Namun apabila di forum majelis adat, maka pak camat tadi sesuai dengan ketentuan adat akan bersimpuh di depan penyimbangnya.

Perihal yang berkaitan harta benda atau kekayaan bagi masyarakat Lampung pada dasarnya tidak akan mengalahkan penghargaan mereka terhadap para ulama dan para penyimbang, karena biasanya orang Lampung tidak mau menjual harga dirinya hanya untuk sekedar materi semata. Namun dalam musim-musim paceklik (masa-masa sulit dalam kehidupan) yang sering menimpa, maka orang yang berharta (kaya) yang masih mempunyai hubungan darah di kampung-kampung mempunyai peranan penting, karena mereka dijadikan sebagai tempat meminjam kebutuhan sehari-hari atau uang, yang akan dibayar/dilunasi nanti pada musim panen cengkeh/lada, dan sebagainya. Kelompok cendekiawan (orang-orang pintar dan berpendidikan) di Lampung nampak tidak begitu terasa pengaruhnya, karena para cendekiawan ini biasanya memegang suatu tugas/jabatan di dalam pemerintahan, sehingga kadang-kadang tidak berada di kampung asalnya. Suatu cara para cendekiawan ini dapat menegakkan wibawanya adalah dengan jalan bekerja sendiri dan dapat dijadikan teladan (panutan) karena keberhasilannya. Untuk kelompok tabib atau dukun di kampung biasanya cukup terpandang (dihormati) juga, karena mereka banyak memberikan bantuan atau pertolongan dan dianggap mempunyai kelebihan yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan gaib (supranatural). Namun demikian terkadang kehidupan ekonomi mereka juga nampak pas-pasan, sebab sebagian besar waktunya tersita hanya untuk menolong warga kampung yang butuh berobat, sehingga waktu untuk mencari nafkah sangat terbatas. Sedangkan para perantau orang-orang Lampung yang keluar daerah, atau dari satu daerah ke daerah lain di wilayah Lampung sendiri, juga mendapatkan tempat yang baik di kalangan masyarakat setempat. Mereka ini biasanya paling sedikit telah mempunyai kemampuan yang lebih daripada mereka yang hanya tinggal di kampung halamannya sendiri. Kemampuan menyerap cara-cara kerja di perantauan sangat memungkinkan untuk mendorong membangkitkan semangat masyarakat setempat dalam kegiatan kehidupan sehari-hari sehingga bisa lebih bervariasi. Biasanya para perantau ini dianggap mempunyai kelebihan dalam hal pengalaman hidup dibandingkan dengan orang yang hanya berada di kampung asalnya saja.

Sifat masyarakat Lampung pada dasarnya memiliki sifat sosial yang tinggi serta tidak materialistik, masyarakat tradisional Lampung bersifat kolektif patrilinial. Namun seiring dengan perkembangan zaman nampaknya sifat-sifat tersebut di atas sudah mulai memudar atau berkurang, ada kecenderungan sebagian besar orang berlomba-lomba mengejar kekayaan atau harta benda. Sehingga hal tersebut mengurangi dan merenggangkan sifat-sifat keakraban kekerabatan yang ada, dan dapat merugikan kelompok mereka sendiri. Adat kekerabatan orang Lampung berlandaskan pada pertalian darah yang berpegang pada sistem kebapakan (patrilinial), pertalian perkawinan dengan bentuk perkawinan melalui pembayaran jujur atau semanda, dan belakangan ini juga perkawinan bebas serta pertalian adat baik budi diantara tetangga teman sejawat dikarenakan hubungan akrab di berbagai bidang. Sehingga muncul pengakuan seperti anggota keluarga atau kerabat sendiri, meskipun dia adalah orang lain. Hubungan kekerabatan orang Lampung tersebut diperkuat dengan adanya sistem istilah kekerabatan,dengan sistem tutur dan panggilan, sehingga antara anggota yang satu dan yang lain saling mengenal kedudukannya sebagai anggota kerabat. Hubungan mana bersifat pendekatan kerjasama yang tradisional dan jika diperkuat dengan sistem organisasi yang modern, maka hubungan kekerabatan itu akan lebih nampak manfaatnya. Sebagai contoh hubungan adik-wari (adik beradik bersaudara), hubungan menyanak wari (keluarga luas), hubungan lebuw-kelamow (kerabat pihak ibu dan nenek), hubungan menulung-kenubei (anak-anak saudara wanita ayah dan bersaudara ibu), hubungan lakau-maru (beripar-bersaudara isteri atau suami), hubungan mirul-mengiyan (saudara wanita yang telah kawin dan suaminya), dan sebagainya termasuk hubungan bersaudara mewari (saudara angkat atau akuan). Apabila hubungan kekerabatan tersebut mendapatkan pembinaan dalam bentuk suatu yayasan, misalnya untuk menggalang dana untuk menunjang dalam hal pendidikan (memberikan bea siswa bagi anak-anak yang tidak mampu). Hal tersebut tentunya sangat bermanfaat serta membantu sekali untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya manusia, daripada beaya dihambur-hamburkan untuk upacara adat secara berlebihan.

