Longser dan Kesenian Jawa Barat


Di Jawa Barat terdapat beragam kebudayaan Sunda. Menurut Dana Setia yang pernah menjabat Kepala Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat, sedikitnya terdapat 300 jenis kesenian yang pernah hidup di masyarakat. Seiring perkembangan sosial masyarakat Sunda, terutama sejak masuknya beragam budaya lain, kesenian tersebut mulai berguguran, bahkan sudah ada yang hilang sama sekali. Banyak faktor, baik internal maupun eksternal, yang menyebabkan hilangnya kesenian tersebut. Terbukanya kehidupan masyarakat dengan dunia luar yang dicirikan dengan kemajuan dalam bidang transportasi dan komunikasi seperti internet, telah menjadikan dunia tanpa batas budaya. Budaya global yang mampu menggerus kelokalan yang dimiliki setiap etnik, di manapun. Berbagai nilai baru pun merembessampai ke daerah-daerah terpencil. Padahal semua tahu, bahwa tidak semua nilai baru tersebut bersifat positif. Kalaulah masyarakat tidak mempunyai filteryang kuat, maka nilai-nilai baru yang bersifat negatif tersebut tentunya dapat memporakporandakan nilai-nilai lama yang positif dan telah ada. Oleh karena itu apabila disebutkan bahwa pedokumentasian, pengembangan dan pembinaan kesenian, salah satunya bertujuan untuk melestarikan nilai budaya bangsa, maka dalam bentuk yang lain, kesenian dapat dijadikan sebagai alat ketahanan budaya (Deskripsi Kesenian Jawa Barat, Dibudpar & PDP).

Berdasarkan catatan terbaru dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, saat ini terdapat sekitar 34 jenis kesenian yang masih terpelihara dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Di antaranya, terdapat kesenian Longsér, sebuah teater rakyat yang hidup dan berkembang di Bandung.

Selain Longsér, di Jawa Barat pun terdapat beberapa jenis teater tradisional lainnya, seperti Uyeg dari Sukabumi, Ubrug dari Banten, Matres dari Cirebon, Tarling dari Cirebon, Topeng Banjet dari Karawang, dan sebagainya. Tiap-tiap jenis kesenian tersebut mempunyai ciri tersendiri, baik dari cara pementasan maupun peralatan yang digunakan.

Jika dibandingkan dengan daerah lain, Longsér mempunyai kemiripan dengan Lenong dan Srimulat. Perbedaannya, sampai saat ini Longsér menggunakan bahasa Sunda untuk berkomunikasi dengan penonton. Salah satu ciri khasnya adalah dengan hadirnya Ronggéng, penari merangkap penyanyi yang mampu menarik perhatian penonton. Ronggéng biasa menari dengan iringan lagu-lagu Sunda jenis ketuk tilu.

Longsér dan Perkembangannya
Belum ada catatan yang akurat, sejak kapan sebenarnya Longsér menjadi bagian dari kesenian di Tatar Sunda. Bahkan kata Longsér tidak menpunyai definisi yang jelas. Ada yang menggangap bahwa kata Longsér kependekan dari “long” (melihat, memandang) dan “ser” (kata untuk menunjukkan suatu hasrat atau gairah seksual). Namun anggapan tersebut bukanlah satu-satunya definisi yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.

Bentuk pergelaran Longsér, seperti halnya Lenong Betawi, dibangun dari beberapa bagian penting yang menjadi ciri khas kesenian tersebut. Sebuah pergelaran Longsér biasanya dilengkapi oleh nayaga (penabuh musik), pemain, bodor (pelawak), dan ronggéng (penari merangkap penyanyi) yang berfungsi daya tarik tersendiri bagi penonton. Pada saat pementasan, para pemain membangun cerita untuk disuguhkan kepada penonton. Pada mulanya, cerita dalam Longsér disusun sesaat sebelum permainan dimulai. Artinya, tanpa skenario yang jelas, sehingga kadang-kadang isi cerita menjadi kurang fokus dan lebih cenderung humoristik.

