Museum Sulawesi Tengah

Museum Sulawesi Tengah sejak pembangunannya dilaksanakan tahun 1977/1978 hingga dinyatakan secara resmi sebagai Unit Pelaksana Teknis Pusat dilingkungan Direktorat Jendral Kebudayaan berdasarkan SK Mendikbud RI Nomor 0754/0/1987 tanggal 2 Desember 1987 dan selanjutnya ditetapkan kembali oleh Mendikbud RI dengan Surat Keputusan Nomor 001/0/1991 tanggal 9 Januari 1991. Hingga saat ini sesuai Perda 03 Tahun 2001 pembinaannya diserahkan kepada Disbudpar Propinsi Sulawesi Tengah dengan struktur organisasi dan tata kerja diatur berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tengah dan fungsi sesuai Keputusan Gubernur Nomor 37 tahun 2002.

A. Gedung Dan Ruang
Gedung Pameran Tetap I
Luas gedung ini 1025 M2 dibangun dengan gaya arsitektur Lobo yaitu rumah adat Suku Kulawi di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Gedung ini digunakan sebagai Ruang Pameran Tetap.

Gedung Pameran Tetap II
Luas gedung ini 450 M2 dibangun dengan gaya arsitektur Sou Raja yaitu Istana Raja Palu di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Gedung ini digunakan sebagai Ruang Pameran Tetap II.

Gedung Administrasi
Tahun Anggaran 1977/1978 dibangun seluas 200 M2, kemudian tahun 1978/1979 dibangun seluas 205 M2, sehingga luasnya menjadi 405 M2. Merupakan gabungan gaya arsitektur modern dan bentuk rumah Palava, yaitu rumah-masyarakat di lembah Palu.

Gedung Auditorium
Auditorium museum digunakan sebagai tempat pelaksanaan berbagai kegiatan seperti pameran khusus, seminar, ceramah, lomba, pementasan seni, serta berbagai kegiatan yang menunjang pelestarian kebudayaan daerah.

Gedung Penyimpanan Koleksi (Storage)
Was gedung ini 350 M2, memiliki dua unit storage, yaitu storage untuk koleksi organik dan an-organik. Gedung dilengkapi pula dengan ruang kurator untuk petugas pengelola koleksi.

Ruang Perpustakaan
Perpustakaan diperuntukkan bagi pegawai museum dan masyarakat umum. Didirikan pada tahun 1992 dan hingga sekarang ini koleksi buku berjumlah 4.118 judul yang terdiri koleksi buku dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Perpustakaan ini telah beberapa kali menyandang predikat terbaik dalam pemilihan perpustakaan teladan antar instansi se-Sulawesi Tengah.

B. Taman
Di dalam kompleks Museum Propinsi Sulawesi Tengah terdapat beberapa taman, yaitu:

Taman Lore
Taman Lore terletak di bagian depan museum dengan luas 2500 M2. Lore adalah nama daerah atau suku yang mendiami jantung pulau Sulawesi. Di daerah ini banyak ditemukan peninggalan purbakala dari masa tradisi megalitik dan hingga kini masih banyak situs yang belum diteliti. Patung-patung dan kalamba yang terdapat dalam taman ini adalah replika. Salah satu dari sejumlah patung serupa dan khas peninggalan zaman prasejarah yang terdapat di Lore Kabupaten Poso, seperti patung Tadulako.

Taman Pekurehua
Taman ini termasuk taman megalit yang letaknya berada di antara gedung Banua Oge, (Gedung Pameran Tetap II) dan Gedung Auditorium, Beberapa arca menhir yang ditata dalam taman ini, merupakan pencerminan arwah leluhur di daerah lembah Napu pada masa tradisi megalitik.

Taman Tuva
Taman Tuva terletak di bagian timur atau depan gedung auditorium museum dengan jarak sekitar 300 M2. Nama taman ini diambil dari nama sebuah desa di Tuva, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Donggala yang terletak kurang lebih 50 km sebelah selatan Kota Palu. Pada desa ini banyak ditemukan lumpang batu yang oleh penduduk desa menyebutnya Vatu Nonju.

