Yogyakarta memang gudangnya daya tarik budaya tradisi. Hal ini dapat dilihat dari berjejalnya berbagai tempat beraroma seni dan budaya yang berakar pada budaya setempat, yaitu Jawa. Tak hanya karena kebijakan pemerintah tempat, penduduk bahkan pendatang yang merasa Yogyakarta sebagai "rumah" juga turut berperan aktif dalam melestarikan dan menjaga kelangsungan hidup warisan budaya yang tak ternilai harganya itu.
Di sekitar area Keraton Yogyakarta, terdapat satu museum khusus yang tidak dapat ditemui di tempat lain. Museum itu adalah Museum Kereta Keraton Yogyakarta. Bukan kereta uap atau kereta api yang menjadi koleksi museum ini, melainkan kereta kuda milik keraton Kasultanan Yogyakarta. Jika dibandingkan dengan jaman sekarang, kereta kuda milik keraton sebanding dengan plat nomor polisi Indonesia 1 dan Indonesia 2 yang dipakai Presidan dan Wakilnya.
Keberadaan Museum Kereta sudah dirintis pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Kereta koleksi museum ini telah berusia puluhan bahkan ada mencapai lebih dari seratus tahun. Beberapa masih digunakan dalam upacara-upacara kebesaran keraton. Yang tidak pernah digunakan umumnya karena pertimbangan usia dan sejarah yang pernah dilalui kereta-kereta tua itu.
Penamaan masing-masing kereta kuda tersebut seiring dengan kepercayaan orang-orang Jawa akan adanya roh atau kekuatan pada tiap benda. Lebih dari itu, penamaan dilakukan karena kereta-kereta tersebut telah banyak berjasa dan telah dianggap sebagai pusaka keraton. Kereta-kereta milik keraton tersebut masing-masing diberi nama dan memiliki kegunaan khusus.
Museum Kereta terletak masih dalam lingkungan Keraton Yogyakarta bagian barat daya alun-alun utara, tepatnya di Jalan Rotowijayan. Museum milik keraton yang dibangun dengan arsitektur Jawa ini berada di atas tanah seluas 14.000 meter persegi. Saat ini, museum ini memiliki koleksi sebanyak 18 buah kereta kuda. Diantara koleksi tersebut, Kereta Nyai Jimat adalah yang paling dihormati.
Berdasarkan bentuknya, kereta-kereta milik keraton dibagi menjadi 3 jenis. Yang pertama adalah kereta atap terbuka dan beroda dua. Contoh dari kereta jenis ini adalah Kereta Kapolitin. Jenis kedua adalah kereta atap terbuka dan beroda empat, misalnya Kyai Jongwiyat dan semua kereta yang menggunakan nama Landower. Dan, jenis terakhir adalah kereta atap tertutup dan beroda empat, misalnya Nyai Jimat, Kyai Garudayaksa, dan Kyai Wimanaputra.
Bentuk kereta juga membedakan fungsi dan penggunanya. Kereta jenis pertama digunakan oleh Sultan untuk kendaraan rekreasi. Jenis kedua digunakan oleh beberapa kelompok terpandang seperti para pengawal sultan, rombongan penari keraton, dan para komandan prajurit keraton. Yang ketiga adalah kereta khusus Sultan dan keluarganya. Kyai Ratapralaya yang dibuat di kampung Rotowijayan adalah kereta jenazah khusus bagi Sultan yang sudah mangkat. Dalam sejarahnya, kereta ini baru digunakan dua kali.
Sebagai pusaka keraton, kereta-kereta tesebut juga mendapat penghormatan berupa acara Jamasan. Jamasan adalah kegiatan memandikan, memberi "makan" berupa sesaji, dan mendoakan doakan semua benda pusaka. Jamasan pusaka keraton selalu jatuh pada Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pertama tiap bulan Suro ( bulan pertama dalam kalender Jawa). Upacara jamasan pusaka Keraton Yogyakarta berlangsung di dua tempat yaitu di Gedong Pusaka dan di Museum Kereta Keraton Yogya.
Pelaksanaan jamasan pusaka di Museum Kereta hanya khusus untuk kereta pusaka. Upacara jamasan kereta pusaka dipimpin oleh sesepuh abdi dalem keraton yang bertugas menjaga museum tersebut. Kereta yang wajib di jamasi tiap tahun adalah kereta Nyai Jimat. Kereta Nyai Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB IV yang dianggap sebagai sesepuh kereta-kereta yang lain. Kereta buatan Belanda tahun 1750-an ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel.
