Karakteristik Masyarakat Aceh

Oleh : Muliadi Kurdi

Abstrak :
Masyarakat Aceh memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perbedaan itu terlihat dalam tingkah polah, dalam berbicara, adat sopan santun dalam bertamu dan budaya ketika menjamu tamu. Berbedanya budaya yang satu dengan yang lain menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa yang perlu dilestarikan. Untuk mereaktualisikan budaya yang tersimpan dalam kehidupan masyarakat Aceh, seseorang harus menyempatkan diri tinggal dan beradaptasi dengan mereka.

A. Pendahuluan
Orang Aceh dalam peta ini didapati beberapa kelompok masyarakat yang memiliki khazanah budaya dan adat-istiadat yang beragam. Secara realitas ditemukan bahwa adat-istiadat yang dimiliki masyarakat ini ada kesamaan dan kemiripan, namun dijumpai pula perbedaan dalam teknis pelaksanaan atau bahkan dalam hal yang amat subtansial. Kekayaan khazanah adat ini tidak terlepas dari asal-usul terbentuknya masyarakat pada periode awal yang mendiami daerah ini. Lahirnya tradisi dalam masyarakat terbangun dari latar belakang kehidupan kelompok masyarakat, agama, kepercayaan dan aturan-aturan penting yang disusun bersama demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Masyarakat Aceh sampai saat ini ada yang tinggal di daerah terisolir atau di desa-desa, ada yang tinggal di dekat pesisir dan ada juga yang tinggal di lereng-lereng bukit. Biasanya, tipe masyarakat yang tinggal dekat pesisir karakternya lebih keras dan lebih besar vokal ketika berbicara, daripada yang tinggal di lereng-lereng bukit. Pendengaran orang yang tinggal di lereng-lereng bukit itu lebih halus, tajam dan bersahaja daripada yang tinggal di tepi pantai. Walapun kedua katagori masyarakat itu masih dalam kelompok masyarakat desa.

Masyarakat Aceh dalam kesehariannya sering duduk di surau-surau dekat mesjid, berbagi cerita sambil menunggu waktu shalat magrib tiba. Kemudian, senang berlama-lama duduk di warung kopi sambil bercerita panjang lebar tanpa judul pembicaraan yang jelas, ini dilakukan sampai mereka pulang ke rumahnya masing-masing, dalam ungkapan bahasa Aceh disebut dengan, “peh rantam atau peh keureupuk.” Ada juga di antara mereka yang gemar terhadap cerita bohong (pembual), mengunjing orang lain dan ada juga yang senang berjudi seperti mengadu kerbau, mengadu sapi, mengadu layang-layang, mengadu ayam dan, meueen batee sebagainya.

Sedikit sekali orang Aceh yang mau bekerja keras, taat dalam beribadah dan menuntut ilmu pengetahuan. Karena ada anggapan sejak zaman Hindia Belanda, penulis tidak tahu persis anggapan ini darimana sumbernya, masyarakat Aceh dilarang belajar di sekolah-sekolah karena ditakutkan akan jadi kafir. Hal ini menjadi salah satu indikator yang membuat masyarakat Aceh, kalau kita datang ke desa-desa, ada yang tidak mengerti tulis baca ejaan bahasa Indonesia, tapi mereka pandai menulis dan membaca Arab-Melayu.

Dari aspek postur tubuh dan bahasa yang diucapkan dalam masyarakat Aceh, biasanya akan memudahkan untuk membedakan asal dan karakter mereka. Misalnya karakter dan fostur tubuh orang Lamno (Aceh Jaya) berbeda dengan karakter dan fostur tubuh orang Aceh Besar, orang Gayo, orang Pidie berbeda karakter dengan orang Meulaboh (A. Barat) dan sebagainya. Ketika terjadi perbedaan karakter baik dalam pandangan maupun dalam bidang sosial kemasyarakatan, maka sering terjadi konflik internal yang pada akhirnya akan terjadi perubahan, perselisihan atau perang saudara. Salah satu contoh yang kita amati bahwa antara orang Aceh Besar dengan orang Pidie, orang Gayo dan Aceh Selatan, telah terjadi konflik batin atau konflik internal sejak zaman dahulu.

