Museum Blambangan Dulu, Kini Dan Yang Akan Datang

Oleh: Hasan Basri

A. Purwa Wacana

Seperti dikatakan oleh Winarsih PA, bahwa kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang semasa dengan kerajaan Majapahit bahkan dua abad lebih panjang umurnya. Hal ini sering tidak disadari oleh para ahli sejarah. Ini terbukti dari sedikitnya perhatian terhadap sejarah Blambangan. Empat abad perjalanan sejarah Blambangan tentu tak mungkin tidak meninggalkan jejak. Walau disadari, sejak awal berdirinya, kerajaan Blambangan selalu dilanda peperangan yang seolah tak ada hentinya. Kondisi politik yang labil memang memungkinkan kita menyadari dan hawatir bahwa tidak banyak peninggalan sejarah Blambangan yang dapat kita temukan. Namun dari beberapa data sejarah dan situs-situs yang ditemukan menunjukkan di Banyuwangi banyak terdapat peninggalan sejarah yang sangat berharga.

Laporan Wikkerman pada tahun 1805 misalnya menyampaikan bahwa di Desa Macanputih pada masa itu masih kelihatan bekas tembok dari batu bata tebal dengan tinggi 12 kaki ( 3,6 m ) dan tebal 6 kaki ( 1,8 m) serta gang dan pagar mengelilinginya sepanjang 4,5 km, yang dilengkapi dengan sebuah lorong dan tempat pertahanan dengan ukuran panjang keliling 4,5 km (Lekkerkerker, 1923).

Pada tahun 1929, Hermes, seorang Kepala Holland School (HIS) di Banyuwangi mengirimkan hasil temuan benda-benda arkeologi dari bahan terracotta berupa dua bentuk arca binatang kecil (seekor kera dan seekor singa berdiri tegak) kepada Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) di Jakarta. Terracotta tersebut di temukan oleh petugas pengairan di Desa Blambangan.

Di desa Tembokrejo Muncar terdapat situs Umpak Songo yang merupakan bagian dari situs Tembokrejo yang dibatasi oleh tembok keliling dari bahan batu karang yang luasnya sekitar 500 hektar. Di situs ini ditemukan umpak batu berjumlah 49 buah, fitur susunan fondasi dari bata, artefak berupa fragmen gerabah dan fragmen keramik asing yang kebanyakan dari Cina yaitu tiga buah keramik dinasti Sung abad XIII, lima keramik dari dinasti Yuan abad XIV, 18 buah keramik dinasti Ming abad XIV, XV dan XVI, 34 buah keramik dari dinasti Ch’ing abad XIX dan 4 buah keramik Eropa abad XIX dan masih banyak lain fragmen keramik dari Thailand dll. Ditemukan juga situs Gumuk Jadah di dusun Palurejo dengan 8 buah umpak batu sebagai penyangga tiang bangunan masa lalu. Sedangkan situs prasejarah berupa puluhan gua ditemukan di Alas Purwo dan situs candi bentar masa akhir Majapahit yang oleh masyarakat setempat dinamakan Pura Luhur Trianggulasi (Nawawi, Abdul Kholiq, 1993).

Beberpa bulan yang lalau tim Balai Arkeologi Yogja menyampaikan laporan penelitiannya selama satu bulan di daerah Kandanglembu Glenmore yang menemukan situs prasejarah berupa pemukiman penduduk jaman neolitikum. Dan masih banyak lagi yang bisa kita sebutkan yang semuanya menunjukkan bahwa di Banyuwangi sangat kaya akan peninggalan sejarah.

B. Peranan Museum Blambangan

Kesadaran akan kekayaan sejarah inilah yang kemudian mendorong dibentuknya Tim Permuseuman pada tahun 1974 yang bertugas menggali, menemukan, mendata, mengumpulkan peninggalan sejarah yang ada di Banyuwangi. Anggota tim tersebut yaitu; Bapak Supranoto, Ridwan, BA, Gede Ari Subrata, Guntur Adi, K. Sarjono, Suhendar, Hasan Ali, Hasnan Singodimayan. Tim ini sempat mengadakan ekspedisi Alas Purwo sebanyak dua kali. Dari hasil kerja tim ditemukan berbagai jenis koleksi benda bersejarah yang kemudian dikumpulkan di ruang belakang pendopo bupati.

Guna menampung dan memelihara benda-benda hasil temuan tersebut, dibangun museum di sebelah tenggara pendopo bupati disebuah tempat yang jaman dulu merupakan tempat ruang tunggu para tamu Bupati ketika akan menghadap. Nama resminya adalah Museum Daerah Blambangan Kabupaten Dati II Banyuwangi. Pada waktu itu Badan Pengelolanya adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi cq. Seksi Kebudayaan bersama pemerintah Daerah Tingkat II Banyuwangi yang tergabung dalam Tim Pembina Museum Daerah Blambangan Banyuwangi dengan Surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyuwangi. Pada tanggal 25 Desember 1977 Museum Blamabangan diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur, Bapak Soenandar Priyosoedarmo. Pada saat itu Museum Blambangan merupakan satu diantara 13 museum yang ada di Jawa Timur.