Sebagai teater rakyat, Longsér dipentaskan di tengah-tengah penonton. Bahkan, pada awal perkembangannya, Longsér hampir tidak pernah dipentaskan di sebuah panggung yang ditata sedemikan rupa. Di mana terdapat penonton, di sana Longsér digelar; apakah tempat ini alun-alun, terminal, stasiun, atau bahkan di pinggir jalan.

Menelusuri sejarah Longsér, tidak akan terlepas dari nama Bang Tilil (nama aslinya Akil), yang dikenal sebagai tokoh Longsér. Dalam kurun waktu 1920-1960, Longsér Bang Tilil mencapai puncak kejayaannya. Longsér Bang Tilil hadir sebagai media hiburan rakyat yang komunikatif. Ketenaran Longsér Bang Tilil, telah memicu seniman lainnya untuk mendirikan grup tersendiri; di antaranya Longsér Bang Soang, Bang Timbel, Bang Cineur, Bang Kayu, dan sebagainya. Selain Longsér Bang Tilil, salah satu kelompok Longsér yang cukup terkenal adalah Longsér Pancawarna yang dipimpin oleh Aténg Japar (pernah berguru kepada Bang Tilil). Pancawarna didirikan tahun 1939, dan masih eksis sampai sekarang walaupun produktifitasnya menurun.

Terdapat pembagian wilayah pertunjukan antara Bang Tilil dengan Ateng Japar. Bang Tilil menguasai wilayah pertunjukan kota Bandung (Stasiun, Alun-alun, Tegal Lega, Cicadas, Andir, Cikawao dan wilayah lain di kota Bandung). Sementara Longsér Ateng japar menguasai wilayah luar kota Bandung (Pangalengan, Cililin, Banjaran, Soreang, dan lain-lain). Akibat penjajahan Jepang, banyak seniman Longsér mengungsi. Praktis kegiatan berkesenian mereka surut sejak itu. Baru pada tahun 1952, ketika Ateng Japar kembali ke Bandung dari pengungsiannya di Garut, Longsér kembali mengisi ruang hiburan bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya.

Kesulitan kesenian Longsér untuk bertahan pun masih terus dialaminya. Ini disebabkan oleh kebijakan penataan tata ruang kota Bandung, termasuk pemekarannya. Akibatnya, beberapa genre seni pertunjukan rakyat yang pada saat itu menjadi bagian dari masyarakatnya juga mengalami kesulitan untuk hidup. Perlahan-lahan wilayah pertunjukan Longsér Bang Tilil pun menciut dan akhirnya surut. Apalagi setelah Bang Tilil meninggal, punahlah Longsér yang dipimpinnya.

Sementara itu, Longsér Ateng Japar tetap eksis berkeliling di wilayah pertunjukannya, walaupun tidak lagi seperti pada masa kejayaannya dahulu. Dewasa ini, Longsér Ateng japar tidak lagi memiliki wilayah pertunjukan yang pasti. Bahkan dari hari ke hari semakin surut, walaupun belum dapat dikatakan punah sama sekali. Longsér Ateng japar tidak lagi melakukan pertunjukan keliling, dan hanya memenuhi panggilan untuk menumbuhkan apresiasi para mahasiswa kesenian atau untuk hiburan bagi instansi yang menganggap Longsér masih layak dijadikan materi hiburan. Belakangan Longsér Ateng Japar mempreteli keutuhan pertunjukan dan bersedia memenuhi panggilan untuk hajatan. Longser itu hanya memiliki tarian jenis ketuk tilu dan jaipongan, dimainkan di sebuah panggung dengan perlengkapan bodor alakadarnya. Padahal, umumnya Longsér dimainkan di aréna terbuka, menyatu jeung penonton. Memang belakangan ini, Longsér sering dimainkan di sebuah panggung, baik di luar bangunan maupun di dalam gedung kesenian.

Namun menurut Wa Kabul, pemimpin Longsér Ringkang Gumiwang, persoalan tempat tergantung pada kondisi. Sah-sah saja Longsér dimainkan di atas panggung, seperti seni teater lainnya.

Awalnya Longsér memiliki waktu pertunjukkan tertentu, yaitu pada malam hari, antara pukul 20.00 sampai dan 22.00. Namun saat ini banyak juga seni Longsér yang dimainkan pada siang hari.

