Oleh: Eva Rachmania (SMAN 1 Bandung)
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Kegiatan berpelancong atau mengunjungi suatu daerah guna menikmati segala kenikmatan yang disuguhkan oleh daerah yang dikunjungi adalah kegiatan yang sedang menjalar dan diminati oleh masyarakat banyak sekarang ini.
Terlepas dari semua kemodernan yang disuguhkan Dago, ada sisi lain yang sering kali atau bahkan sama sekali terlupakan. Pertanyaan yang tak terindahkan ketika kita telah terlelap dalam kemewahan dunia modern yang memabukkan, sejarah, asal mula dan sisi lain dari daerah itu selain kenikmatan mata yang tentunya, menguras isi kantong tapi menggiurkan.“ Seperti apakah Dago sebelum tanahnya menjadi gemerlap penuh dengan dunia glamour seperti sekarang ini ?”
Di setiap kejadian pasti ada sisi baik dan buruknya. Begitu pula yang terjadi dengan Dago. It’s ok, sekarang Dago sangat modern dan memanjakan pengunjungnya. Tapi, apa akibat lain bagi Dago sendiri, selain Dago menjadi eksis di kalangan masyarakat luarnya?
Kotor, macet, pengap, panas, polusi udara dan suara. Pohon-pohon rindang telah tumbang tergantikan dengan tumbuhnya gedung-gedung baru seperti factory outlet dan hotel-hotel. Bagian-bagiannya yang masih asri dan hijau di daratan yang lebih tinggi, sekarang sedikit demi sedikit, secara disadari ataupun tidak telah terjamah oleh para pengusaha yang mengepakkan sayap bisnisnya di tempat tersebut. Mengacu pada pepatah, sedikit demi sedikit menjadi bukit. Tapi untuk dago, sedikit demi sedikit menjadi botak.
Hanya sedikit yang tahu mengenai Dago jaman dulu. Coba saja tanya pemuda-pemudi yang suka berkeliaran di jalan itu. Hanya beberapa dari mereka yang tahu asal mula nama Dago, dapat dihitung dengan jari. Sebagian besarnya, para pemuda-pemudi itu, bahkan yang memang asli penduduk di Dago sendiri, mereka hanya suka menghabiskan waktu mereka saja dengan menikmati Dago yang ‘sekarang’ tanpa tahu sejarahnya, bahkan tanpa tahu asal mula namanya. Sangat memalukan. Sangat mengkhawatirkan. Bagaimana jadinya Dago pada masa depan jikalau generasi mudanya sendiri tidak menghiraukan sejarah yang menjadi patokan-patokan untuk pembangunan di masa yang akan datang.
Sekarang, saatnya bagi kita untuk menyadari sisi lain dari kemodernan. Pentingnya sebuah sejarah bagi perkembangan sebuah daerah. Menyadari sejarah sebagai fakta penting yang menuntut batas-batas modernisasi. Karena jika bukan kita yang menyadari, siapa lagi ? Tanpa adanya kesadaran, maka bermimpilah untuk bisa bertindak dengan sadar. Bertindak tanpa sadar sama saja dengan mengigau. Mengigau berarti berjalan tanpa arah, mengacak, mengacau dan mempermalukan diri sendiri di depan orang lain. Seperti itulah gambaran sejarah untuk Dago. Atas dasar itu pula maka sangat diperlukan informasi mengenai sejarah setiap tempat, khususnya Dago yang sedang mengalami modernisasi dengan sangat pesat.
2. Permasalahan
Yang menjadi masalah dalam perkembangan Dago ini adalah kurangnya kepedulian masyarakat mengenai sejarah Dago sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan sikap acuh tak acuhnya para generasi mudanya sendiri yang merupakan penerus dalam pembangunan tetapi mereka cenderung mengabaikan sejarah.
Perkembangan yang tergolong pesat dapat menjadi salah satu penyebab sikap ‘masa bodoh’ tersebut. Modernisasi yang cenderung mengacu pada masa yang akan datang membuat para generasi muda mudah melupakan sejarah begitu saja. Ditambah perubahan lingkungan alamnya yang lebih mencerminkan kehidupan dunia modern anak muda jaman sekarang.
