Ke Mana Perkembangan Sastra Kita?

Oleh : Sapardi Djoko Damono

Sementara kita suka membicarakan masa depan sastra yang tampaknya semakin suram, sebenarnya diam-diam banyak di antara kita yang mengakui bahwa sastra tetap saja dihasilkan manusia kapan pun, dalam suasana dan keadaan apa pun. Tentu ada beberapa alasan mengapa kita memprihatinkan nasib sastra di masa depan: minat baca yang rendah, tekanan dari berbagai lembaga masyarakat, perhatian dunia terhadap teknologi, sistem pendidikan yang tidak mengacuhkan ilmu kemanusiaan, dan sebagainya. Keadaan semacam itu dianggap tidak bisa membantu tumbuhnya kesusastraan, dan oleh karenanya kita, kadang-kadang dengan semangat berlebihan, sering mengajukan usul untuk meningkatkan minat baca masyarakat, melonggarkan tekanan dan memberikan kebebasan menulis bagi sastrawan, memberikan ruang gerak tidak hanya bagi perkembangan teknologi tetapi juga kesenian, memberikan porsi yang lebih besar kepada pendidikan kesenian di sekolah, dan sebagainya.

Sementara itu setiap harinya kita menyaksikan penerbitan karya sastra baru di media massa cetak maupun dalam bentuk buku dalam jumlah yang tidak tanggung-tanggung banyaknya. Kita pun mengetahui bahwa setiap sayembara mengarang selalu mendapat perhatian yang sangat menggembirakan dari masyarakat. Di samping itu, para sastrawan seperti tidak jemu-jemunya menyelenggarakan berbagai acara sastra seperti temu sastrawan, sarasehan sastra, pembacaan puisi, peluncuran buku sastra yang dibiayai sendiri, penerbitan majalah terbatas, dan membuat polemik mengenai penggolongan sastrawan menjadi orang pusat dan daerah.

Kita pun tahu bahwa karya sastra penting bisa lahir di mana pun dalam kondisi sosial politik macam apa pun. Dr. Zhivago ditulis oleh Boris Pasternak di masa rezim Komunis yang konon sangat represif masih berkuasa di Rusia; The Old Man and the Sea ditulis oleh Ernest Hemingway dalam masyarakat yang konon berpandangan liberal; Gitanjali ditulis oleh Rabindranath Tagore di negeri yang masih dalam cengkeraman penjajah; drama-drama Wole Soyinka ditulis di dunia ketiga yang penuh gejolak politik dan sosial, Nigeria.

Di samping itu, karya sastra mungkin sama sekali tidak bisa mengangkat kehidupan duniawi penulisnya seperti yang antara lain dialami oleh Chairil Anwar, tetapi mungkin juga bisa menyebabkan penulisnya sangat kaya raya seperti halnya John Grisham. Waktu dimuat pertama kali di majalah, sajak-sajak Chairil Anwar mungkin hanya dibaca puluhan orang saja, sedangkan cetakan pertama novel John Grisham mencapai 2,8 juta eksemplar; perlu diketahui bahwa keenam novel karya penulis Amerika itu sudah terjual sebanyak 55 juta eksemplar.

Apa yang saya ungkapkan itu menunjukkan bahwa sastra ternyata tetap ditulis dan dibaca meskipun tampaknya dunia kita ini semakin terbawa arus barang mewah dan teknologi modern, meskipun berbagai ilmu, seperti sejarah dan sosiologi, yang pernah dikhawatirkan akan menggusur cerita rekaan, berkembang dengan pesat. Perhatian kita yang semakin besar terhadap perkembangan teknologi modern ternyata tidak mengendurkan semangat membaca. Malah ada di antara kita yang berpendapat bahwa teknologi modern justru membantu tumbuhnya minat baca, seperti yang antara lain tampak pada pengaruh timbal balik antara novel dan film yang ceritanya didasarkan pada karya sastra.

Tentu karena kita membutuhkannya, maka sastra telah dihasilkan entah sejak kapan. Jika kita mengambil cara pandang ini begitu saja, seolah-olah tidak ada gunanya memperbincangkan arah dan nasib sastra kita di masa datang; apa pun yang terjadi, sastra Indonesia pasti akan dihasilkan. Yang perlu kita bicarakan sekarang adalah mengapa sastra harus ada dan untuk apa pula dia itu ada. Meskipun mungkin saja menjadi terharu atau bahkan menangis ketika membaca karya sastra, kita sepenuhnya menyadari bahwa yang kita hadapi hanyalah citraan rekaan yang tidak akan mampu menyelesaikan kemelut yang terjadi dalam hidup kita. Ia tidak nyata, sedangkan kesulitan hidup sehari-hari kita ini benar-benar nyata.