B. Budaya Tabu Dalam Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh mempunyai pantangan dan hal-hal yang dianggap tabu. Jika tidak dihiraukan akan berakibat fatal sampai membawa kepada perkelahian. Di antara pantangan-pantangan itu adalah pantang dibohongi, jika berteman walupun sudah intim sekalipun tidak boleh sepak walaupun hanya bergurau karena dianggap hilang kehormatan diri, tempeleng di kepala, itu berangapan akan menjadi bodoh, kentut di depan orang ramai dan yang paling tabu lagi ketut di depan guru, `guree`, orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat, itu dianggap aib karena keluar dari tempat yang memalukan.

Dilarang bagi perempuan duduk di depan pintu dengan rambut terhampar (karena takut ditimpa kemalangan), tabu bagi gadis-gadis duduk di warung kopi karena dianggap aib, berteriak-teriak waktu senja hari bisa ditimpa kemalangan, dilarang bagi laki-laki bertamu ke rumah janda, menginjak kain kepala (teungkulok), itu diartikan sama dengan menyepak kepala, melangkahi kepala orang yang sedang tidur, melangkahi perkakas-perkakas kerja karena ada anggapan akan celaka ketika bekerja, menanyakan orang yang sedang pergi memancing karena ada anggapan tidak mendapat ikan, pakai sepatu dan baju mewah pergi ke kuburan atau berta`ziah, memukul anak-anak dengan sapu lidi karena diyakini akan kurus kerontang, dilarang memukul anak dengan irus karena dianggap akan bernasib malang, pantangan bagi orang dewasa untuk masuk ke dalam rumah yang di dalam nya ada anak kecil yang masih bayi, jika baru datang atau pulang dari suatu tempat pada malam hari. Pantangan lain adalah tidak boleh mengolok-olok ketika orang tua berbicara, tidak berjalan dengan gaya yang tidak sopan di depan orang tua dan tidak boleh mendahului guru, orang tua dan tokoh masyarakat.

C. Karakter Budaya Rendah
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa kepercayaan dan alam pikiran sebagian penduduk masih didominasi dan dilatar belakangi oleh kondisi normatif yang Islami, maka ada sikap dan prilaku masyarakat dalam kepercayaan dan alam pikiran yang berbau mitos atau magis, ini masih menunjukkan cara yang bersifat sementara, antara lain :

Sangat tergantung pada kebijakan-kebijakan dari penguasa baik dari segi ekonomi, politik, maupun kalangan sosial kemasyarakatan.

Lemah dalam hal-hal yang menyangkut inisiatif, kualitas, lebih-lebih dalam keberanian inovasi termasuk keberanian mengambil resiko.

Telah sangat menurun (kurang) dalam hal kepercayaan diri, sehingga yang dikemukakan adalah rasa-rasa khawatir dan takut.

Kurang memiliki rasa tanggung jawab, bahkan cenderung untuk lari dari tanggung jawab, mencari kambing hitam atau mencari alasan-alasan tertentu yang tidak jarang beresiko merugikan orang lain

Sangat kurang kepercayaan kepada pemimpin-pemimpin masyarakat, baik pimpinan agama, politik maupun pimpinan-pimpinan adat.

Dimana satu sisi terlihat sangat moralistic, tetapi di sisi lain sering kali melalaikan “etika” kelalaian menimbulkan rasa malu serta dimunculkan ungkapan baru yang berbunyi, “Meunyoe thaet ta pateh haba kitab meu boh u tupe kap han tateumeung rasa.”

Di samping premondialisme, feodalisme dan patrionalisme yang sebenarnya sudah kehilangan kredibilitasnya dan intitusionalnya, tetapi dalam setiap sikap dan prilaku individual seolah-olah sudah ditumbuh kembangkan, sehingga semakin jelas terlihat bentuk sikap dan prilaku keseharian hampir disetiap individual.

Keadaan di atas semakin diperparah oleh pengalaman-pengalaman pahit “Ureung Aceh” dalam beberapa dekade belakangan ini sehingga akan terbentuk sikap-sikap dan prilaku setiap institusi kelompok masyarakat di antaranya:

Orang Aceh selalu merasa diri lebih baik dari orang lain, terutama dalam meresapi sejarah Kerajaan Aceh dan memperingati masa perjuangan kemerdekaan, walaupu pada realitasnya adalah benar adanya.