Perubahan lingkungan yang seperti ini pulalah yang menjadikan sejarah Dago terlupakan begitu saja. Hanya tinggal beberapa saja unsur sejarah yang tertinggal di Dago pada masa ini. Diantaranya adalah bangunan rumah-rumah tua yang masih bergaya Belanda, tapi itu pun sebagian telah berubah menjadi bangunan yang lebih modern.
Dari paparan yang telah tersebut diatas, ada suatu permasalahan yang akan akan diangkat ke permukaan berkaitan dengan pembahasan ini, yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan sebagai berikut :
Sejauh mana sebenarnya peran sejarah dalam modernisasi yang sedang melanda Dago.
Adakah pengaruh dari unsur-unsur sejarah yang masih tertinggal maupun tidak, dalam modernisasi Dago. Sebaliknya, apakah pengaruh modernisasi yang sedang terjadi terhadap unsur-unsur sejarah tersebut.
3. Tujuan
Tujuan penulis mengangkat topik ini untuk mengajak masyarakat khususnya generasi muda agar dapat melestarikan sejarah sebagai harta berharga yang tidak akan pernah habis sampai kapanpun. Karena sejarah adalah satu aset penting yang sering kali terlupakan ketika globalisasi modern sedang melanda suatu daerah. Dengan dapat mengartikan sejarah lebih dari subjek pelajaran sekolah, kita akan dapat menemukan banyak makna seperti pelajaran nyata yang telah terjadi yang dapat dijadikan bahan pertimbangan patut atau tidak untuk diteruskan, bukan melupakannya sama sekali.
Khususnya untuk Dago. Dengan tulisan ini, penulis berharap agar masyarakat dapat menghargai sejarah Dago sendiri dan bukan hanya dijadikan dongeng pengantar tidur melainkan sebagai patokan dan aset penting dalam pembangunan.
Agar generasi muda tidak hanya memandang Dago sebagai tempat bersenang-senang belaka yang penuh dengan gemerlap kemewahan efek perkembangan jaman.
B. Landasan Teori
Kata sejarah yang kita kenal sekarang adalah berasal dari bahasa Arab yaitu “syajaratun” yang artinya pohon. Dari sisi lain pula, istilah history merupakan terjemahan dari bahasa Yunani “ histories” yang artinya satu penyelidikan ataupun pengkajian.
Bapak sejarah, Herodatus, mengungkapkan bahwa sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seseorang toloh, masyarakat dan peradaban. Sedangkan menurut Aristotle, sejarah merupakan satu system yang mengira kejadian semula jadi dan tersusun dalam bentuk kronologi. Menurutnya pula, sejarah adalah peristiwa–peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti yang kukuh.
Shefer berpendapat bahwa sejarah merupakan peristiwa yang telah lepas dan benar-benar berlaku. Dalam arti kata lain, sejarah digunakan untuk mengetahui masa lampau berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih untuk memperkaya pengetahuan dan waktu yang akan datang menjadi lebih baik. Dengan itu akan timbul sikap waspada dalam diri semua kelompok masayarakat karena sejarah juga berfungsi sebagai pengajaran yang berguna (kutipan dari sebuah website)
Sedangkan modernisasi, menurut Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. Beliau mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-sayarat tertentu, yaitu sebagai berikut :
Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan social. (Dalam sebuah blog, 2009)
Sejarah dan modernisasi adalah dua kata yang menunjukan suatu perbandingan yang besar. Tetapi, kedua kata tersebut tidak bisa lepas dalam sebuah kehidupan. Keduanya saling berkaitan erat dan mempengaruhi satu sama lain.
Sejarah yang mana merupakan suatu kejadian di
Begitu pula yang dirasakan Dago sekarang ini. Sebuah jalan bersejarah yang berada 5 km kearah utara dari pusat Bandung. Modernisasi yang terjadi dengan pesat justru membuat kedudukan dari sejarah jalan ini menjadi semakin tergencet dan terdesak ke sudut-sudut terlupakan. Kedua fakta real kehidupan yang harus dijalankan dengan baik itu kenyataannya tidak bisa berjalan dengan seimbang.