Sampai saat ini ketika lokasinya dijadikan satu dengan kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, koleksi Museum Blambangan sebagai berikut:


NO.

BAHAN

JUMLAH

(buah)

1.

Batu

64

2.

Perunggu

12

3.

Besi

17

4.

Kayu

19

5.

Logam

49

6.

Kertas

45

7.

Kain

35

8.

Tanah Liat (Sandstone)

45

9.

Kalsedon

1

10.

Kaolin

16

11.

Stoneware

1

12.

Porselin

39

13.

Kuningan

31

14.

Semen

2

15.

Tembikar

2

16.

Kulit

112

17.

Fiber

2

18.

Beling

1

19.

Daun

1


JUMLAH

495

Kalau dilihat dari sudut disiplin ilmu sebagai berikut:

No.

Sub Disiplin Ilmu dari Benda Koleksi

JUMLAH

(buah)

1.

Geologika/Geografika

-

2.

Biologika

-

3.

Etnografika

196

4.

Arkeologika

134

5.

Historika

16

6.

Numismatika

62

7.

Filologika

3

8.

Keramologika

73

9.

Koleksi Seni Rupa

6

10.

Tehnologika/Modern

5


JUMLAH

495

Keberadaan Museum Blambangan sampai saat ini sangat membantu masyarakat untuk mengetahui peninggalan sejarah di Banyuwangi, terutama bagi pelajar. Namun untuk keperluan masa mendatang, Pemerintah harus memberikan perhatian lebih, mengingat peranan museum ke depan tidak sekedar menjadi tempat penyimpanan benda bersejarah, lebih dari itu museum adalah media pengembangan ilmu pengetahuan. Perhatian pemerintah dalam meningkatkan peran museum sangat penting dalam rangka mengubah image bahwa museum adalah gedung tempat menyimpan benda-benda antik/kuno saja. Sehingga orang mengunjungi museum cukup sakali seumur hidupnya.

Padahal pengertian museum secara umum adalah bangunan yang di dalamnya disajikan (dipamerkan) benda-benda yang menggambarkan perkembangan kesenian dan ilmu pengetahuan serta tata masyarakat untuk tujuan pendidikan. Sedang dalam ICOM (International Council of Museum) dijelaskan bahwa museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan yang dalam melayani serta perkembangannya terbuka untuk umum dan bertugas mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkaji, mengkomunikasikan, serta memamerkan bukti-bukti material manusia dan lingkunganna untuk tujuan studi, pendidikan dan rekreasi. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda-Benda cagar Budaya di Museum menjelaskan bahwa Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya menusia serta alam dan lingkunganna guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Mukti, Abdul, 2003).

Bertitik tolak dari rumusan ICOM, maka Museum Blambangan ke depan harus memiliki fungsi:

1. Mengumpulkan dan mengamankan warisan alam dan budaya.

2. Dokumentasi dari penelitian ilmiah.

3. Media konservasi dan preparasi.

4. Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum.

5. Pengenalan dan penghayatan kesenian, khususnya kesenian Banyuwangi.

6. Pengenalan kebudayaan Banyuwangi, sukur-sukur kebudayaan antar daerah dan bangsa.

7. Visualisasi warisan alam dan budaya.

8. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia.

9. Pembangkit rasa taqwa dan bersyukur kepada Tuhan YME.

Sedangkan peranannya adalah:

1. Sebagai pusat dokumentasi dan penelitian ilmiah.

2. Sebagai pusat pennyaluran ilmu pengetahuan.

3. Sebagai pusat penghayatan apresiasi budaya.

4. Sebagai sumber inspirasi.

5. Sebagai obyek pariwisata.

6. Sebagai media pembina pendidikan sejarah, sains dan budaya.

7. Sebagai wahana penelitian dan pendidikan budaya serta pengenalan pemahaman mengenai jati diri bangsa terutama bagai generasi muda.


Melihat fungsi dan peran museum di atas, Museum Blambangan sangat potensial memposisikan dirinya menjadi sentral dari upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan seni budaya di Banyuwangi. Dengan koleksinya yang sekarang dimiliki, sudah menjadi titik awal menjadikan posisinya yang ideal. Tinggal keseriusan semua pihak terutama sekali lagi pemerintah untuk serius mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari bangunan fisik yang representatif, tenaga permuseuman yang profesional yang terdiri dari : kurator, konservator dan restorator, ahli tata rupa dan tata ruang, ahli media dan komunikasi, sampai menejemennya.


Dalam rangka mewujudkan museum sebagai tempat rekreasi, museum harus dapat tampil menarik. Memiliki ruang yang luas, taman bermain, perpustakaan, kantin dan seterusnya. Museum Blambangan juga harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang perkembangan kebudayaan di Banyuwangi kepada pengunjung. Museum Blambangan juga harus mampu menumbuhkan rasa bangga terhadap perkembangan kebudayaan kepada masyarakat pengunjungnya, sehingga tumbuh rasa ikut memiliki dan bertanggung jawab serta memeliharanya.