Taman Gawalise
Taman Gawalise diambil dari nama sebuah gunung yang tertinggi disebelah Barat Kota Palu. Taman ini berada di samping lapangan olah raga. Suasananya menggambarkan alam pegunungan daerah Pakava yang sebagian terletak di lereng-lereng gunung Gawalise dengan bentuk rumah penduduknya yang khas. Disamping itu, untuk memberikan kesenangan bagi pengunjung anak-anak, di taman ini dilengkapi dengan fasilitas tempat permainan anak-anak.

C. Patung, Kalamba, Dan Arca Menhir
Patung Tadulako
Patung ini merupakan replika dari patung Todulako yang tedapat di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah. Patung pertama kali dilaporkan oleh seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Kilian yang menyebutnya Watumeangka. Raven pada tahun 1918 menyebutnya dengan Tadulaku, dan Kruyt menyebutnya Tadulako. Kesemuanya berdasarkan penamaan yang diberikan oleh penduduk yang bermukim di sekitarnya.

Patung ini tidak berkaki, tertanam di dalam tanah, memakai simbol Tadulako (Panglima Perang) pada bagian dada, mata bulat melotot dan miring diatas dahinya melengkung motif hiasan ikat kepala (Pekabalu) dan bagian pelipis terdapat benjolan yang menunjukkan telinga. Oleh penduduk setempat patung yang serupa ini digambarkan sebagai personifikasi panglima perang dan juga sebagai nenek moyang mereka. Pada saat-saat tertentu penduduk di sekitarnya memberikan sesajian sebagai persembahan untuk memohon berkah.

Patung Langke Bulava
Patung ini merupakan replika dari Patung Langke Bulava yang terdapat di Lembah Bada, Kecamatan Lore Selatan. Berbentuk silinder, yang pertama kali dilaporkan oleh Sarasin pada tahun 1908, menyusul A.C. Kruyt pada tahun 1909. Patung ini tertanam dalam tanah, kepalanya besar dibanding badannya, tidak bermulut, dagu berbentuk lonjong, mata bulat, ujung hidung rata serta pangkal hidung bersambung dengan mata.

Di atas dahi patung terdapat motif lengkungan yang menyerupai ikat kepala atau mahkota yang dihiasi oleh empat buah bulatan berderet. Demikian pula tangan dan jarinya yang hanya terdiri dari tiga jari, terletak dibagian depan dan di antara kedua tangan itu terletak alat kelamin wanita. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai patung Langke Bulava (langke=gelang, dan bulava=emas). Patung ini melambangkan dewi kecantikan yang banyak dikunjungi oleh anak-anak gadis untuk meminta berkah kecantikan.

Kalamba
Kalamba ini merupakan replika salah satu kalamba yang terdapat di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso. Penutup patung terbuat dari batu yang terletak di atas tanah tak jauh dari kalamba itu. Tebal dindingnya 20 cm, sedangkan diameter lubang 84 cm dan dalamnya 120 cm. Badan kalamba dihiasi dengan lima buah pola hias garis melingkar yang jaraknya satu sama lain makin ke bawah makin besar.

Patung dilengkapi dengan penutup serta memiliki pegangan dibagian tengah yang berupa tonjolan. Tutupnya dibagi atas lima bagian yang sama oleh lima buah hiasan motif hewan yang sama dan masing-masing menjongkok menghadap keluar. Penduduk menganggap hiasan itu menyerupai kera. Menurut informasi dari penduduk, kalamba ini diduga sebagai tempat mandi raja. Namun, menurut salah seorang anggota Tim Survai Arkeologi Nasional (Dr. Haris Sukendar, 1976), bahwa kalamba ini adalah tempat penguburan kedua pada orang-orang tertentu saja. Pada ekskavasi yang dilakukan oleh Bidang Prasejarah Pusat Arkeologi Nasional tahun 2000 di Lembah Besoa, dapat diketahui bahwa salah satu fungsi kalamba adalah sebagai wadah penguburan kedua secara komunal.

Penduduk yang bermukim di sekitarnya memperlakukan secara istimewa kalamba tersebut dan diperkirakan kalamba ini dibuat bersamaan dengan arca menhir yang disebutkan di atas.