C. Berkenalan Dengan Dago
1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Kondisi Masyarakat Dago
Dago berada 5 km ke arah utara dari pusat Bandung dengan luas area sekitar 6000ha. Ketinggiannya sekitar 690-730 dpl. Karena berada di daerah utara, maka Dago merupakan daerah yang cukup sejuk, setidaknya sebelum Dago penuh sesak dengan kendaraan bermotor seperti sekarang ini. Suhu udara berkisar antara 18°C (terendah pada malam hari) sampai dengan 32° C (tertinggi pada siang hari).
Masyarakat Dago memiliki mata pencaharian yang beragam. Mulai dari PNS hingga petani. Banyak pula dari mereka yang bekerja sebagai dosen di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya berdiri perumahan bagi para dosen di daerah Dago.
Bermata pencaharian beda tentu saja mengakibatkan tempat tinggal kediaman penduduk Dago pun menjadi beragam. Banyak penduduk yang bertempat tinggal di pemukiman sederhana seperti gang-gang, namun tidak jarang pula penduduk yang tinggal di perumahan mewah.
Berbeda dengan keadaan jaman dahulu, sekitar jaman kedudukan kolonial, sebelum modernisasi global melanda negeri ini. Pada masa itu, khususnya saat jaman kolonial Belanda, Dago merupakan kawasan elite yang hanya diperuntukkan para tuan dan noni Belanda sebagai tempat tinggal mereka. Banyak dari orang Belanda itu adalah para tuan tanah. Sedangkan bagi masyarakat pribumi, Dago hanyalah tempat mereka saling menunggu satu sama lain ketika hendak pergi ke kota secara bersama-sama di daerah selatan.
Masyarakat pribuminya sendiri kebanyakan adalah sebagai petani. Berkebun di kebun mereka sendiri dan menjual hasil panennya. Mereka tinggal berkelompok di pelosok sisa-sisa tempat tinggal para Belanda. Satu kelompok pemukiman untuk satu keluarga dan mereka menggunakan kebun sebagai pembatas.
2. Asal Mula Nama Dago
(dari Dagostraat hingga Ir.H.Djuanda, Dago tetaplah Dago)
Bandung berarti Dago. Para pelancong biasanya menjadikan Dago sebagai tempat yang wajib mereka kunjungi saat berkunjung ke Bandung. Bahkan beberapa dari mereka mengatakan bahwa jika tidak ke Dago, berarti belum ke Bandung.
Dago sudah ada sejak jaman kolonial. Hanya saja awalnya adalah Dagostraat lalu berubah menjadi Dago pada tahun 1950.
Kata dago berasal dari bahasa Sunda yaitu ‘dagoan’ yang artinya ‘menunggu atau tunggu’. Pada jaman ini, penduduk pribumi yang berada di wilayah utara Bandung memiliki kebiasaan saling tunggu menunggu satu sama lain, khususnya di kawasan terminal dan simpang Dago sekarang, ketika mereka hendak pergi ke kota. Hal ini disebabkan jalan menuju kota merupakan hutan belantara yang sepi dan rawan binatang buas.
Dalam bukunya ‘Semerbak Bunga di Bandung Raya’, Haryonto Kunto menuliskan bahwa pada pertengahan abad ke-19, di antara Simpang Dago (sekarang) dengan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan daerah hutan belukar yang sepi. Jalanannya belum bisa dilalui oleh kendaraan. Makanya, penduduk yang pergi pagi-pagi buta ke pasar biasanya saling menunggu satu sama lain agar dapat pergi dalam bentuk rombongan. Mereka juga melengkapi rombongannya dengan lelali yang bersenjata parang dan tombak untuk mengawalnya dari begal (penyamun). Kebiasaan menunggu itu dalam bahasa Sunda biasa disebut “padago-dago” (Arya Dipa, 2007).
Pada tahun 1810, jalan Dago masih berupa jalan setapak. Baru pada tahun 1900-1914, pemerintah Hindia-Belanda mengadakan pembangunan di Bandung. Pembangunan di Dago dimulai pada tahun 1905 dengan dibangunnya rumah peristirahatan Andre Van Der Brun. Rumah peristirahatan ini masih berdiri hingga sekarang (letaknya bersebelahan dengan hotel Jayakarta) .
