Seni tradisional tarling (gitar suling) identik dengan Cirebon. Namun, bisa pula dikatakan tarling identik dengan H. Abdul Adjib. Dialah seniman yang mengangkat pamor tarling hingga bisa populer seperti sekarang.
Di tangan Abdul Adjib, tarling bukan lagi sekadar seni musik yang mengandalkan instrumen gitar dan suling, tetapi sejak tahun 1964 menjadi seni pentas yang mempunyai daya pikat luar biasa. Berbagai lapisan masyarakat senantiasa merindukan kehadiran tarling saat pesta pernikahan, khitanan, syukuran rumah baru, pesta panen padi hingga pengangkatan kepala desa.
Popularitas tarling kemudian juga mendorong munculnya grup-grup tarling sejak pertengahan 1970-an hingga sekarang dengan berbagai improvisasinya, seperti tarling dangdut, tarling jaipong dan sebagainya. Namun, di antara berbagai grup tarling yang bermunculan tersebut, "Putra Sangkala" pimpinan Abdul Adjib tetap menempati urutan teratas. Pesanan pentas tidak pernah berhenti sepanjang tahun, bahkan untuk permintaan pentas tidak bisa dilakukan dadakan namun harus pesan dan antre sekitar tujuh sampai delapan bulan sebelumnya.
Lagu-lagu tarling pun seolah tidak pernah berhenti mengalir dari tangan Abdul Adjib. Lebih dari 300 lagu tarling telah diciptakan, antara lain yang sangat populer, Penganten Baru, Sopir Inden, Tukang Cukur, Kota Cirebon dan sejumlah lagu lainnya yang direkam di piringan hitam, kaset hingga CD. "Namun, saya tidak menikmati keuntungan royalti dari popularitas lagu-lagu tersebut karena semuanya dijual putus," keluh Adjib.
Meski tidak menikmati keuntungan royalti, namun nyatanya nama Abdul Adjib sangat melekat di kalangan masyarakat Jawa Barat, terutama yang bermukim di sekitar pesisir pantai utara Jawa (Pantura). Penampilan Abdul Adjib dan grupnya yang kini bernama "Putra Suara" memiliki daya pikat luar biasa, sehingga penonton bisa terpaku di depan panggung sepanjang malam hingga dini hari terutama jika menampilkan lakon-lakon yang sangat populer, seperti Baridin dan Martabakrun.
Di luar lakon tersebut, Abdul Adjib diakui banyak pihak memiliki keistimewaan dalam suara, improvisasi panggung dan membuat wangsalan (semacam pantun) yang diiringi musik tarling. Apa pun yang dilihat Adjib di atas panggung, bisa langsung dibuat wangsalan yang mempesona penonton mulai dari gadis remaja hingga nenek renta.
***
Sampai pertengahan tahun 1950-an, irama musik khas Cirebon yang ditambah gitar tersebut belum dinamakan tarling. Kepala RRI Cirebon saat itu, Fadjar Madrazi, menyebutnya Melodi Kota Udang untuk acara musik yang diasuhnya dengan menampilkan grup-grup musik yang sudah sangat tenar ketika itu, seperti Kelana Jaya pimpinan Jayana dan Nada Budaya pimpinan Narto serta sinden beken saat itu seperti Nyi Carini, Nyi Suteni, Nyi Tarwi dan Nyi Dariyem.
"Mungkin karena dalam perkembangannya kemudian irama musik tersebut didominasi suara gitar dan suling, masyarakat menyebutnya tarling," kata Abdul Adjib, kelahiran Cirebon 9 Januari 1942.
Abdul Adjib yang saat itu masih berumur belasan tahun dan duduk di bangku SMP, belum berkecimpung di dunia musik tetapi lebih sering tampil di grup sandiwara Gado-gado Remaja. Kakaknya, seniman serba bisa, Askadi Sastrasuganda, memberikan polesan musik pada bakat seni Abdul Adjib. Hasil binaan ini tidak sia-sia, karena dalam Festival Tarling se-Karesidenan Cirebon tahun 1968, Abdul Adjib tampil sebagai juara pertama mengalahkan seniman tarling yang sudah sangat populer saat itu, Narto dan Jayana.
"Kemenangan ini sekaligus memunculkan gagasan saya untuk memodifikasi tarling," kata Abdul Adjib. Di tangannya, tarling bukan lagi sekadar seni musik tetapi seni pentas yang merupakan perpaduan antara seni tari, seni musik dan seni drama.