Patung Palindo
Arca ini merupakan replika dari arca menhir yang terdapat di Situs Padang Sepe, Lembah Bada. Oleh masyarakat yang bermukim di sekitar situs menyebutnya patung Palindo (penghibur) atau perwujudan dari nenek moyang mereka sebagai seorang pahlawan yang bernama Tosalogi. Dikisahkan bahwa Tosalogi memimpin rakyat Bada berperang melawan orang dari Masamba. Arca ini ditemukan dalam keadaan miring sekitar 30 derajat dan berukuran tinggi 400 cm. Pada arca dipahatkan muka manusia memakai ikat kepala (pekabolu), mata bulat melotot, tangan yang mengarah ke phallus yang menonjol, serta tanpa kaki.

D. SIistematika Materi Tata Pameran Tetap I
Ruang Lingkungan Alam dan Potensinya

Ruang ini menggambarkan keadaan lingkungan alam Sulawesi Tengah berupa flora dan fauna yang khas, antara lain satwa: burung Maleo (Macracephalon Maloa), Babi Rusa (Babyrgusa babi russa), Anoa (Bubalus Denossicorus), Rusa Sulawesi, Musang Sulawesi, Tangkasi (Tarsius), dan burung Enggang. Sulawesi Tengah juga memiliki kekayaan alam yang terdiri dari beberapa jenis batu-batuan, granit, dan marmer seperti yang tertata pada ruang ini. Beberapa koleksi temuan berupa fosil rahang gajah dan fosil kayu yang ditemukan di Lembah Napu, Kecamatan Lore Utara yang pada tahun 1992 juga disimpan dalam ruang ini. Menurut para ahli, fosil tersebut telah berumur kirakira 1,9 juta tahun yang diperkirakan berasal dari jenis gajah purba (Stegodon) yang hidup pada masa plestosen.

Ruang Manusia dan Budaya
Penduduk Sulawesi Tengah terdiri dari 12 kelompok etnis atau suku yang mendiami daerah pegunungan lembah dan pantai. Pengaruh faktor geografis yang bervariasi, membuat pola hidup dan sistem budaya masyarakatnya juga sangat bervariasi.

Keragaman budaya dan sistem kekerabatan yang mereka miliki tercermin dari bentuk dan model busana tradisional yang digunakan. Busana tradisional ini biasanya digunakan pada kegiatan-kegiatan seremonial seperti upacara syukuran, perkawinan, penjemputan tamu, dlan upacara adat lainnya. Selain itu ada 19 jenis bahasa daerah yang mereka gunakan dan terbagi lagi dalam beberapa sub dialek yang berjumlah 30 macam.

Adapun kelompok etnis atau suku yang mendiami wilayah daerah Sulawesi Tengah, yaitu: (1) Suku Kaili, (2) Suku Pamona, (3) Suku Tomini, (4) Suku Tolitoli, (5) Suku Buol, (6) Suku Kulawi, (7) Suku Lore, (8) Suku Mori, (9) Suku Bungku, (10) Suku Saluan, (11) Suku Balantak, dan (12) Suku Banggai.

Ruang Mata Pencaharian
Meramu
Tradisi meramu untuk kebutuhan bahan makanan, sudah dilakukan masyarakat Sulawesi Tengah sejak zaman dahulu. Tradisi ini masih terus dilakukan oleh sebagian penduduk, terutama yang bermukim di daerah pesisir pantai, lereng pegunungan, dan pedalaman.

Meramu Sagu
Bagi masyarakat di Kelurahan Duyu, Kecamatan Palu Barat, meramu sagu merupaKan pekerjaan sambilan di samping bercocok tanam dlan beternak.

Meramu Enau
Disamping bercocok tanam masyarakat Desa Bunga Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala meramu enau untuk dijadikan minuman (tuak) dan gula merah.

Pembuatan Kopra
Salah satu hasil perkebunan yang ado di Sulawesi Tengah sejak dahulu hingga sekarang ini adalah kelapa. Kelapa bagi masyarakat Sulawesi Tengah sangat besar manfaatnya bagi keperluan hidup sehari-hari dan bahan perlengkapan upacara adat. Buah kelapa biasanya diolah untuk dijadlikan kopra yaitu daging kelapa yang dikeringkan. Kopra merupakan salah satu komoditi ekspor non migas Sulawesi Tengah.

Berburu
Aktifitas berburu masyarakat Sulawesi Tengah sudah dilakukan sejak masa prasejarah. Pada umumnya masyarakat Raranggunau yang mendiami kawasan pegunungan di bagian Timur lembah Palu dan masyarakat Wana di Morowali hingga sekarang kebiasaan menangkap binatang masih dilakukan, baik diambil dagingnya maupun dijadikan hewan peliharaan. Guna menangkap binatang yang besar seperti rusa, anoa, babi rusa, dan sebagainya digunakan tombak, penangkap, dan jerat. Sedangkan binatang yang kecil cukup dengan sumpit atau perangkap jaring.