3.2 Peranan Penyimbang di Masa Lalu
Pedoman hidup bermasyarakat, terutama dalam bersikap dan bertingkah laku bagi masyarakat Lampung pada dasarnya tercermin pada falsafah Piil Pesenggiri. Secara harfiah, Piil Pesenggiri berarti perbuatan atau perangai manusia yang agung dan luhur di dalam nilai-nilai serta maknanya dan oleh karena itu patut diteladani dan pantang untuk diingkari. Di dalam konsep Piil Pesenggiri terkandung nilai-nilai budaya luhur yang secara selintas mengandung makna berjiwa besar, mempunyai perasaan malu, rasa menghargai diri, ramah, suka bergaul, tolong menolong, dan bernama besar dan atau bergelar. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan Piil Pesenggiri, seseorang dapat mempertahankan apa saja baik daya, dana termasuk nyawa sekalipun. Selain itu dengan Piil Pesenggiri, seseorang dapat berbuat atau tidak berbuat sesuatu walaupun hal itu akan merugikan dirinya sendiri secara material.

Sebagai prinsip hidup bermasyarakat bagi masyarakat Lampung, Piil Pesenggiri didukung dan ditunjang oleh 4 unsur, yaitu: sakai sambaian, nemui nyimah, nengah nyappur, dan bejuluk beadek.

  1. Sakai Sambaian

Sakai (sesakai) artinya tolong menolong di antara sesama silih berganti. Sambaian (sesambai) bermakna bergotong royong dalam mengerjakan sesuatu yang berat dan besar. Jadi, sakai sambaian mencakup pengertian yang luas termasuk di dalamnya gotong royong, tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi sesuatu yang diperlukan oleh pihak lain. Hal ini tidak terbatas pada sesuatu yang bersifat material saja tetapi juga di dalam arti moral, termasuk sumbangan pikiran dan sebagainya. Inti dari konsep ini terletak pada kegiatan-kegiatan individual untuk memenuhi kepentingan umum, kegiatan yang tidak didasarkan pada pamrih pribadi.

b. Nemui Nyimah

Nemui artinya selalu membuka diri untuk menerima tamu, sedangkan Nyimah artinya keinginan untuk memberikan sesuatu dengan ikhlas kepada seseorang maupun kelompok sebagai tanda ingat dan tanda akrab. Jadi, nemui nyimah mencakup pengertian bermurah hati dan ramah tamah terhadap semua pihak, terhadap semua orang dalam satu klen maupun orang luar klen dan terhadap siapa saja yang berhubungan dengan yang bersangkutan. Inti dari konsep ini ialah sikap bermurah hati dengan memberikan sesuatu yang ada padanya kepada pihak lain. Juga, bermurah hati dalam bertutur kata serta sopan santun terhadap tamu. Sedangkan dalam kehidupan bermasyarakat, konsep nemui nyimah merupakan nilai yang mencerminkan patokan bagi pergaulan hidup antarpribadi, khususnya sopan santun dalam pergaulan hidup.