"Perpaduan ini dimaksudkan agar tarling menjadi lebih variatif, tidak sekadar menghibur tetapi bisa memasukkan unsur pendidikan lewat drama dan musik," kata Adjib. Karena itu beberapa lakon drama pun disusun, antara lain yang sangat populer hingga sekarang adalah Baridin, menceritakan seorang pemuda miskin yang cintanya ditolak oleh gadis cantik dari keluarga kaya-raya.
Selain membuat berbagai lakon, Abdul Adjib tak pernah kehabisan gagasan untuk terus menciptakan lagu, mulai dari kisah yang terjadi di masyarakat, kepiluan hidup, sindiran hingga lagu yang bernada jenaka.
Produktivitasnya dalam menciptakan lakon dan lagu, membuat grup tarling asuhannya sangat populer. Pesanan untuk tampil tidak pernah berhenti sepanjang tahun, bahkan pada masa jayanya sekitar tahun 1970-an sering pentas lebih dari 500 kali dalam setahun. "Kami terpaksa pontang-panting, sebagian anggota tampil dulu kemudian pindah ke tempat lain yang berdekatan," kata Abdul Adjib.
Selain sibuk pentas mulai dari Banten hingga Pekalongan, Jawa Tengah, Adjib harus pandai mengatur waktu untuk rekaman di Jakarta. Hingga kini puluhan piringan hitam, kaset hingga CD lagu-lagu tarling sudah dihasilkan Adjib bersama sinden andalan sekaligus istrinya, Uun Kurniasih.
***
DI masa tuanya kini, Adjib lebih banyak memberikan ceramah keagamaan di berbagai majelis taklim. Undangan untuk memberikan ceramah tak henti-hentinya mengalir dari satu kota ke kota lain, terutama di Jawa Barat.
Meski demikian, permintaan untuk bermain tarling tetap dia layani. "Bagaimanapun tarling sudah menjadi bagian dan ladang hidup saya," ujar pensiunan pegawai negeri sipil di lingkungan Pemda Kotamadya Cirebon ini.
Obsesi sekaligus usaha yang sedang dirintisnya saat ini adalah berupaya menempatkan tarling agar bisa sejajar dengan bentuk kesenian daerah lain, seperti lenong Betawi dan ludruk Jawa Timur. Karena itu Adjib sedang berupaya keras mencari tempat pementasan yang permanen di Jakarta seperti Srimulat yang pernah manggung di Taman Ria Jakarta.
Adjib merasa yakin, di Jakarta tarling akan mampu bersaing dengan seni pertunjukan lain dan tidak akan kehilangan peminat. Selain banyaknya warga Cirebon dan Indramayu yang bermigrasi ke Ibu Kota, pementasan tarling lebih atraktif dan variatif karena merupakan paduan dari seni musik, tari dan drama.
"Salah satu hal yang masih menjadi kendala antara lain soal bahasa. Kalau mau ditonton masyarakat lain di luar subetnis Cirebon, maka tarling harus mau menggunakan bahasa Indonesia seperti halnya ludruk dan Srimulat," kata Adjib.
Namun, di tengah upaya Adjib mengembangkan seni tarling ke berbagai daerah termasuk Jakarta, seniman-seniman tarling yang baru muncul justru sering mengeluh karena merasa terdesak. Dalam beberapa kali penampilan tarling, sinden dan pemain drama yang belum tersohor justru sering dipaksa penonton mempersingkat jalan cerita, atau tarling ditampilkan tengah malam setelah lagu-lagu dangdut. Bahkan ketika cerita sudah mulai berjalan, kalangan muda yang menyaksikan pementasan sambil menenggak minuman beralkohol sering memaksa untuk melantunkan lagu-lagu berirama dangdut.
"Pernah ada yang menolak, penonton lalu melempari pemain tarling," keluh Adjib dengan nada prihatin. Tidak mengherankan jika kemudian di beberepa daerah, aparat pemerintah melarang atraksi hiburan termasuk tarling pada malam hari, dengan alasan sering menimbulkan keributan massa penonton. Tarling sering jadi kambing hitam terjadinya keributan.