Bercocok Tanam
Pada masa perundagian telah terjadi peningkatan perdagangan antar daerah di daerah Sulawesi Tengah. Suku Kaili, Pamona, Tolitoli, Buol, Mori, Lore, Kulawi, Bungku, Saluan dan Balantak sudah mengenal persawahan dengan sistem irigasi. Sistem pengelolaannya dijaga dengan mempergunakan teknik pengairan sawah, baik sawah tadah hujan maupun sawah semi permanen yang diatur pembagian airnya oleh Tuaka/Punggawa.

Setiap awal musim tanam padi mereka berpedoman pada bintang; manulu, isi, kopu, pompario, dan totoluwongo, seperti matahari pukul satu menunjukkan musim tanam di daerah barat dan apabila letaknya seperti matahari pukul tujuh menunjukkan musim tanam di daerah sebelah timur. Sewaktu menanam benih padi, mereka berpedoman pada perhitungan bulan di langit, antara lain perhitungan sembilan kali bulan di langit (Suku Kaili) dan bulan purnama bagi Suku Lore. Pada ruang ini telah tertata peralatan bercocok tanam yang masih tradisional

Menangkap Ikan di Air Tawar
Pada etnis Kulawi yang tinggal di tepi Danau Lindu dan etnis Pamona yang tinggal di tepi Danau Poso, menangkap ikan di danau dan memelihara ikan di kolam merupakan mata pencaharian sampingan. Adapun peralatannya dapat dilihat pada ruangan ini.

Sistem Teknologi
Pada ruang ini ditata beberapa perangkat peralatan tradisional yang digunakan masyarakat Sulawesi Tengah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melalui tradisi yang diwariskan secara turun temurun.

Beberapa sistem teknologi yang ditampilkan antara lain:

Menenun Kain Ikat Donggala
Tenun ikat Donggala Sulawesi Tengah sebagai salah satu kelompok tenun ikat pakaian Indonesia, telah ada sejak abad IV Masehi. Pola hias yang pertama kali diterapkan pola hias geometris berbentuk garis-garis. Pada awalnya teknik menenun ini dilakukan dengan menggunakan alat yang sederhana, kemudian berkembang dengan menggunakan peralatan semi modern yaitu ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin).

Kerajinan Kain Wit Kayu
Pembuatan kain kulit kayu di daerah Sulawesi Tengah telah ada sejak masa prasejarah dan hingga kini masih dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pemukul kulit kayu (Batu Ike) pada situs arkeologi di Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Pekerjaan membuat kain kulit kayu dilakukan oleh kaum wanita, sedangkan bahan baku antara lain pohon Ivo, Maio, Nunu (beringin) dilakukan bersama-sama antara kaum pria dan wanita. Proses pembuatannya, kayu dari ukuran antara 20-30 cm dipukul merata hingga membentuk selembar kain sesuai yang diinginkan. Teknik memukul dilakukan di atas balok landasan dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Alat dan bahan yang digunakan adalah Popempe Vuya (pemukul tahap pertama), Batu Ike (pemukul tahap kedua), Tatoa (landasan untuk membentuk kain), Sempe (tempat kulit kayu dipukul sebelum disambung). Hasil kerajinan kain kulit kayu di Kecamatan Kulawi yang digunakan sebagai pakaian adat seperti: Toradau (blus yang digunakan pada upacara adat penyambutan tamu terhormat), Vuya (dipakai pada upacara penyembuhan penyakit/Balia), Siga (digunakan sebagai destar pada semua upacara adat), Vini (rok yang digunakan pengantin wanita pada upacara perkawinan dan penyambutan tamu).

Pembudidayaan Mutiara
Kerang mutiara merupakan salah satu potensi kekayaan laut daerah Kabupaten Banggai Kepulauan. Pada daerah ini sebagian besar masyarakat bermata pencahariaan sebagai nelayan dan membudidayakan kerang mutiara.