c. Nengah Nyappur

Nengah artinya suka berkenalan dengan siapapun, sedangkan nyappur artinya berkenalan dan bersahabat karena pandai bergaul dalam masyarakat. Jadi, nengah nyappur diartikan sebagai tata pergaulan masyarakat dengan kesempatan membuka diri dalam pergaulan masyarakat umum dan berpengetahuan luas, dan ikut serta berpartisipasi terhadap segala hal yang bersifat baik. Nilai nengah nyappur mengharuskan setiap individu untuk ikut bergaul dengan sesamanya serta memberikan sumbangan fikiran maupun giat demi kesempurnaan hidup sesama. Inti dari konsep ini adalah keserasian antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum.

d. Bejuluk Deadek

Bejuluk (juluk) diartikan nama atau gelar yang diberikan kepada seseorang yang belum menikah baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan beadek (adek) diartikan sebagai gelar yang diberikan kepada seseorang yang telah dewasa dan berumah tangga yang diresmikan melalui upacara adat di hadapan tokoh-tokoh adat maupun kerabatnya. Seseorang yang berlatar belakang kebudayaan Lampung, sejak kecil memiliki nama dan nama panggilan sebagai gelar adat. Setelah dewasa dan berkeluarga, ia juga mempunyai gelar adat sebagai panggilan terhadapnya.

Bejuluk beadek didasarkan pada satu aturan yang diwariskan secara turun temurun. Tata kelakuan pokok yang selalu diindahkan tersebut menghendaki agar seseorang selain mempunyai nama juga memiliki gelar sebagai panggilan terhadapnya. Pemberian gelar yang dilaksanakan melalui upacara adat di hadapan tokoh adat maupun kerabat, akan memunculkan tanggungjawab moral bagi pribadi maupun kerabat dari pihak yang mendapat gelar adat tersebut. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, gelar merupakan simbol status keadatan yang selalu dipertahankan dan dipertanggungjawabkan agar tidak mendapat tanggapan yang tidak baik dari lingkungan sosialnya.

Dalam pergaulan sosial, seseorang yang memiliki gelar adat dituntut menjadi teladan atau panutan bagi lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, yang bersangkutan diharapkan bersikap dan bertingkahlaku sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang hidup di masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bejuluk beadek berintikan tatakrama kehidupan yang diwujudkan dalam kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum.

Dari uraian tentang pengertian Piil Pesenggiri dengan keempat unsurnya, tergambar bahwa konsep tersebut sudah merupakan pandangan hidup yang lebih bersifat mempertahankan harga diri. Budaya harga diri bagi masyarakat Lampung beradat Pepadun merupakan budaya malu dalam wujud tradisional, seperti nilai yang terkandung dalam: bejuluk beadek (bernama dan bergelar terhormat), yang selanjutnya didukung oleh sikap suka bertamu dan memberi (nemui nyimah), suka berkumpul (nengah nyappur) serta suka menolong dan bergotong royong (sakai sambaian).

Sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku, Piil Pesenggiri telah menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat Lampung dan merupakan satu totalitas dari bentuk kehidupan, perasaan, pengalaman, dan kehendak sehingga menjadi karakter khas manusia Lampung. Mereka yakin bahwa prinsip Piil Pesenggiri merupakan kesadaran moral yang bertujuan mencapai kebahagiaan hidup manusia apabila dapat mengembangkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dalam hidup sebagai pribadi yang merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan.