Longsér yang Komunikatif
Malam itu, pada bulan September 2001, arena lapangan parkir Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung disesaki penduduk. Masyarakat di sekitar kampus tersebut berbondong-bondong menyaksikan pertunjukkan yang jarang sekali digelar. Dengan tajuk Revitalisai Seni Tradisi, acara tersebut menampilkan seni Longsér setiap malam selama 9 hari, 10-18 Sepetember 2001. Para penonton cukup antusias menyaksikan acara tersebut. Pemainnya sebagian besar generasi muda. Mereka datang dari bebagai grup Longsér yang ada di Bandung dan sekitarnya.

Berbeda dengan Longsér Bang Tilil atau Aténg Japar, seni Longsér yang ditampilkan di STSI Bandung mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan tersebut, merupakan perkembangan dari Longsér itu sendiri, dan pada dasarnya masih berpijak pada tradisi terdahulu. Bahkan salahsatu grup Longsér sudah berani memodifikasi keutuhan Longsér, menggabungkannya dengan musik dan teater modern.

Kostum dan tema cerita memang berbeda, merupakan penyesuaian dengan keadaan sekarang. Menurut Wa Kabul, cerita dan bahasa yang digunakan pada Longsér hanyalah sebuah fungsi untuk disampaikan kepada penonton. Saat ini para pemain Longsér masih menggunakan bahasa Sunda yang komunikatif, walaupun pada beberapa pementasan ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia.

Longsér dibangun oleh para pemain yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan pada Longsér Bang Tilil, para pemain Longsér banyak yang mempunyai “peran ganda”. Suatu saat ia harus menjadi nayaga (penabuh musik), tapi tiba-tiba ia bergabung dengan pemain lainnya dan ikut berakting.

Selain mengiringi jalannya pementasan, para nayaga pun bertugas untuk “tatalu” (menabuh gamelan) agar mengundang perhatian penonton. Sebelum acara dimulai, gamelan sudah ditabuh sambil menunggu para pemain mempersiapkan cerita yang akan disajikan.

Ronggéng
Ronggéng dikenal sebagai penari merangkap penyanyi pada seni Longsér. Banyak yang beranggapan miring pada tokoh yang satu ini, bahwa ronggéng adalah wanita perayu dengan tarian érotis sebagai pemikatnya. Anggapan tersebut membuat beberapa penari Longsér saat ini enggan disebut ronggéng.

Padahal ronggéng mempunyai peran yang sangat penting dalam seni Longsér. Ia mempunyai daya tarik tersendiri, dan akan terasa hambar jika Longsér tidak dilengkapi oleh ronggéng.

Setelah nayaga menabuh gamelan, dan penonton mulai datang, permainan pun dimulai. Ronggéng bertugas membuka pementasan dengan sebuah tarian. Dilengkapi Kostum dan tata rias yang cukup mencolok, ronggéng menari di tengah-tengah penonton dengan berbagai jenis nuansa gamelan. Beberapa gerakan tari, seperti “éplok céndol” (tarian dengan gerakan goyang pinggul yang cukup erotis), cukup membuat penonton terkesima. Nah, daya tarik inilah yang kemudian membuat para penonton enggan beranjak.

Selain ronggéng muda, dengan penampilan cantik dan menarik, juga ada ronggéng yang sudah berumur. Ronggéng yang satu ini biasanya menampilkan tarian kocak yang membuat penonton terbahak-bahak.

Dalam sebuah pementasan Longsér, ronggéng hadir beberapa kali. Apalagi banyak ronggéng yang ikut berakting dengan pemain lainnya. Beberapa grup Longsér mempunyai lebih dari satu rongéng. Mereka menari dan menyanyikan lagu-lagu Sunda silih berganti. Ronggéng pun berperan pada saat “ngarayuda” (meminta sumbangan alakadarnya kepada penonton sebagai imbalan pementasan). Ronggéng yang cukup terkenal adalah Si Kucrit dari grup Longséng Bang Tilil.