Menurut penduduk Dago sendiri, dulu Dago merupakan pemukiman elite orang-orang Belanda. Daerah utara Bandung ini diperuntukan bagi para tuan dan noni. Sebagian besar dari mereka merupakan para tuan tanah.
Nyonya Dimon (tuan tanah besar). Dikatakan oleh masyarakat sekitar bahwa hampir seluruh Dago adalah tanah miliknya.
Tuan Heres. Tanah milik Tuan Heres meliputi daerah Jajaway atau yang sekarang disebut dengan terminal Dago.
Tuan Bereh. Pemilik tanah dari Dago Tea House pada masanya.
Nyonya Iyul. Hotel mewah yang sekarang dikenal dengan Sheraton merupakan tanah milik Nyonya Iyul.
Rumah-rumah disepanjang jalan Dago saat itu masing-masing memiliki atap yang curam. Hal ini disesuaikan dengan curah hujan yang tinggi. Selain itu, halaman rumah mereka terbentang luas dipenuhi rerumputan tertata rapi. Tinggi bangunannya sendiri tidak melebihi dua tingkat, dengan begitu cahaya dan udara dapat leluasa masuk ke dalam.
Merujuk pada situs resmi Bandung Heritage Society, pembangunan sudah dimulai pada tahun 1910. Ini seiring dengan keinginan pemerintah Gemeente (kotamadya) Bandung untuk memperluas wilayah administrasinya ke arah utara. Orang merambah kebun dan sawah, membangun jalan Dago dan Cipaganti di Bandung Utara. Pembangunan dan pengerasan jalan Dago sampai ke hutan Pakar bersamaan dengan usaha Gemeente membangun reservoir air minum di Bukit Dago (Arya Dipa, 2007). Konsep garden city coba diterapkan dalam pembangunan Dago. Konsep ini lahir sebagai jawaban atas revolusi industri yang melahirkan praktek kolonialisme di negara-negara penghasil bahan mentah. Konsekuensi selanjutnya, kebutuhan menata kota-kota administratur yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar bagi masalah perkotaan yang ditimbulkan, seperti kepadatan penduduk, sanitasi lingkungan yang makin buruk, dan ketersediaan air minum. (Pikiran Rakyat, 2006).
Garden city memperhitungkan keseimbangan alam dengan ditanaminya pohon berakar kuat disepanjang jalan Dago. Badan jalan sebelah timur dari ruas persimpangan Pasar Simpang hingga persimpangan Cikapayang dikhususkan untuk pejalan kaki. Sedangkan sebelah barat diperuntukkan kendaraan yang waktu itu masih didominasi kereta kuda dan sepeda.
Barulah pada tahun1950 aset-aset milik Belanda dinasionalisasi dan “Dagostraat”pun berubah nama menjadi “Dago”. Sedikit demi sedikit rumah-rumah yang tadinya dihuni oleh para Belanda mulai ditinggalkan.
Pada 1960, mulai terlihat anak-anak muda yang nongkrong di bagian selatan jalanan tersebut. Sepuluh tahun berlanjut, jalanan yang tadinya hanya untuk nongkrong saja berubah menjadi sebuah jalanan yang memiliki daya tarik tersendiri. Mulai dari tempat makan roti bakar hingga perempuan, ada di sana. “Istilahnya kalau dulu itu ‘gong-li’ (bagong liar-babi liar). Dan pada 1990 pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi mulai terasa memasuki kawasan Dago. Begitu yang dipaparkan Sudarsono Katam, 61, penulis buku Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah. (Arya Dipa, 2007). Maka dapat disimpulkan bahwa ternyata kebiasaan para anak muda berkumpul di jalan Dago adalah kebiasaan yang sudah ada dari dulu.
