wisata sex bagi wanita pejabat

Kota Surabaya bukan hanya 'surga' bagi pria hidung belang. Perempuan bergaya hidup bebas juga mencari laki-laki macho. Perempuan-perempuan haus sentuhan pria perkasa ini adalah para pengusaha muda, istri muda, atau istri simpanan para pejabat Jakarta yang rela merogoh kocek Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta sekali kencan.

Tidak mengherankan jika komunitas pria pemuas nafsu seks yang biasa disebut gigolo makin menjamur. Selain Surabaya, perselingkuhan dengan wanita-wanita papan atas bermotifkan uang ini juga menjamur di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Medan, Semarang, dan Makassar. Bahkan, sudah terdapat di Malang, Kediri, dan Madiun.

Menurut penelusuran Warta Kota pekan lalu, gigolo berusia sekitar 20-25 tahun dan terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama terorganisasi dan gerakannya diatur germo atau biasa disebut GM, sementara kelompok kedua bergerak sendiri mencari targetnya.

Gigolo yang terorganisasi lebih rapi dan tertutup lantaran klien mereka adalah pengusaha wanita terkemuka yang dikenal masyarakat, istri-istri muda, dan istri simpanan pejabat yang sehari-hari diawasi pengawal pribadi.

Kelompok gigolo yang bergerak sendiri biasanya menawarkan diri secara terbuka lewat iklan-iklan di surat kabar. Mereka berusaha menarik perhatian konsumen dengan kalimat vulgar, misalnya: "Wahyu Massa, refleksi cakep dewasa panggilan hubungi 0813320xxxx", atau "Jaka Massage, tampan BB face, ramah, macho, big & long servis all in khss panggilan hub 081654xxxxx".

"Pelaku (gigolo) yang menawarkan diri lewat iklan bisa ditebak konsumennya adalah wanita-wanita kelas ekonomi menengah atas. Dan usianya pasti di atas 50 tahun, ya istilah untuk mereka yang terlambat menopause," cetus Indra, mantan gigolo yang kini menggeluti dunia entertainment di Surabaya.

Meski jaringan gigolo sangat tertutup, tidak jarang mereka nongkrong di satu tempat untuk 'tebar pesona'. Para gigolo biasanya memanfaatkan pusat-pusat keramaian, seperti restoran cepat saji di plasa-plasa di pusat kota."Tak jarang dari sekadar makan sambil ngobrol berjam-jam di tempat itu, kami dapat target, lalu berlanjut ke hotel," ungkap Deddi, gigolo yang sehari-hari bekerja di sebuah restoran chinese food, sambil menyebut dua restoran cepat saji di kawasan Jalan Basuki Rahmat dan Jalan Pemuda yang sering dipakai mangkal para gigolo.

Pejabat Jakarta
Meski kebanyakan konsumen gigolo adalah wanita dari luar kota, Deddi mengaku pernah melayani perempuan pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim. Pertemuan dengan wanita tengah baya itu terjadi di sebuah restoran cepat saji di sebuah mal."Dia habis membeli baju di sebuah gerai di mal tersebut, lalu mampir makan sebelum pulang. Saat itulah kami bertatap mata dan saling berkenalan. Usianya sih hampir sama dengan ibu saya, tapi penampilannya sangat menarik dan tubuhnya masih terawat," ungkap lelaki 23 tahun yang masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan ekonomi di perguruan tinggi negeri di Surabaya itu.

Pertemuan sekilas itu berlanjut. Setelah bertukar nomor ponsel, mereka sering telepon-teleponan layaknya dua insan yang tengah memadu kasih. "Menghadapi wanita seperti ini memang tak seperti cewek seusia saya, begitu suka langsung berlanjut. Mereka sangat hati-hati sebelum memutuskan mengajak kita ke hubungan yang lebih intim," katanya.

Entah karena kurang puas atas pelayanan Deddi atau memang ingin menjaga privacy, Deddi kini tak pernah lagi ditelepon dan bertemu dengan perempuan itu. "Setelah sekali mengajak kencan di hotel mewah, saya masih sempat ketemu dan diajak jalan-jalan selang dua bulan kemudian. Tapi, itu sudah setahun lalu. Mungkin sekarang dia sudah mutasi atau malah pensiun, saya enggak tahu," kata Deddi.

Sementara itu, pelanggan dari kalangan istri para pejabat, katanya, umumnya mereka adalah istri muda atau istri simpanan. "Kejadian yang terbanyak, pejabat Jakarta menyimpan istri muda mereka di Surabaya atau kota-kota besar lain di Jawa Timur. Istri-istri itu sering kesepian," tambahnya.

Uang lelah yang diberikan para tante atau mbak-mbak genit ini bervariasi. Sebab, tidak setiap pertemuan di kamar hotel berakhir dengan hubungan intim. Jika hanya menemani ngobol, uang taksi (istilah untuk uang jasa bagi gigolo) yang mereka terima Rp 400.000 sampai Rp 600.000 sekali pertemuan.

Tapi, jika romantisme di kamar mewah, uang taksi meningkat menjadi Rp 1.500.000 hingga Rp 2.000.000. "Sebagai lelaki normal, melihat wajah cantik dan tubuh yang terawat sering terbersit enggak dibayar pun saya mau," kata Deddi sambil tertawa.

Tapi, kepuasan memang tak bisa diukur dengan uang. Maka, wajar jika wanita-wanita kesepian itu tak mempersoalkan harus mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk melepas dahaga mereka."Kalau mereka sudah cocok, tidak segan memenuhi semua keperluan sang lelaki idamannya," kata Deddi.

Tidak obralan
Prostitusi yang melibatkan laki-laki pekerja seks komersial (PSK) di sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, diakui pengamat sosial Universitas Airlangga Bagong Suyanto, makin terbuka. Maraknya aktivitas gigolo, menurut Bagong, tidak lepas dari adanya anomali nilai-nilai di masyaraat. Apa yang dulu dinilai tabu, kini sudah dianggap biasa. "Masyarakat di kota besar kini cenderung tidak lagi peduli ketika tahu pria dan wanita bukan suami istri masuk hotel. Sejauh mereka tidak kenal, dianggap bukan urusan mereka. Dan ini jadi wilayah aman bagi orang-orang yang mau selingkuh," tegasnya.

Hanya saja, perempuan yang menyewa gigolo masih dipandang tidak biasa di masyarakat. Mereka umumnya cenderung lebih permisif dan menilai biasa kaum pria 'jajan'. Karena itu, kata Bagong, cara kerja gigolo terancang lebih rapi dan tertutup, tidak obralan."Tante-tante atau mbak-mbak pencari kepuasan dari gigolo cenderung lebih hati-hati dalam menyampaikan keinginannya. Sebab, penyelewengan oleh perempuan mudah jadi sorotan masyarakat ketimbang pria," kata Bagong yang banyak melakukan penelitian tentang masalah-sosial-kemasyarakatan. (tat/sry)

Sumber : http://www.forumbebas.com

Nelayan Lubuk Liuk Mendamba Ikan

Oleh : Bas Andreas

Nasib sebagian nelayan yang mendiami pinggir pantai dan yang berada di danau, ternyata tak jauh berbeda. Jika beruntung, maka hasil penjualan ikan dapat ditabung. Bila tidak, maka hasil pemasaran ikannya pun hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Demikian setidaknya gambaran yang terjadi pada kelompok nelayan di perkampungan nelayan Lubuk Liuk yang dibangun di atas Taman Nasional Danau Sentarum.

Menggunakan speedboat dari Lanjak, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), ke perkampungan nelayan Lubuk Liuk tak memakan waktu lama. Bagi yang tidak biasa lalu lalang di atas danau Sentarum, kemungkinan akan sesat untuk mencari perkampungan nelayan, atau ketika akan masuk ke Danau Sentarum yang memiliki gugusan pulau-pulau kecil.