Seperti terungkap di muka, salah satu unsur dalam Piil Pesenggiri adalah bejuluk beadek. Unsur tersebut didasarkan pada satu aturan yang diwariskan secara turun temurun. Tata kelakuan pokok yang selalu diindahkan tersebut menghendaki agar seseorang selain mempunyai nama juga memiliki gelar sebagai panggilan terhadapnya. Pemberian gelar yang dilaksanakan melalui upacara adat di hadapan tokoh adat maupun kerabat, akan memunculkan tanggungjawab moral bagi pribadi maupun kerabat dari pihak yang mendapat gelar adat tersebut. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, gelar merupakan simbol status keadatan yang selalu dipertahankan dan dipertanggungjawabkan agar tidak mendapat tanggapan yang tidak baik dari lingkungan sosialnya.

Gelar atau simbol status keadatan pada masyarakat Lampung beradat pepadun dapat ditingkatkan apabila seseorang dinyatakan telah mampu, baik secara materi maupun pengetahuan keadatannya, pada sidang adat dalam sebuah upacara adat. Dengan demikian, terdapat kesempatan yang terbuka luas bagi setiap individu untuk meningkatkan status di lingkungan kerabat keadatan. Upacara peningkatan status ini dikenal dengan istilah Cakak Pepadun. Melalui upacara ini, seseorang dapat meningkatkan statusnya menjadi berdarah biru setelah ia membayar denda dengan cara menyembelih sejumlah kerbau dan mengeluarkan sejumlah uang untuk dibagi-bagikan terutama kepada kepala buay/kerabat keadatan, kepada kepala unit-unit kecil keadatan, kepada seluruh kelompok-kelompok keadatan yang mendukung upacara proses peningkatan statusnya dalam kerabat keadatan, bahkan kepada seluruh yang hadir.

Gelar yang berhubungan erat dengan sistem kepemimpinan kekerabatan (genealogis) adalah penyimbang adat (pemimpin kekerabatan). Istilah penyimbang berasal dari kata simbang, yang berarti pengganti. Penyimbang adat berperan dalam mengatur kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan kekerabatan maupun hukum adat yang berlaku di setiap wilayah baik marga, tiyuh maupun umbul.

Menurut ketentuan adat yang berlaku, pangkat kepenyimbangan itu diwariskan secara turun temurun kepada anak laki-laki yang paling tua dari keluarga yang berhak atas kepangkatan itu. Penyimbang dapat pula disitilahkan sebagai wakil, karena para penyimbang inilah yang mewakili kesatuan kelompoknya terutama dalam perwatin (musyawarah adat). Pada tingkat marga (buay asal), kepemimpinan ini disebut penyimbang marga, pada tingkat kampung disebut penyimbang tiyuh, dan pada tingkat suku disebut penyimbang suku. Penyhimbang margfa berhak untuk meresmikan/melantik penyimbang-penyimbang lain pada lingkungan kekerabatannya.

Dari uraian di atas, tampak bahwa penyimbang adat erat berkaitan dengan bentuk keluarga pada masyarakat Lampung. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya, keluarga batih pada masyarakat Lampung terdiri atas ayah, ibu, serta anak-anak yang belum menikah, yang tinggal dalam suatu rumah tangga, disebut sango mianak, menyanak, senuwou, atau sangalamban (serumah). Keluarga tersebut terikat pada satu tungku dapur, segayoh atau gayohsai (satu periuk). Ayah mengurus dan memelihara anggota menyanak dengan bantuan ibu dan anak-anaknya yang sudah dewasa.

Adapun yang disebut keluarga luas, terdiri atas sejumlah orang yaitu ayah, ibu serta anak-anak mereka, baik yang telah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga, yang menempati sebuah rumah besar yang disebut nuwou balak atau lamban gedung. Sebagai ketuanya adalah anak laki-laki tertua yang ayahnya merupakan anak laki-laki paling tua dari kerabat tersebut. Mereka disebut sebagai menyanak warei, yakni semua anggota kerabat yang sejurai (satu bagian keturunan). Bentuk lainnya adalah adik warei, yang anggotanya meliputi beberapa orang laki-laki yang bersaudara dari satu ayah beserta keturunan mereka masing-masing yang terikat pada satu rumah asal.