Pada awal 1970-an Dago untuk yang kedua kalinya berubah nama. Kali ini menjadi jalan Ir.H.Djuanda. Nama jalan Ir.H.Djuanda diberikan untuk mengenang segala jasa beliau sebagai orang yang telah mengabdikan dirinya untuk negeri ini. Akan tetapi, berubahnya nama tersebut ternyata tidak menyebabkan nama Dago hilang dan terganti dengan mudah. Sekali Dago tetap Dago.
3. Dago sebagai tempat perkumpulan anak muda terpelajar dan Trendsetter-nya Kota Bandung
Kawasan elite telah mencap Dago dari masa jalan ini dijadikan sebagai pemukiman para Belanda. Gengsi ini semakin menjadi ditambah dengan adanya dua universitas ternama yang berdiri masih dalam kawasan, ITB (Institut Teknologi Bandung) dan UNPAD (Universitas Padjadjaran). Maka tidak heran semenjak masa Dago terdahulu, muda-mudi yang menjadi penghuni di jalan ini pada umumnya adalah kalangan terpelajar.
Hancurnya pohon rambat sebagai pembatas jalan pada 1970 sering dimanfaatkan oleh anak muda sebagai tempat mereka balapan. Pohon itu dihancurkan guna dikerjakannya pelebaran jalan.
Asal muasal segala trend di Bandung menjadikan Dago semakin hidup. Trendsetter anak muda Bandung adalah Dago. Misalnya, pengaruh generasi bunga (flower generation) di Amerika serikat dengan sangat cepat di respon para muda-mudi Dago ini.
Salah satu rumah di jalan Dago pernah dijadikan sebagai tempat perkumpulan para pemuda hippies. Hippies adalah sebutan para penganut flower generation. Mereka senang menggunakan baju bermotuif bunga sebagai tanda cinta perdamaian, kalung manik-manik, celana jeans, dan jaket dengan hasil sulaman sendiri. Fashion seperti ini mereka tunjukkan sebagai pembeda atau lebih tepat dikatakan sebagai penolakan terhadap kaum berdasi karena hippies cenderung bersikap semaunya dan rada urakan. Moto para flower generation adalah sex, drugs and love, moto yang turut diadaptasi oleh para pemuda hippies di Bandung. Untuk kali ini bukan hanya pemuda Dago saja yang terlibat, hanya saja mereka sering berkumpul di sana.
4. Bangunan dan tempat sejarah
Sebagai salah satu kawasan elite bersejarah, Dago menyimpan banyak bangunan sejarah. Kebanyakan memang adalah rumah-rumah lama peninggalan kolonial di sepanjang jalan Dago. Tapi selain itu, ada pula situs sejarah yang lain seperti Dago Pakar, Gua Jepang, dan Hutan Raya Ir.H.Djuanda.
Beberapa bangunan dan tempat peninggalan para kolonial itu diantaranya sebagai berikut:
a. Vila Tiga Warna (De Driekleur)
Driekleur mendapatkan penghargaan sebagai gedung tua terbaik di Bandung. Pengharagaan ini diberikan oleh Bandung Development Watch. Sekarang De Drikleur adalah gedung Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN).
De Deklieur berada di sudut antara jalan Dago dan Jl. Sultan Agung. Gedung ini didirikan pada tahun 1938 dan dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama A.F.Albers. Deklieur dipengaruhi oleh aliran Nieuw Bouwen yang berkembang di Hindia Belanda pada akhir tahun 1930.
b. Gua Belanda dan Jepang
Gua Belanda dibangun pada 1812. Lalu pada 1918 ruang pada gua tersebut mulali diperbanyak. Jumlah seluhnya ada15 lorong, semuanya menembus ke kaki bukit. Panjang gua ini sekitar 517 meter. Lorong tersebut pada awalnya dibangun untuk mengalirkan air cikapundung yang kemudian ditampung di kolam Pakar untuk pembangkit listrik tenaga air Bengkok. Namun setelah tidak aktif lagi, lorong itu akhirnya menjadi pusat radio komunikasi Belanda.