Kampung nelayan di Lubuk Liuk terdiri dari lebih dua puluh rumah. Jangan berharap melihat rumah yang lengkap dengan perabotan rumah tangga. Rumah nelayan di Lubuk Liuk kebanyakan hampir mirip, terbuat dari kayu, beratapkan sirap yang beberapa di antaranya sudah bocor serta berlubang dan tak ada sekat kamar. Dapur, kamar tidur dan ruang untuk menerima tamu pun menjadi satu. Saat ini umurnya pun sudah mencapai puluhan tahun. Tampak reot dan rapuh dimakan usia. Jika panen besar, maka pemiliknya pun harus berbagi ruang bersama dengan tumpukan ikan asin yang disimpan di dalam rumah setelah dijemur. Aroma ikan asinlah yang tampaknya menjadi pewangi ruangan. Di depan masing-masing rumah, terdapat bangunan rumah kecil yang merupakan tungku berfungsi ganda. Selain untuk tempat masak, diatas tungku menjadi tempat pengasapan ikan salai.

Namun saat ini, amat sulit bagi nelayan yang menempati beberapa lubuk di Danau Sentarum untuk mendapatkan ikan segar yang dapat dijadikan ikan asin. Hasil tangkapan mereka, hanya dapat dibuat ikan salai yang berasal dari ikan lais dan jenis ikan lainnya. Kalau beruntung, ikan jenis lain yang berukuran relatif besar dijual. Misalnya belidak, toman dan lainnya. Tak seberapa memang pendapatan yang didapatkan. Jangankan untuk merealisasikan cita-cita mulia mereka dapat naik haji, menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi pun ibarat bermimpi.

Untuk menambah penghasilan, mereka kerap nabung yang dipasang di wilayah mereka masing-masing. Nabung merupakan kegiatan menangkap ikan dengan menggunakan alat berongga/bertabung. Sasarannya adalah ikan hias Ulang Uli dan jenis lainnya. Alatnya dapat berupa potongan-potongan buluh sepanjang kurang lebih 30-40 cm. Satu alat nabung dapat terdiri dari beragam jumlah potongan buluh yang diikat menjadi satu dan dicelupkan ke air. Alat itu kemudian dipasangi tali dan diikat di pohon-pohon di wilayah masing-masing kelompok. Selain itu juga menggunakan batang kayu yang memiliki rongga-rongga.

H. Basar (47) selaku Ketua Kelompok Nelayan Lubuk Liuk mengungkapkan, keresahan para nelayan atas kondisi yang mereka alami. Keberadaan warin (jaring penangkap ikan) membuat populasi jenis ikan yang ada di Danau Sentarum semakin sedikit.
Hal itu dapat tergambar nyata dari hasil tangkapan mereka sehari-hari. "Sulit pak, kami nelayan yang mengandalkan pukat," ungkap suami Rusmini itu. Penangkapan ikan menggunakan jaring warin memang dirasakan sangat berpengaruh terhadap populasi ikan. Satwa air di danau Sentarum, bakal terancam punah karena praktek jaring warin.

Sambil duduk beratapkan langit yang dipenuhi bintang di langkau (rumah panggung nelayan di atas Danau Sentarum), H.Basar bersama dengan nelayan lainnya bercerita tentang kehidupan para nelayan yang mendiami langkau. Para nelayan yang berasal dari Selimbau itu setidaknya dapat berada 5-6 bulan di atas langkau.

Musim menjadi faktor penentu pula untuk mendapatkan panen besar. Jika beruntung, satu orang nelayan dapat memperoleh kurang lebih 200 kg ikan segar. Hanya saja, sekarang untuk mendapatkan ikan, seperti misalnya ikan toman, menjadi susah. Ikan toman sudah mulai berkurang populasi liarnya di Danau Sentarum. Mengapa? Anakan ikan toman yang ada sekarang, sudah banyak diambil dan kemudian dipelihara dalam keramba. Namun para nelayan di lubuk, tidak menerapkan sistem keramba untuk mendapatkan hasil. Mereka lebih memilih langkah bijak. Mereka membiarkan populasi ikan toman berkembang alami untuk kemudian diambil ketika sudah saatnya. Namun tidak demikian di beberapa kawasan lain yang berdekatan dengan Danau Sentarum. Sebagian warga, menggunakan keramba dan memelihara anak ikan toman. Setidaknya memerlukan waktu dua tahun hingga ikan toman siap panen. Ikan-ikan kecil tadi, biasanya dijadikan umpan untuk ikan toman yang ada di dalam keramba.

Sistem keramba untuk ikan toman memang menguntungkan bagi warga yang melakukannya. Namun hal itu cukup mengancam populasi dari jenis ikan lainnya. Pasalnya, untuk umpan atau pakan ikan toman sehari-hari menggunakan ikan kecil, meskipun yang ditangkap menggunakan warin. Dapat dikatakan, bibit-bibit ikan yang ada di danau, tidak dapat tumbuh alami menjadi ikan besar.

Para nelayan yang mendiami beberapa lubuk, tergantung dari kondisi air untuk menetap di langkau. Setidaknya ada empat lubuk yang disebutkan, yakni Lubuk Liuk, Lubuk Malung, Lubuk Suai dan Lubuk Abui .

Untuk menjual hasil tangkapan mereka, biasanya ada pembeli yang mendatangi langkau. Para nelayan biasanya hanya seminggu sekali (hari Jumat) meninggalkan langkau menuju Lanjak. Setelah itu kembali lagi ke langkau. Para nelayan pun menetapkan harga jual ikan olahan mereka (ikan salai) tergantung besarnya ikan. Untuk ikan salai lais ukuran kecil, dijual Rp40 ribu per kg. Sedangkan untuk ukuran sedang, bisa mencapai Rp50 ribu per kg. Tetapi jika musim kemarau, ikan salai dijual seharga Rp20 ribu per kg. Pasalnya, pada saat musim kemarau, kebanyakan nelayan menghasilkan produk yang cukup berlimpah. Akibatnya, harganya pun turun cukup jauh. Sedangkan tangkapan berupa ikan hias yang dijual hidup, menurut Sukardi (34), dihargai Rp700 rupiah per ekornya. Jika harga turun, ikan hias hanya dihargai Rp500 rupiah per ekornya.

Mendiami langkau di Lubuk Liuk bagi para nelayan yang memiliki pertalian saudara itu, bukan tidak menghadapi masalah. Mulai dari ketersediaan air bersih, penerangan dan bahan makanan serta kesehatan, dipersiapkan seadanya. Air danau Sentarum meski bersih namun berwarna kemerahan. Para nelayan di lubuk liuk hanya mengandalkan pelita dari minyak tanah untuk penerangan di malam hari. Alhasil, jam makan malam para nelayan pun dilakukan senja hari sebelum hari benar-benar gelap. Belum lagi serangan nyamuk hutan. Untuk mengantisipasi hal itu, setiap nelayan menggunakan kelambu untuk tidur di malam hari. Akan sangat jarang menemukan para nelayan menyantap makanan berupa sayur-sayuran segar sebagai menu sehari-hari.

Kendati pola hidup jauh dari sederhana itu dilakoni, Agus (47) bapak dari tujuh orang anak, merasa senang hidup di langkau. Namun dia mengatakan, jika umur sudah uzur, tentu tidak dapat lagi mendiami langkau. Kebanyakan mereka yang sudah tidak mampu lagi bekerja, kembali ke Selimbau tempat asal mereka. Ketiga orang tersebut mewakili saudara-saudara mereka, mendamba Danau Sentarum kembali memiliki populasi ikan yang banyak.

Terbersit harapan, pemerintah memberikan perhatian kepada para nelayan yang ada di lubuk-lubuk di Danau Sentarum. Mereka adalah bagian dari warga Kalbar yang mendiami kawasan taman nasional. Apalagi, sejak para nelayan menempati kawasan itu, pejabatpun jarang mampir. Sampai-sampai, ketika ditanya siapa nama Gubernur Kalbar saja, mereka mengaku lupa.

Sumber : www.pontianakpost.com

Museum Sulawesi Tengah

Museum Sulawesi Tengah sejak pembangunannya dilaksanakan tahun 1977/1978 hingga dinyatakan secara resmi sebagai Unit Pelaksana Teknis Pusat dilingkungan Direktorat Jendral Kebudayaan berdasarkan SK Mendikbud RI Nomor 0754/0/1987 tanggal 2 Desember 1987 dan selanjutnya ditetapkan kembali oleh Mendikbud RI dengan Surat Keputusan Nomor 001/0/1991 tanggal 9 Januari 1991. Hingga saat ini sesuai Perda 03 Tahun 2001 pembinaannya diserahkan kepada Disbudpar Propinsi Sulawesi Tengah dengan struktur organisasi dan tata kerja diatur berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Tengah dan fungsi sesuai Keputusan Gubernur Nomor 37 tahun 2002.