Segala usaha untuk meningkatkan peran museum Blambangan tersebut hanya akan berhasil apabila dilandasi oleh semangat dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan bumi Blambangan.


Berikut ini beberapa koleksi Museum Blambangan:

Tempayan

Bahan: Kaolin

Diperkirakan berasal dari Cina selatan abad XVII-XIX. Tempayan ini berfungsi sebagai wadah obat atau juga dipakai untuk tempat minyak.


Piring

Bahan : Porselin

Diperkirakan berasal dari Guangdong Cina selatan abad XVIII-XX. Fungsi : untuk tempat makanan.


Arca Korea

Bahan: perunggu

Arca ini berasal dari Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru. Arca ini berwarna hitam dengan patinasi warna hijau dan coklat pada permukaan arca.


Gelang/Binggel

Bahan: Perunggu

Bentuk dasar silindrik dengan dua sisi tidak sama besar, dibuat membulat dengan ujungnya tidak bertemu dan warna kuning kehitaman. Benda ini jika dikenakan pada lengan dinamakan kelat bahu, jika dikenakan pada kaki dinamakan Binggel dan digunakan pada saat upacara keagamaan.


Lontar

Bahan: daun lontar

Lontar ini berasal dari desa Gambor Kec. Singojuruh. Terdiri dari 103 lembar, bagian luar terbuat dari kayu, tulisan menggunakan huruf Jawa baru yang berisi tentang cerita rakyat.


Naskah Kuno

Bahan: kertas

Kitab bertuliskan huruf arab dengan bahasa Jawa dengan tulisan tangan berhuruf dan berbahasa arab. Berisi tentang ajaran-ajaran agama islam. Dengan jumlah tulisan sebanyak 15 baris, warna tulisan merah dan hitam. Sedangkan jumlah halaman sebanyak 137 lembar.


Stupika

Bahan: Tanah liat

Berasal dari desa Gumuk Klinting Kecamatan Muncar. Bentuk silinder dasar setengah bulat, badan berbentuk kubah (setengah lingkaran). Stupika merupakan miniatur dari stupa (bentuk bangunan suci agama budha). Digunakan sebagai sarana upacara keagamaan dalam agama budha kuno.


Bata Berelief

Bahan: Bata

Bata ini merupakan bagian dari komponen bangunan yang memiliki hiasan atas relief tertentu dan merupakan peninggalan kerajaan Blambangan di Macan Putih. Berbentuk balok, salah satu sisi panjangnya berhias sulur-suluran, yang lainnya polos. Permukaan tidak rata, warna merah bata.


Moko

Bahan: perunggu

Berasal dari desa Sumbersalak Kecamatan Kalibaru. Moko ini menyerupai gendang kecil yang berfungsi sebagai sarana upacara minta hujan atau juga berfungsi sebagai mas kawin.

Batu Gong

Bahan : Batu Andesit

Asal : Desa Wonosobo Kecamatan Srono.

Berbentuk silindrik, bagian atas dan bawah datar, warna hitam.

Batu ini berfungsi sebagai umpak tiang suatu bangunan.


Batu Kenong

Bahan : Batu Andesit

Asal : Desa Truko Kecamatan Genteng

Berbentuk silindrik , kedua permukaan atas dan bawah datar, pada salah satu permukaan datarnya terdapat tonjolan, dinding mengembang keluar.

Batu Kenong ini berfungsi sebagai umpak tiang suatu bangunan tetapi tengahnya dilubangi.

Arca Kepala Naga

Bahan : Batu Vulkanik

Asal : Desa Wijenan Kecamatan Singojuruh.

Berbentuk bulat, terlihat bagian kepala,mata, mulut, semuanya telah aus. Warna hitam.


Wadah Air

Bahan : Tanah liat

Asal : Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar

Wadah ini lengkap dengan tutup. Bagian badan atas dihiasi tonjolan melingkar yaitu ,motif awan dan bentuk bibir lebar. Wadah ini jika ditutup hiasannya bersusun 3 dan wadah-wadah semacam ini banyak ditemukan pada masa kerajaan Majapahit.


Lampu Kambang

Bahan : Perunggu

Asal : Kecamatan Glenmore

Bentuk segi empat, bersumbu empat dan biasanya bahan bakarnya minyak kelapa.


Daftar Kepustakaan

1. Arifin, Winarsih Patraningrat, Babad Blambangan. Yogyakarta, Bentang, 1995.
2. Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jatim, Museum Blambangan, Surabaya, 1992.
3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Blambangan, 2008
4. Himawan, Manajemen Pengelola Museum Harapan dan Tantangan, Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Jatim, 2003.
5. Lekkerkerker, C, Balambangan. Indische Gids. 1923 : 1030-1067.
6. Mukti, Abdul, S.Sos, Pengetahuan Dasar Permuseuman, Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Jatim, 2003.

7. Nawawi, Abdul Choliq, Sejarah Blambangan di Banyuwangi sekitar Abad XV-XVIII, Makalah Seminar Sejarah Blambangan, 9 November 1993.


Sumber : http://hasanbasri08.laros.or.id