Ruang Sistem ilmu Pengetahuan
Pemberantasan Penyakit Demam Keong (Schistosomiasis)

Penyakit Demam Keong di Sulawesi Tengah hanya dijumpai di wilayah sekitar Danau Lindu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala dan sebagian wilayah Lembah Napu, Kabupaten Poso. Penyakit ini disebabkan oleh jenis cacing Schistosoma Japonicum yang ditularkan melalui hewan siput jenis Onasma/amia. Hingga saat ini telah dilakukan usaha pengobatan dan pemberantasan kuman penyakitnya dengan menggunakan jenis obat Praziquantel.

Proses Ramuan Racun Mata Suimpit
Masyarakat Wana di Kabupaten Morowali dan masyarakat Raranggunau di Kabupaten Donggala sangat mahir membuat ramuan racun yang dioleskan pada mata sumpit. Ramuan racun terbuat dari getah pohon/mpo. Sistem pengetahuan ini diwariskan secara turun temurun dan masih berlangsung hingga saat ini.

Naskah
Museum Propinsi Sulawesi Tengah memiliki beberapa koleksi naskah kuno Lontara (aksara Bugis) yang mengandung nilai budaya dan sistem pengetahuan seperti masalah tata krama, adat sopan santun, dan kepercayaan terhadap hari-hari baik melalui pengamatan bulan dan bintang di langit.

Arsitektur Tradisional
Daerah Sulawesi Tengah memiliki berbagai bentuk arsitektur tradisional dan teknik pembuatannya beraneka ragam yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan letak geografisnya, seperti:

Lobo (Rumah Adat Suku Kulawi)
Lobo memiliki bentuk empat persegi panjang, berfungsi tempat musyawarah, melaksanakan pesta adat, menyambut tamu-tamu kehormatan dan sebagai tempat penginapan bagi orang-orang yang melanjutkan perjalanan.

Tambi (Rumah Adat Suku Lore)
Tambi merupakan rumah tinggal dan rumah adat yang berbentuk trapezium. Pada bagian tengah ruang dalam terdapat dapur dan tempat penyimpanan peralatan rumah tangga. Bagian pinggir dalam bangunan digunakan sebagai tempat tidur yang hanya dipisahkan oleh tirai.

Buho
Buho merupakan bangunan berbentuk trapezium yang berada pada masyarakat Lore, yang terdiri dari dua lantai. Lantai bawah berfungsi sebagai tempat musyawarah, sedang lantai atas digunakan sebagai lumbung padi.

Palava
Palava adalah rumah panggung berbentuk empat persegi panjang. Digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat suku Kaili. Pada bagian atas terdiri dari serambi, ruang tidur, ruang tamu, dan dapur. Pada bagian kolong rumah tempat menyimpan alat transportasi tradisional gerobak dan peralatan pertanian.

Kataba
Kataba adalah rumah panggung berbentuk empat persegi panjang dengan konstruksi tiang merupakan landasan (pondasi), sehingga kelihatannya bertingkat. Rumah ini berfungsi sebagai rumah tinggal suku Kaili. Didiami keluarga besar yang biasanya dihuni tiga sampai empat keluarga.

Religi (kepercayaan)
Sebelum agama masuk ke wilayah Sulawesi Tengah, penduduknya masih menganut kepercayaan animisme. Kepercayaan yang menganggap segala sesuatunya memiliki kekuatan gaib. Suku Kaili percaya kepada Dewa "Karompua Rilangi" dlan "Karampua Nutana" (penguasa langit dan penguasa bumi), percaya pada Tomanuru yaitu orang-orang sakti yang menjelma dari kayangan sebagai titisan dewa dan kepercayaan pada mahluk-mahluk halus. Beberapa religi (kepercayaan) tersebut tercermin pada ruangan ini, seperti:

Upacara Nosaviraka (menaikkan bayi kebuaia),Merupakan suatu kepercayaan suku Kaili untuk melaksanakan upacara adat pada bayi yang berusia 3-4 hari yang dinaikkan ke dalam buaian (dianggap rumah baru).

Upacara Sunatan, yaitu upacara yang dilaksanakan dengan maksud terjaminnya kesehatan. Upacara ini diperuntukkan pada laki-laki berusia 12 tahun moupun wanita yang berusia 30 hari.

Mandiu Pasili (upacara mandi bersama di depan pintu), merupakan upacara adat yang dilaksanakan sehadri sesudah pernikahan dan pelaksanaannya pada pagi hari. Upacara ini dimaksudkan untuk melakukan pembebasan (Nipo/oanga) dan agar selalu rukun/bahagia.