Keluarga luas orang Lampung ini dikenal dengan sebutan redik sekelik (yang dekat dan terikat). Di samping menyanak warei dan adik warei, keanggotaan dapat pula meliputi orang-orang yang terikat dalam hubungan perkawinan dan saudara angkat, kerabat pihak ibu (kelawa), kerabat nenek dari pihak ayah (lebu), para kemenakan dari saudara perempuan (binulung), saudara ibu (kenubi), para ipar kedua pihak (lakau), para saudara perempuan (mirul) dan suami-suami mereka (bengiyan). Kesemuanya ini, meskipun tidak selalu tinggal dalam rumah yang sama, akan ikut berpartisipasi dalam melaksanakan upacara-upacara adat.

Selain keluarga luas, dikenal juga buay, yaitu semacam klen kecil yang anggota-anggotanya terdiri atas para individu yang berada dalam ikatan pertalian darah atau pertalian adat (mewari) menurut garis keturunan laki-laki (patrilineal). Para anggota klen tersebut masih saling mengenal karena adanya hubungan teritorial atau genealogis serta perkawinan menurut sistem ngejuk-ngakuk (ambil-beri) yang bersifat patrilokal.

Suatu buay pada dasarnya terikat pada satu rumah asal (nuwou tuhou, nuwou balak tuhou), yang dalam perkembangannya kemudian akan terdiri atas beberapa nuwou balak. Susunan kepenyimbangan (kepemimpinan) kerabatnya selalu berurut di bawah pimpinan penyimbang, anak tertua lelaki dari keturunan yang tertua menurut garis laki-laki. Dengan demikian, kemudian dikenal penyimbang buay balak (keturunan besar) dan penyimbang buay lunik (keturunan kecil) yang memimpin jurai atau sub-buay.

Pengertian nuwou balak tidak harus dikaitkan dengan adanya bangunan rumah yang besar, tetapi dapat juga diartikan sebagai perasaan keanggotaan saja, oleh karena banyak bangunan rumah besar tersebut pada waktu ini telah tidak ada lagi. Walaupun bangunan adatnya tidak ada, rumah penyimbang selalu dianggap sebagai pengganti nuwou balak, oleh karena di dalam rumahnya disimpan harta pusaka leluhur yang diwariskan turun-temurun. Harta pusaka itu biasanya terdiri atas barang-barang kuno, keris, tombak, dan perlengkapan adat lainnya seperti pepadun, sesaka, dan lawang kuri tua.

Paparan mengenai bentuk-bentuk keluarga pada masyarakat Lampung seperti terurai di atas, erat kaitannya dengan pengungkapan peran penyimbang adat berikut ini.

3.2.1 Pada aktivitas kehidupan sehari-hari

Penyimbang atau ketua adat mempunyai pengaruh dan peranan yang cukup besar di masyarakat Lampung yakni sebagai pengambil keputusan dan sebagai tempat bertanya (minta nasihat). Para penyimbang juga bertindak sebagai pemikir, perencana, pengatur, penimbang, pemberi gelar, pemberi nasihat, pengambil keputusan dan penuntut perkara adat.

Sebagai pemimpin adat, penyimbang bertugas sebagai memimpin upacara, tempat masyarakat bertanya dan sebagai pengambil keputusan. Penyimbang dianggap memiliki kemampuan dan pengetahuan luas di bidang hukum adat. Peranan ini tampak jelas di dalam setiap kegiatan spiritual dan sosial yang menyangkut dengan kepentingan seseorang misalnya peristiwa perkawinan, kelahiran, kematian dan upacara keagamaan. Dalam peristiwa semacam itu peranan penyimbang sangat diperlukan yaitu sebagai pemimpin upacara dan memberikan petunjuk atau petuah agar pelaksanaan hajat berjalan lancar dan selamat. Masyarakat beranggapan bahwa penyimbang memiliki pengalaman hidup yang amat luas dan mampu bersikap arif bijaksana.