A. Gedung Dan Ruang
Gedung Pameran Tetap I
Luas gedung ini 1025 M2 dibangun dengan gaya arsitektur Lobo yaitu rumah adat Suku Kulawi di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Gedung ini digunakan sebagai Ruang Pameran Tetap.

Gedung Pameran Tetap II
Luas gedung ini 450 M2 dibangun dengan gaya arsitektur Sou Raja yaitu Istana Raja Palu di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Gedung ini digunakan sebagai Ruang Pameran Tetap II.

Gedung Administrasi
Tahun Anggaran 1977/1978 dibangun seluas 200 M2, kemudian tahun 1978/1979 dibangun seluas 205 M2, sehingga luasnya menjadi 405 M2. Merupakan gabungan gaya arsitektur modern dan bentuk rumah Palava, yaitu rumah-masyarakat di lembah Palu.

Gedung Auditorium
Auditorium museum digunakan sebagai tempat pelaksanaan berbagai kegiatan seperti pameran khusus, seminar, ceramah, lomba, pementasan seni, serta berbagai kegiatan yang menunjang pelestarian kebudayaan daerah.

Gedung Penyimpanan Koleksi (Storage)
Was gedung ini 350 M2, memiliki dua unit storage, yaitu storage untuk koleksi organik dan an-organik. Gedung dilengkapi pula dengan ruang kurator untuk petugas pengelola koleksi.

Ruang Perpustakaan
Perpustakaan diperuntukkan bagi pegawai museum dan masyarakat umum. Didirikan pada tahun 1992 dan hingga sekarang ini koleksi buku berjumlah 4.118 judul yang terdiri koleksi buku dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Perpustakaan ini telah beberapa kali menyandang predikat terbaik dalam pemilihan perpustakaan teladan antar instansi se-Sulawesi Tengah.

B. Taman
Di dalam kompleks Museum Propinsi Sulawesi Tengah terdapat beberapa taman, yaitu:

Taman Lore
Taman Lore terletak di bagian depan museum dengan luas 2500 M2. Lore adalah nama daerah atau suku yang mendiami jantung pulau Sulawesi. Di daerah ini banyak ditemukan peninggalan purbakala dari masa tradisi megalitik dan hingga kini masih banyak situs yang belum diteliti. Patung-patung dan kalamba yang terdapat dalam taman ini adalah replika. Salah satu dari sejumlah patung serupa dan khas peninggalan zaman prasejarah yang terdapat di Lore Kabupaten Poso, seperti patung Tadulako.

Taman Pekurehua
Taman ini termasuk taman megalit yang letaknya berada di antara gedung Banua Oge, (Gedung Pameran Tetap II) dan Gedung Auditorium, Beberapa arca menhir yang ditata dalam taman ini, merupakan pencerminan arwah leluhur di daerah lembah Napu pada masa tradisi megalitik.

Taman Tuva
Taman Tuva terletak di bagian timur atau depan gedung auditorium museum dengan jarak sekitar 300 M2. Nama taman ini diambil dari nama sebuah desa di Tuva, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Donggala yang terletak kurang lebih 50 km sebelah selatan Kota Palu. Pada desa ini banyak ditemukan lumpang batu yang oleh penduduk desa menyebutnya Vatu Nonju.

Taman Gawalise
Taman Gawalise diambil dari nama sebuah gunung yang tertinggi disebelah Barat Kota Palu. Taman ini berada di samping lapangan olah raga. Suasananya menggambarkan alam pegunungan daerah Pakava yang sebagian terletak di lereng-lereng gunung Gawalise dengan bentuk rumah penduduknya yang khas. Disamping itu, untuk memberikan kesenangan bagi pengunjung anak-anak, di taman ini dilengkapi dengan fasilitas tempat permainan anak-anak.

C. Patung, Kalamba, Dan Arca Menhir
Patung Tadulako
Patung ini merupakan replika dari patung Todulako yang tedapat di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah. Patung pertama kali dilaporkan oleh seorang berkebangsaan Belanda yang bernama Kilian yang menyebutnya Watumeangka. Raven pada tahun 1918 menyebutnya dengan Tadulaku, dan Kruyt menyebutnya Tadulako. Kesemuanya berdasarkan penamaan yang diberikan oleh penduduk yang bermukim di sekitarnya.

Patung ini tidak berkaki, tertanam di dalam tanah, memakai simbol Tadulako (Panglima Perang) pada bagian dada, mata bulat melotot dan miring diatas dahinya melengkung motif hiasan ikat kepala (Pekabalu) dan bagian pelipis terdapat benjolan yang menunjukkan telinga. Oleh penduduk setempat patung yang serupa ini digambarkan sebagai personifikasi panglima perang dan juga sebagai nenek moyang mereka. Pada saat-saat tertentu penduduk di sekitarnya memberikan sesajian sebagai persembahan untuk memohon berkah.

Patung Langke Bulava
Patung ini merupakan replika dari Patung Langke Bulava yang terdapat di Lembah Bada, Kecamatan Lore Selatan. Berbentuk silinder, yang pertama kali dilaporkan oleh Sarasin pada tahun 1908, menyusul A.C. Kruyt pada tahun 1909. Patung ini tertanam dalam tanah, kepalanya besar dibanding badannya, tidak bermulut, dagu berbentuk lonjong, mata bulat, ujung hidung rata serta pangkal hidung bersambung dengan mata.

Di atas dahi patung terdapat motif lengkungan yang menyerupai ikat kepala atau mahkota yang dihiasi oleh empat buah bulatan berderet. Demikian pula tangan dan jarinya yang hanya terdiri dari tiga jari, terletak dibagian depan dan di antara kedua tangan itu terletak alat kelamin wanita. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai patung Langke Bulava (langke=gelang, dan bulava=emas). Patung ini melambangkan dewi kecantikan yang banyak dikunjungi oleh anak-anak gadis untuk meminta berkah kecantikan.

Kalamba
Kalamba ini merupakan replika salah satu kalamba yang terdapat di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso. Penutup patung terbuat dari batu yang terletak di atas tanah tak jauh dari kalamba itu. Tebal dindingnya 20 cm, sedangkan diameter lubang 84 cm dan dalamnya 120 cm. Badan kalamba dihiasi dengan lima buah pola hias garis melingkar yang jaraknya satu sama lain makin ke bawah makin besar.

Patung dilengkapi dengan penutup serta memiliki pegangan dibagian tengah yang berupa tonjolan. Tutupnya dibagi atas lima bagian yang sama oleh lima buah hiasan motif hewan yang sama dan masing-masing menjongkok menghadap keluar. Penduduk menganggap hiasan itu menyerupai kera. Menurut informasi dari penduduk, kalamba ini diduga sebagai tempat mandi raja. Namun, menurut salah seorang anggota Tim Survai Arkeologi Nasional (Dr. Haris Sukendar, 1976), bahwa kalamba ini adalah tempat penguburan kedua pada orang-orang tertentu saja. Pada ekskavasi yang dilakukan oleh Bidang Prasejarah Pusat Arkeologi Nasional tahun 2000 di Lembah Besoa, dapat diketahui bahwa salah satu fungsi kalamba adalah sebagai wadah penguburan kedua secara komunal.

Penduduk yang bermukim di sekitarnya memperlakukan secara istimewa kalamba tersebut dan diperkirakan kalamba ini dibuat bersamaan dengan arca menhir yang disebutkan di atas.

Patung Palindo
Arca ini merupakan replika dari arca menhir yang terdapat di Situs Padang Sepe, Lembah Bada. Oleh masyarakat yang bermukim di sekitar situs menyebutnya patung Palindo (penghibur) atau perwujudan dari nenek moyang mereka sebagai seorang pahlawan yang bernama Tosalogi. Dikisahkan bahwa Tosalogi memimpin rakyat Bada berperang melawan orang dari Masamba. Arca ini ditemukan dalam keadaan miring sekitar 30 derajat dan berukuran tinggi 400 cm. Pada arca dipahatkan muka manusia memakai ikat kepala (pekabolu), mata bulat melotot, tangan yang mengarah ke phallus yang menonjol, serta tanpa kaki.