Bodor
Salahsatu ciri khas seni Longsér adalah dengan adanya bodor atau pelawak. Bodor hadir setelah ronggéng menampilkan tarian pembuka. Ia kemudian menari meniru ronggéng, dengan gerakan yang kocak dan mimik yang humoris. Bodor bertugas memperkenalkan grup Longsér yang sedang pentas, menggunakan bahasa yang komunikatif dan seringkali dibumbui dengan canda. Jika pementasan diadakan dalam sebuah kariaan, maka bodor pun mengungkapan maksud dan tujuan penyelenggara kariaan.

Setelah itu, bodor meminta menari bersama ronggéng. Nah, ketika itu, munculah bodor lain dan ikut menari. Kemudian secara katikatural mereka berebut ronggéng. Ronggéng kemudian meminta bayaran, dan karena bodor (pura-pura) tidak mempunyai uang, maka mereka “ngarayuda”, meminta sumbangan kepada penonton. Namun ada juga penonton yang spontan melemparkan uang ke arena pentas dengan menggunakan saputangan atawa kain karémbong.

Setelah itu bodor pun mulai berdialog dengan mengangkat sebuah téma yang telah dipersiapkan. Umumnya, tema yang diangkat adalah kehidupan sederhana masyarakat Sunda. Beberapa pemain (selain bodor) menampilkan berbagai peran, dari ketua RT sampai orang kaya yang kikir.

Dialog
Cerita dalam Longsér umumnya spontanitas, dan naskah, atau bahkan merupakan pengulangan cerita lain yang pernah dipentaskan. Tema cerita pun bagian dari kehidupan sehari-hari, umpamanya tentang “bobogohan” (kisah cinta) antara orang miskin dengan orang kaya. Kisah sederhana ini, sering dilengkapi oleh konflik yang lucu, dan selalu diakhiri dengan happy ending. Kadang-kadang, cerita pun tidak selesai dipentaskan berhubung keadaan alam, misalnya turun hujan, atau karena sudah tidak ada penonton.

Belakangan ini, cerita pada Longsér dipersiapkan dengan naskah skenario. Tetapi unsur spontanitas serta komunikasi dengan penonton masih dipertahankan.

Longsér dan Peralatan Sederhana
Longsér adalah jenis kesenian yang sangat merakyat. Berbagai unsur seni bergabung dalam Longsér, mulai dari seni akting, seni musik, dan seni tari. Peralatan yang digunakan untuk pementasan pun cukup sederhana.

Kostum misalnya, tidak menggunakan kostum husus, namun menggunakan pakaian sehar-hari. Dari mulai datang hingga pementasan, tidak pernah berganti pakaian (kecuali ronggéng). Tidak seperti sekarang, kostum Longsér telah dipersiapkan, sesuai dengan tokoh yang akan diperankan.

Ronggéng misalnya, hanya mengenakan kebaya dan samping dengan motif batik. Tata riasnya pun sederhana, walaupun cukup “menor” (mencolok). Pada perkembangan selanjutnya, busana ronggéng diseragamkan. Sedangkan busana bodor dan pemain lainnya berupa baju kampret, celana sontog, kain sarung, kopiah atau ikat kepala.

Begitu juga peralatan lainnya, menggunakan barang-barang yang ada di sekitar pementasan. Ketika sebuah cerita memerlukan peralatan kursi misalnya, maka gendang pun dapat difungsikan sebagai kursi.

Ketika Longsér dipentaskan di aréna terbuka, penataan “panggung” dilaksanakan sesaat sebelum acara dimulain. Artinya tidak ada persiapan yang panjang seperti layaknya sebuah pementasan teater. Mengacu pada Longsér Bang Tilil, yang dipentaskan pada tahun 1950-an, para pemain dan nayaga datang pada soré hari, sekitar pukul empat. Mereka datang dengan menggunakan béca sebagai sarana pengangkut peralatan. Ada juga grup Longsér yang tidak dilengkapi dengan kendaraan. Mereka datang sambil memikul peralatan, dan disimpan di mana longsér akan digelar, misalnya di stasiun. Hal ini untuk mengundang perhatian penonton, sebagai pertanda bahwa pada malam itu akan dilaksanakan pertunjukan Longsér.