Penyimbang juga berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam pendidikan/pewarisan nilai-nilai budaya. Keberadaan mereka yang seolah bertindak selaku pemelihara kelangsungan adat istiadat amat dihormati, dihargai, dan disegani. Apabila terjadi penyimpangan adat, misalnya seseorang mengaku sebagai seorang sutan, padahal statusnya lebih rendah dari itu, maka kepala penyimbang akan menegur penyimbang tempat orang yang bersangkutan bernaung. Penyimbang (pemuka adat) akan menegur secara halus sambil menjelaskan kembali gelar-gelar keadatan apabila dirasakan orang yang bersangkutan kurang faham benar. Dengan demikian secara tidak langsung, orang yang bersangkutan dididik untuk memahami seluk-beluk adat secara benar.

Adakalanya, masalah-masalah yang timbul di masyarakat dirasakan bisa membahayakan kelangsungan adat atau terdapat gejala-gejala disintegrasi. Untuk mengantisipasi hal tersebut, biasanya digelar sidang perwatin di sesat (balai adat). Peserta sidang adalah para penyimbang yang ada di desa setempat. Adapun pemimpin sidangnya adalah kepala penyimbang. Pada sidang-sidang seperti ini biasanya dibahas segala hal yang berhubungan dengan kelangsungan adat, di samping pembicaraan masalah pokok yang menyebabkan sidang perwatin digelar.

Pada hakikatnya, setiap individu diharapkan saling mengingatkan apabila dijumpai adanya individu lain yang menyimpang dari ketentuan adat karena lupa, kurang faham, atau akibat hal tertentu yang sulit dihindari. Oleh karena itu, setiap individu diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang adat yang berlaku dengan mempelajarinya secara terus menerus.

Yang paling berperan dalam proses sosialisasi nilai-nilai budaya adalah keluarga dan kerabat. Orang-orang yang paling dekat hubungan kekerabatannya tidak akan segan untuk menegur langsung seseorang yang salah ucap mengenai istilah kekerabatan, misalnya. Lain halnya apabila tidak ada hubungan kekerabatan, yang bersangkutan akan memberitahukan kepada penyimbang orang yang salah ucap tersebut dan penyimbang itulah yang akan menegur serta menjelaskan istilah-istilah yang seharusnya digunakan dalam sopan santun kekerabatan.

Dari uraian di atas, terungkap bahwa tatakrama mendidik selalu dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Tidak sembarang orang bisa menegur atau menjelaskan sesuatu hal yang berkaitan dengan adat. Lain halnya apabila hal yang dilanggar tidak berhubungan dengan adat, setiap orang bisa melakukannya dengan rambu-rambu yang jelas tentunya. Misalnya dilakukan dengan tutur kata dan sikap yang halus, dan umumnya berupa anjuran. Sangat dihindari sikap yang marah atau terlalu keras.

Selain berperan sebagai pemelihara adat seperti terurai di atas, penyimbang juga amat berperan dalam penyelesaian perselisihan antarwarga, penghubung pihak pemerintah dengan masyarakat, dan bisa juga dikatakan sebagai penanggungjawab tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kepentingan umum.

Keberadaan penyimbang dalam stratifikasi sosial sebuah marga menempati kedudukan yang tinggi. Selain diwariskan melalui keturunan, status tersebut juga terbuka bagi golongan yang lebih rendah untuk mendapatkannya. Meskipun demikian, tetap tidak mudah untuk mendapatkan status tersebut, karena ada ketentuan adat yang harus dipenuhinya. Persyaratan tersebut berupa penyelenggaraan upacara adat yang disebut upacara adat ngebatan.