D. SIistematika Materi Tata Pameran Tetap I
Ruang Lingkungan Alam dan Potensinya

Ruang ini menggambarkan keadaan lingkungan alam Sulawesi Tengah berupa flora dan fauna yang khas, antara lain satwa: burung Maleo (Macracephalon Maloa), Babi Rusa (Babyrgusa babi russa), Anoa (Bubalus Denossicorus), Rusa Sulawesi, Musang Sulawesi, Tangkasi (Tarsius), dan burung Enggang. Sulawesi Tengah juga memiliki kekayaan alam yang terdiri dari beberapa jenis batu-batuan, granit, dan marmer seperti yang tertata pada ruang ini. Beberapa koleksi temuan berupa fosil rahang gajah dan fosil kayu yang ditemukan di Lembah Napu, Kecamatan Lore Utara yang pada tahun 1992 juga disimpan dalam ruang ini. Menurut para ahli, fosil tersebut telah berumur kirakira 1,9 juta tahun yang diperkirakan berasal dari jenis gajah purba (Stegodon) yang hidup pada masa plestosen.

Ruang Manusia dan Budaya
Penduduk Sulawesi Tengah terdiri dari 12 kelompok etnis atau suku yang mendiami daerah pegunungan lembah dan pantai. Pengaruh faktor geografis yang bervariasi, membuat pola hidup dan sistem budaya masyarakatnya juga sangat bervariasi.

Keragaman budaya dan sistem kekerabatan yang mereka miliki tercermin dari bentuk dan model busana tradisional yang digunakan. Busana tradisional ini biasanya digunakan pada kegiatan-kegiatan seremonial seperti upacara syukuran, perkawinan, penjemputan tamu, dlan upacara adat lainnya. Selain itu ada 19 jenis bahasa daerah yang mereka gunakan dan terbagi lagi dalam beberapa sub dialek yang berjumlah 30 macam.

Adapun kelompok etnis atau suku yang mendiami wilayah daerah Sulawesi Tengah, yaitu: (1) Suku Kaili, (2) Suku Pamona, (3) Suku Tomini, (4) Suku Tolitoli, (5) Suku Buol, (6) Suku Kulawi, (7) Suku Lore, (8) Suku Mori, (9) Suku Bungku, (10) Suku Saluan, (11) Suku Balantak, dan (12) Suku Banggai.

Ruang Mata Pencaharian
Meramu
Tradisi meramu untuk kebutuhan bahan makanan, sudah dilakukan masyarakat Sulawesi Tengah sejak zaman dahulu. Tradisi ini masih terus dilakukan oleh sebagian penduduk, terutama yang bermukim di daerah pesisir pantai, lereng pegunungan, dan pedalaman.

Meramu Sagu
Bagi masyarakat di Kelurahan Duyu, Kecamatan Palu Barat, meramu sagu merupaKan pekerjaan sambilan di samping bercocok tanam dlan beternak.

Meramu Enau
Disamping bercocok tanam masyarakat Desa Bunga Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala meramu enau untuk dijadikan minuman (tuak) dan gula merah.

Pembuatan Kopra
Salah satu hasil perkebunan yang ado di Sulawesi Tengah sejak dahulu hingga sekarang ini adalah kelapa. Kelapa bagi masyarakat Sulawesi Tengah sangat besar manfaatnya bagi keperluan hidup sehari-hari dan bahan perlengkapan upacara adat. Buah kelapa biasanya diolah untuk dijadlikan kopra yaitu daging kelapa yang dikeringkan. Kopra merupakan salah satu komoditi ekspor non migas Sulawesi Tengah.

Berburu
Aktifitas berburu masyarakat Sulawesi Tengah sudah dilakukan sejak masa prasejarah. Pada umumnya masyarakat Raranggunau yang mendiami kawasan pegunungan di bagian Timur lembah Palu dan masyarakat Wana di Morowali hingga sekarang kebiasaan menangkap binatang masih dilakukan, baik diambil dagingnya maupun dijadikan hewan peliharaan. Guna menangkap binatang yang besar seperti rusa, anoa, babi rusa, dan sebagainya digunakan tombak, penangkap, dan jerat. Sedangkan binatang yang kecil cukup dengan sumpit atau perangkap jaring.

Bercocok Tanam
Pada masa perundagian telah terjadi peningkatan perdagangan antar daerah di daerah Sulawesi Tengah. Suku Kaili, Pamona, Tolitoli, Buol, Mori, Lore, Kulawi, Bungku, Saluan dan Balantak sudah mengenal persawahan dengan sistem irigasi. Sistem pengelolaannya dijaga dengan mempergunakan teknik pengairan sawah, baik sawah tadah hujan maupun sawah semi permanen yang diatur pembagian airnya oleh Tuaka/Punggawa.

Setiap awal musim tanam padi mereka berpedoman pada bintang; manulu, isi, kopu, pompario, dan totoluwongo, seperti matahari pukul satu menunjukkan musim tanam di daerah barat dan apabila letaknya seperti matahari pukul tujuh menunjukkan musim tanam di daerah sebelah timur. Sewaktu menanam benih padi, mereka berpedoman pada perhitungan bulan di langit, antara lain perhitungan sembilan kali bulan di langit (Suku Kaili) dan bulan purnama bagi Suku Lore. Pada ruang ini telah tertata peralatan bercocok tanam yang masih tradisional

Menangkap Ikan di Air Tawar
Pada etnis Kulawi yang tinggal di tepi Danau Lindu dan etnis Pamona yang tinggal di tepi Danau Poso, menangkap ikan di danau dan memelihara ikan di kolam merupakan mata pencaharian sampingan. Adapun peralatannya dapat dilihat pada ruangan ini.

Sistem Teknologi
Pada ruang ini ditata beberapa perangkat peralatan tradisional yang digunakan masyarakat Sulawesi Tengah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya melalui tradisi yang diwariskan secara turun temurun.

Beberapa sistem teknologi yang ditampilkan antara lain:

Menenun Kain Ikat Donggala
Tenun ikat Donggala Sulawesi Tengah sebagai salah satu kelompok tenun ikat pakaian Indonesia, telah ada sejak abad IV Masehi. Pola hias yang pertama kali diterapkan pola hias geometris berbentuk garis-garis. Pada awalnya teknik menenun ini dilakukan dengan menggunakan alat yang sederhana, kemudian berkembang dengan menggunakan peralatan semi modern yaitu ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin).

Kerajinan Kain Wit Kayu
Pembuatan kain kulit kayu di daerah Sulawesi Tengah telah ada sejak masa prasejarah dan hingga kini masih dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pemukul kulit kayu (Batu Ike) pada situs arkeologi di Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala. Pekerjaan membuat kain kulit kayu dilakukan oleh kaum wanita, sedangkan bahan baku antara lain pohon Ivo, Maio, Nunu (beringin) dilakukan bersama-sama antara kaum pria dan wanita. Proses pembuatannya, kayu dari ukuran antara 20-30 cm dipukul merata hingga membentuk selembar kain sesuai yang diinginkan. Teknik memukul dilakukan di atas balok landasan dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Alat dan bahan yang digunakan adalah Popempe Vuya (pemukul tahap pertama), Batu Ike (pemukul tahap kedua), Tatoa (landasan untuk membentuk kain), Sempe (tempat kulit kayu dipukul sebelum disambung). Hasil kerajinan kain kulit kayu di Kecamatan Kulawi yang digunakan sebagai pakaian adat seperti: Toradau (blus yang digunakan pada upacara adat penyambutan tamu terhormat), Vuya (dipakai pada upacara penyembuhan penyakit/Balia), Siga (digunakan sebagai destar pada semua upacara adat), Vini (rok yang digunakan pengantin wanita pada upacara perkawinan dan penyambutan tamu).