Adapun jenis peralatannya adalah gamelan (musik pengiring); gendang, rebab, saron, bonang, panerus, goong dan kecrek. Peralatan lainnya adalah lampu penerang, bisa berupa patromak atau oncor/obor (sejenis). Sampai saat ini, beberapa grup Longsér masih menggunakan obor, walaupun hanya sebagai simbol karena penerangan sudah memakai listrik. Sebagai pengeras suara, mereka menggunakan spiker dan accu.

Perbatasan antara pemain dan penonton hanyalah menggunakan sebuah garis putih, berupa serbuk kapur yang ditaburkan membentuk lingkaran.

Longsér dan Masa Depannya
Sesuai dengan perkembangannya, saat ini Longsér telah mengalami perubahan. Hal ini merupakan bentuk kreatifitas untuk mengolah seni tradisi agar sesuai dengan kekinian. Tempat pertunjukan, misalnya, saat ini sudah jarang menggunakan arena terbuka, tetapi lebih cenderung di gedung kesenian. Kalaupun di arena terbuka, maka dibangun sebuah panggung dan dipersiapkan beberapa hari segelumnya.

Tema cerita pun mengalami modifikasi, bahkan sudah difokuskan pada suatu kisah yang mengalir dari awal sampai akhir. Modifikasi seni Longsér, seperti seni-seni lainnya, merupakan bentuk perkembangan seni itu sendiri. Hal yang terpenting adalah tidak menghilang bagian yang menjadi ciri seni tersebut.

Seperti seni tradisi lainnya, Longsér pun mengalami pasang-surut. Saat ini, sebagaimana perkembangan sosial di masyarakat yang mengarah kepada kehidupan modern, orang-orang sudah banyak enggan untuk menonton pertunjukan Longsér. Bahkan jenis kesenian Longsér pun banyak yang tidak mengetahuinya, apalagi generasi muda. Fenomena ini ditandai dengan matinya beberapa grup Longsér karena sudah memiliki penonton. Kalaupun Longsér dipertunjukkan, hanya pada acara husus, bukan berdasarkan tuntutan masyarakat untuk mendapat sarana hiburan. Padahal Longsér mempunyai fungsi sosial yang mengetengahkan gambaran kehidupan masyarakat di setiap jaman.

Upaya pelestarian pun terus dilakukan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Barat yang berkewajiban melestarikan seni tradisi telah melakukan pembenahan, agar warisan leluhur ini tidak sampai punah. Misalnya, dengan menampilkan Longsér di gedung-gedung kesenian, atau bahkan di layar kaca seperti TVRI Bandung. Disbudpar pun telah memprioritaskan seni ini sebagai salah satu aset pariwisata di Jawa Barat.

Regenerasi pun merupakan bagian terpenting dalam upaya pelestarian. Ada kecenderungan bahwa surutnya Longsér karena materinya tidak dapat menarik perhatian generasi muda.

Sekolah seni pun, seperti STSI, mempunyai tugas yang sama. Bahkan beberapa mahasiswa STSI membentuk grup Longsér Antar Pulau yang tumbuh dan berkembang sebagai teater rakyat kota. Generasi muda lainnya, seperti Dhipa Galuh Purba, membentuk grup Longsér Damar Citraloka yang anggotanya didominan para remaja.

Namun grup-grup tersebut belum dapat memotifasi generasi muda lainnya untuk ikut mengembangkan seni Longsér. Keadaannya kini cukup memprihatikan, karena pertujukan Longsér tidak lagi menjadi kegiatan yang rutin, hanya pada acara-acara tertentu. Memandang masa depan, mengarah pada perkembangan yang lebih baik, memerlukan peran serta dari berbagai pihak. Apalagi, di Jawa Barat, bukan hanya Longsér yang memerlukan perhatian untuk diselamatkan dari kepunahan.

Saat ini, grup Longsér yang ada di Bandung, dapat dihitung dengan jari. Produktifitasnya pun perlu dipertanyakan. Dan jika hal ini terus berlanjut, maka grup-grup Longsér tersebut hanya untuk memperlambat proses kepunahan.***

Disarikan dari buku Déskripsi Kesenian Jawa Barat, serta sumber-sumber lainnya.

Sumber : http://daluang.com