Balia (upacara penyembuhan penyakit), yaitu upacara dilaksanakan dengan maksud melawan setan yang membawa penyakit dalam tubuh manusia. Oleh karena itu Balia dipandang sebagai prajurit kesehatan yang mampu memberantas penyakit. Dalam pelaksanaannya dipimpin seorang yang disebut Bayasa (Syaman).

Nobau, merupakan suatu upacara penutup dari segala rangkaian upacara adat perkawinan pada suku Kaili, dilaksanakan oleh orang tua pihak keluarga laki-laki agar telepas dari tuntutan dan tanggung jawabnya terhadap anak kandung, anak mantu, dan cucu-cucunya.

Ruang Kesenian
Kehidupan berkesenian masyarakat Sulawesi Tengah merupakan suatu potensi yang tumbuh dan berkembang dari para seniman daerah sejak zaman dahulu dan hingga kini masih digemari masyarakat pendukungnya. Bentuk-bentuk kesenian daerah yang peralatannya ditata dalam ruang ini, seperti:

Alat musik tabuh berupa gong, gendang, kakula, dan rebana
Alat musik tiup berupa Lalove (seruling)
Alat musik petik berupa kecapi.

Dalam ruang ini juga ditata lukisan-lukisan yang berlatar belakang sejarah dan budaya yang sangat menarik.

Daur Hidup
Daerah Sulawesi Tengah dikenal dengan berbagai upacara yang berhubungan dengan kehidupan masyarakatnya, mulai dari kelahiran hingga kematian. Upacara-upacara adat itu antara lain:

Upacara Mopatompo (Mancumani Ratompo/ upacara penanggalan gigi pada Suku Kulawi), yaitu suatu upacara menanggalkan gigi bagian depan atas dan bawah bagi seorang gadis. Maksud dari penyelenggaraannya melambangkan masa peralihan masa remaja ke masa dewasa. Motivasinya adalah orang yang ditanggalkan giginya akan mendapat mahar yang tinggi (umumnya mahar dibayarkan dengan dua ekor kerbau)

Upacara Nokeso (upacara meratakan gigi Suku Kaili), yaitu upacara menggosok gigi bagian depan sampai rata, baik bagian atas maupun bawah bagi seorang anak perempuan menjelang baliq (karandaa). Tujuan upacara ini adalah mengantar perempuan memasuki masa gadis agar dapat bahagia tanpa gangguan mental dan fisik serta dapat menjaga tutur kata serta adat istiadat leluhurnya.

Neduta (Nebolai) adalah dua istilah yang mengandung arti yang sama yaitu meminang yang berlaku pada suku Kaili. Neduto merupakan peminangan yang dilaksanakan di kalangan rakyat biasa. Peralatan peminangan berupa solapa yang lengkap, taigania, dlan tau-tau satu pasang.

Upacara Penghantar Mahar Suku Banggai, merupakan satu fase dari proses perkawinan masyarakat suku Banggai. Gong dan dulang adalah contoh benda yang menjadi induk mahar (handaii).

Balanja (antar belanja), adalah satu rangkaian upacara perkawinan yang dilakukan setelah peminangan. Benda-benda hantaran berupa sambulu gana dan kelengkapan pengantin perempuan. Upacara ini hanya berlaku pada suku Kaili yang ada di lembah Palu dan sekitarnya.

Pelaminan Pengantin Suku Buot, merupakan suatu wadah yang digunakan dalam proses perkawinan pada suku Buol dan sekaligus menjadi fase dalam siklus perjalanan hidup. Pada masyarakat Buol, upacara duduk bersanding disebut "Payogano".

Sistem Penguburan Suku Pamona, merupakun sistem penguburan yang dilakukan sejak masa prasejarah yang dilaksanakan di Gua Latea Tentena, Kabupaten Poso. Gua Latea merupakan situs kepurbakalaan yang digunakan oleh masyarakat pendukung kebudayaannya sejak zaman prosejarah dan berlangsung hingga akhir abad ke-19. Temuan-temuan berupa peti mayat kayu, keranda, belangan tanah dan bekal kubur yang dipersembahkan pada upacara kematian.