Pembudidayaan Mutiara
Kerang mutiara merupakan salah satu potensi kekayaan laut daerah Kabupaten Banggai Kepulauan. Pada daerah ini sebagian besar masyarakat bermata pencahariaan sebagai nelayan dan membudidayakan kerang mutiara.

Ruang Sistem ilmu Pengetahuan
Pemberantasan Penyakit Demam Keong (Schistosomiasis)

Penyakit Demam Keong di Sulawesi Tengah hanya dijumpai di wilayah sekitar Danau Lindu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala dan sebagian wilayah Lembah Napu, Kabupaten Poso. Penyakit ini disebabkan oleh jenis cacing Schistosoma Japonicum yang ditularkan melalui hewan siput jenis Onasma/amia. Hingga saat ini telah dilakukan usaha pengobatan dan pemberantasan kuman penyakitnya dengan menggunakan jenis obat Praziquantel.

Proses Ramuan Racun Mata Suimpit
Masyarakat Wana di Kabupaten Morowali dan masyarakat Raranggunau di Kabupaten Donggala sangat mahir membuat ramuan racun yang dioleskan pada mata sumpit. Ramuan racun terbuat dari getah pohon/mpo. Sistem pengetahuan ini diwariskan secara turun temurun dan masih berlangsung hingga saat ini.

Naskah
Museum Propinsi Sulawesi Tengah memiliki beberapa koleksi naskah kuno Lontara (aksara Bugis) yang mengandung nilai budaya dan sistem pengetahuan seperti masalah tata krama, adat sopan santun, dan kepercayaan terhadap hari-hari baik melalui pengamatan bulan dan bintang di langit.

Arsitektur Tradisional
Daerah Sulawesi Tengah memiliki berbagai bentuk arsitektur tradisional dan teknik pembuatannya beraneka ragam yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan letak geografisnya, seperti:

Lobo (Rumah Adat Suku Kulawi)
Lobo memiliki bentuk empat persegi panjang, berfungsi tempat musyawarah, melaksanakan pesta adat, menyambut tamu-tamu kehormatan dan sebagai tempat penginapan bagi orang-orang yang melanjutkan perjalanan.

Tambi (Rumah Adat Suku Lore)
Tambi merupakan rumah tinggal dan rumah adat yang berbentuk trapezium. Pada bagian tengah ruang dalam terdapat dapur dan tempat penyimpanan peralatan rumah tangga. Bagian pinggir dalam bangunan digunakan sebagai tempat tidur yang hanya dipisahkan oleh tirai.

Buho
Buho merupakan bangunan berbentuk trapezium yang berada pada masyarakat Lore, yang terdiri dari dua lantai. Lantai bawah berfungsi sebagai tempat musyawarah, sedang lantai atas digunakan sebagai lumbung padi.

Palava
Palava adalah rumah panggung berbentuk empat persegi panjang. Digunakan sebagai tempat tinggal masyarakat suku Kaili. Pada bagian atas terdiri dari serambi, ruang tidur, ruang tamu, dan dapur. Pada bagian kolong rumah tempat menyimpan alat transportasi tradisional gerobak dan peralatan pertanian.

Kataba
Kataba adalah rumah panggung berbentuk empat persegi panjang dengan konstruksi tiang merupakan landasan (pondasi), sehingga kelihatannya bertingkat. Rumah ini berfungsi sebagai rumah tinggal suku Kaili. Didiami keluarga besar yang biasanya dihuni tiga sampai empat keluarga.

Religi (kepercayaan)
Sebelum agama masuk ke wilayah Sulawesi Tengah, penduduknya masih menganut kepercayaan animisme. Kepercayaan yang menganggap segala sesuatunya memiliki kekuatan gaib. Suku Kaili percaya kepada Dewa "Karompua Rilangi" dlan "Karampua Nutana" (penguasa langit dan penguasa bumi), percaya pada Tomanuru yaitu orang-orang sakti yang menjelma dari kayangan sebagai titisan dewa dan kepercayaan pada mahluk-mahluk halus. Beberapa religi (kepercayaan) tersebut tercermin pada ruangan ini, seperti:

Upacara Nosaviraka (menaikkan bayi kebuaia),Merupakan suatu kepercayaan suku Kaili untuk melaksanakan upacara adat pada bayi yang berusia 3-4 hari yang dinaikkan ke dalam buaian (dianggap rumah baru).

Upacara Sunatan, yaitu upacara yang dilaksanakan dengan maksud terjaminnya kesehatan. Upacara ini diperuntukkan pada laki-laki berusia 12 tahun moupun wanita yang berusia 30 hari.

Mandiu Pasili (upacara mandi bersama di depan pintu), merupakan upacara adat yang dilaksanakan sehadri sesudah pernikahan dan pelaksanaannya pada pagi hari. Upacara ini dimaksudkan untuk melakukan pembebasan (Nipo/oanga) dan agar selalu rukun/bahagia.

Balia (upacara penyembuhan penyakit), yaitu upacara dilaksanakan dengan maksud melawan setan yang membawa penyakit dalam tubuh manusia. Oleh karena itu Balia dipandang sebagai prajurit kesehatan yang mampu memberantas penyakit. Dalam pelaksanaannya dipimpin seorang yang disebut Bayasa (Syaman).

Nobau, merupakan suatu upacara penutup dari segala rangkaian upacara adat perkawinan pada suku Kaili, dilaksanakan oleh orang tua pihak keluarga laki-laki agar telepas dari tuntutan dan tanggung jawabnya terhadap anak kandung, anak mantu, dan cucu-cucunya.

Ruang Kesenian
Kehidupan berkesenian masyarakat Sulawesi Tengah merupakan suatu potensi yang tumbuh dan berkembang dari para seniman daerah sejak zaman dahulu dan hingga kini masih digemari masyarakat pendukungnya. Bentuk-bentuk kesenian daerah yang peralatannya ditata dalam ruang ini, seperti:

Alat musik tabuh berupa gong, gendang, kakula, dan rebana
Alat musik tiup berupa Lalove (seruling)
Alat musik petik berupa kecapi.

Dalam ruang ini juga ditata lukisan-lukisan yang berlatar belakang sejarah dan budaya yang sangat menarik.

Daur Hidup
Daerah Sulawesi Tengah dikenal dengan berbagai upacara yang berhubungan dengan kehidupan masyarakatnya, mulai dari kelahiran hingga kematian. Upacara-upacara adat itu antara lain:

Upacara Mopatompo (Mancumani Ratompo/ upacara penanggalan gigi pada Suku Kulawi), yaitu suatu upacara menanggalkan gigi bagian depan atas dan bawah bagi seorang gadis. Maksud dari penyelenggaraannya melambangkan masa peralihan masa remaja ke masa dewasa. Motivasinya adalah orang yang ditanggalkan giginya akan mendapat mahar yang tinggi (umumnya mahar dibayarkan dengan dua ekor kerbau)

Upacara Nokeso (upacara meratakan gigi Suku Kaili), yaitu upacara menggosok gigi bagian depan sampai rata, baik bagian atas maupun bawah bagi seorang anak perempuan menjelang baliq (karandaa). Tujuan upacara ini adalah mengantar perempuan memasuki masa gadis agar dapat bahagia tanpa gangguan mental dan fisik serta dapat menjaga tutur kata serta adat istiadat leluhurnya.

Neduta (Nebolai) adalah dua istilah yang mengandung arti yang sama yaitu meminang yang berlaku pada suku Kaili. Neduto merupakan peminangan yang dilaksanakan di kalangan rakyat biasa. Peralatan peminangan berupa solapa yang lengkap, taigania, dlan tau-tau satu pasang.

Upacara Penghantar Mahar Suku Banggai, merupakan satu fase dari proses perkawinan masyarakat suku Banggai. Gong dan dulang adalah contoh benda yang menjadi induk mahar (handaii).

Balanja (antar belanja), adalah satu rangkaian upacara perkawinan yang dilakukan setelah peminangan. Benda-benda hantaran berupa sambulu gana dan kelengkapan pengantin perempuan. Upacara ini hanya berlaku pada suku Kaili yang ada di lembah Palu dan sekitarnya.