"Ini tudingan yang menyakitkan, tetapi sekaligus tantangan bagi seniman tarling untuk lebih kreatif agar bisa lebih banyak menarik minat penonton," kata Abdul Adjib.
Di tangan Abdul Adjib, tarling bukan lagi sekadar seni musik yang mengandalkan instrumen gitar dan suling, tetapi sejak tahun 1964 menjadi seni pentas yang mempunyai daya pikat luar biasa. Berbagai lapisan masyarakat senantiasa merindukan kehadiran tarling saat pesta pernikahan, khitanan, syukuran rumah baru, pesta panen padi hingga pengangkatan kepala desa.
Popularitas tarling kemudian juga mendorong munculnya grup-grup tarling sejak pertengahan 1970-an hingga sekarang dengan berbagai improvisasinya, seperti tarling dangdut, tarling jaipong dan sebagainya. Namun, di antara berbagai grup tarling yang bermunculan tersebut, "Putra Sangkala" pimpinan Abdul Adjib tetap menempati urutan teratas. Pesanan pentas tidak pernah berhenti sepanjang tahun, bahkan untuk permintaan pentas tidak bisa dilakukan dadakan namun harus pesan dan antre sekitar tujuh sampai delapan bulan sebelumnya.
Lagu-lagu tarling pun seolah tidak pernah berhenti mengalir dari tangan Abdul Adjib. Lebih dari 300 lagu tarling telah diciptakan, antara lain yang sangat populer, Penganten Baru, Sopir Inden, Tukang Cukur, Kota Cirebon dan sejumlah lagu lainnya yang direkam di piringan hitam, kaset hingga CD. "Namun, saya tidak menikmati keuntungan royalti dari popularitas lagu-lagu tersebut karena semuanya dijual putus," keluh Adjib.
Meski tidak menikmati keuntungan royalti, namun nyatanya nama Abdul Adjib sangat melekat di kalangan masyarakat Jawa Barat, terutama yang bermukim di sekitar pesisir pantai utara Jawa (Pantura). Penampilan Abdul Adjib dan grupnya yang kini bernama "Putra Suara" memiliki daya pikat luar biasa, sehingga penonton bisa terpaku di depan panggung sepanjang malam hingga dini hari terutama jika menampilkan lakon-lakon yang sangat populer, seperti Baridin dan Martabakrun.
Di luar lakon tersebut, Abdul Adjib diakui banyak pihak memiliki keistimewaan dalam suara, improvisasi panggung dan membuat wangsalan (semacam pantun) yang diiringi musik tarling. Apa pun yang dilihat Adjib di atas panggung, bisa langsung dibuat wangsalan yang mempesona penonton mulai dari gadis remaja hingga nenek renta.
***
Sampai pertengahan tahun 1950-an, irama musik khas Cirebon yang ditambah gitar tersebut belum dinamakan tarling. Kepala RRI Cirebon saat itu, Fadjar Madrazi, menyebutnya Melodi Kota Udang untuk acara musik yang diasuhnya dengan menampilkan grup-grup musik yang sudah sangat tenar ketika itu, seperti Kelana Jaya pimpinan Jayana dan Nada Budaya pimpinan Narto serta sinden beken saat itu seperti Nyi Carini, Nyi Suteni, Nyi Tarwi dan Nyi Dariyem.
"Mungkin karena dalam perkembangannya kemudian irama musik tersebut didominasi suara gitar dan suling, masyarakat menyebutnya tarling," kata Abdul Adjib, kelahiran Cirebon 9 Januari 1942.
Abdul Adjib yang saat itu masih berumur belasan tahun dan duduk di bangku SMP, belum berkecimpung di dunia musik tetapi lebih sering tampil di grup sandiwara Gado-gado Remaja. Kakaknya, seniman serba bisa, Askadi Sastrasuganda, memberikan polesan musik pada bakat seni Abdul Adjib. Hasil binaan ini tidak sia-sia, karena dalam Festival Tarling se-Karesidenan Cirebon tahun 1968, Abdul Adjib tampil sebagai juara pertama mengalahkan seniman tarling yang sudah sangat populer saat itu, Narto dan Jayana.
"Kemenangan ini sekaligus memunculkan gagasan saya untuk memodifikasi tarling," kata Abdul Adjib. Di tangannya, tarling bukan lagi sekadar seni musik tetapi seni pentas yang merupakan perpaduan antara seni tari, seni musik dan seni drama.