Sedangkan Gua Jepang dibangun pada 1942. Dibangun sebagai tempat penyimpanan mesiu atau gudang mesiu. Panjangnya 442 meter. Selain itu, lorong tersebut pernah dijadikan tempat balatentara Jepang untuk mempertahankan kota Bandung.
c. Rumah Peristirahatan Andre van der Brun
d. Villa milik Andries de Wilde
Andries van de Wilde adalah pemilik tanah pertama di priangan. Beliau seorang ahli bedah yang berdinas pada pasukan artileri. Tanah yang dimilikinya meliputi separuh dari kebupaten Bandung sekarang.
Pada masa pemerintahan Daendels, Andries dalam kedudukannya sebagai koffie opziener mengajukan syarat permohonan kepada pemerintah Belanda agar dikenankan untuk menukarkan sebidang tanah luasnya dengan sebidang tanah di Bandung utara. Lalu ia menikah dengan seorang mojang priangan dan mendirikan villa di kampoeng Banong (Dago).
e. Dago Tea House
f. Dago Pakar
g. ITB (TH)
h. Villa Merah
Dari kesembilan bangunan dan tempat bersejarah yang telah disebutkan, masih banyak lagi yang lain. Dan semua itu adalah tanggung jawab semua masyarakat untuk dapat melestarikannya.
D. Sejarah Dago Masih Terus Berjalan
1. Yang terkenang tetaplah hilang
Sejarah Dago buka hanya sekadar isapan jempol belaka yang patut untuk diabaikan. Banyak pelajaran dan hikmah yang dapat diambil pada masa sejarahnya hidup. Salah satunya adalah penerapan pembangunan yang kurang pertimbangan dari pemerintah sekarang ini sama sekali sangat bertolak belakang dengan Karsten plan yang menerapkan konsep garden city ketika memulai pembangunan. Mereka sangat mempertimbangan keseimbangan alam dalam pembangunannya. Coba bandingkan dengan cara pembangunan sekarang yang terbilang ngaco. Tempat resapan air dijadikan korban pembangunan dengan dibangunnya perumahan ataupun resort-resort. Pemerintah seakan tidak peduli dengan keadaan alam kita yang semakin memburuk. Mereka malah membiarkan hal seperti itu terus berlanjut bahkan bercabang.
Kembali kepada kesadaran setiap individu masing-masing. Mungkin masih ada waktu untuk kembali memperbaiki. Mungkin yang terkenang bisa saja dibiarkan hilang, tapi tidak berarti melupakannya begitu saja. Sejarah Dago masih akan terus berjalan dan kitalah yang akan menciptakan sejarah untuk masa depan. Maka dari itu, jangan sampai satu langkah salah terus dilanjutkan. Bertindak dengan otak demi masa depan tanpa melupakan sejarah yang telah melahirkan kita. Karena tanpa adanya kejadian yang telah terjadi di masa itu, mana bisa Dago jadi sebagus sekarang.
2. Dunia glamour modern terus berjalan semaunya, bangunan glamour sejarah bersiap lenyap
Bedirinya gedung-gedung komersil tidak menutup kemungkinan akan membabad habis bangun bersejarah di Dago. Lama kelamaan lenyap satu persatu.
Gedung-gedung komersil yang sekarang bertengger gagah dan mewah di sepanjang jalan Dago kemungkinan akan terus bertambah dan berkembang. Dalam pembangunannya sendiri, gedung-gedung itu membutuhkan lahan yang biasanya mereka dapatkan dengan membeli bangunan-bangunan rumah tua di Dago.
Hilangnya rumah-rumah tua itu akan menyebabkan hilangnya identitas Bandung sebagai kota bersejarah, bukti-bukti peninggalan sejarah, akses sejarah untuk generasi yang akan datang, dan lain-lain (Jejen Jaelani, 2008)
Jika itu akan terus berlanjut, bersiaplah menghadapi masa depan yang buta sejarah akan ibu yang telah mengandung.
E. Kesimpulan
Bandung adalah kota yang kaya akan sejarah. Salah satunya adalah Dago.
Dago sendiri berasal dari bahasa Sunda yaitu dagoan yang artinya tunggu. Intinya, pada masa jaman kolonial, masyarakat pribumi selalu tungugu menunggu atau padago-dagoan khususnya di kawasan terminal Dago sekarang, ketika mereka hendak pergi ke kota. Hal itu mereka lakukan karena pada masa itu daerah Bandung utara masih merupakan hutan belantara dan rawan binatang buas. Denga saling tunggu menunggu mereka bisa pergi bersama-sama melewati hutan tersebut.