Tetapi, justru karena sifat rekaannya itulah, sastra kita butuhkan Kita tidak mungkin tinggal terus-menerus di dunia nyata; agar hidup ini berlangsung sebaik-baiknya, kita perlu mengadakan perjalanan pulang balik dari dunia nyata ke dunia rekaan. Setiap harinya kita melakukan itu: nonton telenovela atau film seri di televisi; membuat dan mendengarkan cerita rakyat, yakni cerita burung mengenai tetangga, kenalan, atau saudara; atau membaca cerita bersambung atau cerita pendek yang dimuat di berbagai media massa. Dunia rekaan ternyata merupakan pasangan dunia nyata. Jika di dunia nyata ini gerak-gerik kita ada batas-batasnya, maka di dunia rekaan kita mendapatkan keleluasaan yang memungkinkan kita melewati batas-batas itu. Di dalam dunia rekaan itu, apa yang terjadi di dunia nyata bisa diulang lagi. Dengan demikian ia merupakan cermin dari diri kita ini; menghasilkan sastra berarti menyaksikan diri kita sendiri di dalamnya. Karena cermin itu meniru apa yang dicerminkannya, maka sastra pada dasarnya dianggap sebagai mimesis. Dan mimesis adalah tiruan yang memperbaiki kekurangan yang ada pada yang ditiru. Sastra adalah cermin yang istimewa, ia tidak hanya menampilkan diri kita seperti yang ada di dunia nyata, tetapi sekaligus memperbaikinya. Ini berarti sastra juga menampilkan hal yang tidak tampak dalam dunia nyata, hal yang tidak bisa diketahui dalam dunia nyata.

Dengan cara lain bisa dikatakan bahwa sastra merupakan tanggapan evaluatif terhadap kehidupan; sebagai cermin, sastra memantulkan kehidupan setelah menilai dan memperbaikinya. Kita menciptakan sastra sebab membutuhkan citraan rekaan yang bisa mencerminkan hal yang tidak kita ketahui di dunia nyata. Itulah sebabnya, setidaknya menurut Wolfgang Iser, sastra tidak tergusur oleh perkembangan filsafat sejarah dan teori sosiologi, yang juga merupakan cermin diri kita, sebab sastra pada dasarnya justru mencerminkan yang tidak ada. Sastra menghadirkan yang tidak hadir, mementaskan yang tidak terpentaskan dalam kenyataan sehari-hari. Pertanyaan yang penting adalah mengapa gerangan kita menciptakan cara pementasan semacam itu, yang telah bersama kita sepanjang sejarah yang kita catat selama ini.

Jika kita mengikuti jalan pikiran Iser, jawaban terhadap pertanyaan itu tentulah bukan sekedar keinginan untuk mengulang-ulang apa yang ada, tetapi kehendak kuat untuk mendapatkan jalan masuk ke sesuatu yang tidak dapat kita ketahui. Kehendak itulah yang menyebabkan sastra tetap akan kita hasilkan dan tidak bisa digantikan oleh bidang lain apa pun.

Tetapi, kita tetap saja sering mengungkapkan bahwa sastra kita berada dalam bahaya; pandangan yang berlebihan bahkan menyatakan bahwa sastra kita akan disudutkan oleh berbagai hambatan untuk akhirnya hidup merana. Tuduhan terhadap lemahnya minat baca masyarakat sering kita gugurkan sendiri dengan kekhawatiran kita akan dominasi sastra terjemahan yang mengalami kemajuan yang pesat akhir-akhir ini. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu ada sebab sejarah telah mencatat juga dominasi sastra terjemahan dalam kehidupan nenek-moyang kita; dengan sangat cekatan kita bahkan telah menyadur sastra asing dan menjadikannya bagian penting yang mengembangkan ikut kebudayaan kita.