"Perpaduan ini dimaksudkan agar tarling menjadi lebih variatif, tidak sekadar menghibur tetapi bisa memasukkan unsur pendidikan lewat drama dan musik," kata Adjib. Karena itu beberapa lakon drama pun disusun, antara lain yang sangat populer hingga sekarang adalah Baridin, menceritakan seorang pemuda miskin yang cintanya ditolak oleh gadis cantik dari keluarga kaya-raya.
Selain membuat berbagai lakon, Abdul Adjib tak pernah kehabisan gagasan untuk terus menciptakan lagu, mulai dari kisah yang terjadi di masyarakat, kepiluan hidup, sindiran hingga lagu yang bernada jenaka.
Produktivitasnya dalam menciptakan lakon dan lagu, membuat grup tarling asuhannya sangat populer. Pesanan untuk tampil tidak pernah berhenti sepanjang tahun, bahkan pada masa jayanya sekitar tahun 1970-an sering pentas lebih dari 500 kali dalam setahun. "Kami terpaksa pontang-panting, sebagian anggota tampil dulu kemudian pindah ke tempat lain yang berdekatan," kata Abdul Adjib.
Selain sibuk pentas mulai dari Banten hingga Pekalongan, Jawa Tengah, Adjib harus pandai mengatur waktu untuk rekaman di Jakarta. Hingga kini puluhan piringan hitam, kaset hingga CD lagu-lagu tarling sudah dihasilkan Adjib bersama sinden andalan sekaligus istrinya, Uun Kurniasih.
***
DI masa tuanya kini, Adjib lebih banyak memberikan ceramah keagamaan di berbagai majelis taklim. Undangan untuk memberikan ceramah tak henti-hentinya mengalir dari satu kota ke kota lain, terutama di Jawa Barat.
Meski demikian, permintaan untuk bermain tarling tetap dia layani. "Bagaimanapun tarling sudah menjadi bagian dan ladang hidup saya," ujar pensiunan pegawai negeri sipil di lingkungan Pemda Kotamadya Cirebon ini.
Obsesi sekaligus usaha yang sedang dirintisnya saat ini adalah berupaya menempatkan tarling agar bisa sejajar dengan bentuk kesenian daerah lain, seperti lenong Betawi dan ludruk Jawa Timur. Karena itu Adjib sedang berupaya keras mencari tempat pementasan yang permanen di Jakarta seperti Srimulat yang pernah manggung di Taman Ria Jakarta.
Adjib merasa yakin, di Jakarta tarling akan mampu bersaing dengan seni pertunjukan lain dan tidak akan kehilangan peminat. Selain banyaknya warga Cirebon dan Indramayu yang bermigrasi ke Ibu Kota, pementasan tarling lebih atraktif dan variatif karena merupakan paduan dari seni musik, tari dan drama.
"Salah satu hal yang masih menjadi kendala antara lain soal bahasa. Kalau mau ditonton masyarakat lain di luar subetnis Cirebon, maka tarling harus mau menggunakan bahasa Indonesia seperti halnya ludruk dan Srimulat," kata Adjib.
Namun, di tengah upaya Adjib mengembangkan seni tarling ke berbagai daerah termasuk Jakarta, seniman-seniman tarling yang baru muncul justru sering mengeluh karena merasa terdesak. Dalam beberapa kali penampilan tarling, sinden dan pemain drama yang belum tersohor justru sering dipaksa penonton mempersingkat jalan cerita, atau tarling ditampilkan tengah malam setelah lagu-lagu dangdut. Bahkan ketika cerita sudah mulai berjalan, kalangan muda yang menyaksikan pementasan sambil menenggak minuman beralkohol sering memaksa untuk melantunkan lagu-lagu berirama dangdut.
"Pernah ada yang menolak, penonton lalu melempari pemain tarling," keluh Adjib dengan nada prihatin. Tidak mengherankan jika kemudian di beberepa daerah, aparat pemerintah melarang atraksi hiburan termasuk tarling pada malam hari, dengan alasan sering menimbulkan keributan massa penonton. Tarling sering jadi kambing hitam terjadinya keributan.
"Ini tudingan yang menyakitkan, tetapi sekaligus tantangan bagi seniman tarling untuk lebih kreatif agar bisa lebih banyak menarik minat penonton," kata Abdul Adjib.
Sumber : http://www.smallcrab.com