Nama Dago telah berganti dua kali. Asalnya adalah Dagostraat. Pada tahun 1950 barulah menjadi Dago dan pada tahun 1970 berubah lagi menjadi Ir.H.Djuanda.
Dago dulu diperuntukkan bagi para tuan dan noni Belanda. Banyak banguna mewah yang mejadi milik para Belanda, oang-orang yang berstatus tinggilah yang memiliki rumah disana, sehingga Dago dicap sebagai kawasan elite.
Selain itu, Dago juga merupakan tempat perkumpulan para anak muda terpelajar. Karena dijadikan tempat yang sering dipakai untuk berkumpul muda-mudi, Dagopun menjadi asal mula segala trend yang ada di Bandung masa itu.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari sejarah Dago ini. Sayangnya, masyarakat khususnya pemerintah tampaknya malas untuk belajar mengambil hikmah.
Salah satu pelajaran yang dapat diambil yaitu pertimbangan keseimbangan alam ketika akan mengadakan pembangunan.
Jika para penjajah saja bisa menyayangi daerah jajahannya, mengapa kita justru tidak bisa menyayangi daerah ataupun kawasan yang memang milik kita sendiri ?
F. Kritik dan Saran
1. Kritik
Pemerintah belum bisa mengelola Dago dengan bijak. Sikap memberikan lampu hijau pada pembangunan gedung-gedung komersil itu membuat Dago bahkan Bandung akan kehilangan identitasnya.
Masyarakat Dago sendiri kurang mencintai sejarahnya. Hanya beberapa saja yang tahu sejarah Dago dan itupun kebanyakan para sesepuh yang memang berperan langsung ketika Dago masih di bawah kedudukan kolonial.
Anak muda yang asli Dago saja banyak sekali yang tidak tahu bahkan tidak peduli. Pendidikan sejarah yang kurang mendukung di sekolah juga bisa menjadi salah satu penyebabnya. Kurangnya sosialisasi pemerintah daerah tentang sejarah sendiri dan terlalu dimanjakannya anak muda sekarang dengan keadaan lingkungan yang komersil dan glamour.
2. Saran
Pemerintah harus bisa melaksanakan aturan yang telah dibuat dengan tegas. Pembangunan komersil di kawasan resapan air dan yang menyangkut bangunan bersejarah sebaiknya dihentikan demi masa depan generasi mendatang.
Ditingkatkannya pelestarian dan pembugaran bangunan-bangunan lama yang merupakan identitas Dago.
Pemerintah juga sebaikanya lebih meningkatkan sosialisasi mengenai sejarah apapun, bukan hanya sejarah suatau tempat, kepada generasi muda dengan mengadakan sesering mungkin pameran ataupun festival sejarah yang bersifat menarik dan tidak membosankan.
Sistem mangajar seorang guru sejarah juga sebaiknya lebih diperbaiki. Agar sejarah tidak hanya dipandang sebagai dongeng pengantar tidur oleh siswa-siswinya.
Daftar Pustaka
Kunto Hayoto, 2008, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, PT. Granesia, Bandung
Suganda Her, 2008, Jendela Bandung Pengalaman Bersama Kompas, Kompas, Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Dago,_Coblong,_Bandung#Letak_Geografis_.26_ Ketinggian
http://marsiela.multiply.com/journal/item/1/Rendevouz_at_Dagostraatg,_Bandung
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=65569
http://www.arsitekturindis.com/?cat=5&paged=4#Letak_Geografis_.26_Ketinggian
http://www.bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=97&Ite mid=1
http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/26/11300846/dago.konservasi.atau.komersialisasi
mengerjaantugas.blogspot.com/
mus_1981.tripod.com/
Photo : http://media.photobucket.com
Sumber :
Makalah disampaikan pada Final Lomba “Penulisan dan Diskusi Kesejarahan” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Bersamaan dengan Pekan Budaya Seni dan Film yang dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2009 di Keraton Kasepuhan Cirebon.