E. Sistematika Materri Tata Pameran Tetap II (Bangunan Banua Oge)
Pada gedung pameran tetap II ini, koleksi ditata berdasarkan pengelompokkan sebagian jenis koleksi museum. Selain itu terdapat pula materi pameran berupa potensi dan konservasi Taman Nasional Lore Lindu yang merupakan hasil kerja sama pihak museum dengan The Nature Conservancy.

Sebagian jenis-jenis koleksi museum tersebut adalah koleksi arkeologika, etnografika, numismatika, historika, filologika, dan koleksi keramilogika.

Koleksi Arkeologika
Koleksi arkeologika terdiri dari material hasil kebudayaan manusia dari zaman prasejarah pada masa mesolitik, neolitik, dan megalitik. Artefak dari masa mesolitik seperti kapak genggam dan mata panah, dari masa neolitik seperti gelang batu dan tempayan kubur dari masa tradisi megalitik.

Tempayan Kubur yang dipamerkan di ruang ini merupakan hasil temuan dari ekskavasi yang dilaksanakan antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Manado, dan Museum Propinsi Sulawesi Tengah di Situs Watunongko Lembah Napu, Desa Maholo, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso pada tahun 1998. Menurut Prof. Dr. R.P. Soejono, seorang ahli arkeologi Indonesia bahwa tempayan kubur tersebut merupakan temuan tempayan kubur yang terbesar di Indonesia selama ini. Tempayan kubur oleh masyarakat pendukung kebudayaan megalitik di lembah Napu digunakan sebagai wadah penguburan kedua (second burial).

Koleksi Historika
Koleksi historika berupa beberapa jenis koleksi bukti dari perlawanan rakyat daerah terhadap kolonial Belanda di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Koleksi tersebut antara lain perlengkapan perang dan pakaian dari Raja Kulawi yang bernama Tomai Rengke atau bergelar Towoalangi yang memimpin rakyat Kulawi berperang di Gunung Momi. Pasukan kerajaan Kulawi berhasil ditaklukan Belanda pada tahun 1905 setelah menghadapi perlawanan yang sengit dari rakyat Kulawi selama bertahun-tahun. Koleksi Raja Tomai Rengke terdiri dari Baju, Tombak, Siga (ikat kepala), dan Guma Kalama (pedang tradisional).

Selain itu terdapat pula meriam peninggalan kolonial Portugis dan Belanda dengan berbagai macam ukuran, baik yang tertata di dalam vitrin maupun yang tertata di ruang pameran bagian tengah.

Koleksi Filologika
Koleksi filologika merupakan kumpulan naskah-naskah kuno yang ditulis dengan tangan yang menggambarkan suatu peristiwa atau kejadian (hikayat). Seperti yang terlihat dalam vitrin ini terdapat tulisan naskah yang berbahasa Arab dan lontara Bugis yang di tulis dengan tangan.

Koleksi Numismatika
Koleksi numismatika merupakan koleksi alat tukar yang sah dan pada masa tertentu pernah berlaku pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan (orde lama), terdiri dari koleksi-koleksi mata uang rupiah atau sen dengan nilai nominal yang bervariasi, baik berupa logam maupun uang kertas. Di dalam vitrin juga terdapat uang Gulden Belanda dan uang kertas keluaran pada zaman pendudukan Jepang.

Koleksi Etnograflika
Koleksi etnografika merupakan jenis koleksi yang terbanyak jumlahnya di Museum Propinsi Sulawesi Tengah dengan berbagai macam, baik yang tersimpan di storage maupun yang sudah tertata di ruang pameran. Koleksi etnografika yang tertata dalam ruangan ini terdiri dari beberapa macam, baik berupa aksesoris, beberapa anyaman tradisional dari rumput teki dan sebagainya, tombak, guma, sumpit, seperangkat alat pakinangan, hiasan tanduk kerbau yang diukir serta lampu gantung (pajananga).

Koleksi Keramologilka
Koleksi keromologika terdiri dari koleksi keramik lokal dan keramik asing. Keramik lokal terbuat dari tanah liat yang umumnya tidak memiliki ragam hias dan tidak diglasir. Sedangkan keramik asing berasal dari Cina pada masa dinasti Yuan, Ming, dan Ching, serta keramik dari Vietnam. Umumnya keramik asing ini memiliki ragam hias yang beraneka ragam flora dan fauna serta terbuat dari bahan porcelin atau stone ware.