Sastra asing yang telah diterjemahkan tidak lagi menjadi milik bahasa dan kebudayaan sumbernya, tetapi merupakan bagian tak terpisahkan dari bahasa dan kebudayaan sasarannya. Dengan demikian maka Arjuna, Abunawas, dan Pinokio adalah para tetangga kita yang sudah kita lupakan asal-usulnya. Mungkin pada awalnya dulu kita tertarik kepada tokoh-tokoh itu justru karena mereka menghadirkan hal penting yang tidak hadir dalam kehidupan kita. Keasingan itulah yang menjadikan mereka itu "hidup" dalam kehidupan sehari-hari kita. Ditinjau dari sudut pandang ini, kegiatan penerjemahan sastra sekarang ini sebaiknya tidak ditanggapi sebagai ancaman kehidupan sastra kita, tetapi justru harus kita syukuri sebagai hal yang memberikan sumbangan bagi pemenuhan kehendak kuat kita untuk mendapatkan akses ke berbagai hal yang tidak bisa kita dapatkan.

Sastra, dalam zaman kita ini, telah menjadi barang dagangan. Penerbit adalah perusahaan yang dalam kegiatannya harus selalu memperhitungkan untung-rugi. Tampaknya, dalam perhitungan itu, menerbitkan karya terjemahan lebih menguntungkan daripada menerbitkan karya asli. Karya sastra asing yang siap diterjemahkan tidak terhitung jumlahnya, dan kita semua tahu bahwa proses menerjemahkan tentu lebih sederhana daripada proses menciptakan karya asli. Di samping itu jaminan lakunya karya sastra tampaknya lebih pasti sebab tidak jarang ditunjang oleh iklan mengenai keberhasilannya di luar negeri dan pemunculannya dalam bentuk kesenian lain, terutama film.

Kita juga sering mengeluh mengapa kita tidak mampu menghasilkan karya sastra yang, tidak usah adikarya, cermat, kokoh, dan padu seperti yang sering kita jumpai dalam sastra terjemahan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua sistem yang berkaitan dengan kelahiran karya sastra, yakni kepengarangan dan penerbitan. Sastrawan kita umumnya bekerja sendirian; ia harus bekerja secepat-cepatnya tanpa bantuan orang lain untuk memeriksa karangannya. Umumnya sastrawan kita memiliki kerja rangkap, artinya ia tidak bisa memperguanakan seluruh waktunya hanya untuk mengarang. Kesan kuat yang kita dapatkan dari kebanyakan karya sastra kita adalah penulisannya yang sangat tergesa-gesa.

Perkembangan sastra kita banyak ditaja oleh penyelenggaraan berbagai sayembara penulisan. Saya curiga bahwa kebanyakan naskah yang masuk dalam sayembara itu ditulis dengan sangat tergesa-gesa; sebuah novelette mungkin ditulis satu atau dua minggu sebelum dikirimkan; hampir tidak ada tanda-tanda bahwa kebanyakan naskah itu penah diperiksa ulang oleh penulisnya. Di lain pihak, penerbit juga tidak memiliki banyak waktu -- di samping juga tidak memiliki kemampuan cukup -- untuk menyuntingnya. Penerbit koran, majalah, atau buku di negeri ini tampaknya benar-benar menyadari pentingnya gerak cepat dalam mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya. Di dalam sistemnya, hampir tidak disediakan ruang untuk kemampuan yang benar-benar handal dalam penyuntingan. Sastra bukan kitab suci yang tidak bisa disunting agar menjadi lebih baik; sastrawan bukan nabi yang menyampaikan Sabda. Sastrawan hanyalah manusia biasa yang berusaha menciptakan benda budaya yang, tentu saja, bisa mengandung cacat yang bisa diperbaiki pihak lain.

Dalam hal ini proses penulisan novel John Grisham bisa dijadikan sekedar contoh. Ia adalah novelis yang memberi kesan bahwa novel-novelnya ditulis berdasarkan "penelitian" yang cermat atas masalah yang ditulisnya, mungkin justru karena itu ia tidak menulis tergesa-gesa dan sekali jadi. Mungkin saja novel-novelnya sebenarnya tidak merupakan hasil kerja sendirian; ada editor yang membantu melahirkan novelnya. Konon, novelnya The Rainmaker yang hak ciptanya untuk film bisa mencapai 16 miliar rupiah, mula-mula terdiri atas sekitar 750 halaman yang kemudian dirampingkan menjadi 434 halaman saja. Perampingan itu bisa saja dilakukan olehnya sendiri, bisa juga oleh pasukan penyunting yang benar-benar mampu melakukan tugasnya.