Pelaminan Pengantin Suku Buot, merupakan suatu wadah yang digunakan dalam proses perkawinan pada suku Buol dan sekaligus menjadi fase dalam siklus perjalanan hidup. Pada masyarakat Buol, upacara duduk bersanding disebut "Payogano".

Sistem Penguburan Suku Pamona, merupakun sistem penguburan yang dilakukan sejak masa prasejarah yang dilaksanakan di Gua Latea Tentena, Kabupaten Poso. Gua Latea merupakan situs kepurbakalaan yang digunakan oleh masyarakat pendukung kebudayaannya sejak zaman prosejarah dan berlangsung hingga akhir abad ke-19. Temuan-temuan berupa peti mayat kayu, keranda, belangan tanah dan bekal kubur yang dipersembahkan pada upacara kematian.

E. Sistematika Materri Tata Pameran Tetap II (Bangunan Banua Oge)
Pada gedung pameran tetap II ini, koleksi ditata berdasarkan pengelompokkan sebagian jenis koleksi museum. Selain itu terdapat pula materi pameran berupa potensi dan konservasi Taman Nasional Lore Lindu yang merupakan hasil kerja sama pihak museum dengan The Nature Conservancy.

Sebagian jenis-jenis koleksi museum tersebut adalah koleksi arkeologika, etnografika, numismatika, historika, filologika, dan koleksi keramilogika.

Koleksi Arkeologika
Koleksi arkeologika terdiri dari material hasil kebudayaan manusia dari zaman prasejarah pada masa mesolitik, neolitik, dan megalitik. Artefak dari masa mesolitik seperti kapak genggam dan mata panah, dari masa neolitik seperti gelang batu dan tempayan kubur dari masa tradisi megalitik.

Tempayan Kubur yang dipamerkan di ruang ini merupakan hasil temuan dari ekskavasi yang dilaksanakan antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Manado, dan Museum Propinsi Sulawesi Tengah di Situs Watunongko Lembah Napu, Desa Maholo, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso pada tahun 1998. Menurut Prof. Dr. R.P. Soejono, seorang ahli arkeologi Indonesia bahwa tempayan kubur tersebut merupakan temuan tempayan kubur yang terbesar di Indonesia selama ini. Tempayan kubur oleh masyarakat pendukung kebudayaan megalitik di lembah Napu digunakan sebagai wadah penguburan kedua (second burial).

Koleksi Historika
Koleksi historika berupa beberapa jenis koleksi bukti dari perlawanan rakyat daerah terhadap kolonial Belanda di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Koleksi tersebut antara lain perlengkapan perang dan pakaian dari Raja Kulawi yang bernama Tomai Rengke atau bergelar Towoalangi yang memimpin rakyat Kulawi berperang di Gunung Momi. Pasukan kerajaan Kulawi berhasil ditaklukan Belanda pada tahun 1905 setelah menghadapi perlawanan yang sengit dari rakyat Kulawi selama bertahun-tahun. Koleksi Raja Tomai Rengke terdiri dari Baju, Tombak, Siga (ikat kepala), dan Guma Kalama (pedang tradisional).

Selain itu terdapat pula meriam peninggalan kolonial Portugis dan Belanda dengan berbagai macam ukuran, baik yang tertata di dalam vitrin maupun yang tertata di ruang pameran bagian tengah.

Koleksi Filologika
Koleksi filologika merupakan kumpulan naskah-naskah kuno yang ditulis dengan tangan yang menggambarkan suatu peristiwa atau kejadian (hikayat). Seperti yang terlihat dalam vitrin ini terdapat tulisan naskah yang berbahasa Arab dan lontara Bugis yang di tulis dengan tangan.

Koleksi Numismatika
Koleksi numismatika merupakan koleksi alat tukar yang sah dan pada masa tertentu pernah berlaku pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan (orde lama), terdiri dari koleksi-koleksi mata uang rupiah atau sen dengan nilai nominal yang bervariasi, baik berupa logam maupun uang kertas. Di dalam vitrin juga terdapat uang Gulden Belanda dan uang kertas keluaran pada zaman pendudukan Jepang.

Koleksi Etnograflika
Koleksi etnografika merupakan jenis koleksi yang terbanyak jumlahnya di Museum Propinsi Sulawesi Tengah dengan berbagai macam, baik yang tersimpan di storage maupun yang sudah tertata di ruang pameran. Koleksi etnografika yang tertata dalam ruangan ini terdiri dari beberapa macam, baik berupa aksesoris, beberapa anyaman tradisional dari rumput teki dan sebagainya, tombak, guma, sumpit, seperangkat alat pakinangan, hiasan tanduk kerbau yang diukir serta lampu gantung (pajananga).

Koleksi Keramologilka
Koleksi keromologika terdiri dari koleksi keramik lokal dan keramik asing. Keramik lokal terbuat dari tanah liat yang umumnya tidak memiliki ragam hias dan tidak diglasir. Sedangkan keramik asing berasal dari Cina pada masa dinasti Yuan, Ming, dan Ching, serta keramik dari Vietnam. Umumnya keramik asing ini memiliki ragam hias yang beraneka ragam flora dan fauna serta terbuat dari bahan porcelin atau stone ware.

Koleksi Titipan
Koleksi titipan yang berada di Museum Propinsi Sulawesi Tengah merupakan titipan dari Wakil Bupati Donggala Bapak Drs. H. Ahmad Abd. Rauf, M.Si. sejak tahun 2000. Koleksinya berjumlah 201 buah yang terdiri dari berbagai macam jenis keramik (keramik Eropa dan Cina), peralatan rumah tangga dari perunggu, seperangkat pakaian adat, kain adat (mbesa), senjata tradisional seperti tombak, perisai (kaliavo), dan pedang (guma).

Koleksi Potensil dan Conservasil Taman Nasionall Lore Undu
Koleksi yang ditata dalam Ruang Pameran ini merupakan kerja sama dengan pihak The Nature Conservancy (TNC) merupakan lembaga internasional yang bergerak dibidang pelestarian Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Sulawesi Tengah. Materi koleksi yang dipamerkan berupan satu buah panel pohon yang dilengkapi dengan satwa khas Sulawesi Tengah berupa sepasang burung Allo dan Tarsius (sejenis monyet terkecil di dunia) dan efek suara satwa Burung Allo, Tarsius, dan beberapa jenis serangga lainnya. Sedangkan display berupa potensi flora dan fauna beserta pemanfaatannya serta usaha-usaha pelestarian yang telah dilakukan oleh pihak pemerintah dan TNC.

Koleksi Arkeologikal Museum Sulawesi Tengah
Kapak Genggam
Terbentuk oteh alam dengan bentuk yang tidak beraturan. Pada Masa Paleolitik digunakan sebagai alat berburu maupun sebagai alat potong dan jenis kapak ini biasa disebut Kapak Perimbas (Chopper). Termasuk jenis koleksi Arkeologika yang berjumlah 19 buah dan ditata pada Ruang Pameran Tetap II.

Kapak Batu
Berbentuk persegi panjang dan berwama hitam kecoklatan, bagian bawah tajam dan bagian atas memiliki tangkai yang terbuat dari kayu. Pada Masa Neolitik digunakan sebagai alat untuk bercocok tanam. Termasuk jenis koleksi Arkeologika yang berjumlah 14 buah dan ditata pada Ruang Pameran Tetap II.

Tempayan Kubur
Terbuat dari tanah liat yang dibakar (gerabah) dan ditemukan dengan cara penggalian (eskavasi) arkeologi pada tahun 1998 di Situs Vatunongko. Oleh Puslit Arkenas, untuk sementara diklaim sebagai tempayan kubur terbesar yang ditemukan di Indonesia. Pada Masa Megalitik digunakan sebagai wadah penguburan kedua (second burial). Termasuk jenis koleksi Arkeologika yang berjumlah 3 buah dan ditata pada Ruang PameranTetap II.

Patung Tembikar
Terbuat dari tanah liat, berwarna coklat. Menggambarkan seorang wujud laki-laki, dan perempuan. Patung laki-laki memakai jubah dan bermotif garis berbentuk manusia, sedangkan wanita bermotif tumpal dan telinga besar. Pada Masa Megalitik digunakan pada upacara kematian yang berfungsi sebagai bekal kubur. Termasuk jenis koleksi Arkeologika berjumlah 2 buah ditempatkan di Ruang Storage.