Koleksi Titipan
Koleksi titipan yang berada di Museum Propinsi Sulawesi Tengah merupakan titipan dari Wakil Bupati Donggala Bapak Drs. H. Ahmad Abd. Rauf, M.Si. sejak tahun 2000. Koleksinya berjumlah 201 buah yang terdiri dari berbagai macam jenis keramik (keramik Eropa dan Cina), peralatan rumah tangga dari perunggu, seperangkat pakaian adat, kain adat (mbesa), senjata tradisional seperti tombak, perisai (kaliavo), dan pedang (guma).

Koleksi Potensil dan Conservasil Taman Nasionall Lore Undu
Koleksi yang ditata dalam Ruang Pameran ini merupakan kerja sama dengan pihak The Nature Conservancy (TNC) merupakan lembaga internasional yang bergerak dibidang pelestarian Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Sulawesi Tengah. Materi koleksi yang dipamerkan berupan satu buah panel pohon yang dilengkapi dengan satwa khas Sulawesi Tengah berupa sepasang burung Allo dan Tarsius (sejenis monyet terkecil di dunia) dan efek suara satwa Burung Allo, Tarsius, dan beberapa jenis serangga lainnya. Sedangkan display berupa potensi flora dan fauna beserta pemanfaatannya serta usaha-usaha pelestarian yang telah dilakukan oleh pihak pemerintah dan TNC.

Koleksi Arkeologikal Museum Sulawesi Tengah
Kapak Genggam
Terbentuk oteh alam dengan bentuk yang tidak beraturan. Pada Masa Paleolitik digunakan sebagai alat berburu maupun sebagai alat potong dan jenis kapak ini biasa disebut Kapak Perimbas (Chopper). Termasuk jenis koleksi Arkeologika yang berjumlah 19 buah dan ditata pada Ruang Pameran Tetap II.

Kapak Batu
Berbentuk persegi panjang dan berwama hitam kecoklatan, bagian bawah tajam dan bagian atas memiliki tangkai yang terbuat dari kayu. Pada Masa Neolitik digunakan sebagai alat untuk bercocok tanam. Termasuk jenis koleksi Arkeologika yang berjumlah 14 buah dan ditata pada Ruang Pameran Tetap II.

Tempayan Kubur
Terbuat dari tanah liat yang dibakar (gerabah) dan ditemukan dengan cara penggalian (eskavasi) arkeologi pada tahun 1998 di Situs Vatunongko. Oleh Puslit Arkenas, untuk sementara diklaim sebagai tempayan kubur terbesar yang ditemukan di Indonesia. Pada Masa Megalitik digunakan sebagai wadah penguburan kedua (second burial). Termasuk jenis koleksi Arkeologika yang berjumlah 3 buah dan ditata pada Ruang PameranTetap II.

Patung Tembikar
Terbuat dari tanah liat, berwarna coklat. Menggambarkan seorang wujud laki-laki, dan perempuan. Patung laki-laki memakai jubah dan bermotif garis berbentuk manusia, sedangkan wanita bermotif tumpal dan telinga besar. Pada Masa Megalitik digunakan pada upacara kematian yang berfungsi sebagai bekal kubur. Termasuk jenis koleksi Arkeologika berjumlah 2 buah ditempatkan di Ruang Storage.

Arca Menhir
Termasuk salah satu ciri khas peninggalan tradisi Megalitik di Sulawesi Tengah. Umumnya terbuat dari jenis batu pasir (mollase) yang berwarna abu-abu kehitam-hitaman salah satu berbentuk badan dan wajah manusia (antrophomofis) dan yang satunya menyerupai binatang (totemis). Fungsinya adalah sebagai personifikasi atau simbol perwujudan dari Raja, Panglima Perang maupun Kepala Suku.

Kapak Perunggu
Berbentuk pipih dan berwarna kuning dan pada salah satu ujung tajam. Digunakan pada Masa Perundagian sebagai alat pembelah kayu maupun untuk keperluan upacara. Kapak jenis ini biasa juga disebut Kapak Corong atau Kapak Sepatu. Termasuk jenis koleksi Arkeologika yang berjumlah 11 buah dan ditata pada Ruang Pameran Tetap II.

Sumber :
http://www.infokom-sulteng.go.id
http://museum-sulteng.blogspot.com