Upacara adat ngebatan bertujuan untuk membuat penyimbang baru atau keturunan sendiri. Orang yang ingin meningkatkan statusnya melalui upacara tersebut harus menyiapkan nama penyimbang, suku atau dusun, dan pengikutnya. Selain itu, dia harus menyiapkan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Karena alasan dana inilah, tidak sembarang orang bisa mewujudkan keinginan untuk meningkatkan status dan kehormatannya secara adat. Umumnya, orang kayalah yang biasanya melakukan hal ini. Dengan demikian, selain karena kekayaannya, dia juga memiliki kedudukan terhormat di mata adat. Dia berhak menyandang dan menggunakan atribut-atribut adat yang sesuai dengan status sosialnya yang baru.

Prosedur yang harus dijalani untuk melaksanakan upacara ngebatan dimulai dengan menyampaikan maksud tersebut kepada bandar adat. Selanjutnya, bandar adat yang akan mengatur dan memimpin berbagai acara yang ada kaitannya dengan masalah itu, seperti rapat adat hingga pesta adat atau begawaian di rumah adat atau rumah sesat.

Rapat adat pertama dilakukan oleh bandar adat dengan penyimbang dari desa atau suku yang berada di bawah marga tersebut. Pertemuan tersebut berlangsung di rumah sesat. Pada kesempatan itu, mereka membahas usulan dari calon penyimbang baru. Acara pertemuan itu biasanya berlangsung tidak lebih dari satu hari, dengan keputusan dikembalikan lagi kepada calon penyimbang sendiri. Apakah dia siap memenuhi ketentuan adat berupa pemotongan kerbau minimal satu ekor dan melaksanakan pembayaran adat, serta pesta adat. Tentu saja persyaratan tersebut harus melibatkan desa yang berada di bawah payung marga yang bersangkutan.

Jika persyaratan adat itu diterima, maka dipukul kenongan serta diterangkan bahwa orang tersebut telah menjadi penyimbang adat di desa yang menjadi tempat tinggalnya. Selain itu, juga dilakukan pembayaran adat atau dana penerangan kepada desa yang berada di bawah payung marga yang bersangkutan, yang besarnya Rp. 120.000,00 untuk setiap desa. Pada hari yang telah disepakati bersama nanti, dia akan dinobatkan secara resmi sebagai penyimbang baru di rumah sesat.

Pada hari penobatan tersebut para penyimbang dari desa-desa yang berada di bawah payung marga yang bersangkutan, bandar adat, dan para undangan hadir di rumah sesat akan bersama-sama melaksanakan gawai adat upacara ngebatan. Bandar adat memimpin acara penobatan penyimbang baru. Penerimaan dan pengangkatan orang tersebut sebagai penyimbang baru dikukuhkan dengan pemasangan kopiah laco, salah satu atribut adat untuk golongan penyimbang. Pemasangan atribut adat tersebut dilakukan oleh bandar adat marga.

Menyertai acara penobatan penyimbang baru, ditampilkan pula hiburan berupa tari-tarian adat. Mereka yang menarikan tarian adat tersebut adalah para orang tua dan remaja. Tarian untuk para orang tua biasanya diringi tetabuhan yang disebut berirama kedanggung. Sementara itu tarian yang dimainkan oleh para remaja, khususnya remaja putri diiringi dengan tetabuhan berirama arus. Tidak ketinggalan juga diselenggarakan acara cua mangan atau makan bersama di rumah sesat.

Gawai adat ini biasanya berlangsung satu hari satu malam, bahkan ada yang menyelenggarakannya hingga tiga hari tiga malam. Pada prinsipnya, hal itu bergantung pada kemampuan penyelenggara sendiri. Upacara ngebatan bisa saja diselenggarakan lebih sederhana, yakni hanya sampai pada pembayaran adat, seperti memotong kerbau dan pemberian dana penerangan. Kalaupun ada yang melaksanakan upacara ngebatan seperti itu, komunitas adat harus menerimanya.