Tiap kali dilaksanakan Jamasan, Kereta Nyai Jimat harus selalu ditemani oleh sebuah kereta lain. Kereta yang menemani dipilih secara bergantian tiap tahunnya. Dalam acara jamasan itu, semua yang terlibat dalam upacara haruslah laki-laki dan mengenakan pakaian adat Yogyakarta lengkap dengan surjan dan blangkon. Karena unik dan hanya terjadi setahun sekali, upacara tradisional ini tentu bisa menjadi atraksi tersendiri bagi para turis.
Selain prosesi upacara, ada satu hal lagi yang unik dan menarik. Selama prosesi Jamasan itu, banyak penonton yang umumnya kaum tua berdesakan disekitar kereta pusaka. Mereka menunggu dengan sabar air bekas mencuci kereta, yang dalam bahasa setempat sering diistilahkan sebagai "ngalap berkah". Hingga sekarang, masih banyak warga yang percaya bahwa air bekas cucian kereta berkhasiat memberi kesuburan bagi sawah, panjang umur, serta kesehatan. Bahkan tak sedikit yang membasuh wajah dengan air bekas cucian kereta yang mereka kumpulkan dari got di sekitar tempat upacara. (Roberto J. Setyabudi/020508)
Museum Batik Kraton Simpan Koleksi HB VIII - X
Tambah satu lagi, daya tarik Kraton
Benda-benda yang tersimpan di Museum Batik ini milik Kraton
Penghageng Bebadan Museum Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat GBPH H Prabukusumo SPsi menjelaskan, Museum Batik ini merupakan salah satu bagian dari Bebadan Museum Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang persiapan dan pembangunan fisiknya dilakukan April-Oktober 2005. Kini sudah siap menerima kunjungan wisatawan Nusantara maupun mancanegara.
Upacara peresmian Museum Batik Kraton Yogya itu sendiri dilaksanakan di Bangsal Srimanganti, dihadiri GKR Hemas dan para Rayi Dalem Sultan HB X, Walikota Yogyakarta Herry Zudianto, serta sejumlah undangan lainnya termasuk pengusaha Yuwono Kolopaking dan mantan Menteri Pariwisata Joop Ave yang merupakan partisipan dalam pembangunan museum tersebut. Peresmian ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Sultan HB X yang diawali prosesi Prajurit Langenastra.
Menurut Prabukusumo, selain koleksi batik dari masa HB VIII hingga HB X beserta trahnya, nantinya diharapkan batik-batik dari para Presiden dan Wakil Presiden Indonesia serta gubernur seluruh daerah, juga bisa menambah koleksi museum. Sementara yang sudah berpartisipasi saat ini tercatat sekitar 80 orang baik pecinta maupun pengusaha batik di Yogya dan berbagai daerah lainnya.
Sebanyak 15 orang penghibah dan partisipan dalam pembangunan Museum Batik ini, kemarin mendapatkan penghargaan dari Sultan HB X.
Materi yang dipamerkan dalam museum antara lain busana penobatan Sri Sultan HB X sebagai Raja Kraton Yogyakarta, berbagai kain hibah dari Trah HB VIII dan HB IX, bahan pengawet dan pewarna proses batik seperti kayu secang, mahoni, ratus, lerak, bunga srigading, kayu jambal, bahkan setrika dan sepeda kuno pun ada di dalam museum ini. Tak kalah menariknya, di dalam museum ini pun terdapat sumur kuno peninggalan zaman HB VIII.
Sultan HB X menyatakan, pada masa silam, seni batik tidak hanya untuk melatih keterampilan melukis dan sungging. Seni batik sesungguhnya sarat akan pendidikan etika dan estetika bagi wanita pada zamannya. Seni batik menjadi sangat penting dalam kehidupan, karena kain batik telah terjalin erat di dalam lingkaran budaya hidup masyarakat.
"Sejak lahir, menjalani hidup di dunia, hingga meninggal, dibungkus dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan, khususnya dalam lingkungan keluarga," kata Sultan.
Dalam keluarga, lanjut Sultan, yang berperan adalah ibu. Karena itu, seni batik merupakan seni kriya kewanitaan. Proses pembatikan sejak dikemplong, ditulis hingga dilorot, dan diperdagangkan di pasar, hampir seluruhnya dikerjakan kaum wanita.
Selain itu, batik juga mempunyai makna dalam menandai peristiwa penting dalam kehidupan manusia Jawa. Misalnya batik corak truntum, cocok untuk upacara ijab atau midodareni. Nagasari dan berbagai corak lainnya, cocok untuk upacara pernikahan. Namun ada pula semacam larangan mengenakan kain batik corak parangrusak, agar terhindar dari pernikahan yang rusak. Sementara dengan mengenakan kain motif sidoluhur atau sidomukti, para orangtua berharap agar kehidupan anaknya nanti menjadi orang yang terpandang. (San)-f
Sumber :
http://www.paketrupiah.com
http://adit1303.multiply.com
Photo : http://www.beritajogja.com