Sedikit dari mereka yang bisa menerima kritikan, jika banyak dikritik seolah-olah telah menginjak-injak harga diri dan kesopanan.

Hilangnya sifat berani berkompetisi diganti oleh sifat-sifat “ku`eh” atau iri hati terhadap orang lain yang kebetulan lebih maju se langkah daripadanya.

Sering mengutamakan dan mengejar prestise, sehingga prestasi sering diabaikan, akibatnya orang Aceh sekarang kehilangan jati diri.

Rendahnya kedisiplinan diri, terutama dalam kehidpan hari-hari. Sering orang Aceh menghabiskan waktu berjam-jam di warung kopi bahkan lupa kerja dan anak isteri di rumah.

Rasa idealisme yang tinggi, sehingga banyak dari masyarakat Aceh yang masih mempertahankan, “kraek”-nya walapun tidak benar sekalipun.

Sebagian masyarakat sudah mengadopsi kecenderungan pola hidup konstruktif, sehingga terkesan boros, tidak seperti sebagian mereka yang sangat menekankan prinsip hemat. Prinsip ini tergambar dalam ungkapan, “Tanguei ban laku teuboeh ta pajoh ban laku harta.” “tajak ubeu lot tapak.” “bek tasoek bajei goeb” Ungkapan ini bermakna sesuatu kebutuhan itu harus bercermin pada kemampuan diri.

Lebih menghargai orang yang mempunyai predikat tertentu atau kekayaan yang menonjol daripada menghasilkan karya yang bermutu atau tanpa mengkritisi darimana mereka memperoleh predikat tertentu dari kekayaan yang menonjol tersebut.

Suka menokohkan seseorang yang mereka senangi biarpun tidak intelek atau pandai dalam agama. Akibatnya akan terjadi krisis tokoh atau krisis kepemimpinan sepanjang sejarah Aceh.

Kurangnya pengkaderan tokoh dalam masyarakat Aceh, sehingga ketika mereka harus memilih seorang tokoh, memilih dengan cara terdesak berdasarkan, “budaya tidak enak” bukan berdasarkan kapasitas, intelektualitas dan karismanya.

Orang Aceh kurang pintar berbahasa Indonesia. Kenyataan ini terlihat tatkala ada forum-forum ilmiah yang diikutsertakan oleh para mahasiswa, santri, dosen maupun para ulama, banyak dari mereka ketika berbicara dalam bahasa Indonesia terputus-putus atau tersendak-sendak atau diam seribu bahasa ketika bertanya atau memberi pendapat atau menyanggah pendapat orang lain. Dalam hal ini bukan berarti orang Aceh tidak memiliki ilmu pengetahuan jika dibandingkan dengan masyarakat lain di tanah air.

Daftar Rujukan
A.G. van Sluijs. “Nota: Aceh Onderhoorigheden, Sept. 1918. Ock. 1920”, Kernpapieren, KITLV Leiden, no. 797/156.

A.H. Hill. Hikayat Raja-Raja Pasai, Journal of The Malayan Branch Royal Asiatic Society, Volume XXXIII, Part 2. JMBRAS,1960.

Alfian. “Komunikasi, Pembangunan dan Transformasi Budaya,” Transformasi Sosial Budaya. Jakarta : UI Press, 1986.

Asdi S. Dipodjojo dan Endang Daruni Asdi. Taju`ssalatin. Yogyakarta: Lukman Offset, 1999.

C. Snouck Hurgronje. Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya. Jakarta: INIS, 1997.

Chaiwat Satha-Anand. Agama dan Budaya Perdamaian (terj.). Cet. 2. Yogyakarta: Forum Kajian Budaya dan Agama, 2002.

Edward B. Tylor. Premitive Culture; Researches into the Development of Mythology, Philisophy, Religion, Language, Art and Custum. New York: Henry Holt & Co, 1871.

Muliadi Kurdi. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa;Pendekatan Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Atjeh. Cet. 1. Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2006.

Muliadi Kurdi, adalah dosen honorer pada Fak. Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Ustad pada Pesantren Modern Al-Manar Aceh Besar.

Sumber: www.acehinstitute.org