Harus kita akui bahwa sepandai-pandainya pengarang, bisa saja ia melakukan kekeliruan atau kecerobohan dalam cara penyampaian maupun apa yang disampaikan. Ia mempunyai kewajiban untuk memeriksa ulang dan memperbaikinya, dan penerbit yang baik juga berkewajiban untuk membantunya. Naskah yang masuk ke penerbit dan penyelenggara sayembara penulisan menunjukkan bahwa kecerobohan pengarang sangat tinggi kadarnya. Menurut pengalaman saya, praktis tidak pernah ada naskah peserta sayembara penulisan yang seratus persen siap untuk diterbitkan. Karena tidak adanya usaha untuk menyelenggarakan penyuntingan yang sungguh-sungguh, sebenarnya sebagian besar sastra kita adalah sastra yang ceroboh. Kita pernah membaca kritik F. Rahardi, penyair dan redaktur majalah pertanian Trubus, terhadap kecerobohan A. Tohari mengenai berbagai masalah pertanian dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Novel Umar Kayam yang banyak mengandung kosa kata Jawa, Para Priyayi, agak menderita sebab tampaknya si penyunting tidak begitu menguasai penulisan ejaan bahasa Jawa. Dan amat sangat banyak karya sastra kita yang mencerminkan lemahnya penguasaan bahasa; cerita rekaan menjadi bertele-tele dan menjengkelkan, puisi menjadi gelap.

Sastra tidak bisa dilahirkan dengan tergesa-gesa, pengarang tidak bisa sepenuhnya bekerja sendirian -- ia langsung atau tak langsung memerlukan bantuan bidang dan keahlian lain. Sistem kesusastraan kita tampaknya belum sepenuhnya siap menunjang kelahiran sastra di zaman yang serba cepat ini. Bisnis penerbitan mensyaratkan dipercepatnya proses penerbitan dan dilipatgadakannya judul buku baru. Tujuan penerbitan yang mementingkan faktor laba ini segera tampak bertentangan dengan hakikat sastra yang memang tidak bisa dipaksa tergesa-gesa dan ceroboh. Yang sekarang diperlukan adalah suatu sistem penerbitan sastra yang bisa mempertemukan keduanya. Jadi, kita harus menciptakan sistem kepengarangan dan penerbitan yang bisa bekerja sama dengan baik, tanpa harus merugikan perkembangan kesusastraan.

Tinggal hal terakhir yang ingin saya sampaikan, yakni yang berkaitan dengan sastra sebagai cara menghadirkan yang tidak hadir. Dalam banyak teori mengenai kebudayaan populer dikatakan bahwa sastra (populer) dimaksudkan untuk membujuk pembaca agar merasa tenteram berada di dunia yang selama ini dikenalnya. Sastra menawarkan dunia yang sudah akrab dengan pembaca dan sama sekali tidak mengajaknya untuk melakukan petualangan melewati batas nilai-nilai dan norma-norma yang diajarkan kepadanya dan diyakininya. Berdasarkan pandangan ini, tentunya sastra cenderung menghadirkan yang sebelumnya memang sudah ada. Ia tidak memenuhi kebutuhan kita untuk mendapatkan jalan masuk ke apa yang tidak bisa kita dapatkan dan saksikan di dunia sehari-hari kita ini.

Untuk menciptakan jalan masuk semacam itu, sastrawan dituntut untuk memiliki kemampuan menciptakan dunia rekaan yang baru; itulah sebenarnya hakikat kreativitas. Kehidupan dan bisnis yang yang menuntut gerak serba cepat tampaknya memberi peluang ke arah diciptakannya sastra yang tergesa-gesa, yang tidak memberikan banyak kesempatan bagi sastrawan untuk "menciptakan" kehidupan, tetapi sekedar menirunya tanpa peluang untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada yang ditirunya. Sastra yang demikian itu sebenarnya merupakan rongrongan terhadap hakikatnya sendiri. Jika sastra hanya meniru dan mengulang apa yang sudah ada dalam kehidupan kita, menghadirkan yang sudah hadir, keabsahaannya sebagai cara untuk mencerminkan apa yang tidak tampak tentu saja menjadi luntur. Untuk apa pula membaca sastra jika disuguhkannya sama saja dengan yang kita kenal sehari-hari.

Dalam tarik-menarik antara keinginan yang sah untuk menjadikannya barang dagangan dan hakikatnya sebagai jalan masuk ke "dunia lain" itulah terletak masa depan sastra kita.

Sapardi Djoko Damono, Prof. Dr., adalah Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI).

Sumber : pusatbahasa.depdiknas.go.id