Arca Menhir
Termasuk salah satu ciri khas peninggalan tradisi Megalitik di Sulawesi Tengah. Umumnya terbuat dari jenis batu pasir (mollase) yang berwarna abu-abu kehitam-hitaman salah satu berbentuk badan dan wajah manusia (antrophomofis) dan yang satunya menyerupai binatang (totemis). Fungsinya adalah sebagai personifikasi atau simbol perwujudan dari Raja, Panglima Perang maupun Kepala Suku.

Kapak Perunggu
Berbentuk pipih dan berwarna kuning dan pada salah satu ujung tajam. Digunakan pada Masa Perundagian sebagai alat pembelah kayu maupun untuk keperluan upacara. Kapak jenis ini biasa juga disebut Kapak Corong atau Kapak Sepatu. Termasuk jenis koleksi Arkeologika yang berjumlah 11 buah dan ditata pada Ruang Pameran Tetap II.

Sumber :
http://www.infokom-sulteng.go.id
http://museum-sulteng.blogspot.com

Museum Blambangan Dulu, Kini Dan Yang Akan Datang

Oleh: Hasan Basri

A. Purwa Wacana

Seperti dikatakan oleh Winarsih PA, bahwa kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang semasa dengan kerajaan Majapahit bahkan dua abad lebih panjang umurnya. Hal ini sering tidak disadari oleh para ahli sejarah. Ini terbukti dari sedikitnya perhatian terhadap sejarah Blambangan. Empat abad perjalanan sejarah Blambangan tentu tak mungkin tidak meninggalkan jejak. Walau disadari, sejak awal berdirinya, kerajaan Blambangan selalu dilanda peperangan yang seolah tak ada hentinya. Kondisi politik yang labil memang memungkinkan kita menyadari dan hawatir bahwa tidak banyak peninggalan sejarah Blambangan yang dapat kita temukan. Namun dari beberapa data sejarah dan situs-situs yang ditemukan menunjukkan di Banyuwangi banyak terdapat peninggalan sejarah yang sangat berharga.

Laporan Wikkerman pada tahun 1805 misalnya menyampaikan bahwa di Desa Macanputih pada masa itu masih kelihatan bekas tembok dari batu bata tebal dengan tinggi 12 kaki ( 3,6 m ) dan tebal 6 kaki ( 1,8 m) serta gang dan pagar mengelilinginya sepanjang 4,5 km, yang dilengkapi dengan sebuah lorong dan tempat pertahanan dengan ukuran panjang keliling 4,5 km (Lekkerkerker, 1923).

Pada tahun 1929, Hermes, seorang Kepala Holland School (HIS) di Banyuwangi mengirimkan hasil temuan benda-benda arkeologi dari bahan terracotta berupa dua bentuk arca binatang kecil (seekor kera dan seekor singa berdiri tegak) kepada Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) di Jakarta. Terracotta tersebut di temukan oleh petugas pengairan di Desa Blambangan.

Di desa Tembokrejo Muncar terdapat situs Umpak Songo yang merupakan bagian dari situs Tembokrejo yang dibatasi oleh tembok keliling dari bahan batu karang yang luasnya sekitar 500 hektar. Di situs ini ditemukan umpak batu berjumlah 49 buah, fitur susunan fondasi dari bata, artefak berupa fragmen gerabah dan fragmen keramik asing yang kebanyakan dari Cina yaitu tiga buah keramik dinasti Sung abad XIII, lima keramik dari dinasti Yuan abad XIV, 18 buah keramik dinasti Ming abad XIV, XV dan XVI, 34 buah keramik dari dinasti Ch’ing abad XIX dan 4 buah keramik Eropa abad XIX dan masih banyak lain fragmen keramik dari Thailand dll. Ditemukan juga situs Gumuk Jadah di dusun Palurejo dengan 8 buah umpak batu sebagai penyangga tiang bangunan masa lalu. Sedangkan situs prasejarah berupa puluhan gua ditemukan di Alas Purwo dan situs candi bentar masa akhir Majapahit yang oleh masyarakat setempat dinamakan Pura Luhur Trianggulasi (Nawawi, Abdul Kholiq, 1993).

Beberpa bulan yang lalau tim Balai Arkeologi Yogja menyampaikan laporan penelitiannya selama satu bulan di daerah Kandanglembu Glenmore yang menemukan situs prasejarah berupa pemukiman penduduk jaman neolitikum. Dan masih banyak lagi yang bisa kita sebutkan yang semuanya menunjukkan bahwa di Banyuwangi sangat kaya akan peninggalan sejarah.

B. Peranan Museum Blambangan

Kesadaran akan kekayaan sejarah inilah yang kemudian mendorong dibentuknya Tim Permuseuman pada tahun 1974 yang bertugas menggali, menemukan, mendata, mengumpulkan peninggalan sejarah yang ada di Banyuwangi. Anggota tim tersebut yaitu; Bapak Supranoto, Ridwan, BA, Gede Ari Subrata, Guntur Adi, K. Sarjono, Suhendar, Hasan Ali, Hasnan Singodimayan. Tim ini sempat mengadakan ekspedisi Alas Purwo sebanyak dua kali. Dari hasil kerja tim ditemukan berbagai jenis koleksi benda bersejarah yang kemudian dikumpulkan di ruang belakang pendopo bupati.

Guna menampung dan memelihara benda-benda hasil temuan tersebut, dibangun museum di sebelah tenggara pendopo bupati disebuah tempat yang jaman dulu merupakan tempat ruang tunggu para tamu Bupati ketika akan menghadap. Nama resminya adalah Museum Daerah Blambangan Kabupaten Dati II Banyuwangi. Pada waktu itu Badan Pengelolanya adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyuwangi cq. Seksi Kebudayaan bersama pemerintah Daerah Tingkat II Banyuwangi yang tergabung dalam Tim Pembina Museum Daerah Blambangan Banyuwangi dengan Surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Banyuwangi. Pada tanggal 25 Desember 1977 Museum Blamabangan diresmikan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur, Bapak Soenandar Priyosoedarmo. Pada saat itu Museum Blambangan merupakan satu diantara 13 museum yang ada di Jawa Timur.

Sampai saat ini ketika lokasinya dijadikan satu dengan kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, koleksi Museum Blambangan sebagai berikut:


NO.

BAHAN

JUMLAH

(buah)

1.

Batu

64

2.

Perunggu

12

3.

Besi

17

4.

Kayu

19

5.

Logam

49

6.

Kertas

45

7.

Kain

35

8.

Tanah Liat (Sandstone)

45

9.

Kalsedon

1

10.

Kaolin

16

11.

Stoneware

1

12.

Porselin

39

13.

Kuningan

31

14.

Semen

2

15.

Tembikar

2

16.

Kulit

112

17.

Fiber

2

18.

Beling

1

19.

Daun

1


JUMLAH

495

Kalau dilihat dari sudut disiplin ilmu sebagai berikut:

No.

Sub Disiplin Ilmu dari Benda Koleksi

JUMLAH

(buah)

1.

Geologika/Geografika

-

2.

Biologika

-

3.

Etnografika

196

4.

Arkeologika

134

5.

Historika

16

6.

Numismatika

62

7.

Filologika

3

8.

Keramologika

73

9.

Koleksi Seni Rupa

6

10.

Tehnologika/Modern

5


JUMLAH

495

Keberadaan Museum Blambangan sampai saat ini sangat membantu masyarakat untuk mengetahui peninggalan sejarah di Banyuwangi, terutama bagi pelajar. Namun untuk keperluan masa mendatang, Pemerintah harus memberikan perhatian lebih, mengingat peranan museum ke depan tidak sekedar menjadi tempat penyimpanan benda bersejarah, lebih dari itu museum adalah media pengembangan ilmu pengetahuan. Perhatian pemerintah dalam meningkatkan peran museum sangat penting dalam rangka mengubah image bahwa museum adalah gedung tempat menyimpan benda-benda antik/kuno saja. Sehingga orang mengunjungi museum cukup sakali seumur hidupnya.

Padahal pengertian museum secara umum adalah bangunan yang di dalamnya disajikan (dipamerkan) benda-benda yang menggambarkan perkembangan kesenian dan ilmu pengetahuan serta tata masyarakat untuk tujuan pendidikan. Sedang dalam ICOM (International Council of Museum) dijelaskan bahwa museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan yang dalam melayani serta perkembangannya terbuka untuk umum dan bertugas mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkaji, mengkomunikasikan, serta memamerkan bukti-bukti material manusia dan lingkunganna untuk tujuan studi, pendidikan dan rekreasi. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda-Benda cagar Budaya di Museum menjelaskan bahwa Museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya menusia serta alam dan lingkunganna guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa (Mukti, Abdul, 2003).

Bertitik tolak dari rumusan ICOM, maka Museum Blambangan ke depan harus memiliki fungsi:

1. Mengumpulkan dan mengamankan warisan alam dan budaya.

2. Dokumentasi dari penelitian ilmiah.

3. Media konservasi dan preparasi.

4. Penyebaran dan pemerataan ilmu untuk umum.

5. Pengenalan dan penghayatan kesenian, khususnya kesenian Banyuwangi.

6. Pengenalan kebudayaan Banyuwangi, sukur-sukur kebudayaan antar daerah dan bangsa.

7. Visualisasi warisan alam dan budaya.

8. Cermin pertumbuhan peradaban umat manusia.

9. Pembangkit rasa taqwa dan bersyukur kepada Tuhan YME.

Sedangkan peranannya adalah:

1. Sebagai pusat dokumentasi dan penelitian ilmiah.

2. Sebagai pusat pennyaluran ilmu pengetahuan.

3. Sebagai pusat penghayatan apresiasi budaya.

4. Sebagai sumber inspirasi.

5. Sebagai obyek pariwisata.

6. Sebagai media pembina pendidikan sejarah, sains dan budaya.

7. Sebagai wahana penelitian dan pendidikan budaya serta pengenalan pemahaman mengenai jati diri bangsa terutama bagai generasi muda.


Melihat fungsi dan peran museum di atas, Museum Blambangan sangat potensial memposisikan dirinya menjadi sentral dari upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan seni budaya di Banyuwangi. Dengan koleksinya yang sekarang dimiliki, sudah menjadi titik awal menjadikan posisinya yang ideal. Tinggal keseriusan semua pihak terutama sekali lagi pemerintah untuk serius mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari bangunan fisik yang representatif, tenaga permuseuman yang profesional yang terdiri dari : kurator, konservator dan restorator, ahli tata rupa dan tata ruang, ahli media dan komunikasi, sampai menejemennya.


Dalam rangka mewujudkan museum sebagai tempat rekreasi, museum harus dapat tampil menarik. Memiliki ruang yang luas, taman bermain, perpustakaan, kantin dan seterusnya. Museum Blambangan juga harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang perkembangan kebudayaan di Banyuwangi kepada pengunjung. Museum Blambangan juga harus mampu menumbuhkan rasa bangga terhadap perkembangan kebudayaan kepada masyarakat pengunjungnya, sehingga tumbuh rasa ikut memiliki dan bertanggung jawab serta memeliharanya.


Segala usaha untuk meningkatkan peran museum Blambangan tersebut hanya akan berhasil apabila dilandasi oleh semangat dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan bumi Blambangan.


Berikut ini beberapa koleksi Museum Blambangan:

Tempayan

Bahan: Kaolin

Diperkirakan berasal dari Cina selatan abad XVII-XIX. Tempayan ini berfungsi sebagai wadah obat atau juga dipakai untuk tempat minyak.


Piring

Bahan : Porselin

Diperkirakan berasal dari Guangdong Cina selatan abad XVIII-XX. Fungsi : untuk tempat makanan.


Arca Korea

Bahan: perunggu

Arca ini berasal dari Desa Kajarharjo Kecamatan Kalibaru. Arca ini berwarna hitam dengan patinasi warna hijau dan coklat pada permukaan arca.


Gelang/Binggel

Bahan: Perunggu

Bentuk dasar silindrik dengan dua sisi tidak sama besar, dibuat membulat dengan ujungnya tidak bertemu dan warna kuning kehitaman. Benda ini jika dikenakan pada lengan dinamakan kelat bahu, jika dikenakan pada kaki dinamakan Binggel dan digunakan pada saat upacara keagamaan.


Lontar

Bahan: daun lontar

Lontar ini berasal dari desa Gambor Kec. Singojuruh. Terdiri dari 103 lembar, bagian luar terbuat dari kayu, tulisan menggunakan huruf Jawa baru yang berisi tentang cerita rakyat.


Naskah Kuno

Bahan: kertas

Kitab bertuliskan huruf arab dengan bahasa Jawa dengan tulisan tangan berhuruf dan berbahasa arab. Berisi tentang ajaran-ajaran agama islam. Dengan jumlah tulisan sebanyak 15 baris, warna tulisan merah dan hitam. Sedangkan jumlah halaman sebanyak 137 lembar.


Stupika

Bahan: Tanah liat

Berasal dari desa Gumuk Klinting Kecamatan Muncar. Bentuk silinder dasar setengah bulat, badan berbentuk kubah (setengah lingkaran). Stupika merupakan miniatur dari stupa (bentuk bangunan suci agama budha). Digunakan sebagai sarana upacara keagamaan dalam agama budha kuno.


Bata Berelief

Bahan: Bata

Bata ini merupakan bagian dari komponen bangunan yang memiliki hiasan atas relief tertentu dan merupakan peninggalan kerajaan Blambangan di Macan Putih. Berbentuk balok, salah satu sisi panjangnya berhias sulur-suluran, yang lainnya polos. Permukaan tidak rata, warna merah bata.


Moko

Bahan: perunggu

Berasal dari desa Sumbersalak Kecamatan Kalibaru. Moko ini menyerupai gendang kecil yang berfungsi sebagai sarana upacara minta hujan atau juga berfungsi sebagai mas kawin.

Batu Gong

Bahan : Batu Andesit

Asal : Desa Wonosobo Kecamatan Srono.

Berbentuk silindrik, bagian atas dan bawah datar, warna hitam.

Batu ini berfungsi sebagai umpak tiang suatu bangunan.


Batu Kenong

Bahan : Batu Andesit

Asal : Desa Truko Kecamatan Genteng

Berbentuk silindrik , kedua permukaan atas dan bawah datar, pada salah satu permukaan datarnya terdapat tonjolan, dinding mengembang keluar.

Batu Kenong ini berfungsi sebagai umpak tiang suatu bangunan tetapi tengahnya dilubangi.

Arca Kepala Naga

Bahan : Batu Vulkanik

Asal : Desa Wijenan Kecamatan Singojuruh.

Berbentuk bulat, terlihat bagian kepala,mata, mulut, semuanya telah aus. Warna hitam.


Wadah Air

Bahan : Tanah liat

Asal : Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar

Wadah ini lengkap dengan tutup. Bagian badan atas dihiasi tonjolan melingkar yaitu ,motif awan dan bentuk bibir lebar. Wadah ini jika ditutup hiasannya bersusun 3 dan wadah-wadah semacam ini banyak ditemukan pada masa kerajaan Majapahit.


Lampu Kambang

Bahan : Perunggu

Asal : Kecamatan Glenmore

Bentuk segi empat, bersumbu empat dan biasanya bahan bakarnya minyak kelapa.


Daftar Kepustakaan

1. Arifin, Winarsih Patraningrat, Babad Blambangan. Yogyakarta, Bentang, 1995.
2. Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jatim, Museum Blambangan, Surabaya, 1992.
3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Blambangan, 2008
4. Himawan, Manajemen Pengelola Museum Harapan dan Tantangan, Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Jatim, 2003.
5. Lekkerkerker, C, Balambangan. Indische Gids. 1923 : 1030-1067.
6. Mukti, Abdul, S.Sos, Pengetahuan Dasar Permuseuman, Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Jatim, 2003.

7. Nawawi, Abdul Choliq, Sejarah Blambangan di Banyuwangi sekitar Abad XV-XVIII, Makalah Seminar Sejarah Blambangan, 9 November 1993.


Sumber : http://hasanbasri08.laros.or.id